Fatwa Hati 15
Fathan duduk di sebelah Yasir, sementara ibu dan ayahnya duduk bersama para tetangga Nabila. Nabila sendiri masih shock, di kamar ditenangkan oleh beberapa rekannya.
"Bahkan di akhir hidupnya Bu Tia berpesan dan berharap kamu mau jadi pendamping putrinya." Yasir berujar tanpa menoleh.
Fathan bergeming. Sejak mula Yasir memang terlihat sangat memperhatikan Nabila. Itu karena pebisnis satu ini adalah sahabat Nabila sejak SMA.
"Yasir."
"Ya?"
"Kenapa nggak kamu aja?"
"Aku? Maksudnya?"
Tersenyum tipis, Fathan menoleh dan menepuk pundak rekannya.
"Kenapa bukan kamu yang menjaga dan menjadikan dia pendamping?"
Mendengar pertanyaan Fathan, Yasir menggeleng sambil tersenyum.
"Kamu bercanda, Ustaz. Aku tidak masuk dalam list Bu Tia, lagipula, Nabila bukan tipeku," jawabnya dengan senyum lebar.
"Oh, ya? Bukan tipemu? Sombong sekali," canda Fathan.
"Aku serius, Fath. Ini amanah dari Bu Tia yang harus aku sampaikan."
"Kalau Nabila menolak?" Fathan memindai paras Yasir.
"Dia sangat sayang dan patuh pada ibunya, aku yakin dia tidak akan menolak." Yasir membalas tatapan Fathan. "Dia sedang rapuh, Fath. Sama denganmu. Hanya bedanya dia kehilangan sosok ibu sementara kamu kehilangan istrimu."
**
Dua hari Fathan dan keluarganya menginap di hotel di Surabaya. Sengaja itu dilakukan untuk menunggu waktu sampai Nabila bisa diajak bicara. Karena biar bagaimanapun amanah akan tetap disampaikan dan jika bisa diusahakan untuk dilaksanakan.
Akan tetapi, Nabila masih sama seperti hari-hari kemarin. Perempuan berkulit sawo matang itu masih berselimut kesedihan. Dia menolak makan apa pun dan menolak bertemu siapa pun. Tak ada rekannya yang bisa membujuk agar dia mau makan.
Hal itu tentu membuat khawatir siapa pun yang dekat dan pernah dekat dengannya. Pagi itu, Fathan dan kedua orang tuanya bertandang ke kediaman Nabila. Di sana ada beberapa rekan dan tetangga. Mereka menyambut sembari meminta tolong agar bisa membujuk Nabila supaya mau makan.
"Fathan, Ibu khawatir kalau Nabila kenapa-kenapa. Ibu akan coba bujuk dia, ya."
Pria bertubuh tegap itu mengangguk. Sementara rekan Nabila menghela napas lega sembari berharap kali ini rekannya mau menerima ibu dari pria yang sekian lama dinanti oleh Nabila.
Maryam perlahan membuka pintu kamar yang memang tidak dikunci itu. Kamar tersebut tampak berantakan, hal itu wajar karena si empunya benar-benar menghabiskan waktunya di tempat tidur dengan menangis.
"Nabila ...," sapanya pelan saat sudah berada di samping ranjang. Maryam menarik napas dalam-dalam melihat perempuan yang tengah membisu dengan tatapan mata kosong. "Kamu masih ingat Ibu, 'kan?" tanyanya sembari duduk di bibir ranjang.
Dipegangnya tangan Nabila. Mata Maryam menatapnya dengan pandangan sedih. "Ini Ibu Maryam, kamu masih ingat?"
Nabila menggerakkan bola matanya tepat pada wajah Maryam. Tampak ada sedikit binar dari tatapannya.
"Ibu turut berdukacita atas apa berpulangnya ibumu."
Dia mengangguk pelan. "Makasih, Bu."
Maryam mengangguk. "Kamu makan, ya. Ibu dengar kamu belum makan apa pun sejak ibumu pergi."
"Saya nggak lapar, Bu. Makasih."
"Ibu tahu, yang paham kondisimu adalah dirimu, tapi sampai tidak makan dua hari itu bukan hal yang baik."
"Ibumu tentu akan sangat khawatir kalau tahu kamu seperti ini. Beliau pasti sangat sedih jika tahu."
"Bu, kenapa Allah ambil ibu disaat saya sangat membutuhkan?"
Maryam tersenyum. "Sejak kapan seorang anak tidak membutuhkan ibunya?"
Menarik napas dalam-dalam, Maryam mengusap kepala Nabila. "Setiap anak sampai kapan pun akan selalu membutuhkan ibunya, tapi Allah maha mengatur, Nabila. Allah tahu kenapa seseorang dipercepat untuk pulang dan kenapa seseorang yang lain masih lama pulangnya."
"Kehidupan ini punya Allah, kita hidup ini karena kasih sayang Allah, dan saat kita dijemput pulang pun itu karena kasih sayang Allah. Jadi jangan pernah terlintas di benak bahwa Allah tega. Tidak, Nabila. Allah itu sangat penyayang."
Nabila bergeming.
"Sekarang kamu minum ini dulu." Maryam menyodorkan segelas air padanya. "Setelah itu kamu makan, ya?"
