Fatwa Hati 17


Fathan duduk di tepi ranjang membiarkan Nabila memasukkan baju-bajunya ke koper. Meski sejak tadi dirinya mencoba mencegah sang istri, tetapi Nabila seakan hilang kendali. Emosinya meluap meski walau berulang kali Fathan menenangkan.

"Nabila, aku mohon kamu tenang dulu. Semua bisa dibicarakan baik-baik."

Membalikkan badan, Nabila menatap sang suami.

"Kamu nggak tahu rasanya jadi aku, Mas! Kamu nggak tahu seperti apa sakitnya aku! Aku capek, aku lelah harus terus berpura-pura agar semua baik-baik saja. Kamu pikir aku nggak punya perasaan, gitu?"

"Kalau kamu mau aku sabar, sudah! Aku sudah sabar! Tapi apa? Semuanya masih terus berbicara soal Zahwa! Lalu aku dianggap apa oleh mereka?"

Fathan bangkit mendekat. Tangannya meraih gagang koper istrinya lalu menjauhkan dari mereka.

"Aku memintamu untuk tinggal. Kalau kamu keberatan berada di lingkungan pesantren, kamu boleh mengajukan pengunduran diri dan kamu bisa membuka praktik sendiri di rumah dengan caramu," tuturnya lembut.

"Aku tahu, aku bisa merasakan jadi kamu. Aku tahu itu sulit dan sangat melelahkan, tapi bukan berarti tidak bisa dilewati, 'kan?" Jarinya mengusap air mata di pipi Nabila. Istrinya itu mundur membuat jarak. "Dengar, kita pernah melewati masa sulit bersama, dan kita bisa melewatinya dengan berpasrah dan menerima apa yang jadi kehendak Allah, sekarang semua sudah terwujud, lalu apakah baik jika kamu melepaskannya?"

"Sudah empat bulan tepat besok, Mas. Kupikir aku bisa menemukan kenyamanan bersamamu, tapi rupanya dunia kita sudah berbeda. Kamu terlalu tinggi untuk bisa aku menyamakan semuanya. Aku nggak sanggup," ungkapnya dengan bibir bergetar.

"Maksud kamu?"

"Aku mau kembali ke Surabaya." Dia menatap sang suami. "Kita bisa atur waktu untuk sesekali saling mengunjungi. Karena hanya dengan itu mentalku bisa baik-baik saja."

"Kamu yakin?"

"Kamu meragukanku?"

"Bukan begitu, Nabila, tapi hal ini pasti akan berdampak tidak baik. Bagaimana pandangan orang tuaku dan ...."

"Kenapa aku harus peduli dengan pandangan orang tuamu atau siapa pun itu? Jika aku memikirkan pendapat mereka, bagaimana dengan aku? Aku nggak mau sakit, Mas! Aku nggak mau gila!"

Fathan mengajak Nabila untuk duduk di sofa yang terletak tak jauh dari mereka berdiri.

"Oke, kalau itu maumu, tapi kuharap kamulah yang maju ke Ustaz Soleh untuk membicarakan pengunduran dirimu."

Nabila mengangguk yakin. Baginya gak mengapa berpisah dengan sang suami asal isi hati dan pikirannya tak diganggu dengan ucapan orang-orang sekitarnya yang tak pernah selesai membicarakan segala hal tentang Zahwa.

**

Fathan menarik napas dalam-dalam, dia tahu seperti apa kekecewaan ibunya mendengar penuturan Nabila. Dia juga tahu jika ibunya benar-benar menginginkan seorang cucu. Akan tetapi, keinginan memang tidak selalu bisa diwujudkan. Keinginan sang ibu rupanya harus kembali disimpan hingga saatnya tiba yang tentu saja hanya Allah yang paling tahu.

"Apa kalian bisa mengatur waktu untuk saling bertemu? Kalian itu sama-sama sibuk." Ahmad menatap bergantian Fathan dan Nabila.

"Soal mengatur waktu, kami akan usahakan, Yah. Lagipula Fathan juga punya rekanan bisnis di sana, jadi insyaallah semuanya bisa diatasi." Fathan berusaha membuat seolah-olah semua ini bukan keinginan Nabila.

"Ada hal apa yang kalian sembunyikan?" Maryam merasa tidak puas dengan alasan menantunya. Nabila beralasan jika dirinya merasa memiliki tanggung jawab besar yang dia tinggal begitu saja di Surabaya yang sampai saat ini menyebabkan dirinya tak tenang.

"Nggak ada hal yang kami sembunyikan, Bu. Nabila hanya merasa tidak enak karena meninggal beberapa kewajiban yang belum selesai," papar Nabila sembari merapikan pasminanya.

Sejenak ruang tamu kediaman orang tua fathanitu hening.

"Ibu mungkin tidak tahu hal yang sedang kamu utarakan, tapi bukannya saat kalian memutuskan untuk pindah dan tinggal di kota ini, kalian sudah benar-benar menyelesaikan urusan di sana?" Maryam memindai paras putranya. Sebagai seorang ibu dia tahu jika ada sesuatu yang disembunyikan oleh Fathan.

