Fatwa Hati 21


Ustaz Soleh menarik napas dalam-dalam. Dia menatap Zahwa kemudian beralih ke Syamil. 

"Syamil, apa rumah yang Abi beri ke kamu itu masih kosong? Apa rencanamu?"

"Masih, Bi. Syamil sepertinya belum ada niat untuk kembali ke kota ini. Karena ada banyak pekerjaan yang mengharuskan Syamil tinggal di sana sampai batas waktu yang belum bisa Syamil perkirakan."

"Zahwa, Abi pikir kamu dan Ibu Aminah, juga Syarifah, tidak perlu kembali ke desa. Kamu bisa tinggal Komplek Griya Sakinah. Nanti biar Syarifah mondok di sini."

Zahwa menatap abinya. 

"Sampai kamu siap bertemu Fathan," imbuh Ustaz Soleh.

"Tapi, Bi, beberapa orang di pondok pasti sudah tahu kalau Zahwa kembali, dan mereka pasti ...." 

"Soal itu memang pasti akan terjadi, tapi Fathan ke sini hanya satu pekan sekali, sepertinya bukan hal sulit untuk mencegah berita itu sampai ke telinganya." Ustaz Soleh memotong kalimat Haris kakak kedua Zahwa.

Suara tangis Naufal menyudahi obrolan serius mereka. Rafidah istri Ibrahim keluar kamar menggendong keponakannya. "Sepertinya Naufal lapar, Zahwa. Sebaiknya kamu susuin dulu," ujarnya.

Mengangguk, Zahwa bangkit kemudian melangkah menuju kamar setelah meminta izin kepada Abi, Umi, dan ketiga kakaknya.

**

"Kamu yakin dengan yang kamu lihat, Yan?" 

"Eum, aku rasa iya, aku dengar seseorang memanggil namanya, dan kurasa itu benar-benar Zahwa!" Yani menceritakan jika dirinya bertemu Zahwa di sebuah pertokoan di daerah Solo. Akan tetapi, dia sendiri masih belum sepenuhnya yakin dengan hal itu. Hanya saja menurutnya penting bagi Nabila untuk tahu.

"Setidaknya aku sudah dua kali lihat dia, Nab, ya meski lagi-lagi aku belum yakin seratus persen, sih." Suara helaan napas Yani dari seberang terdengar.

"Sepertinya aku harus ke Solo untuk memastikan bahwa Zahwa benar-benar kembali atau nggak."

"Kalau menurut kamu apa ada yang berubah dari Fathan?"

"Maksud kamu?"

"Iyaa, mungkin Fathan sudah tahu, tapi ...."

"Tapi dia nggak bilang ke aku?"

"Bisa aja, 'kan?"

Nabila memperbaiki letak duduknya. Jadwal jaga dia sudah selesai, itu artinya dia bisa pulang lebih awal hari ini. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa perlu menyelidiki suaminya. 

"Iya, Yan! Kamu benar. Kalau begitu, nanti kita sambung lagi, aku mau pulang!"

"Pulang?"

"He em! Aku harus tahu apa Fathan tahu soal ini."

Obrolan selesai, Nabila gegas mengemas barang-barangnya. "Masih cukup waktu sebelum Mas Fathan sampai rumah. Aku harus tahu mungkin bisa saja ada hal yang dia sembunyikan di kamar atau di lemari."

Memacu mobilnya Nabila tiba di rumah tepat seperti yang dia inginkan. Perempuan yang memakai pashmina hitam itu berlari ke kamar. Tujuan pertamanya adalah lemari baju milik suaminya.

Lipatan demi lipatan dia periksa, tetapi Nabila tak menemukan apa yang dicari. Pun demikian dengan laci yang ada di dalam lemari tersebut. 

"Nggak ada hal yang mencurigakan," gumamnya kemudian beralih ke tas kerja milik sang suami yang memang sudah cukup lama tidak dipakai.

"Kalau memang Zahwa benar-benar kembali, aku yakin dia adalah orang pertama yang tahu, dan ... aku berharap menemukan sesuatu yang membuktikan hal itu." Kembali dia menggumam sembari memeriksa tas suaminya.

Nabila membuang napas kasar, wajahnya tampak kecewa. "Apa mungkin Mas Fathan nggak tahu soal ini? Tapi ... bisa jadi yang dilihat Yani itu bukan Zahwa, tapi ...."

Deru mobil di luar membuat Nabila bergegas merapikan kembali tas Fathan yang baru saja dia bongkar. Kini hanya ada satu cara untuk mengetahui kebenaran soal Zahwa. Dia harus ikut Fathan ke Solo besok pagi. Dengan begitu dirinya bisa leluasa mengetahui dan mengorek informasi yang sebenarnya.

