Fatwa Hati 11
Nabila tertunduk menyembunyikan air mata. Pernyataan Fathan tentang statusnya, benar-benar membuatnya patah. Meski sebenarnya dia telah berusaha untuk sadar bahwa waktu bisa saja mengubah segalanya termasuk sebuah janji yang diucapkan saat masih sama-sama berseragam putih abu-abu.
"Maaf, Nabila. Bukan aku nggak berusaha mencari, tapi aku benar-benar kehilangan jejakmu dan teman-teman. Maaf."
Pelan Nabila mengangguk. "Nggak apa-apa. Terima kasih sudah menjelaskan semuanya, sehingga aku nggak lagi menunggu." Dia mengangkat wajah sembari mengusap pipi.
Sementara Yasir menarik napas dalam-dalam.
"Kalau begini, 'kan semua jadi lebih ringan, kamu tidak lagi punya beban berjanji, dan Nabila pun bisa tahu ke mana dia akan menentukan langkah. Betul, 'kan, Nab?"
Perempuan yang memakai pasmina putih itu mengangguk dan mencoba tersenyum meski tampak dipaksakan. Sekian lama dia membentangkan asa, menggantung harap atas apa yang pernah dia dan Fathan impikan, tetapi kenyataannya harap hanya sebatas angan. Semua kekhawatiran ibunya kini terjawab. Meski hancur, tetapi dia tak ingin terlihat rapuh di depan pria yang begitu dia kagumi.
"Jadi ... ceritakan padaku, siapa istrimu? Apa dia seorang hafizah seperti yang kamu idamkan?" Nabila mengambil minuman di depannya kemudian meneguk sedikit.
Fathan tersenyum kemudian mengangguk. "Iya, dia seorang hafizah," terangnya.
Nabila tampak terkejut, tak menyangka jika keinginan Fathan memiliki istri sesuai dengan kriterianya dahulu. Dulu, Nabila pernah mengutarakan jika dirinya kesulitan untuk menghapal Al-Qur'an. Saat itu Fathan mengatakan jika tidak ada yang sulit jika kita mencoba dan bersungguh-sungguh. Seiring waktu berlalu, Nabila memang selalu merasa kesulitan hingga cukup baginya dengan hapalan yang dia miliki.
Kini mendengar Fathan mendapatkan pendamping seperti impiannya, Nabila merasa memang mereka hanya cukup sebagai teman lama saja. Meski jauh di hatinya masih begitu besar rasa yang dia punya untuk Fathan.
"Kamu pernah dengar Ustaz Soleh pemilik Pesantren An-Nahl?" Yasir menatap Nabila.
Nabila tampak mengingat-ingat. "Ustaz Soleh ... sebentar! Sepertinya aku ... Ustaz Soleh yang suami dari Ustazah Aliyah?"
"Tepat sekali! Nah, beliau itu adalah mertua Fathan."
Mata Nabila membeliak. Dia menelisik Fathan yang sejak tadi menjaga pandangannya.
"Wow! Surprise! But ... selamat, Fathan."
Sejenak mereka bertugas saling diam. Hingga akhirnya Nabila meminta izin untuk pulang.
"Sampaikan salamku untuk istrimu. Selamat tinggal, Fathan. I hope we can be friends."
"Sure! Salam buat ibumu."
Nabila mengangguk sembari mengatupkan bibirnya. Dia merasa ini adalah yang pertama dan terakhir bertemu pria berkulit bersih itu. Dia tahu diri jika dirinya memang bukan perempuan yang pernah begitu diinginkan Fathan. Dia dan pria itu hanya secuil kisah masa lalu yang entah.
Entahlah, jika ditanya apakah dia membenci Fathan, jawabnya tentu tidak. Bagaimana bisa dia membenci karena Fathanlah yang pertama kali mewarnai dirinya dengan pelangi cinta, dan Fathanlah orang yang pertama mengajaknya untuk hijrah meski dia saat ini tidak bisa benar-benar dikatakan berhijrah.
[Jadi apa kabar Fathanmu, Nab?] Pesan dari Nisa membuat bibirnya melebar meski mata berkaca-kaca.
[Dia baik, senyumnya masih sama seperti dulu.]
[Apa ini artinya sebentar lagi bakal ada undangan pernikahan?]
Mengusap air mata, Nabila melempar pandangan ke luar jendela. Lampu jalanan mulai menyala pertanda matahari sudah kembali ke peraduan. Hatinya merapuh setelah begitu yakin jika janji itu akan terwujud.
[He belongs to someone else. Tidak akan ada undangan pernikahan.] Nabila menjawab pesan rekannya.
[What? Dia ingkar janji?]
[Bukan, tapi aku yang begitu bodoh karena terlalu yakin dengan sebuah janji.]
[Kamu di mana sekarang?]
[Perjalanan pulang.]
