Fatwa Hati 13
Tiga bulan lebih berlalu, tetapi tidak ada
tanda-tanda Zahwa diketemukan. Meskipun pihak keluarga meminta tambahan waktu pencarian kala itu, tetap saja tidak ada kabar baik tentang Zahwa.
Pihak keluarga dalam hal ini Ustaz Soleh dan istri sudah pasrah dan mengikhlaskan apa pun yang terjadi, sementara Fathan masih terus berupaya untuk mencari meski tak membuahkan hasil.
Fathan baru saja menyelesaikan salat malam dan tilawahnya. Semenjak Zahwa tidak ada kabar, dia selalu memakai sajadah milik sang istri yang dia temukan di lokasi banjir bandang kala itu. Matanya selalu basah jika sudah larut dalam sujud meminta agar Zahwa kembali meski mustahil dalam pikiran manusia.
Fathan beranjak dari duduk. Di luar masih gelap, waktu subuh masih sekitar tiga puluh menit lagi. Biasanya jika begini, dia akan menghabiskan waktu dengan Zahwa di ranjang.
Istrinya itu sangat bisa membuat hatinya bahagia. Zahwa paling bisa memberi semangat kala dia merasa bisnis yang digeluti mulai muncul saingan. Meski menurut Zahwa dia tidak bisa memasak, tetapi bagi Fathan masakan sang istri sangat spesial, terlebih perkedel kentang yang telah menjadi kegemarannya.
Rumah yang biasanya terdengar celoteh Zahwa kini sepi. Dapur yang setiap pagi tercium aroma lemon dan roti bakar ini tak lagi ada.
Kesepian sudah menjadi kawan Fathan meski ibunya beberapa kali bertandang ke kediamannya, tetap saja tidak mengubah rasa kehilangan yang sangat mendalam.
Fatah menuang air putih ke gelas kemudian membawanya ke ruang tengah. Di meja masih tersisa kue kering yang dibawa Yasir kemarin malam. Menurut rekannya, kue itu buatan Nabila. Yasir berujar jika Nabila turut berdukacita atas apa yang menimpanya.
"Nabila sebenarnya ingin bertemu kamu, tapi dia sedang sibuk dan ibunya juga sedang sakit," tutur Yasir semalam.
Fathan menarik napas dalam-dalam. Nama Nabila memang sering diucapkan Yasir. Meski tidak secara gamblang, tetapi jelas ada misi tertentu yang sedang Yasir emban. Tentu saja Fathan paham soal itu.
Dia memang memiliki banyak kenangan bersama perempuan itu. Nabila adalah cinta pertamanya meski bisa dibilang cinta monyet. Akan tetapi, sikap dan keputusan yang pernah dia buat dan disepakati oleh Nabila sanggup membuat Fathan bahagia kala itu.
Setelah meneguk air putih dan menikmati satu kue kering, dia bangkit menuju kamar kemudian duduk di depan cermin. Biasanya Zahwa yang berada di sini. Terbayang rambutnya yang hitam serta manik bening dan senyum manis yang biasa dia nikmati. Senyum yang biasa menyambutnya, suara lembut yang biasa menyapa dan aroma segar yang selalu menguar membuatnya semakin rindu.
Fathan menarik laci tempat meja rias itu. Laci yang belum pernah dia sentuh semenjak Zahwa tak ada.
Matanya menyipit menatap benda yang diberi pita kecil berwarna biru. Keningnya berkerut saat tahu ada dua garis merah berdampingan meski salah satu tampak samar. Seketika tubuhnya bergetar, teringat beberapa waktu lalu Zahwa sempat mengeluh datang bulannya terlambat, tetapi tak ada informasi apa pun setelahnya.
"Zahwa ... apa benar kamu hamil?" gumamnya sembari memijit pelipis.
Ingatannya kembali berkelana, napasnya memburu saat ingat jika Zahwa pernah bicara ada surprise untuknya, tetapi sang istri masih merahasiakan kejutan apa yang sedang dia siapkan. Istrinya itu hanya berkata, "Tunggu aku kembali, Mas. Kamu akan tahu."
Mata Fathan tampak berair. "Inikah kejutan itu, Sayang? Inikah yang akan kamu katakan padaku?" Dia bermonolog sembari mengepalkan tangan. Bahunya bergetar hebat, wajahnya memerah dan rahang mengeras. Berulang kali dia menyebut nama sang istri sembari beristighfar.
"Allah, ini terlalu berat buatku, aku harus kehilangan istri dan calon bayi kami. Ya Allah, kejutan apa yang engkau sediakan?"
Fathan mengusap air matanya dan terus memegang testpack. Bibirnya terus mengucap istighfar sembari mencoba menahan isak yang membuat dadanya terasa sesak.
