FCA - 6

- Anna

(Pict by pinterest)

***

"Gimana?"

"Gimana apanya, Mas?"

"Gimana sama Anna? Tadi udah bacain cerita kamu?"

Aku menghela napas pelan lalu menatap ke luar jendela. "Dia malah baru bangun pas aku udah mau pulang. "

"Loh, kok bangunnya kesiangam banget?"

"Iya, Mas. Kata Ayahnya, Anna ngga bisa tidur sampai menjelang subuh karena mikirin aku. Katanya dia seseneng itu sampai nggak bisa tidur," cetusku seraya tersenyum kecil.

Mas Rayyan terkekeh. Dia bahkan menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Ada-ada saja anak itu."

Tapi sejujurnya, aku dan Anna punya kesamaan dalam hal ini. Dulu, sebelum menikah dengan Mas Rayyan, aku juga sempat dibuat insomnia minus satu hari sebelum pernikahanku. Besoknya, aku hampir saja tertidur di kamar saat Mas Rayyan akan mengucap ijab. Beruntung eomma menyadarkanku dengan cara mengguncang tubuhku dengan sedikit keras. Ah, ingin bertemu dengan orang yang disukai memang bisa selucu itu.

"Ah, gimana dengan Andri, Mas? Kalian udah nggak berantem lagi, kan?"

Mas Rayyan memutar kemudinya. Ekspresinya berubah jadi sedikit kesal. "Ah, anak itu. Belum bisa diajak kerjasama. Dia masih bersikeras minta ijin jadiin kamu pacar. Dia pikir aku ini Aboeji-mu mungkin. Ckckck."

Aku tertawa membayangkan bagaimana Mas Rayyan sibuk menolak permintaan Andri untuk jadi pacarku. Pasti lucu. Apalagi Mas Rayyan ini tipikal yang kalau sudah punya hak milik, susah untuk membagi–kalau memang kepunyaannya itu tidak bisa dibagi. Aku salah satunya.

"Oh, ya. Dia ngasi sesuatu, nih." Mas Rayyan mengambil sesuatu dari dalam saku kemejanya. Dia lalu menyerahkan secarik kertas yang terlipat kepadaku. Aku menerimanya dengan kening berkerut. Lipatan itu kemudian kubuka perlahan, yang ternyata di dalamnya masih ada selembar kertas. Kertas pertama, kuperhatikan dengan saksama. Di dalam kertas itu dipenuhi gambar anak-anak yang sedang bermain. Kutebak, itu adalah Andri dan teman-temannya di panti.

Aku tersenyum tipis, memperhatikan satu persatu gambar anak-anak itu. Semua anak yang ada di gambar itu bergandengan tangan dengan senyuman di wajahnya. Tapi, ada satu hal yang membuat hatiku terenyuh. Di samping gambar anak-anak itu ada beberapa gambar yang menyerupai batu nisan yang lengkap dengan namanya. Ada sekitar lima nisan. Di sana tertulis nama Bunga, Ilham, Septi, Ratna dan Fandi. Cukup lama aku menatap gambar itu hingga aku tak kuasa menahan haru. Buru-buru aku alihkan dengan melihat kertas kedua. Berbeda dengan gambar yang ada di kertas pertama, yang kedua justru berhasil membuat sudut bibirku terangkat.

"Mas," panggilku.

"Ya?"

"Mas udah lihat belum gambarnya?"

"Oh, jadi kertas itu isinya gambar? Hmm, belum kulihat. Andri tadi ngelarang aku buat ngeliat isi kertas itu. Katanya, nanti lihat di rumah aja. Bareng calon pacarnya katanya. Hah, pede sekali anak itu. Ckckck."

Aku tertawa. "Hm, ya sudah. Seperti kata Andri, nanti saja deh Mas liatnya."

"Memangnya gambar apa sih, Dek? Penasaran nih jadinya."

"Hehe, nanti Mas lihat sendiri." Aku melipat kembali kertas itu lalu memasukkannya ke dalam tasku. "Mas, aku singgah di supermarket aja, ya. Aku mau beli beberapa bahan masakan. Kebetulan banyak yang abis di rumah."

