Fatwa Hati 20

Kebahagiaan meliputi keluarga besar Zahwa. Air mata haru kedua orang tuanya tak bisa dibendung. Siapa yang menyangka hilangnya sang putri kini kembali justru membawa cucu laki-laki nan rupawan. Kulit bersih, hidung mancung dan mata yang indah. Kedatangan Naufal dalam sekejap sanggup mencuri hati keluarga besar Zahwa.

Perlahan cerita meluncur baik dari Zahwa maupun dari Aminah setelah mereka makan siang. Ustaz Soleh terlihat sangat lega dan berterima kasih kepada ibu dan anak yang telah menyelamatkan putrinya. Sementara Aliyah, uminya sejak tadi seolah enggan melepaskan Naufal dari gendongannya.

"Sebaiknya Bu Aminah dan Syarifah istirahat. Kalian pasti sangat lelah." Ustaz Soleh menitahkan Rafidah untuk mengantar Aminah dan Syarifah untuk beristirahat.

Sejenak ruangan sepi. Baik ketiga kakak dan kakak ipar Zahwa memilih saling bertatapan seakan khawatir adiknya shock jika tahu hal yang telah terjadi pada Fathan. Pun demikian dengan Ustaz Soleh. Pria paruh baya itu berulang kali mencuri pandang ke arah istrinya yang justru seperti tengah mencari kesibukan dengan sang cucu yang terlelap.

"Abi."

"Iya, Zahwa?"

Zahwa menelisik ruang tengah. Ruang yang tak berbeda sejak dia tinggal. Hanya cat, taplak meja, dan gorden saja yang berubah, selebihnya kursi dan perabot lainnya tetap seperti dulu. 

"Eum, apa Mas Fathan sedang mengajar atau sedang mengisi pengajian di luar kota, Bi?" tanyanya pelan. "Kok, sejak tadi Zahwa nggak melihat Mas Fathan." 

Irisnya memindai satu per satu kakaknya. Zahwa terlihat mulai merasa ada yang tak biasa. 

"Apa ada hal yang disembunyikan soal Mas Fathan?" tanyanya menatap uminya. "Umi?"

Perempuan yang memakai gamis hitam itu mengangkat kepala menatap sang putri. Sejenak dia menoleh ke suaminya.

"Zahwa ... ada banyak hal setelah kami kehilangan kamu setahun yang lalu." Aliyah mulai buka suara memberanikan diri.

"Apa itu, Umi? Jelaskan saja apa yang terjadi, tapi tolong beritahu Zahwa, apakah Mas Fathan baik-baik saja?"

Aliyah mencium pipi cucunya sebelum diserahkan ke Aini istri dari Syamil.

"Zahwa, apa yang kamu pikirkan ketika seseorang dalam kesedihan yang berlarut-larut?" Abinya mencoba memberi penjelasan.

"Kasihan, Bi. Kesedihan berlarut tentu nggak baik bagi kesehatan dan akan berimbas ke orang-orang sekitarnya."

Ustaz Soleh mengangguk. "Kalau kamu berada di sekitar orang tersebut, apa yang akan kamu lakukan?"

"Zahwa akan mencoba hibur, Zahwa bantu dia untuk mencoba kembali pada kenyataan, bahwa hidup akan terus berjalan."

Pria berambut kelabu itu mengangguk dan tersenyum. Dia kemudian mengusap puncak kepala putrinya.

"Zahwa." Ustaz Soleh menarik napas dalam-dalam, "suamimu ... dia tetap jadi suamimu. Karena kalian berpisah bukan karena sebuah perceraian. Kalian terpisah karena sesuatu hal yang jauh di luar prediksi kita sebagai manusia."

"Abi sebenarnya mau bicara apa?" Zahwa seperti merasa ada hal yang tak biasa yang hendak diutarakan abinya.

"Fathan ... dia sudah mengambil pilihan dan saran yang kami berikan." 

"Abi, Abi bilang aja apa yang sebenarnya terjadi dengan Mas Fathan."

"Suamimu sudah menikah lagi dengan teman sekolahnya dahulu." Jelas dan gamblang Ustaz Soleh bertutur.

Mendengar hal itu, Zahwa menatap lekat abinya. Bibirnya tampak bergetar seiring dengan mata yang berkaca-kaca. "Abi? Abi bilang Mas Fathan ...." Napasnya memburu, kedua tangannya mengepal. Zahwa memejamkan mata sejenak lalu menarik napas dalam-dalam.

"Maafkan Abi, Zahwa. Abi hanya tidak ingin melihat Fathan terlalu larut dalam kesedihan. Dia tampak benar-benar patah menunggu kabarmu yang tak kunjung ada."

"Meski awalnya dia bersikeras menolak dan meyakini jika kamu tidak benar-benar hilang."

Ruangan itu hening. Tak ada satu pun yang berusaha bersuara selain Ustaz Soleh.