Samar Nabila mengangguk. Dengan perasaan lega, Maryam menyuapi perempuan yang baru saja ditinggal ibunya. Meski tak banyak, tetapi setidaknya bisa menjadikan energi bagi Nabila
"Akan ada kejutan yang kita tidak tahu. Kejutan yang disiapkan Allah untukmu. Jadi teruslah berbaik sangka," imbuhnya sembari meletakkan piring yang isinya tersisa sedikit.
Meski samar, tampak bibirnya tertarik sembari mengangguk. "Makasih, Bu."
Maryam tersenyum. "Teman yang baik dan peduli adalah rezeki. Di luar banyak teman-teman kamu yang support, banyak yang sayang ke kamu. Kamu tahu? Mencari teman yang sayang serasa saudara itu sulit. Tapi kau diberi itu oleh Allah, jadi jangan sia-siakan rezeki itu."
"Bersemangatlah menatap hari. Ada banyak orang yang tidak seberuntung kamu. Nggak ada alasan untuk terus meratapi semua yang sudah menjadi catatan takdir dari Allah. Kamu mengerti maksud Ibu, 'kan?" Maryam tersenyum lebar menatap Nabila yang tak lagi sepucat tadi.
"Ibu tahu, kehilangan seorang yang kita cintai adalah hal paling perih yang bisa dirasakan. Sama seperti Ibu, kehilangan Zahwa adalah hal berat yang masih membekas di sini." Maryam menepuk pelan dadanya. "Tapi kita nggak tahu apa yang Allah sediakan di balik semua yang terjadi. Di balik takdir yang sudah tertulis."
Mendengar nama Zahwa, dahi Nabila berkerut. Dia mengingat nama itu, nama yang pernah dikatakan rekannya. Zahwa, perempuan bercadar yang merupakan adik kelasnya dan dikabarkan telah menikah dengan seorang ustaz muda.
"Zahwa?" Dia mengulangi sembari menatap Maryam.
"Iya, kamu nggak tahu? Zahwa istri Fathan. Apa dia nggak pernah cerita?"
"Nggak, Bu. Yang saya tahu dia sudah menikah, itu aja, saya nggak tahu kalau ternyata ...."
"Kamu kenal Zahwa? Dia dokter putri dari Ustaz Soleh pemilik Pesantren An-Nahl," terangnya.
"Kenal, Bu. Dia adik kelas saya, sepak terjangnya di dunia sosial sudah terkenal."
"Jadi ... Zahwa itu istri Fathan?"
Maryam mengangguk pelan. Matanya kini terlihat berkabut.
"Kehilangan memang benar-benar menyakitkan, tapi jika kita terus pada posisi itu ... tentu kita tidak bisa melangkah maju."
Nabila terdiam. Pantas jika Fathan merasa hidupnya sempurna, itu karena sudah menemukan pendamping seperti impiannya. Dan pantas jika Zahwa keluarga besar pesantren menerima Fathan sebagai menantu, karena memang pria itu memang cocok dan ideal untuk menjadi bagian dari pesantren yang terkenal tersebut.
"Nabila."
"Iya, Bu?"
"Kamu nggak sendirian, ada ibu ... dan ada Fathan." Maryam melebarkan senyumnya saat kedua manik Nabila menatapnya.
"Wasiat dan keinginan ibumu ... adalah amanah yang harus dijalankan."
Nabila tampak terkejut mendengar penuturan Maryam.
**
Akad nikah singkat dan sederhana telah dilaksanakan. Nabila resmi menjadi istri Fathan. Disaksikan beberapa tetangga dan kerabat kedua insan itu sudah menjadi pasangan halal seperti yang pernah mereka berdua impikan. Akan tetapi, paras kebahagiaan itu tentu tidak sepenuhnya melingkupi hari keduanya. Karena baik Fathan maupun Nabila sama-sama baru saja kehilangan.
Mengenakan gamis putih berhias renda merah muda, dan pasmina putih, Nabila terlihat anggun. Sementara Fathan memakai baju putih dengan celana dan peci hitam.
"Aku ikut bahagia akhirnya kalian berdua sampai ke titik ini, selamat!" Yasir menepuk bahu Fathan dan menjabat tangannya.
"Syukron." Fathan tersenyum tipis.
"Jadi kapan balik ke kotamu?"
"Segera, karena pesantren dan pada santri menunggu."
Rekan Fathan itu mengangkat. Dia kemudian membahas sedikit soal bisnis mereka. Sementara tetamu perempuan tampak sedang bercakap-cakap dengan Nabila.
"Aku happy banget akhirnya kamu mendapatkan apa yang kamu impikan, Nab!" Nisa menggenggam tangannya dengan mata berbinar.
"Makasih, Nis, tapi bukan seperti ini yang aku mau." Nabila menarik kedua sudut bibirnya singkat.
"Terus? Kamu maunya dirayakan mewah? Gampang, sih, kamu tinggal bilang ke Mas Ustaz soal itu," tukasnya dengan tawa.
"Bukan, tapi ... aku menjadi pengganti istrinya. Aku nggak mau ada di bawah bayang-bayang Zahwa," ungkap Nabila lirih.
💞💞
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top