"Sementara ini lebih baik aku diam dan pura-pura tidak tahu."

Menyungging senyum, dia melangkah meninggalkan kamar, karena pintu rumah sudah diketuk oleh sang suami.

**

Zahwa tersenyum menatap Naufal yang baru saja selesai mandi. Kaki dan tangannya sesekali diangkat seolah ingin digendong oleh Zahwa. 

"Naufal pengin Umi gendong?" tanyanya lembut sembari mencium pipi gembul Naufal.

"Mbak Zahwa mandi dulu aja, biar Naufal saya gendong. Ini sudah sore, Mbak." Bu Aminah muncul dengan kain gendongan di bahunya.

Zahwa mengangguk. 

"Besok pagi saya mau ke pondok, Mbak. Mau jenguk Syarifah. Mbak Zahwa nggak ke pondok?"

"Besok hari ...."

"Sabtu, Mbak."

"Fathan akan datang setiap hari Sabtu. Dia akan mengajar sampai sore, dan kembali ke Surabaya Ahad pagi. Kalau kamu belum siap bertemu, di dua hari itu kamu jangan ke pondok." Suara Ibrahim sang kakak terngiang.

"Mbak Zahwa?"

"Oh, nggak, Bu. Saya nggak ke pondok. Ibu kalau mau ke sana, biar diantar sopir, nggak apa-apa."

"Ah, jangan, Mbak. Biar saya naik angkot aja. Saya nggak enak," tolak Aminah setelah menggendong Naufal.

"Ibu pasti masih ingat apa kata Abi juga Umi, 'kan? Ibu dan Syarifah sudah jadian bagian dari keluarga saya, jadi nggak ada alasan untuk menolak."

Perempuan berbaju terusan bercorak batik itu mengangguk paham.

"Nah, gitu, dong. Saya mandi dulu, ya, Bu."

Zahwa menghampiri putranya yang sudah berada dalam gendongan Aminah.

"Naufal sayang, Umi mandi dulu, ya, sayang."

"Eum, Mbak Zahwa."

"Iya, Bu? Ada apa?" Dahinya mengernyit menatap Aminah yang terlihat khawatir.

"Kenapa Mbak Zahwa tidak mau bertemu abinya Naufal, Mbak? Eum, maaf, bukannya saya ingin ikut campur, tapi ... abinya Naufal wajib tahu anaknya dan Naufal punya gak untuk tahu abinya, Mbak." Suara Aminah terdengar lirih.

Zahwa bisa memahami pertanyaan Aminah. Dia pun tahu apa yang seharusnya dilakukan, akan tetapi, Zahwa masih butuh waktu untuk berpikir dan tidak terlalu melibatkan emosi jika bertemu. Karena kondisi yang terjadi sekarang cukup rumit baginya.

"Saya paham, Bu, Naufal pasti akan tahu dan pasti akan saya pertemukan dengan abinya, tapi tidak dalam waktu dekat. Karena ... seperti yang Ibu tahu, abinya sudah memiliki istri yang tentu saja akan menyebabkan permasalahan jika istrinya tidak rela dengan yang sebenarnya terjadi."

Aminah menatap Zahwa dengan mata berkaca-kaca. Semakin lama tinggal bersama dengannya, Aminah semakin paham kenapa banyak orang yang mencintai anak Ustaz Soleh itu. Meski tak semua orang sempurna, tetapi baginya Zahwa adalah paket lengkap yang dimiliki seorang perempuan muslimah. Aminah hanya berharap agar Zahwa bisa kembali membangun rumah tangga dengan suaminya sehingga Naufal bisa mendapatkan kasih sayang seorang ayah.

**

Fathan menyipitkan mata mendengar permintaan Nabila. Apa yang diinginkan istrinya itu sangat tidak biasa. Jare selama ini Nabila selalu menolak jika diajak ke Solo bahkan jika hanya sekadar menengok orang tua Fathan.

"Tumben kamu mau ikut?"

"Kenapa? Nggak boleh?"

Fathan tertawa kecil, sambil mencubit pipi sang istri dia menggeleng.

"Bukan begitu, aku heran aja, karena selama ini kamu selalu menolak kalau aku ajak ke ...."

"Iya itu aku menolak, 'kan karena ada alasannya, Mas. Kamu, 'kan, tahu aku sibuk."

Fathan mengangguk.

"Kalau sekarang, aku kosong, mungkin memang waktunya aku berkunjung. Masa kamu nggak paham, sih?" Tampak parasnya sedikit kesal karena Fathan seakan curiga.

"Iya, iya, aku paham. Ya, sudah, kalau begitu kamu siapkan baju-baju yang mau kamu bawa!"

Nabila mengangguk sembari menyungging senyum tipis.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top