FCA - 5
Jangan lupa vote dan komentarnya🙏
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Setelah Mas Rayyan kuberitahu bahwa aku menerima permintaan Anna, saat itu juga Mas Rayyan langsung menelpon pihak panti. Awalnya aku tidak berpikir Bu Saras akan mengiyakan permintaan Anna yang jadi permintaanku juga. Tapi, saat itu aku menyerahkan semuanya pada Allah melalui Mas Rayyan. Beruntungnya, Bu Saras bukannya menolak, beliau justru senang mendengar permintaan itu. Dari penuturan Mas Rayyan, Bu Saras sangat antusias karena setidaknya dengan kehadiranku bisa membuat senang anak-anak panti terutama Anna.
Mas Rayyan mengantarku menuju ruangan di mana Bu Saras berada. Namun, saat pintunya diketuk tak ada tanda-tanda bahwa Bu Saras akan mempersilakan kami masuk.
"Mas, kayaknya Bu Saras nggak ada di dalem deh," ujarku saat Mas Rayyan sudah mengetuk pintu yang ketiga kali.
Mas Rayyan hanya melirikku lalu kembali mencoba berusaha memberi salam. Tapi tetap saja, tak ada respon dari dalam.
"Tuh, kayaknya Bu Saras emang lagi ngga ada di dalem, Mas."
"Iya. Coba kita tanya perawat yang ada di luar."
Aku mengangguk menyetujui. Lantas aku mengikuti langkah Mas Rayyan menuju koridor utama, celingukan mencari perawat yang berlalu lalang. Sekitar beberapa menit menunggu, akhirnya seorang perawat muncul dengan sedikit tergesa.
"Mbak, mau numpang tanya," ujar Mas Rayyan seraya menahan perawat itu.
Perempuan berjilbab ungu dengan pakaian yang senada dengan hijabnya itu lantas tersenyum singkat saat melihat kami. Setelah berbasa basi sebentar, Mas Rayyan kemudian menanyakan keberadaan Bu Saras saat ini.
"Oh, Bu Saras sedang berada di salah satu kamar anak-anak, Pak. Karena satu anak harus segera dibawa ke rumah sakit."
"Kenapa?" tanyaku khawatir. "Apa dia ...." Aku tidak sanggup lagi melanjutkan ucapanku. Bayangan wajah kesakitan dari anak-anak itu membuat hatiku rasanya diremas. Sesak dan sakit.
"Benar, Bu. Dan dia harus segera dibawa ke rumah sakit," jawabnya seolah mengerti dengan ucapanku yang menggantung.
Perawat itu pun segera pamit. Sedangkan aku hanya bisa mengangguk kaku menatap kepergiannya. Mas Rayyan lalu menatap dan memegang bahuku untuk mengajakku duduk di kursi yang tersedia di depan koridor. Kami terdiam sejenak, hingga tangan Mas Rayyan bergerak menggenggam tanganku.
"Are you okay?" tanya Mas Rayyan seraya memperkuat genggamannya pada tanganku.
Belum sempat kujawab ucapan Mas Rayyan, suara langkah yang terdengar lebih mirip suara orang berlari pun menyapa pendengaranku. Tidak hanya itu, bunyi gesekan antara lantai dengan roda stretcher bersahutan dengan isak tangis beberapa orang yang ikut berlari di samping tandu itu.
Stretcher itu segera dimasukkan ke dalam ambulance yang entah sejak kapan sudah ada di depan panti. Beberapa perawat dan orang yang kuyakini adalah keluarga anak itu pun ikut masuk sebelum pintu ambulance ditutup. Sirine dibunyikan dan mobil ambulance mulai meninggalkan halaman panti.
Aku menghela napas panjang setelah mobil ambulance itu menghilang dari pandangan. Aku kemudian menunduk dan membalas genggaman Mas Rayyan.
"Mas, apakah mereka masih ada harapan?"
"Siapa?"
"Anak-anak itu, Mas. Di saat anak-anak seusianya sibuk bermain, mereka justru sibuk berteman dengan berbagai macam obat-obatan. Apakah mereka pernah berpikir bahwa ... yang terjadi pada mereka sungguh tidak adil?"
Kulihat Mas Rayyan menghela napas pelan. "Semua orang punya harapan. Untuk hidup dan untuk bahagia. Hanya saja, waktu setiap orang berbeda untuk merasakannya. Semua ini adil, bukankah Allah itu Maha Adil? Kita selalu merasa tidak adil hanya karena syukur kita yang kurang," cetus Mas Rayyan panjang lebar.
"Mas, apa yang patut disyukuri dengan sakit yang menggerogoti tubuh?" tanyaku lagi karena belum puas dengan jawabannya.
"Yang patut disyukuri adalah dia masih hidup, masih bisa melakukan amalan-amalan untuk menambah pahala. Masih bisa melihat kedua orang tuanya tersenyum, masih bisa merasakan bagaimana rasanya bermain meski dalam keadaan terbatas. Kita, bernapas sampai saat ini pun patut disyukuri. Lagipula, kita juga tidak bisa menebal mereka tidak bahagia dengan keadaan mereka yang sekarang, kan? Siapa yang tahu, kadar kebahagiaan mereka justru lebih banyak dibanding orang kaya di luar sana yang bahkan untuk mencari kebahagiaannya sendiri dia bingung?"
