Fatwa Hati 10
Zahwa meletakkan Qur'an kembali ke dalam tas. Qur'an kecil yang selalu dia bawa ke mana pun pergi itu adalah pemberian sang suami saat mereka menikah. Tak ada yang tahu mengapa dia memutuskan untuk pergi membantu korban banjir bandang di desa terpencil ini. Padahal dia masih masa pengantin baru. Sengaja Zahwa menyimpannya bahkan sang suami pun tidak mengetahui.
Dia memilih menepi agar pikirannya tenang dan tidak teringat pada obrolan Fathan dan rekannya Yasir saat bertamu ke kediaman mereka beberapa waktu lalu. Hati perempuan mana yang tidak patah saat tahu jika ada sisi hati sang suami yang masih tertinggal pada perempuan masa lalunya.
"Kamu yakin nggak mau datang?"
Fathan menggeleng. "Nggak."
"Ayolah! Teman-teman pasti happy kalau kamu datang. Lagipula sudah beberapa kali reuni kamu tidak pernah ada, 'kan?"
"Iya, itu karena aku masih kuliah, Sir."
"Iya, maka dari itu, alangkah baiknya reuni kali ini kamu datang. Kamu nggak pengin ketemu Nabila?"
Terdengar tawa kecil dari Fathan. Pria yang mengenakan kurta putih itu mengedikkan bahu.
"Kamu ini kenapa, Sir? Aku sudah bilang kalau dia itu masa laluku. Ayolah, nggak perlu diingat-ingat lagi."
Yasir tertawa, dia kemudian mengatakan jika Nabila sampai saat ini masih sendiri dan menyibukkan diri pada pekerjaannya.
"Aku nggak nyangka, kupikir kamu dan Nabila akan menjadi pasangan. Karena seingatku kamu pernah cerita kalau kalian saking berjanji untuk menunggu sampai kamu siap melamar Nabila, 'kan?" Penuturan Yasir hampir membuat nampan yang dibawa Zahwa terjatuh. Beruntung dirinya masih bisa menguasai emosi.
"Biar bagaimanapun itu adalah janji, Fath. Kamu pergi dia tahu, tapi saat kembali kamu bahkan sama sekali tidak pernah memberi kabar."
Fathan terdiam. Bukannya dia tak mau memberi kabar, tetapi dia tidak tahu nomor telepon dan alamat Nabila. Semua sudah berubah.
"Apa aku perlu menjelaskan apa yang sudah kulakukan untuk bisa bertemu Nabila, Sir?"
Kawan lamanya itu mengedikkan bahu. "Kamu pernah mencarinya?"
Fathan mengembuskan napas perlahan sembari mengangguk.
"Dia pindah, karena ayahnya meninggal," terang Yasir.
Fathan mengangguk pelan.
"Aku memang kehilangan semua kontak teman-teman. Jadi aku nggak bisa melacaknya." Suara Fathan lirih.
"Aku tidak bermaksud membuatmu berpikir tentang Nabila, tapi aku cuma mau menyampaikan kalau dia masih percaya kamu akan datang melamarnya seperti yang pernah kamu ucapkan."
"Aku tahu, Sir. Tapi sekarang kondisinya tidak seperti dulu. Aku sudah punya Zahwa. Dia istriku dan aku akan sangat berdosa jika masih mencoba mencarinya meski hanya untuk meminta maaf."
"Iya, tapi kupikir dia harus tahu dari keteranganmu langsung, bukan dari orang lain. Karena yang aku tahu, Nabila begitu mencintaimu."
"Kamu sok tahu, Sir!" Fathan mencoba mencairkan ketegangan.
"Bukan sok tahu, Fath, tapi aku bisa membaca sorot matanya saat aku menyebut namamu dan dari jawaban yang kuterima."
Sejenak hening. Zahwa masih memegang nampan meski seluruh tubuhnya bergetar dan terasa dingin. Tak ada seorang perempuan pun yang mau digantung dengan janji. Nabila adalah perempuan yang begitu sabar menunggu Fathan meski akhirnya pria itu kini menjadi milik orang lain dan belum diketahui oleh Nabila.
"Aku tahu, kamu memang tidak mungkin untuk bergaul seperti dulu, tapi dengan munculnya kamu saat reuni, kamu bisa mengatakan langsung soal ini. Aku yakin, Nabila bisa berbesar hati kalau dia tahu yang sesungguhnya. Aku rasa kamu tahu lah seperti apa Nabila. Iya, 'kan?"
Fathan mengangguk. Kembali dia teringat cincin yang menyebabkan Zahwa sempat berpikir yang bukan-bukan kala itu. Cincin yang sengaja dia beli untuk diselipkan di jadi manis Nabila begitu dia selesai kuliah.
Akan tetapi, ada skenario lain yang telah dipersiapkan Allah untuknya. Dia tak bisa bertemu perempuan masa lalunya itu, tetapi Allah ganti dengan Zahwa, perempuan yang memiliki senyum dan mata yang indah.
Semua obrolan Yasir dan Fathan akhirnya didengar Zahwa. Berusaha terlihat baik-baik saja saja, dia keluar setelah keduanya berbicara topik lain.