"Sudahlah, Bu. Ini pun sudah jadi keputusan mereka. Sekarang kita doakan saja semoga mereka bisa menyelesaikan kewajiban masing-masing dengan baik. Di sini atau di sana bukan halangan untuk berumah tangga dengan baik, 'kan?" sela Ahmad. Ayah dari Fathan itu seakan ingin menenangkan hati istrinya. Meski jauh di lubuk hatinya pun memikirkan hal yang sama.

"Kapan kalian berangkat?"

"Sore nanti, Yah."

Mata Ahmad menajam. "Sore? Hari ini?"

Fathan menarik napas dalam-dalam, dia menoleh ke Nabila.

"Iya, Yah. Karena Mas Fathan bisanya hari ini." Tatapan suaminya dibalas lirikan oleh Nabila.

Ahmad mengalihkan tatapan ke putranya

"Lusa sore, Fathan sudah harus kembali, ada jadwal yang sudah jauh direncanakan dan tidak mungkin Fathan tinggal begitu saja," terangnya. "Dan siangnya, Fathan harus bertemu dengan Ustaz Zuhal, mudir pesantren Al Haramain. Beliau tiba besok pagi di pesantren dan kami akan membicarakan masalah pembangunan kampus yang juga memang sudah jauh-jauh kami bicarakan."

Achmad hanya mengangguk pelan. Dia semakin yakin ada sesuatu yang dicoba disembunyikan Fathan, tetapi sebagai orang tua, dia tak berhak ikut campur. Kecuali jika mereka memang mengatakan dengan jujur apa yang tengah menimpa mereka.

**

"Kamu baik-baik, ya, pekan depan aku ke sini. Teruslah memberi kabar, aku pun akan terus menanyakan kabarmu." Fathan mengusap puncak kepala istrinya.

Malam itu setelah makan malam mereka duduk di sofa.

Nabila akhirnya kembali menempati rumahnya saat bersama sang ibu dulu.

"Iya, Mas. Maaf, kalau aku dianggap membangkang atau tidak bisa melihat apa yang seharusnya aku lakukan."

Fathan menggeleng cepat. "Nggak, apa yang kamu lakukan bukan pembangkangan, tapi memang mungkin saat ini, inilah keputusan yang benar."

"Lagipula, kondisi seperti ini tidak akan selamanya begini 'kan?"

Mengangguk, Nabila memiringkan tubuhnya menghadap Fathan. "Maksud kamu, Mas?"

"Iya, kamu nggak akan selamanya di sini, 'kan? Kamu hanya butuh waktu untuk bisa menyesuaikan dan menelaah apa yang seharusnya kamu lakukan, bukan?"

Wajahnya berubah kesal mendengar penuturan pria berkaus hitam itu.

"Kalau aku bilang aku akan tetap di sini selamanya, apa kamu keberatan, Mas?"

Fathan tertegun, menatap tak percaya dengan apa yang dia dengar.

"Selamanya maksud kamu?"

"Iya, selamanya aku akan di sini. Tinggal di sini, di rumahku, di tempat di mana aku tidak harus berusaha mendengar apa yang tidak kusukai!"

Ruangan bercat abu-abu itu hening. Air conditioner yang menyala seakan masuk ke sumsum tulang Fathan, beku tak bergerak. Pria yang memiliki cambang halus di rahangnya itu perlahan menarik napas dalam-dalam.

"Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, itu tertulis jelas di surah At-Taghabun ayat empat belas. Dalam Al-Qur'an, anak, istri dan harta dijelaskan sebagai fitnah atau ujian, yang artinya bahwa keduanya bisa menjadi ujian bagi seseorang untuk menuruti hawa nafsu atau petunjuk Allah." Terngiang suara Ustaz Amar beberapa waktu lalu saat mereka saling berdiskusi.

"Kamu keberatan, Mas? Nggak apa-apa, aku nggak memaksa kamu untuk mengikutiku tinggal di sini." Nabila menyandarkan tubuhnya di sofa. "Karena aku tahu kamu pasti keberatan jika meninggalkan pesantren. Iya, 'kan?"

Memijit pelipisnya, Fathan menatap wajah sang istri.

"Tapi kamu istriku, Nabila. Kamu nggak bisa memutuskan untuk selamanya di sini."

"Kamu mau menukar kewarasanku dengan mengharuskan aku kembali ke sana karena aku istrimu?"

"Nabila! Berhenti berpikir bahwa semua orang mengabaikanmu dengan cerita tentang Zahwa. Sebenarnya Kamu bisa jadi dirimu sendiri, tanpa harus pergi."

"Nggak, Mas! Aku sudah memutuskan hal ini dan tidak akan kuubah!" Nabila menggeleng cepat. Kedua maniknya membalas tatapan sang suami.

**



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top