Keningku berkerut dalam. "Memangnya, ada orang kaya yang ngga bahagia, Mas?"
"Ada. Teman-temanku banyak yang bingung dengan arti kebahagiaan. Setiap hari dia terus mengirimi istrinya uang, mengirimi anak-anaknya mainan, tapi rasanya tentu beda jika dia ikut berpartisipasi di dalam kebahagiaan itu. Misal menenamani istrinya belanja, menemani anak-anaknya bermain. Dia tidak merasakan itu. Karena apa? Karena dia terlalu sibuk bekerja. Nah, karena itu ... kita tidak bisa mengukur kadar bahagia seseorang hanya dari keterbatasan fisik atau materi yang dipunya."
Aku menatap kedua mata Mas Rayyan. Di sana aku menemukan keyakinan yang membuatku percaya dengan ucapannya. Meski awalnya ragu, tapi pikiranku seolah terbuka dengan penjelasan Mas Rayyan. Ah, tidak salah memang aku memilihnya menjadi pasanganku.
"Loh, Mbak Feni? Pak Rayyan?"
Aku dan Mas Rayyan refleks menoleh secara bersamaan. Tepat di pertengahan koridor, kulihat Bu Saras yang mendekat ke arah kami. Aku dan Mas Rayyan pun berdiri memyambut beliau.
"Iya, Bu Saras. Tadi kami berdua sempat ke ruangan Ibu. Tapi sepertinya tidak ada orang, jadi kami berdua menunggu di sini."
Bu Saras tersenyum kecut, sepertinya beliau merasa tidak enak mendengar penuturanku. "Aduh, saya jadi merasa tidak enak, Mbak. Maaf, ya. Soalnya tadi tiba-tiba ada anak yang harus dibawa ke rumah sakit. Saya juga tidak sempat memgabari karena terburu-buru. Sekali lagi saya minta maaf ya, Mbak."
"Eh? Tidak apa-apa, Bu. Santai saja, hehe."
"Oh, iya. Mau langsung ke kamar Anna, Mbak? Saya antarkan," tawar Bu Saras.
Aku menatap sekilas ke arah Mas Rayyan, dan seolah mengerti, dia pun mengangguk pelan.
"Iya, Bu. Kalau tidak merepotkan."
"Ah, tidak apa-apa. Mari."
Aku mengikuti langkah Bu Saras menuju ruangan di mana Anna berada. Beberapa kali kutemukan anak-anak yang bermain bersama kedua orang tuanya. Tawa kecil menghias lorong itu. Dan tanpa terasa, bibirku pun ikut tersenyum mendengar tawa mereka.
"Loh, bro Rayyan?"
Aku berhenti dan mencari asal suara itu, begitu pula dengan Bu Saras dan Mas Rayyan. Di sebuah taman yang hampir saja kami lewati, Andri menatap kami dengan sebuah buku gambar di tangannya. Mas Rayyan kemudian memberitahu aku dan Bu Saras bahwa dia akan menemani Andri di sana. Aku pun mengizinkan, lagipula sepertinya mereka berdua sudah sangat dekat sejak insiden di mana Andri memintaku menjadi pacarnya.
"Kalau begitu, aku ke kamar Anna ya, Mas."
"Iya."
Aku dan Bu Saras pun melanjutkan perjalanan menuju kamar Anna. Berjarak sekitar enam kamar dari posisi taman, Bu Saras berhenti. Di depan pintu kamar itu bertuliskan nama Anna dengan gambar seorang anak dan ibu yang saling bergandengan tangan tepat di bawah nama Anna.
Bu Saras kemudian mengetuk pintu kamar itu, dan tak lama pintu itu pun terbuka. Seorang lelaki yang kutebak adalah Ayah Anna pun mempersilakan kami masuk.
"Selamat pagi, Pak."
"Selamat pagi," balasnya.
"Begini, Pak Danu. Jadi, kemarin Anna meminta Bu Feni untuk datang ke sini. Dari penjelasan Bu Feni, Anna meminta khusus Bu Feni datang untuk membacakan cerita karangan Bu Feni," jelas Bu Saras memperkenalkan aku dengan lelaki paruh baya itu. Oh, ya. Seingatku, aku tidak melihat keberadaannya kemarin. Atau aku yang kurang jeli?
"Oh, iya. Anna sempat memberitahu saya perihal Bu Feni ini." Pak Danu tersenyum ramah pada kami. "Mari, Bu. Silakan duduk dulu. Saya ambilkan camilan."
"Eh, tidak usah repot-repot, Pak," tolakku.
"Tidak apa-apa, Bu. Aduh, saya minta maaf karena Anna-nya belum bangun."
Aku melirik ke arah kasur di mana Anna masih memejamkan matanya. Napasnya mengalun teratur. Begitu damai. Senyumku terukir, melihat wajah tenangnya.