Mas Rayyan memelankan laju mobilnya karena supermarket yang kumaksud kini sudah dekat dengan posisi kami. Dia lalu melirikku sekilas. "Belanjanya nanti aja, sama aku."

"Nggak usah, Mas. Aku kan mau masakin buat Mas. Kalo bahannya belum ada sementara Mas udah pulang, aku mau masak apa?"

"Ya kan kita bisa masak sama-sama."

Kadang, kami memang menyempatkan diri untuk memasak atau bahkan bersih-bersih rumah secara bersamaan. Tapi itu di hari-hari libur kantor Mas Rayyan. Kali ini situasinya beda, dia baru pulang kantor, masa mau ikut masak lagi. Pasti dia capek.

"Nggak pa-pa, Mas-ku. Ya? Ya?"

Mas Rayyan menipiskan bibirnya seraya menghela napas pelan. Beberapa detik terdiam, akhirnya dia pun mengangguk dan menghentikan mobil tepat di depan supermarket.

"Kamu pulangnya naik taksi aja," ujar Mas Rayyan saat aku sudah keluar dari mobil.

"Apa deh, Mas. Lebay banget. Sepuluh langkah dari sini juga udah sampai kok di rumah." Mas Rayyan tidak membalas, yang artinya dia tidak mau dibantah. Tapi serius, jarak supermarket dengan rumah kami itu sangat dekat. Jalan kaki sepuluh menit saja sudah sampai. "Mas."

"Hm, oke. Tapi kalo udah sampai di rumah, kamu kabari aku, ya?"

Aku mengangguk antusias. Tak lupa aku pun mencium punggung tangan Mas Rayyan sebelum dia pergi.

"Hati-hati," ucapku dengan senyuman lebar.

"Aku pergi, ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Mobil Mas Rayyan melaju meninggalkan aku. Sementara aku, masuk ke dalam supermarket dan mulai mengisi keranjang belanjaku dengan bahan-bahan makanan yang kubutuhkan.

***

Aku meletakkan hasil belanjaku di atas meja dapur kemudian mengambil ponsel yang kusimpan di dalam sling bag-ku. Aku lalu mengirim pesan pada Mas Rayyan, hanya memberitahukan bahwa aku sudah berada di dalam rumah. Baru setelah itu, aku menuju kamar untuk berganti pakaian.

Setelah berganti pakaian, aku tiba-tiba teringat dengan gambar Andri. Kembali kurogoh sling bag-ku untuk mengambil dua lipatan kertas berisi gambar Andri, dengan sedikit antusias aku pun melebarkan kertas itu lalu mulai menatapnya dengan saksama. Kembali, bibirku mengulas senyum lebar.

"Gambar yang indah," gumamku sebelum terjun ke dapur untuk menyibukkan diri membuat masakan kesukaan Mas Rayyan.

***

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Aku yang tadinya sedang asyik menonton TV pun bergegas membereskan sisa-sisa camilan yang tadi kumakan. Sampahnya kemudian kubuang di tempat sampah. Tepat saat itu, aku melihat Mas Rayyan masuk dan melepas tasnya.

"Lagi apa, Dek?" tanya Mas Rayyan seraya mendudukkan dirinya pada sofa di ruang TV.

"Cuma lagi nyantai, Mas. Hehe. Gimana urusan kantornya?" tanyaku seraya membuatkan teh untuk Mas Rayyan. Kebetulan di luar sedang hujan, sudah pasti Mas Rayyan kedinginan dan teh adalah pilihan yang tepat untuk menghangatkan badan.

"Alhamdulillah lancar, Dek."

Aku tersenyum simpul lalu meletakkan secangkir teh di meja. "Oh ya, Mas. Mas belum lihat gambar Andri kan?"

"Ah, iya. Benar. Bisa tolong ambilkan?" Aku mengangguk pelan lalu berlalu ke kamar untuk mengambil gambar itu.

