Fatwa Hati 19
Setahun bukan waktu sebentar untuk bisa kembali mengumpulkan memori yang sempat hilang. Zahwa menitikkan air mata hari. Dia bersyukur dikelilingi oleh orang-orang baik meski sebelumnya mereka tak mengenalinya. Kelahiran Naufal putranya membuka awal dari ingatan Zahwa. Tidak serta merta, tetapi meski perlahan akhirnya dia tahu siapa dirinya.
"Jadi nama yang sebenarnya Zahwa?"
Perempuan berjilbab abu-abu itu menghela napas lega. Sekian lama dia bertanya-tanya tentang asal usul perempuan cantik yang dia selamatkan itu, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Yang diketahuinya adalah perempuan itu tengah hamil dan dia harus bisa menyelamatkan bayi dalam kandungannya.
"Alhamdulillah, Mbak. Akhirnya Mbak bisa mengingat semuanya. Saya senang sekali."
Menghapus air mata, dia mengangguk. Berada di desa yang cukup jauh dari keramaian. Zahwa dirawat dengan sangat baik oleh Ibu Aminah dan putrinya Syarifah. Siapa sangka jika desa tempat dia mengabdikan diri menjadi musabab dia menjadi salah satu korbannya.
Meski begitu dirinya bersyukur bisa bertemu dengan Ibu Aminah. Menurut perempuan paruh baya itu, dia ditemukan tidak sadar di bawah pohon. Kala itu desa Ibu Aminah tidak terdampak, hanya saja air bah hanya sempat lewat sebentar dan tidak menimbulkan kerusakan yang berarti.
Zahwa ingat kala peristiwa itu terjadi dia hendak menemui kepala desa setempat guna menginformasikan hal yang berhubungan dengan logistik dan obat-obatan bagi pengungsi.
Namun, tanpa dia dan semua orang tahu, air datang tanpa diundang. Zahwa berlari menghindar dan mencari perlindungan. Dalam suasana panik, dia menemukan kayu besar dan segera berpegangan erat kemudian setelahnya dia merasakan benturan keras di kepala. Selanjutnya dia tak ingat apa-apa lagi.
"Maafkan kami kalau kami tidak segera mengembalikanmu ke keluarga. Dan maafkan saya jika selama ini tidak bisa memberikan tempat yang kayak buat Mbak Zahwa."
Zahwa menggeleng, dia kemudian menoleh ke sebelah. Seorang bayi laki-laki tampan tengah terlelap. Hidung mancung, bibir merah dan pipi yang tembam membuat siapa pun gemas padanya.
"Ibu dan Syarifah sudah sangat baik pada saya. Ibu sudah sedemikian rupa dengan sabar merawat saya hingga Naufal terlahir di dunia," tuturnya tersenyum lebar. "Saya ingin memberi kabar ke keluarga, tapi saya belum bisa mengingat nomor telepon Abi."
Aminah tersenyum. "Mbak Zahwa bilang saja kapan akan kembali, biar Syarifah nanti yang mengantar."
Zahwa menarik napas dalam-dalam. Bibirnya menyungging senyum, tetapi kemudian tampak tengah teringat sesuatu.
"Mbak Zahwa."
"Iya, Bu?"
"Saya yakin suami Mbak akan sangat bahagia saat tahu Mbak dalam kondisi sehat dan kini bersama Naufal!"
Zahwa mengangguk. Dia hanya menerka-nerka apa yang terjadi pada Fathan ketika dirinya tidak ditemukan saat peristiwa itu. Kalau bagaimana Abi dan keluarga besarnya.
"Nanti aja, Bu. Saya ...." Zahwa tidak punya gamis yang pantas untuk pergi menemui keluarganya. Selama di sini, dia selalu mengenakan baju Syarifah.
"Mbak, ini ada gamis baru. Gamis ini sengaja Ibu beli untuk Mbak. Yang ini lengkap dengan cadarnya." Aminah menyodorkan plastik bening yang di dalamnya gamis berwarna marun. "Di sini jauh dari kota, Mbak. Jadi gamis yang seperti Mbak punya pun agak susah carinya. Karena saya sama Syarifah tidak pakai cadar seperti Mbak."
Air mata hari Zahwa kembali menetes. Allah memang tidak pernah main-main dalam berjanji. Dia sudah memberikan begitu banyak kemudahan saat dalam kondisi genting, hingga saat ini dia masih bisa tersenyum pun, Zahwa yakin itu semua karena Allah sudah menunjukkan jika Dia tak pernah ingkar janji.
'Jika kamu berbuat baik (untuk Allah), maka faedahnya bagi dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian)nya juga bagi dirimu sendiri.' Demikian firman Allah surah Al Isra' ayat tujuh yang terbesit di kepalanya.
"Tapi maaf, Mbak, ini mungkin bahannya tidak sebagus punya Mbak Zahwa."
"Bu, semua yang Ibu beri ke saya lebih dari cukup. Saya justru yang sangat berhutang budi pada Ibu juga Syarifah."
