FCA - 1

Aku adalah salah satu penulis dari ribuan penulis yang ada di Indonesia. Namaku Silfeni, biasa dipanggil Feni. Aku lahir di Korea dua puluh tujuh tahun silam. Mamaku asli keturunan Korea, sementara Papaku asli keturunan Bugis, Indonesia. Sejak umur dua belas tahun, aku sudah tinggal di Indonesia. Ke Korea mengunjungi Nenek dan Kakek hanya ketika Papa cuti atau libur. Tapi terkadang, aku juga pergi sendiri sih. Kalau sedang suntuk di Indonesia, aku akan memilih jalan-jalan ke Korea.

Berbicara mengenai dunia menulis, aku sebenarnya baru saja bergabung di dunia para pujangga ini. Kenapa aku bilang dunia para pujangga? Karena para penulis sudah pasti mahir bermain dengan kata-kata yang bisa saja menggugah hati para pembacanya.  Ternyata, dunia menulis tidak segampang yang dibayangkan. Butuh banyak proses hingga aku bisa sampai pada tahap penerbitan buku. Tapi, bisa dibilang aku cukup beruntung, karena sembilan bulan aku bergelut dengan kalimat-kalimat yang kadang memusingkan kepala, akhirnya karya pertamaku itu berhasil dilirik oleh penerbit tanpa usaha mengirim naskah pada mereka.

Yah, aku memang bergabung di salah satu platform kepenulisan yang memungkinkan karya kita dilirik oleh penerbit. Dan itu lah yang terjadi pada karya tulisku.

"Dek, gimana naskah keduanya? Udah selesai?" tanya Mas Rayyan sebelum menyeruput kopinya.

Aku menghela napas pelan dan terdiam sejenak. Kusandarkan punggungku ke sandaran sofa, mencari kenyamanan. Entah mengapa, akhir-akhir ini aku sedang sensitif jika membahas perihal naskah keduaku itu.

"Hmm, nggak ada kabar, Mas. Dan ini udah tiga bulan lamanya setelah aku mengirim naskah itu."

Mas Rayyan tersenyum simpul. "Hm, mungkin naskah kamu memang nggak jodoh sama penerbit yang itu. Coba kirim ke penerbit lain, Dek," saran Mas Rayyan.

Tapi, sudah kepalang kecewa aku. Sampai semangat menulisku jadi surut. Mas Rayyan tahu itu, maka dari itu dia terus memberiku semangat, tapi aku rasanya sudah benar-benar hilang mood untuk menulis lagi. Belum lagi pesan yang dikirim pihak penerbit buku pertamaku semakin membuatku patah semangat.

Mbak, pihak toko buku banyak yang nge-refund bukunya.

Ah, aku patah sepatah-patahnya. Hingga keputusanku untuk berhenti menulis kini sudah benar-benar bulat.

"Mas, kayaknya aku mau berhenti nulis aja deh."

Mas Rayyan tampak kaget. "Kok gitu?"

"Hm, yaaa pengin rehat aja. Lagi mumet. Nggak ada ide juga."

"Hm, istirahat saja dulu. Jangan dipaksa. Minggu depan Mas cuti. Mau jalan-jalan?"

Aku segera bangkit dari posisi menyandarku. "Ke mana, Mas?"

"Kamu, mau ke mana?"

Aku berpikir sejenak. Ini Mas Rayyan tidak sedang mengerjaiku kan?

"Mau ke luar negeri? Ayo," tambah Mas Rayyan.

Aku menyipitkan kedua mata, menatapnya sedikit ragu. Mas Rayyan balas dengan mengangkat sebelah alisnya.

"Sebenarnya mau ke Korea sih, Mas. Tapi ... ah males ah."

Mas Rayyan mengangguk pelan, seolah tahu alasan di balik kenapa aku menolak untuk ke Korea. Sebenarnya tak ada yang aneh, tapi setelah aku menikah dengan Mas Rayyan dua tahun silam, mereka terus merecokiku dengan pertanyaan mengenai anak.

Kapan kamu punya anak?

Ya, segamblang itu. Tanpa memikirkan perasaanku yang sebenarnya juga sudah ingin sekali menggendong bayi–anakku sendiri. Beberapa kali kucoba untuk menjelaskan bahwa perihal anak itu tergantung sama Allah. Yang ada, kita hanya perlu berusaha. Hasilnya, Allah yang berkehendak. Tetapi, keluargaku di Korea yang menganut paham atheis mana mau memahami hal itu.

"Atau ... kita ke luar kota aja, Mas. Ke ... Bandung?"

