Fatwa Hati 18
Lima bulan berlalu setelah kepindahan Nabila ke Surabaya. Fathan tentu saja semakin sibuk dan hampir tidak punya waktu istirahat karena setiap akhir pekan harus menemui Nabila.
Sore itu setelah mengisi halaqah di pesantren, Fathan menyempatkan diri beristirahat di kantin yang terletak tak jauh dari kantor mudir. Satu kopi hitam dan roti sisir terhidang di depannya. Sudah sangat lama dia tidak mampir dan duduk di tempat ini.
Semenjak Zahwa tak ada, dia nyaris tak pernah mau menikmati kopi di sini. Meski dia bukan penggemar minuman berwarna hitam itu, tetapi duduk di sini terkadang dia bisa bertemu beberapa ustaz lainnya untuk sekadar membicarakan hal-hak ringan.
Kantin Bu Sofi ini menyimpan banyak kenangan. Salah satunya adalah ketika dia baru saja beberapa hari diminta Ustaz Soleh untuk menjadi pendamping putrinya.
Kala itu dia banyak mendapatkan informasi dari Bu Sofi pemilik kantin ini. Salah satunya adalah menceritakan bagaimana kecantikan Zahwa sekaligus seperti apa perangainya.
"Dokter Zahwa itu paket komplit, Ustaz Fathan. Dia itu tidak cuma cantik, tapi sangat baik dan rendah hati. Sama seperti Ustaz Soleh yang tidak pernah merasa jika beliau orang besar dan disegani."
Fathan kala itu menyimak penjelasan sambil menikmati kopi khas buatan Bu Sofi.
"Nah, iya, ini, ini roti sisir kegemarannya. Hampir setiap hari dokter membeli roti ini untuk dia bawa ke klinik. Karena menurut dokter, dia kadang tidak ada waktu untuk makan siang ke luar. Jadilah roti ini yang bisa mengganjal perutnya."
Fathan menarik napas dalam-dalam. Bibirnya menyungging senyum teringat bagaimana merah pipi Zahwa saat dia memberi kejutan satu box roti sisir yang sengaja dia bawa ke klinik waktu itu.
"Kesukaanmu, 'kan?"
"Kok, Mas tahu?"
"Tahu, dong. Masa kegemaran istri aku nggak tahu?"
Mata indahnya tampak menyelidik. "Jadi selama ini Mas memata-mataiku? Karena roti ini yang tahu cuma aku dan ... Bu Sofi? Mas tahu dari Bu Sofi?"
Fathan tertawa kecil sembari mengusap puncak kepala istrinya saat itu. Zahwa, benar kata Bu Sofi, istrinya itu begitu rendah hati dan tidak pernah merasa besar. Bahkan saat dia dipanggil oleh Bupati untuk mendapatkan penghargaan pun Zahwa menanggapinya biasa.
"Aku hanya menjalankan apa yang seharusnya dijalankan setiap hamba, yaitu saling menolong dan memberi kemudahan. Cuma itu, Mas."
"Kenapa hanya dipandang saja rotinya, Ustaz?" Suara Bu Sofi mengejutkannya. "Pasti rindu, ya sama dokter?" imbuhnya.
Fathan tersenyum tipis lalu menyesap kopi yang tak lagi terlihat kepulan asapnya.
"Wajar kalau Ustaz belum bisa lupa, lah wong saya saja yang bukan apa-apanya saja masih sering ingat, kok, Ustaz."
"Padahal sudah hampir setahun Dokter Zahwa tidak ada," sambungnya. "Entah kenapa saya masih berpikir dan berharap Dokter Zahwa akan kembali."
Fathan mengurungkan niatnya membuka bungkus roti di tangannya.
"Kenapa Bu Sofi berpikir begitu, Bu?"
Perempuan berjilbab biru gelap itu menggeleng cepat, matanya berubah sendu.
"Entah, Ustaz, tapi memang Dokter Zahwa tidak tergantikan," tuturnya lirih. "Bahkan, maaf, ya, Ustaz, bahkan oleh Bu Dokter Nabila."
Mata Fathan menyipit. "Apa itu artinya Nabila tidak ramah, Bu?"
Perempuan yang berdiri di balik etalase dagangannya itu cepat menggeleng. Parasnya terlihat menyesal telah membandingkan istri baru Fathan dengan Zahwa. "Nggak, Ustaz. Maaf, bukan begitu maksud saya. Eum, Bu Dokter Nabila baik, kok, tapi sayangnya hanya sebentar di klinik. Maaf, Ustaz, saya mau meladeni pembeli. Permisi, maafkan saya, Ustaz."
Fathan bergeming tak menanggapi Bu Sofi. Dia tidak tersinggung dengan penurunan pemilik kantin itu, tetapi entah kenapa kalimat yang dia dengar barusan memicu rasa penasarannya terhadap sikap Nabila saat bertugas di klinik.