Zahwa lalu mengambil perlahan dan mendekap Naufal yang barusan terjaga. Wajah tampannya mengingatkan pada Fathan. Zahwa terlihat tak sabar untuk pulang dan bertemu dengan keluarga besarnya terlebih dengan sang suami.
"Bu Aminah."
"Iya, Mbak Zahwa?"
"Besok Ibu dan Syarifah ikut saya, ya. Kita sama-sama menemui Abi saya."
Aminah menatap putrinya yang masih duduk di sekolah menengah pertama. Syarifah baru saja melipat beberapa baju si kecil Naufal.
Seakan tahu apa yang dipikirkan Aminah, Zahwa berkata, "Besok sepulang sekolah Syarifah, kita sama-sama berangkat ke rumah saya."
**
Berdamai dengan pilihan adalah hal yang harus dilakukan Fathan. Meski dirinya harus mundur dari pesantren, tetapi tidak serta-merta dia berhenti mengajar di sana. Fathan tetapi memiliki jam mengajar meski tidak seperti sebelumnya.
"Mas."
"Ya?"
"Kamu nggak capek apa tetap ngajar di sana?"
Nabila duduk di sebelahnya sembari melahap keripik kentang.
"Kamu memintaku untuk berhenti?"
"Bukan begitu. Kamu kenapa, sih? Setiap aku singgung soal ini selalu nggak enak gitu jawabnya?" Nada suaranya terdengar sengit.
"Nabila, tolong, ya, selama ini aku terus berusaha untuk memahamimu, mengikuti apa yang menurut kamu baik untuk kita, tapi apa pernah kamu berpikir bahwa aku pun berhak punya keputusan sendiri?"
Nabila bersungut-sungut. "Sudah kuduga, kalau aku mulai bicara soal ini, kamu pasti nyalahin aku dan pembicaraan ini nggak ketemu ujungnya!"
Fathan menarik napas dalam-dalam. Dia mengambil kantung keripik kentang dari tangan istrinya dan meletakkan di meja.
"Siapa yang nyalahin kamu? Aku nggak nyalahin kamu, tapi aku memintamu untuk berpikir."
"Kamu kira aku selama ini nggak berpikir? Aku mencarikan tempat mengajar yang hampir sama dengan di sana, aku juga yang membantu memperluas jaringan bisnis frozen food-mu, kamu masih mengatakan kalau aku nggak berpikir?"
Fathan memijit pelipisnya. "Nabila, kenapa selalu begini ujungnya kalau kita diskusi soal pesantren? Apa yang kamu khawatirkan? Bukankah aku sudah mengikuti apa yang kamu inginkan?"
"Kamu yang bikin aku begini!"
"Aku?"
"Iya! Kamu masih meletakkan sisa-sisa kenangan tentang dia di hatimu. Kamu masih tetap ke sana dan tentu saja itu sama saja dengan kembali menghidupkan Zahwa!"
"Astaghfirullah, Nabila, kamu ini kenapa, sih? Kamu sendiri yang bilang kalau Zahwa sudah nggak ada, tapi kenapa kamu sendiri yang terus mengulik semua itu?"
Nabila mendengkus kesal, ucapan Yani masih begitu jelas bergema di kepalanya. Yani mengatakan bahwa dirinya pernah melihat sosok yang mirip dengan Zahwa. Dia tak sengaja bertemu di sebuah mini market di kota Solo. Saat itu dia sedang bersama sang suami yang memang sedang melakukan perjalanan ke kota tersebut.
Akan tetapi, Yani tidak bisa memastikan hal sebenarnya. Yani hanya bisa membaca gesture dan karena seseorang memanggilnya dengan nama Zahwa. Selebihnya Yani tak berani berspekulasi lebih jauh.
"Aku boleh bertanya sesuatu?"
"Boleh, tanya saja. Apa?"
"Apa kamu masih mencintai Zahwa?"
Menarik napas dalam-dalam, Fathan menggeleng pelan. "Untuk apa kamu bertanya soal itu?"
"Jawab saja, masih atau tidak?" tukasnya tegas.
"Nabila, biar bagaimanapun aku dan Zahwa pernah menjadi pasangan dan ... kami hanya sebentar bersama, tentu dia punya tempat tersendiri di sini." Dia menepuk dada pelan. "Tapi dia sudah nggak ada lagi, dan kini ada kamu yang menjadi pendampingku, jadi untuk apa kamu bertanya lagi?"
Nabila menggeleng cepat. "Jawab saja, Mas. Nggak usah berputar-putar. Masih atau tidak?"
"Masih. Karena seperti yang kubilang, dia punya tempat sendiri di sini." Fathan meletakkan tangannya di dada. "Kamu dan Zahwa adalah bagian dari hidupku. Aku dan dia berpisah karena hal yang sama-sama tidak diinginkan, tapi sekarang ada kamu, kamu yang kini melengkapi hidupku, jadi tolong, tolong berhenti bertanya dan mengungkit hal yang ujungnya membuatmu selalu uring-uringan seperti ini."
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top