FCA - 9

Sejak kepergian Andri, aku tetap datang ke panti menemui Anna dan membacakan ceritaku untuknya. Aku tahu Anna masih merasa sedih dengan kepergian Andri, tapi selain membacakan cerita, aku juga ingin berfungsi sebagai penawar kesedihan Anna walau seharusnya aku tidak terlalu percaya diri bahwa Anna membutuhkanku di sini.

"Bu, Anna boleh bertanya?"

Aku menghentikan kegiatan membacaku lalu beralih menatap Anna yang sudah berbaring di atas kasurnya. Selimutnya perlahan kunaikkan sedikit hingga batas dadanya.

"Hmm, ibu pikir Anna sudah tidur."

Anna menatapku lama. "Kenapa? Ibu sudah mau pulang?" tanyanya dengan nada lemas.

"Belum kalau Anna belum tidur."

"Kira-kira, Ibu tau nggak orang kalo udah mati ngapain?"

Aku terdiam, bingung dengan pertanyaan yang diajukan oleh Anna. Sebagai muallaf, ilmuku belum sampai ke tahap itu. Maksudku, aku belum tahu banyak hal mengenai islam. Bahkan tidak jarang aku memang banyak belajar dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul entah itu dari diri sendiri atau dari orang lain. Termasuk pertanyaan Anna barusan.

"Itu ... umm." Aku mencoba mengingat-ingat lagi apakah aku pernah membaca terjemahan al-quran atau hadis yang berkaitan dengan pertanyaan Anna atau belum. Beberapa menit, aku pun teringat dengan artikel yang pernah kubaca. "Dari hadis riwayat Ahmad dan Thabrani, Rasulullah bersabda ruh orang yang sudah meninggal akan menjadi seperti burung yang terbang, bergelantungan di sebuah pohon, sampai jika datang hari kiamat, setiap roh akan masuk ke dalam jasadnya masing-masing."

Mata Anna yang tadinya sayu langsung berbinar mendengar ucapanku. "Seperti burung yang terbang? Jadi Andri sekarang seperti burung yang terbang, Bu? Wah, pasti seru."

Aku tersenyum kecut mendengar respon Anna. Anak-anak dan imajinasinya. "Ann, Rasulullah juga bersabda menurut hadis riwayat Ahmad, bahwa sesungguhnya perbuatan kita itu diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kita yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kita baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika kelakuan kita buruk, maka mereka berkata: Ya Allah, janganlah Engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami." Wah, sepertinya ingatanku perlu diacungi jempol karena masih bisa mengingat hadis ini. Kupikir aku akan mati kutu dengan pertanyaan Anna. Hmm, sepertinya aku harus banyak belajar mengenai hadis dan qur'an ini. Agar jika sewaktu-waktu Anna bertanya lagi, aku jadi tidak mati kutu seperti bayanganku.

"Berarti Anna harus bersikap baik, biar Andri bisa lihat bahwa Anna di sini jadi orang baik. Ibu juga di sana jadi senang karena Anna bisa jadi anak yang manis. Hehe. Benar kan, Bu?"

Aku mengerjap pelan. "Eh? I-iya, InsyaAllah Andri dan ibu Anna di sana senang karena bisa melihat Anna jadi anak yang baik dan manis. Tapi, Anna juga harus rajin berdoa untuk mereka, ya?"

"Em, Anna tidak pernah lupa berdoa buat ibu dan Andri sehabis salat. Anna sering berdoa, kalau Anna meninggal kayak ibu dan Andri nanti, Anna mau sama-sama mereka lagi. Biar Anna tidak kesepian, dan mereka juga akan senang dengan kedatangan Anna."

Senyumku pudar mendengar ucapan Anna. Apakah dia tidak tahu jika pergi juga bisa membuat orang kesayangannya bersedih? Ayahnya misal. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana terpuruknya pak Danu ketika melihat Anna ... ah, sudahlah. Aku benar-benar tidak mau membayangkan hal itu.

"Hmm, mau ibu lanjutkan bacanya?" tanyaku sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Iya. Boleh, Bu."

Diam-diam aku menarik napas lega, untungnya Anna tidak banyak bertanya lagi mengenai orang yang sudah meninggal. Membahasnya rasanya enggan bagiku. Membahas perihal kematian memang baik, untuk pengingat diri bahwa bagaimana pun semua yang bernyawa pasti akan mati. Tapi, mengingat dosa dan kurangnya pahala membuatku berpikir untuk yaaa semacam menghindar dari pembahasan itu.

***

Saat Anna tertidur, aku pun berniat untuk pulang. Beruntung saat aku keluar dari kamar Anna, pak Danu juga baru saja pulang kerja. Jadi, aku tidak perlu memanggil perawat untuk menemani Anna. Setelah pamit pada pak Danu, aku menelepon Mas Rayyan, memberitahukan padanya bahwa aku baru saja pulang. Tapi, saat aku melihat layar ponselku, ada banyak panggilan dari eomma yang membuatku sukses tercengang. Eomma seperti membombardirku dengan panggilannya.