"Ini, Mas." Tapi, saat Mas Rayyan ingin mengambil kertas itu, aku kembali menariknya, membuat Mas Rayyan sukses mengernyitkan keningnya. "Tapi Mas jangan cemburu. Oke?"

"Cemburu?" Aku mengangguk seraya menahan senyum. "Nggak akan lah. Ngapain juga cemburu sama gambar."

"Hmmm, beneran, ya."

"Iyaaa, sayaaaang."

Aku kemudian menyerahkan dua lembar kertas itu pada Mas Rayyan. Dia cukup lama meneliti gambar pertama. Gambar di mana anak-anak berkumpul seraya saling berpegangan tangan. Tampaknya, dia juga sedikit tertarik dengan gambar nisan di samping gambar anak-anak itu.

"Ini ... gambar nisan?"

"Hmm, sepertinya sih, Mas." Mas Rayyan masih diam memperhatikan. Aku juga jadi ikut-ikutan memperhatikannya. "Kenapa, Mas?"

"Nggak kok, Dek. Cuma, aku ngerasa sedikit ... sedih ngelihat gambar ini." Mas Rayyan menghela napas panjang. Aku kemudian mengelus pelan lengannya, karena aku pun merasakan apa yang dia rasa.

Mas Rayyan lalu melihat kertas kedua. Raut yang tadinya sedih berubah menjadi terkejut. "A-apa ini?" Aku mengedikkan bahu pura-pura tak tahu. "Aih, anak itu. Bisa-bisanya dia menggambar seperti ini."

Aku melirik lagi gambar itu. Gambar tiga orang manusia. Yang satu gambar anak kecil berjenis kelamin laki-laki sedang menggandeng tangan seorang perempuan dewasa yang di atasnya tertulis namaku. Sementara di atas gambar anak kecil itu bertuliskan nama Andri. Satu gambar laki-laki dewasa lagi terlihat sedang berdiri memegang kamera. Kamera itu kemudian di arahkan pada si anak laki-laki dan si perempuan dewasa.

"Wah, Andri bener-bener. Apa dia berniat menjadikanku seorang photographer?" Aku tertawa hingga air mataku sedikit keluar melalui sudut mata. "Kau tertawa?"

"Ekspresi Mas lucu, sih. Hahaha."

"Oh! Aku baru ingat. Pantas saja saat kutanya kenapa dia menyukaimu dia menjawab pertanyaanku dengan begitu puitis. Kamu tahu apa jawaban dia?" Aku menggeleng pelan. "Dia bilang, bagaimana ya cara menjelaskannya? Karena kalau kata Rumi, cinta adalah bahasa yang tidak bisa dikatakan atau didengar."

"Woah, dia penggemar Rumi?" tanyaku antusias. Jarang sekali ada anak seusianya yang menyukai sosok Rumi. Jangankan anak seusianya, seusia aku pun sangat sedikit populasinya. Dan perlu digarisbawahi, dia masih anak-anak yang berusia di bawah sepuluh tahu, dan bacaannya sudah sampai ke pembahasan mengenai Rumi? Wah, keren.

"Sepertinya begitu. Kenapa? Kamu juga suka Rumi?" Aku menggeleng ragu. "Sudah kuduga. Bacaan berat bukan gaya kamu."

Aku memukul pelan lengan Mas Rayyan dan dia balas dengan tawa. Ih, ngeselin. "Tapi kok aku kayak tertarik ya, Mas?"

"Tertarik? Dengan Rumi atau ... Andri?"

"Ya Allah. Rumi, Mas."

"Bagus. Nanti aku belikan bukunya."

"Beneran?" Mas Rayyan mengangguk pelan lalu menarikku ke dalam pelukannya.

Sepertinya aku akan menyelami hal baru.

***

Alhamdulillah, apdet lagiiii hehehe

Btw, aku belum nemu cast yang cucok untuk Feny. Kira-kira ada saran ngga nih untuk cast-nya?😁

Jangan lupa tinggalkan jejaknya. 😍😌👣

Terima kasih💕💕💕

Luv,
Windy Haruno

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top