Fatwa Hati 12

Wajah Fathan memucat setelah membaca daftar korban hilang. Nama sang istri tertulis di sana. Seluruh persendian melemah seakan tak mampu menopang tubuhnya.

"Nggak! Ya, Allah, nggak! Zahwa pasti sedang berada di suatu tempat. Dia pasti ada dan sedang menunggu aku menjemputnya!" Fathan berusaha merangsek masuk ke tempat khusus para relawan dan tenaga medis.

"Fathan, Fathan! Kamu mau ke mana?" Ibrahim mencekal lengannya. "Istighfar. Aku tahu ini berat, aku, kamu, dan Abi masih percaya Zahwa baik-baik saja."

"Bang, Zahwa istri saya, Bang. Kami baru saja menikah, tapi ...." Fathan mengepalkan tangan menahan gejolak kesedihan. "Ini semua karena saya sudah mengizinkan dia pergi ke sini. Seandainya waktu itu saya tidak mengizinkan pasti hal ini tidak terjadi. Pasti Zahwa saat ini masih di sini dan baik-baik saja!" 

"Fathan, istighfar! Kita tidak boleh berandai-andai, karena apa pun yang terjadi sudah takdir dari Allah. Sekarang berhenti berandai-andai. Abi tahu kamu sedih, cemas, khawatir. Kami pun sama. Sebaiknya kita ikuti saja anjuran dari pihak berwenang." Ustaz Soleh menepuk pelan bahu menantunya. 

Langit kembali gelap mengantarkan rinai deras. Suara tangis anak-anak memenuhi tempat pengungsian. Fathan memijit pelipis lalu meminta izin kepada mertuanya untuk salat.

Pria bertubuh tinggi itu melebur dalam sujud meminta kepada sang pencipta agar berkenan memberikan titik terang soal Zahwa. Dia meminta agar sang istri selamat dan segera kembali padanya.

"Ya, Allah, hamba tahu ini semua adalah suratan yang harus hamba jalani, hamba terima jika ini yang terbaik, tapi hamba mohon kembalikan Zahwa pada hamba. Kembalikan bidadari hamba ya, Allah," pintanya dengan mata berkaca-kaca.

Fathan terus larut dalam munajat hingga ponselnya bergetar. 

"Assalamualaikum, Bu."

Lamat terdengar isak di seberang.

"Fathan, gimana? Apa ada kabar dari anak perempuan Ibu? Apa Zahwa baik-baik saja, Nak?" 

Mengatupkan bibirnya kuat-kuat, Fathan menggeleng yang tentu saja tak terlihat oleh ibunya. Bayangan bahagia sang ibu bermenantu Zahwa masih lekat dalam ingatannya. Bahkan sering kali ibunya sengaja memasak gado-gado yang merupakan makanan favorit sang istri. 

"Ibu, nggak perlu repot masak seperti ini," ujar Zahwa saat mereka diundang makan siang di kediaman sang ibu.

"Anggap ini adalah alasan untuk bisa sering melihat anak perempuan Ibu." 

Zahwa tersenyum manis, bahkan sangat manis seraya berkata, "Ibu, Ibu bilang aja kapan pun Ibu mau Zahwa datang ke sini. Zahwa pasti datang. Ibu nggak perlu merasa harus membuatkan makanan kesukaan Zahwa, Bu."

Senyuman Ibu Fathan merekah. Sambil mengusap punggung menantunya,  mengatakan bahwa memiliki menantu seperti Zahwa adalah kebahagiaan setiap mertua. Dan Maryam berujar jika dirinya sangat bahagia karena anaknya adalah pria beruntung bisa bersanding dengan Zahwa.

"Ibu, nggak ada di dunia ini yang sempurna. Zahwa bukan bidadari surga, Zahwa ini perempuan bumi yang tak luput dari marah, baper, kesel, dan yang semisal," tutur Zahwa manja.

"Apa pun itu, Zahwa, Ibu sangat menyayangimu, Nak. Bilang aja kalau Fathan bikin kamu kesel, ya. Biar Ibu yang jewer."

Kilas kenangan kembali muncul. Fathan hanya bisa menarik napas dalam-dalam sambil mengusap matanya.

"Fathan? Kenapa diam? Apa sudah ada kabar dari Zahwa? Zahwa baik-baik saja, 'kan,Nak? Ibu ingin bicara dengannya."

Kembali Fathan menarik napas, dengan perlahan dia mengatakan pada sang ibu bahwa Zahwa belum ditemukan. Sejenak Maryam diam, lalu dengan suara bergetar dia bertanya, "Tapi Zahwa pasti baik-baik saja, 'kan, Nak? Kamu harus temukan Zahwa, Fathan. Zahwa pasti selamat. Temukan anak Ibu, Fathan. Temukan istrimu." Tangis Maryam pecah.

"Fathan, ini Ayah, biar Ayah yang menenangkan Ibu, kamu fokus ke pencarian Zahwa saja." Ahmad mengambil alih ponsel istrinya lalu segera menutup percakapan itu dengan doa dan salam.

Kembali Fathan terpekur hingga terdengar sedikit keributan dari tempat dia menunggu kabar tadi. Hatinya bersorak berharap ada berita soal Zahwa. Gegas dia bangkit dan berlari ke tempat berkumpulnya para keluarga yang juga tengah menunggu kabar keluarga yang lain.