[Oke, hati-hati. Besok kita ketemu di tempat biasa. Btw aku turut prihatin, Nab.]
Nabila menarik napas dalam-dalam lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas.
"Pak, nanti ada tikungan ambil kiri ya."
"Baik, Mbak."
***
Jerit ketakutan dan tangis pilu berbaur bersama dengan datangnya air bah yang tiba-tiba. Banjir bandang datang lagi tanpa diduga. Air bercampur lumpur itu memporak porandakan tenda-tenda darurat di lokasi pengungsian.
Semuanya habis dibawa air termasuk orang-orang yang ada di tempat itu. Mereka yang cepat bergerak dan menyadari bisa menghindar, tetapi itu hanya sebagian kecil, sementara yang lainnya ikut tersapu oleh air bah yang seakan memuntahkan kemarahannya. Kejadian itu begitu cepat dan terjadi di malam hari di saat hampir semua pengungsi tertidur.
Sementara di tempat lain, Ustaz Soleh dan istrinya gelisah. Kabar banjir bandang itu sudah sampai kepada mereka. Seketika ketenangan menjadi kegelisahan. Ketegangan tampak pada paras tua mereka. Ibrahim- abang dari Zahwa tak berhenti menghubungi adik tersayangnya, meski tak ada jawaban. Sementara kedua abang Zahwa yang lainnya berusaha menenangkan kedua orang tua mereka lewat telepon.
"Apa Fathan sudah tahu, Mi?" tanya Ustaz Soleh pada istrinya yang menatap layar kaca menyimak laporan dari media.
"Ummi coba tadi masih belum bisa dihubungi, Bi, tapi tadi Ibrahim sudah menelepon."
Pria paruh baya itu menarik napas dalam-dalam. Kemarin dia memang meminta Fathan agar pergi mengisi ceramah di satu daerah yang cukup jauh.
"Ibrahim, Fathan gimana? Kamu sudah kabari?"
"Sudah, Bi. Dia dalam perjalanan pulang. Paling lima belas menit lagi sampai."
Rafidah yang duduk di samping Ustazah Aliyah tak bisa menahan tangis. Sejak mendengar kabar buruk itu dia terus menerus menangis. Sementara justru mertua perempuannya yang tampak tegar meski matanya terlihat sorot kesedihan yang mendalam
"Rafidah, tolong kamu hubungi Ustazah Nur, bilang segera kumpulkan santriwati di masjid untuk sama-sama berdoa agar adikmu segera memberi kabar."
"Baik, Ummi."
Fathan mengambil langkah seribu begitu mobilnya tiba di depan kediaman sang mertua. Di dalam dia melihat wajah-wajah sedih dan tegang meski masing-masing dari mereka berusaha untuk tetap tenang.
"Abi ...." Dia mencium punggung tangan mertua laki-laki kemudian berpindah ke mertua perempuannya.
"Bang ...."
Ibrahim menyambut uluran tangan adiknya sembari menepuk pundak Fathan.
"Saya harus ke sana malam ini."
"Tunggu! Ini sudah malam, untuk sampai ke daerah itu membutuhkan waktu tiga jam, itu pun tidak ada yang bisa menjamin seperti apa kondisi di sana," cegah Ibrahim. Pria berjenggot itu menarik napas dalam-dalam, tampak sekali kesedihan di matanya.
"Ibrahim benar, Fathan. Di luar cuaca juga mulai hujan, 'kan?" Ustaz Soleh menatap menantunya. "Kita pantau saja setiap laporan dari lokasi, sambil menunggu kondisi membaik. Besok, insyaallah, kita sama-sama ke lokasi."
"Tapi, Bi, Afwan, saya nggak bisa hanya menunggu sementara Zahwa ...."
"Abi tahu, jika dikatakan khawatir, Abi lebih khawatir, tapi sebaiknya kita ikuti anjuran pemerintah untuk tidak ke lokasi demi menjaga agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan," sela mertuanya.
Fathan menatap layar kaca yang tak henti memberitakan banjir dan longsor yang terjadi di tempat Zahwa bertugas. Berulangkali dia membasahi tenggorokan mendengar berita yang disampaikan. Mendadak hatinya seperti ada yang hilang. Kilas senyum manis Zahwa berkelebat untuk kemudian menghilang. Suara manjanya ketika dia koreksi saat salah murajaah kembali terngiang. Kini mata tajam perlahan terlihat mengembun. Bibirnya berkali-kali melafalkan doa dan istighfar demi menjaga emosi kesedihan yang meluap.
"Zahwa," gumamnya sembari duduk tak jauh dari tempat Ustazah Aliyah duduk. "Zahwa, please, telepon aku, Sayang. Bilang kalau kamu baik-baik saja. Please."
**
🥀🥀
Apa yang terjadi pada Zahwa? Masih suka baca kisah ini nggak, nih?
Boleh minta komentarnya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top