"Seperti yang Abi bilang sebelumnya, kami semua dalam hal ini Abi dan Umimu tidak tega melihat Fathan seperti itu. Sudah banyak cara kami untuk mengalihkan kesedihannya. Bisa, dia bisa mulai kembali menyibukkan diri, tapi ...."

"Tapi apa, Abi? Maaf, Zahwa menyela."

"Ada peristiwa yang akhirnya membuat suamimu menyerah." Umi mulai memberanikan diri unjuk suara.

Perempuan berpipi kemerahan itu beralih menelisik uminya.

"Apa itu, Umi?"

Ustazah Aliyah menceritakan semuanya tentang Fathan hingga akhirnya bertemu Nabila dan menikah.

"Kami hadir di sana untuk memberi support dan tentu saja supaya Fathan tak merasa kami tinggalkan."

"Sekarang mereka tinggal di Surabaya di kediaman Nabila," imbuh Ustazah Aliyah.

"Surabaya?"

"Iya, itu karena Nabila memiliki banyak pekerjaan yang mengharuskan dia tinggal di sana. Fathan tetap mengajar di sini meski dia harus bolak-balik ke sini satu pekan sekali."

Keningnya berkerut. Membayangkan sang suami yang harus bolak-balik ke sini untuk mengajar dengan menempuh perjalanan jauh tentu sangat melelahkan.

"Kenapa tidak dibiarkan saja Mas Fathan berhenti, Bi? Kasihan jika dia harus tetap mengajar di sini dengan jarak tempuh yang sangat jauh."

"Dia yang tidak mau. Dia justru yang meminta untuk tetap bisa mengajar di sini. Fathan beralasan jika hanya dengan tetap mengajar dia bisa mengenangmu."

Zahwa tertunduk setelah mendengar penjelasan uminya. Nabila. Nama yang diawali dengan huruf N. Huruf yang tertera di cincin yang dia temukan di lemari suaminya kala itu. 

Ada sisi hati Zahwa yang bercabik setelah mengetahui hal yang sebenarnya, tetapi ada pula sisi hati yang perlahan mencoba mengerti jika apa yang menimpanya bisa memberikan hal baik bagi bersatunya Fathan dengan Nabila.

"Maafkan kami, Zahwa." Ustazah Aliyah kembali berucap.

Mengangguk pelan, Zahwa tersenyum.

"Nggak apa-apa, Umi, nggak apa-apa, Abi. Zahwa mengerti. Zahwa tahu semua yang terjadi tentu di luar kemampuan kita sebagai manusia. Nggak ada seorang pun yang ingin sesuatu yang buruk terjadi pada hidupnya. Zahwa yakin dengan campur tangan Allah."

Ustaz Soleh kembali ngusap puncak kepala putrinya. "Abi tahu anak Abi pasti bisa menyikapi hal ini dengan bijaksana."

"Besok ada jadwal Fathan mengajar. Apa kamu mau bertemu atau kamu ingin meneleponnya sekarang?" Ustaz Soleh menyorongkan telepon genggam pada Zahwa.

Putrinya itu menggeleng cepat. Matanya tak lagi basah, meski sorot luka jelas tergambar.

"Nggak, Bi. Bahkan besok pun jika ada Mas Fathan, tolong sembunyikan keberadaan Zahwa. Zahwa belum mau bertemu. Zahwa masih butuh waktu untuk menenangkan hati dengan semuanya."

Merapikan jilbabnya, Zahwa kembali berujar, "Bukan berarti Zahwa tidak ingin bertemu, biar bagaimanapun ada Naufal yang harus kenal abinya, dan kami belum bercerai, tapi untuk saat ini, tolong biarkan Mas Fathan menganggap Zahwa tidak ada."

Ketiga kakak Zahwa dan kedua orang tuanya saling pandang. Menyembunyikan hal yang sesungguhnya bukan perkara mudah. Karena akan selalu sampai kabar apa pun tentang apa pun di lingkungan pondok. Terlebih kemunculan Zahwa seorang yang begitu dicintai oleh warga tentu akan cepat menyebar dan sudah pasti akan sampai ke telinga Fathan.

Seakan tahu apa yang dipikirkan keluarganya, Zahwa menarik napas dalam-dalam.

"Izinkan Zahwa tinggal di desa tempat Ibu Aminah, Bi. Sampai Zahwa bisa menemui Mas Fathan dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."

"Zahwa, Nak, Fathan itu suamimu, dan kamu nggak bisa menyembunyikan diri darinya. Dia berhak tahu." Ustazah Aliyah kembali angkat bicara.

"Tapi ada Nabila, Umi, Zahwa mengerti seperti apa perasaannya kalau tahu yang sesungguhnya. Zahwa ingin menjaga perasaan dia sebagai sesama perempuan."

☕☕

And then, Zahwa kembali, Guys ...

Apa yg terjadi selanjutnya? Stay tune yes💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top