"Zahwa ...," gumamnya dengan wajah penuh kesedihan.
**
Apa yang ditemukan Fathan diceritakan kepada ibu dan ayahnya. Hal tersebut tentu saja membuat patah hati keduanya. Meski begitu kedua orang tuanya meyakinkan jika akan ada hal yang Fathan tak ketahui di balik apa yang tengah menimpanya.
"Kamu sudah beritahukan hal ini kepada Ustaz Soleh?" tanya sang ayah.
"Belum, Yah."
"Sebaiknya kamu kabari."
"Iya, Yah, sore ini ada jadwal tasmi' di pondok. Insyaallah nanti Fathan kabari."
Maryam menyeka air mata. Sebagai seorang ibu, dia tahu seperti apa hancur hati sang anak. Sama sepertinya, kebahagiaan memiliki menantu yang salihah hanya bisa dirasakan sebentar, dan menyisakan pilu.
Beberapa waktu lalu, Ustazah Aliyah pernah meneleponnya untuk membicarakan perihal Fathan. Menurut istri Ustaz Soleh itu, anaknya sudah seharusnya mencari pengganti Zahwa.
Bukan apa-apa, karena beberapa asatiz di pondok melaporkan jika Fathan belakangan sering diam dan termenung, bahkan pernah beberapa kali dalam rapat pun dia tidak bisa fokus. Hal tersebut membuat Ustazah Aliyah dan suaminya prihatin.
"Kami akan sangat mendukung jika Fathan menemukan pendamping baru, Bu. Kami dalam hal ini saya, sangat tahu seperti apa rasanya kehilangan, tapi saya tidak tega setiap kali melihat Fathan termenung seperti yang beberapa kali saya saksikan sendiri."
"Fathan."
"Iya, Bu?"
"Ibu hanya menyampaikan apa yang dikatakan Ustazah Aliyah pada Ibu." Maryam menatap putranya sejenak lalu beralih ke suaminya.
"Ada apa, Bu?" tanyanya.
"Beliau mempersilakan jika kamu hendak kembali berumah tangga."
Fathan menarik napas dalam-dalam kemudian tersenyum. Apa yang dikatakan ibunya sama persis dengan anjuran Ustaz Soleh.
"Fathan belum memikirkan hal itu, Bu. Terlebih setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi sekarang." Dia menggeleng. "Entahlah, jika Allah menghendaki Fathan untuk berumah tangga lagi, berarti memang itu yang terbaik, tapi jika tidak ... itu juga pasti yang terbaik."
Ahmad merapikan duduknya. Dia paham apa yang ada di kepala anaknya, tetapi dia juga sangat tahu apa yang sedang diresahkan oleh istri dan juga kedua orang tua Zahwa.
"Fathan, berusahalah untuk pasrah dan ikhlas. Ayah tahu ini nggak gampang, tapi juga bukan sesuatu yang sulit. Keikhlasanmu benar-benar sedang diuji, Nak."
Sejenak semua di ruangan itu terdiam. Mereka terlihat benar-benar bisa merasakan kegelisahan Fathan.
"Fathan sudah ikhlas, insyaallah, Yah. Soal sering termenung dan menyendiri itu ... lebih karena untuk saat ini hanya itu yang bisa membuat Fathan tenang."
"Lagipula, Fathan nggak melamun, kok, Yah. Sendirinya Fathan lebih ke murajaah," imbuhnya.
Ahmad mengangguk paham. Dia tahu putranya bukan pria rapuh, tapi siapa pun tentu akan terluka jika berada di posisinya.
"Baiklah, Ayah percaya. Mulai sekarang, kamu harus bisa kembali seperti biasa. Kamu harus kembali bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang banyak. Ada banyak hal yang harus kamu selesaikan. Ada tugas penting yang ada di pundakmu. Biar bagaimanapun para santri menginginkan kamu kembali seperti semula. Mereka menggantungkan banyak harapan padamu. Pun demikian dengan pondok dan dalam hal ini Ustaz Soleh. Kamu paham, 'kan?"
Fathan mengangguk. Dia kembali menatap testpack di tangannya, lalu menarik napas dalam-dalam setelah kemudian dimasukkan ke kantung bajunya.
Menarik napas dalam-dalam, Fathan bangkit dari duduk. "Yah, Bu, Fathan ke pondok dulu, ya. Nanti sore Fathan nggak mampir ke sini, karena ada kajian kitab di Masjid Assalam, jadi Fathan langsung pulang. Insyaallah."
Kedua orang tuanya mengangguk dan berpesan agar berhati-hati. Setelah mencium punggung tangan keduanya, pria yang memakai kurta warna cokelat itu mengayun langkah meninggalkan kediaman masa kecilnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top