Fatwa Hati 16
Menjadi istri seorang Ustaz ternyata tidak sesimpel yang dibayangkan Nabila. Setelah mengurus kepindahan dari Surabaya, dia kini mengabdikan diri di klinik milik pesantren menempati posisi Zahwa.
Ada banyak hal baru yang harus dipelajari olehnya. Dari mulai berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan pesantren hingga menerima beragam bingkisan dari pasien yang rata-rata memiliki kemampuan ekonomi rendah. Meski sudah diberi gambaran oleh Fathan, tetapi tetap saja semua itu membuat dia tercengang. Dari mulai palawija, berbagai umbi-umbian hingga sebungkus nasi jagung kerap dia terima sebagai 'bayaran' periksa mereka.
Keluarga besar pesantren menerima Nabila dengan hangat, hanya saja masih sering dia mendengar cerita tentang betapa baiknya Zahwa membuat kecemasan dalam dirinya muncul. Hal itulah yang kerap membuat dia dan Fathan berselisih paham.
"Kamu kenapa lagi? Kemarin itu sudah cerah wajahnya, kenapa sekarang jutek lagi?"
Nabila melipat kedua tangannya setelah menghenyakkan tubuhnya di sofa.
"Bisa nggak, sih setiap pasien dan setiap orang yang kutemui berhenti membicarakan Zahwa?" keluhnya. "Dari mulai tukang rumput, pasien, asatiz, sampai penjual buah! Semuanya menceritakan dia!"
Fathan menarik napas dalam-dalam. Lima bulan mereka berumah tangga, tetapi selalu saja diributkan dengan keluhan yang sama dari Nabila. Bahkan sejak pertama Nabila diajak Fathan untuk menempati rumah ini.
"Aku nggak mau hidup di bawah bayang-bayang Zahwa. Aku mau segala hal tentang dia dihilangkan!" protesnya kala itu.
Fathan yang mulanya enggan akhirnya mengalah demi ketenangan istrinya.
"Sekarang aku istrimu. Aku berhak menentukan seperti apa tampilan rumah kita!" Demikian ucap Nabila saat itu.
"Mas!"
"Hmm?" Fathan yang baru saja selesai membuat lemon hangat melangkah menghampiri.
"Kamu bisa, 'kan? Bilang ke siapa pun itu supaya tidak sedikit-sedikit membicarakan Zahwa? Dia itu sudah nggak ada di sini! Dia itu sudah bagian dari masa lalu, kenapa masih terus menerus berputar-putar diingatan orang banyak, sih?"
"Nabila, jangan bertingkah kekanakan begitu. Mana bisa aku mencegah mereka untuk mengenang Zahwa? Masing-masing punya memori dan hak untuk bertutur."
Nabila duduk kembali di sofa dengan kasar.
"Kamu menikah denganku karena wasiat Ibu, 'kan? Bukan karena perasaan yang pernah kita sama-sama punya, 'kan?"
Menggeleng pelan, Fathan menyentuh bahu istrinya. "Kamu ini kenapa, sih? Setelah semua yang kita lewati, kamu masih berpikir seperti itu? Apa aku harus terus mengulang jika rasa itu sudah kembali tumbuh setelah aku bisa menerima kepergian Zahwa?"
"Oh, ya? Kamu nggak bohong, 'kan?"
Fathan memejamkan mata sebentar, lalu menarik napas dalam-dalam.
"Rasaku untuk Zahwa berbeda dengan rasaku untukmu. Mana mungkin aku bisa menghilangkan rasa itu? Dia punya tempat sendiri di sini, dan kamu juga menempati posisi di tempat yang lain di hatiku. Berhenti mempermasalahkan ini lagi. Ayolah."
Ruangan sepi sejenak.
"Ada banyak hal yang harus kita kerjakan. Kamu dengan rencana kerja klinik, dan aku dengan bisnis dan pekerjaan di pesantren. Kita nggak akan maju jika masih kamu masih mempermasalahkan yang itu-itu, aja."
Nabila bangkit dari duduk menuju kamar. Sementara Fathan lagi-lagi menghela napasnya. Dia lalu duduk dan meletakkan gelas berisi lemon hangat di meja.
Tak lama kemudian, sang istri keluar dengan wajah masih masam.
"Aku nggak mau ada foto dia di rumah ini. Aku nggak mau ada satu pun kenangan yang masih tersisa di sini!" Nabila menyorongkan box berisi semua barang-barang Zahwa.