Mengingat ucapan pembicaraan suaminya kala itu memunculkan rasa sesak di dada. Dia memang baru mengenal sang suami. Pada abinya dia menyerahkan semua keputusan terpenting dalam hidupnya.
Dia tidak pernah kenal dekat dengan seorang pria. Zahwa hanya fokus untuk memperbaiki diri dan memantaskan diri untuk menjadi perempuan salihah.
"Kalau kamu ingin pendamping yang saleh seperti yang kamu inginkan, mulai sekarang berusahalah untuk memantaskan diri. Karena bagaimana mungkin seorang yang saleh memilih pendamping sembarangan. Karena seorang istri adalah pencetak generasi berikutnya. Jika ingin memiliki keturunan yang bermutu, maka seorang laki-laki juga harus mencari perempuan yang bermutu." Ucapan Ibrahim- kakaknya- terngiang kembali.
Biar bagaimanapun, Zahwa tetap seorang perempuan yang bisa sedih dan kecewa. Meski dirinya mati-matian mencoba menyangkal perasaan itu, tetapi tetap saja dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Fathan pada masa lalunya.
**
Fathan akhirnya memutuskan untuk datang ke reuni setelah memikirkan saran Yasir. Dia memang harus mengatakan apa yang terjadi sekaligus meminta maaf kepada Nabila.
"Setidaknya kamu bicara dengan Nabila di tengah-tengah orang banyak, bukan hanya berdua." Demikian saran dari rekannya itu.
Setelah mengirim pesan ke Zahwa, dia meluncur mengendarai mobil menuju lokasi reuni. Meski begitu, sepanjang jalan Fathan mencoba menelepon sang istri, tetapi tidak diangkat.
[Sayang, lagi sibuk banget, ya? Aku telepon nggak diangkat?]
Kali ini pesannya hanya centang satu. Hatinya mulai gelisah. Kembali Fathan mengetuk tombol bergambar telepon, kini justru tampilan di ponselnya hanya memanggil.
[Oke, mungkin kamu sibuk sampai tidak sempat mengisi baterai ponsel, tapi nanti aku hubungi lagi. Sekarang aku jalan dulu ya, Sayang. Jaga diri baik-baik.]
Fathan sedikit menaikkan kecepatan sembari berharap sang istri menelepon balik.
Lokasi reuni yang berada di pusat kota tidak membutuhkan waktu lama. Hanya sekira dua puluh menit akhirnya dia tiba di pelataran rumah makan Gemintang. Rumah makan yang dipilih oleh panitia untuk acara reuni mereka.
Lama tidak pernah bertemu teman-teman saat sekolah, membuat Fathan sedikit nervous. Setelah memastikan roda empatnya terkunci, dia mengayun langkah menuju lokasi.
"Selamat datang, Ustaz!" sapa Yasir yang ternyata sudah menunggu di pintu.
Fathan menyambut uluran tangan rekannya, kemudian tak lama beberapa teman lain juga menghampiri. Mereka saling berbasa-basi sembari bercerita singkat tentang kenakalan masa lalu.
Mata Yasir memberi isyarat agar Fathan menatap ke arah yang sama dengannya. Sekilas Fathan mengikuti isyarat Yasir, tetapi kemudian mengacuhkan.
"Kamu pasti Fathan! Hei! Apa kabar?" Suara renyah Nabila muncul di belakang.
Fatah membalikkan badan. Paras ceria Nabila masih sama seperti beberapa tahun silam. Senyumnya, dan cara dia menatap tak jauh berbeda. Bedanya hanya sekarang dia terlihat lebih dewasa.
Baik Fathan maupun Nabila mereka sama-sama mengatupkan kedua tangannya di dada. Meski terlihat canggung, tetapi mereka tampak berusaha melebur rasa itu.
"Kupikir kulitmu lebih putih dari terakhir kita ketemu, Fath!" Nabila menelisik pria yang dagunya ditumbuhi bulu-bulu halus.
"Oh, ya. Biasa aja, mungkin itu karena kulit kamu lebih cokelat!" balasnya tertawa kecil mencoba menghindar dari tatapan Nabila.
Sejenak mereka saling diam. Yasir yang berada di tengah-tengah mereka mencoba mencairkan suasana.
"Ke sini sama siapa, Nab?"
"Sendiri," jawabnya singkat.
"Kirain sama pasangan," canda Yasir.
"Nggaklah, Yas! Kamu, 'kan tahu aku sedang menunggu janji seseorang." Nabila melirik Fathan lalu tersenyum singkat. "Fath, Yas, aku mau gabung ke mereka dulu, ya," pamitnya menunjuk sekelompok teman perempuan mereka.
"Oke, silakan, Nab." Yasir mengangguk.
"Fath, see you. Nanti kita bicara lagi, boleh?"
"Iya, tapi ...."
"Bertiga sama Yasir, aku tahu!" potongnya lalu melambaikan tangan meninggalkan mereka berdua.
🥀🥀
Boleh ramaikan komentar looh, hehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top