"Tidak apa-apa, Pak."
Pembicaraan kami pun terus berlanjut. Hingga Bu Saras pamit karena harus membantu mengurus beberapa keperluan panti. Beruntung, Pak Danu merupakan tipikal orang yang sangat ramah dan pandai mencari bahan cerita. Sangat berbanding terbalik denganku yang selalu kaku dan bingung mau membahas apa.
"Anna itu anak yang ceria. Sama persis dengan mendiang ibunya. Dulu, saat mengetahui kalau dia menderita kanker, saya yang sangat terpukul. Tapi, dia yang justru menguatkan saya. Jujur, saya malu sekali saat itu." Pak Danu terkekeh setelah menceritakannya.
Aku tersenyum tipis membayangkan hal itu. Di sisi lain, aku pun membayangkan jika berada di posisi Pak Danu. Dan menurutku hal itu wajar, wajar saja jika seorang Ayah merasa terpukul dengan fakta itu. Fakta di mana sang anak harus berjuang melawan sakit yang mematikan. Tapi yang paling aku suka dari Pak Danu adalah keteguhannya dan banyak harapan yang terpancar di kedua matanya.
"Anna anak yang kuat ya, Pak?"
"Benar, Bu. Jika dibandingkan dengan saya, saya sangat malu mengakui jika dia lebih kuat daripada saya."
Senyum masih menghiasi bibirku dengan harapan bisa menambah kekuatan untuk Pak Danu. Selanjutnya, Pak Danu menceritakan bagaimana ibu Anna meninggalkan mereka dari dunia ini, hingga Anna yang katanya terus berceloteh bahagia karena bertemu denganku kemarin. Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Aku pun berniat untuk pamit karena sekitar pukul sebelas Mas Rayyan ada meeting di kantor.
Aku pun berdiri untuk pamit, tapi Anna tiba-tiba terbangun sehingga fokusku teralihkan. Sebenarnya, aku cukup terkejut karena dia bisa tidur sampai jam segini. Tapi dari penjelasan Pak Danu bahwa Anna tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan akan bertemu denganku membuat aku akhirnya memaklumi.
"Selamat pagi menjelang siang, putri tidur," ujarku seraya mendekat ke arah ranjangnya.
Anna tersenyum malu seraya mengucek kedua matanya. "Bu Feni, sudah dari tadi?"
"Hmm, lumayan. Ibu bahkan udah mau pulang."
Raut wajahnya tampak kaget. Dia lalu menggenggam tanganku, melarangku untuk pulang. "Ibu marah ya karena Anna tidurnya lama?" tanyanya dengan raut sedih.
Aku ikut menggenggam jemarinya. "Tidak apa-apa. Ibu tidak marah kok. Cuma, suami Ibu harus ke kantor. Jadi Ibu juga harus pulang."
Dia tampak masih belum menerima.
"InsyaAllah ibu ke sini lagi besok. Ya?"
"Iya, Nak. Nggak pa-pa, ya. Lagian kan Bu Feni ikut sama suaminya. Sementara suami Bu Feni kan harus ke kantor," sahut Pak Danu ikut memberikan penjelasan.
Akhirnya Anna mengangguk lemah. Agak tidak ikhlas untukku meninggalkannya, tapi aku juga kasihan dengan Mas Rayyan jika kelamaan menunggu.
"Besok Ibu pulangnya naik grab saja, ya. Biar bisa lama-lama di sini."
"Anna," tegur Pak Danu.
"Nggak pa-pa, Pak. Tapi sepertinya saran Anna bisa kupertimbangkan."
Anna bersorak gembira. Dia lalu menggenggam kedua tanganku dengan mata berbinar. "Beneran ya, Bu. Besok Anna buatin kue, deh."
"Bener? Ibu jadi ngga sabar. Tapiiii, jangan bangun kesiangan kayak sekarang, bisa?"
"Ehehehe, siap, Bu!"
Aku tertawa pelan lalu mengelus tangan kecilnya. Setelah itu, aku pamit pada Pak Danu dan juga Anna. Terlihat jelas jika Anna masih belum ikhlas, tapi dia tidak berusaha lagi untuk menahanku.
Aku menutup pintu kamar Anna. Setidaknya hari ini aku bisa bertemu dengan fans-ku itu. Eh, apa aku boleh menyebutnya fans?
Aku menggeleng pelan seraya tersenyum tipis. Entah mengapa aku sangat bahagia hari ini. Rasanya, ada ruang kosong di dalam hatiku, yang diisi oleh bunga-bunga yang bermekaran. Senyumku pun semakin melebar tatkala kulihat Mas Rayyan yang terlihat bahagia bermain dengan Andri.
Terima kasih ya Allah. Setidaknya hari ini aku masih bisa merasakan apa itu bahagia.
***
Poto Mas Rayyan dengan Andri😍
Yeayeeee part 5 is up😍😍😍
Thankyou buat kalian yang masih setia menunggu apdetan FCA. 💕💕💕💕💕
Jangan lupa vote dan komentarnyooooooo😘😘😘😎
Tirimi kisih❤️
Luv,
Windy Haruno
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top