"Dan sajadah ... sajadah yang kamu pakai itu, sebaiknya diganti!" Nabila memindai sajadah yang dipegang Fathan.
"Kenapa diganti? Ini masih bagus dan selalu wangi."
Tersenyum singkat, Nabila menggeleng dan menarik sajadah dari tangan sang suami.
"Ini punya dia, 'kan?"
Fathan menarik napas dalam-dalam.
"Kamu nggak perlu bohong atau mengarang cerita. Aku dengar obrolan kamu dengan Ustaz Soleh."
"Iya, tapi kenapa dibuang? Itu sajadah untuk ...."
"Ada banyak sajadah di rumah ini, kenapa hanya sajadah ini saja yang kamu pakai?"
"Nabila, ayolah, kamu jangan mulai lagi. Dewasalah," tutur Fathan.
"Dewasa kamu bilang? Bukannya kamu, ya, yang belum dewasa? Sehingga kematian Zahwa yang sudah sekian lama pun kamu masih belum bisa lupa. Ada aku sekarang, kenapa harus menghadirkan dia yang sudah tidak ada?"
Dia lalu merogoh sakunya mengeluarkan testpack.
"Dan ini! Ini punya dia?" tanyanya sembari menyodorkan benda itu pada Fathan. "Siapa yang tidak dewasa? Kamu, Mas! Kamu! Kamu yang tidak dewasa! Kamu tidak bisa menerima kenyataan bahwa Zahwa sudah nggak ada!"
Benda itu diletakkan kasar di tangan Fathan.
"Kamu cemburu?" tanyanya berusaha untuk tersenyum. "Kamu cemburu pada seseorang yang kamu bilang tidak ada?"
Nabila bungkam. Dia memang cemburu. Dia kesal karena semua di sekelilingnya seperti tak bisa membicarakan segala hal tentang Zahwa.
"Apa aku salah?" Matanya berkaca-kaca. "Apa aku salah jika ingin menjadi diriku?"
Fathan menghela napas, dengan lembut dia meraih tangan sang istri dan mengajaknya duduk.
"Aku paham apa yang kamu rasakan, tapi aku, kita tidak bisa melarang orang lain untuk bercerita soal Zahwa. "Kamu hanya perlu mengikuti dan mendengarkan saja, yang terpenting, aku tidak pernah menceritakan hal apa pun tentang dia padamu, 'kan?"
"Tapi sebagian hatimu ada padanya!" Nabila menepis tangan Fathan. Dia benar-benar sudah pada pucuk kesabaran.
"Aku lelah! Aku capek karena harus berpura-pura menyukai obrolan mereka."
Fathan mengangguk paham. "Oke, kamu mau berhenti dari klinik? Karena cuma itu satu-satunya akses supaya kamu nggak mendengar apa pun tentang Zahwa."
Nabila terdiam. Dia sadar, bukan hanya di klinik dia mendengar cerita tentang Zahwa, tetapi hampir setiap dia bertemu dengan orang, dan tahu jika dirinya adalah istri Fathan selalu mereka teringat akan Zahwa.
"Kenapa diam? Kamu mau berhenti? Kalau memang itu yang bikin kamu tenang, aku akan bilang ke Ustaz Soleh soal ini."
"Nggak perlu!"
"Lalu?"
"Aku mau balik ke Surabaya!"
Mendengar jawaban istrinya, Fathan tertegun. Matanya menatap lekat Nabila.
"Kamu mau balik ke Surabaya?"
"Iya! Aku nggak tahan di sini, aku nggak bisa dibanding-bandingkan orang yang sudah tidak ada!"
"Nabila, cukup!" Suara Fathan meninggi. Dia terlihat menarik napas dalam-dalam. Lalu dengan suara rendah dia bertanya, "Siapa yang membanding-bandingkan? Katakan! Biar aku nanti yang akan menegur. Katakan, siapa yang membanding-bandingkan?"
Nabila menepis tangan Fathan saat pria itu hendak menyentuh pipinya.
"Mereka! Mereka semua, semuanya!"
"Semua? Siapa?"
Nabila menggeleng cepat, parasnya terlihat frustrasi. "Semua orang di kota ini, semua orang yang kutemui! Mereka selalu bercerita, Zahwa begini, Zahwa begitu! Aku muak!"
**
Maafkan kalau lama update-nya.
Aku lagi pindahan, Gaes. Happy reading, yaa, semoga terhibur.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top