**
"Berhenti ikut campur dalam urusan rumah tanggaku, Yasir!" Suara Nabila meninggi. "Kalau kamu pikir dengan bertemu aku dan kemudian bisa mengubah keputusanku, kamu salah!"
"Lagipula, apa pedulimu, sih?" tanyanya ketus sembari melipat kedua tangan di dada.
"Bukan begitu, Nab, aku merasa bersalah, karena sedikit banyak akulah yang mempertemukan kalian lagi. Kupikir dengan kalian bertemu dan bersatu bisa bahagia dan mewujudkan ...."
Nabila mengibaskan tangannya sembari menggeleng. "Bisa! Aku bisa bahagia, kok. Aku bahagia."
"Lalu?"
"Lalu apa?"
"Kalau bahagia, kenapa kamu justru ...."
"Aku bahagia, kalau saja semua orang di sana berhenti membicarakan Zahwa!"
Yasir mengerutkan keningnya. "Membicarakan Zahwa?"
Nabila mendengkus kasar.
"Aku tahu Zahwa memang tidak tergantikan, tapi aku kesal karena selalu mendengar Zahwa begini, Zahwa begitu!"
Mengusap tengkuknya Yasir tersenyum tipis.
"Kamu merasa diabaikan?"
"Iya! Dan aku nggak suka itu!"
"Apa suamimu juga mengabaikanmu?"
Membuang napas kasar, Nabila menggeleng. "Nggak! Dia nggak mengabaikanku."
"Lalu? Apa dia juga selalu membicarakan tentang Zahwa?"
Nabila kembali menggeleng.
"Lalu kenapa kamu pergi dan kembali ke sini, Nabila? Bukankah Fathan selalu memperlakukan kamu dengan baik?"
Nabila bergeming. "Aku hanya ingin tenang. Aku merasa selama Fathan berada di lingkungan itu, aku tak bisa terlepas dari bayangan Zahwa, dan Fathan pun begitu."
Yasir menggaruk pelipisnya. "Nab, kamu terlalu egois."
"Iya, mungkin, tapi mungkin juga nggak! Aku hanya ingin berdamai dan membuat hatiku tenang. Apa itu salah?" Dia memalingkan wajah ke luar jendela.
Sore itu selepas bekerja, dia dan Yasir bertemu di sebuah kafe tak jauh dari rumah Nabila.
"Lagipula Fathan nggak keberatan, kok!" imbuhnya.
Yasir hanya mengangguk. Ada perasaan bersalah di hatinya saat tahu jika ternyata apa yang dia usahakan tidak seperti yang diharapkan.
Yasir adalah sahabat keduanya, dia tahu bagaimana perjalanan mereka, tetapi rupanya itu dulu, karena kini semua telah berubah.
**
"Ibu kok, nggak sreg sama cara kalian berumah tangga, Fathan." Maryam duduk di sebelah putranya setelah meletakkan piring berisi pastel.
Pagi itu Fathan berniat mengajak ibunya ke Surabaya untuk bertemu dan menginap di kediaman Nabila.
Tak menjawab, Fathan hanya menarik napas dalam-dalam.
"Apa kamu nggak bisa membimbing Nabila supaya manut untuk tinggal di sini?"
Masih membisu, Fathan hanya menggeleng. Sebenarnya tanpa diberi saran ibunya pun dia sudah berusaha membujuk sang istri, tetapi semuanya selalu berujung pertentangan yang tak bisa berakhir.
"Dia itu paham agama, 'kan? Seharusnya dia tahu di mana posisi istri jika sudah berumah tangga."
Maryam menatap putranya, sembari menarik napas dalam-dalam, dia kembali berkata, "Sejak dia pamit untuk kembali ke Surabaya, sebenarnya ibu sudah curiga. Pasti ada yang disembunyikan. Karena awalnya memang sepertinya tidak ada masalah, karena Nabila dengan senang hati mengikutimu."
"Kalian bertengkar?"
"Nggak, Bu."
"Lalu?"
"Cuma salah paham saja."
"Salah paham soal apa?"
Membenarkan letak duduknya Fathan bercerita hal sesungguhnya yang terjadi pada dia dan Nabila.
"Dan kamu tidak bisa membuatnya kembali karena alasan itu?"
Fathan menggeleng. "Fathan sudah berusaha, tapi Nabila bersikeras. Kalau Fathan terus membujuk, yang terjadi justru semua waktu Fathan akan tersita hanya karena masalah itu, Bu. Dan ... sepertinya dia akan tetap di sana, bahkan sekarang Nabila sedang mencari tempat untuk Fathan beraktifitas seperti di sini."
"Maksud kamu?"
"Fathan akan bekerja dan mengajar di Surabaya, dan itu artinya Fathan akan mundur dari pesantren."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top