Pertama-tama, aku menelepon eomma dulu. Setelah itu, barulah aku akan menelepon Mas Rayyan. "Assalamu'alaiku, eomma."

"Wa'alaikumussalam. Kamu di mana saja? Eomma dari tadi meneleponmu."

"Ah, aku lagi di luar eomma. Wae?"

"Di luar? Tapi suamimu ada di sini."

"Ah, aku ... ada urusan lain. Eomma sekarang ada di rumah?"

"Ye. Ne appaga yeogiseo hoeuileulhagoiss-eo." (Ayahmu sedang ada pertemuan di sini)

"Jeongmal-yo? Eomma menginap hari ini?" (Benarkah?)

"Tidak. Eomma hanya singgah di sini lalu kembali ke hotel. Cepatlah pulang. Eomma ingin bertemu."

"Ne, joh-ayo." (Iya, baiklah)

Aku menutup panggilanku lalu segera menahan taksi yang kebetulan lewat. Di pertengahan jalan, aku menyempatkan diri untuk singgah membeli martabak telur sebanyak dua bungkus. Pasalnya, eomma dan appa sangat suka makanan itu. Jika kami di Korea, mereka berdua selalu saja membayangkan makanan itu.

Saat aku sampai, aku segera membuka pintu dan menemukan eomma yang tengah menonton TV bersama Mas Rayyan. Hal yang langka karena eomma jarang sekali mau berduaan dengan menantunya itu jika tidak bersama appa.

"Assalamu'alaikum." Keduanya berbalik secara bersamaan.

"Wa'alaikumussalam." Mas Rayyan menghampiriku. Aku menyalimi, setelah dia mengambil dua bungkus martabak telur yang kubeli. Setelah itu, dua makanan kesukaan kedua orang tuaku itu dibawa ke dapur untuk dipindahkan ke piring. Sementara aku menghampiri eomma yang masih duduk di sofa, hanya memandangi kami berdua.

"Appa mana?" tanyaku saat tak melihat keberadaan ayah.

"Dia keluar sebentar, katanya ada urusan." Aku kemudian ber-oh ria. "Kamu ada urusan apa malam-malam begini?"

Aku tersenyum lebar lalu dengan semangat mulai menceritakan kegiatanku di panti. Eomma terus mendengarkanku, hingga saat aku menceritakan bagian di mana setiap hari aku membacakan cerita ke salah satu anak panti, eomma tiba-tiba menginterupsiku.

"Kamu ... apa? Membacakan cerita? Ke anak panti?" Aku mengangguk antusias. Tapi eomma terlihat sebaliknya. "Kamu dibayar untuk itu?"

"Ani, eomeoni ..." (Tidak, ibu)

"Lalu? Kamu menghabiskan waktu untuk membacakan cerita secara sukarela?"

"Wae?" (Kenapa?)

"Ini salah, Nak. Lebih baik kamu memfokuskan diri untuk program hamil daripada ... daripada melakukan hal itu."

Keningku mengerut dalam. "Eomma, tidak ada salahnya kok menyenangkan anak panti. Lagipula, aku tidak ada kegiatan di rumah. Jadi, lebih baik aku—"

"Tetap saja, eomma tidak setuju. Kamu itu seharunya memikirkan diri kamu, Nak. Halmeoniwa hal-abeoji kamu di Korea sudah sangat menantikan cicit darimu. Dan kamu justru sibuk mengurus hal lain. Omo, eomma tidak habis pikir." (Nenek dan kakekmu)

"Eomma, kita tidak usah mengkhawatirkan suatu hal yang belum pasti, yang penting kita sudah berusaha, hasilnya biar kita serahkan pada Allah. Karena bagaimana pun kerasnya kita berusaha kalau memang Allah belum merestui kita mendapatkan suatu hal, itu tidak akan terjadi. Eomma, bersabarlah sedikit. Kami juga sangat mendambakan kehadiran anak. Tapi mau bagaimana lagi, Allah belum memberikan kesempatan pada kami berdua. Tapi kami juga tidak putus asa, kami senantiasa berdoa dan berusaha."

"Ma-eum-dae-ro." (Terserah.)

Aku menghela napas pelan. Hal ini lah yang selalu ingin aku hindari jika bersama dengan keluarga.

***

Pernah merasa nggak nyaman ngga saat ngumpul sama keluarga? Ditanyain kapan lulus lah, kapan kerja, kapan nikah, kapan punya anak dan kapan-kapan lainnya. Ngeselin banget nggak sih? Wkwkwk

I feel you, guys. Karena aku juga kadang ditanya seperti itu. Dan meskipun kita udah bersikap santai, ya tetep aja ya pertanyaan-pertanyaan itu selalu jadi bumerang. Wkwkwk

Mohon dikoreksi kalo ada typo atau kesalahan lain, ya.

Thankyou.

Luv,

Windy Haruno

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top