"Abi ...," sapanya mendekati Ustaz Soleh.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar. Pria yang sebagian jenggotnya memutih itu hanya menggeleng dan terus merapal doa. Fathan lalu menoleh ke Ibrahim, sama sepertinya, paras Abang iparnya itu pun sama sekali tidak menampakkan kelegaan.

"Ada beberapa korban lagi ditemukan, tapi ...."

"Zahwa?"

Ibrahim menggeleng pelan sembari menepuk bahu Fathan. "Kita terus berbaik sangka dan berdoa saja."

Fathan mengepalkan tangannya, dia melangkah mendekat ke tempat para relawan berkumpul. Dia melihat beberapa mayat diangkat ke ambulance untuk dibawa ke rumah sakit. 

Wajahnya tampak gundah. Salah seorang relawan yang tahu siapa dirinya terlihat menatap prihatin.

"Maaf, Ustaz, kami masih belum menemukan dokter Zahwa, tapi kami tetap berusaha untuk menelusuri dan berusaha menemukan istri Ustaz," tutur pria bertopi yang baru saja menghampirinya.

Fathan mengangguk tanpa menoleh dia berkata, "Saya suaminya, saya mohon Nada mengizinkan saya untuk ikut mencari istri saya." Dia menoleh meminta persetujuan.

"Tapi medan di lokasi tidak mudah, Ustaz."

"Saya tahu, tapi jika Anda menahan saya dengan alasan seperti itu, apa yang sekarang sedang dirasakan istri saya? Dia sendirian, dia kedinginan, dia ketakutan sementara saya di sini hanya diam menunggu kabar. Bukankah itu sangat tidak adil?"

Pria berkaus putih bertuliskan salah satu yayasan kemanusiaan itu tersenyum tipis.

"Saya paham, Ustaz, tapi tolong percayakan kepada kami untuk masalah ini, karena kami juga mengkhawatirkan Ustaz jika nanti ternyata terjadi sesuatu."

Fathan menarik napas dalam-dalam. "Sampai kapan pencarian ini akan dilakukan?"

"Insyaallah satu pekan, itu prosedurnya, tapi bisa ditambah dua atau tiga hari, Taz."

"Ini hari kedua," gumam Fathan. "Saya bukan tidak percaya pada kemampuan para relawan yang tentu sudah sangat terlatih, tapi tolong, saya ingin ikut melakukan pencarian, izinkan saya mencari istri saya." 

"Maaf, Ustaz, tapi ...."

"Ini bentuk ikhtiar saya sebagai suami. Saya tak akan menuntut apa pun jika nanti ada hal yang tidak diinginkan terjadi pada saya."

Pria berkulit cokelat itu ragu. 

"Saya janji insyaallah saya tidak akan merepotkan kalian."

**

Mengenakan sepatu boots, topi dan kaus tangan, Fathan akhirnya ikut bersama para relawan untuk mencari korban. Tanah berlumpur bercampur dengan sampah rumah tangga, binatang ternak dan berbagai barang lainnya membuat pencarian semakin sulit. Akan tetapi, para relawan dan warga yang ikut mencari, mereka tak menyerah. Bahu membahu mencari berharap menemukan siapa pun yang masih hidup.

Mata Fathan berhenti menelisik saat melihat sajadah yang tersangkut di ranting pohon. Sajadah yang ujungnya masih bersih itu sangat dia kenali. 

"Zahwa!" Mengayun langkah dia mendekat dan menarik sajadah kesayangan istrinya itu. Matanya kita tak lagi bisa menahan air yang sejak tadi menggenang. Dadanya mendadak sesak. 

"Zahwaaaa!" pekiknya sembari mengedarkan pandangan ke seluruh tempat di lokasi dia berdiri. "Sayang, jawab panggilanku. Kamu di mana?"

"Ustaz." Pria yang tadi sempat melarangnya menepuk bahu Fathan.

"Ini, ini sajadah istri saya."

Menarik napas dalam-dalam, pria itu mengangguk dan kembali menepuk bahu Fathan. 

"Mari, kita istirahat dulu, Ustaz."

"Nggak. Kalian istirahatlah dulu. Saya mau mencari istri saya."

"Tapi, Ustaz, kita sudah lama berada di sini, kita juga butuh mengisi energi untuk kembali melakukan pencatatan."

"Saya nggak butuh energi, saya harus menemukan dokter Zahwa."

"Saya tahu, tapi ...."

"Fathan! Ayo istirahat! Sebaiknya kamu ikuti sarannya. Mas Toni lebih tahu apa yang harus dilakukan!" Suara Ibrahim tiba-tiba muncul. 

"Bang, ini, ini sajadah Zahwa." Dia menunjukkan sajadah yang sudah kotor oleh lumpur dan hanya sebagian saja yang bisa dilihat.

"Iya, aku tahu. Ayo, istirahat dulu!"

"Zahwa ...."

"Aku yakin, Zahwa tidak akan suka jika kamu sakit," potong Ibrahim.

Menarik napas dalam-dalam, akhirnya Fathan tak lagi membantah

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top