"Bandung?" ulang Mas Rayyan. Aku mengangguk antusias.

"Aku mau ke kebun teh Sukawana di Lembang, Mas. Pasti udaranya sejuk."

"Boleh. Lagipula, Mas juga pengin refreshing. Akhir-akhir ini kerjaan kantor bikin penat." Mas Rayyan kembali menyeruput kopinya. "Tapi Dek. Kamu sengaja ya milih daerah yang dingin?"

"Loh, kok sengaja?"

"Ya iya lah. Kamu kan pengin peluk-pelukan sama aku kan?"

Aku membulatkan kedua mata, terkejut dengan spekulasi Mas Rayyan. Apa-apaan itu? Tapi kutahu, Mas Rayyan hanya bercanda. Lagipula, kalau pun benaran, tidak masalah juga kan? Toh, kita berdua sudah suami istri.

***

"Dek, ayo bangun. Salat ashar dulu."

Aku yang masih terkapar di atas kasur mencoba mengumpulkan niat untuk bangun. Entah mengapa, akhir-akhir ink aku sering merasa kelelahan dan pusing secara tiba-tiba. Aku curiga kalau saja ternyata aku hamil, tapi setelah melakukan tes pack, hasilnya tetap saja negatif. Dan satu, aku menyesal mengeceknya. Beban pikiranku rasanya jadi bertambah.

Kira-kira, kapan Allah mempercayakan aku untuk memiliki seorang anak?

"Dek," panggil Mas Rayyan dari luar kamar.

Dengan sisa tenagaku, aku pun bangkit dan mengambil air wudhu. Setelahnya, aku segera melaksanakan salat ashar sebelum Mas Rayyan kembali berteriak mengingatkan.

Sejujurnya, beberapa bulan belakangan ini, imanku juga rasanya menurun. Aku jadi sering telat salat, tilawah kalau lagi mood, dan dzikir kalau sempat. Hidupku rasanya benar-benar berada di titik paling rendah. Aku yang dulunya merupakan seorang non-muslim seketika mempertanyakan keberadaan dan keadilan Allah atas hidupku.

Kenapa Dia menjadikan tulisanku jadi tidak laku di pasaran?

Kenapa Dia tidak menjadikanku seorang penulis hebat seperti J.K Rowling?

Kenapa Dia membuatku tertekan dengan pertanyaan-pertanyaan keluargaku mengenai anak?

Kenapa Dia tidak langsung saja memberiku seorang anak?

Dan berbagai pertanyaan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan yang pada dasarnya menjadi stresor bagi pikiran dan batinku akhir-akhir ini. Apakah aku tidak pantas mendapatkan itu semua?

Aku menengadahkan tangan lalu berdoa dengan khusyuk. Saking khusyuknya, air mataku sampai meleleh tak tertahankan. Semua beban pikiranku kukeluarkan. Karena seperti kata Mas Rayyan, Dia pasti mendengar setiap doa hamba-Nya. Aku berusaha meyakini itu saat ini. Mencoba merasakan kehadiran-Nya, melihat sisi lemah dan tak berdayanya aku.

Usai menumpahkan semua bebanku, aku mengusap air mata yang terus-terusan menganak sungai di pipiku. Sedikit jijik mengatakannya, tapi ingusku juga keluar. Wah, sepertinya bebanku memang cukup berat.

"Dek, udah salat?"

Aku menoleh ke arah pintu di mana Mas Rayyan berada. Sedikit malu karena takut ketahuan habis menangis, aku cepat-cepat mengalihkan wajah, mencoba fokus melipat sajadah yang habis kugunakan.

Kurasa Mas Rayyan mendekat, ia lalu menangkup kedua sisi wajahku agar aku melihat ke arahnya.

"Kamu ... habis nangis? Kenapa?"

Aku selalu kesal dengan kemampuan Mas Rayyan dalam hal menganalisa. Serapat-rapatnya aku menyembunyikan sesuatu, dia pasti akan tahu. Apakah suamiku ini adalah seorang cenayang? Atau ... wajahku yang terlalu mudah untuk dianalisa? Entahlah.

"Nggak papa, Mas. Abis curhat aja sama Allah. Eh, tiba-tiba nangis kejer. Sampe ingusan nih aku," keluhku.

Mas Rayyan tersenyum lembut lalu membawaku ke dalam pelukannya yang hangat. Tangan besarnya mengusap kepalaku dengan pelan.

"Nggak ada yang salah dengan curhat ke Allah. Justru itu pilihan yang tepat. Memohon dan memintalah pada Dia sang Maha segalanya." Mas Rayyan mengecup puncak kepalaku. "Mas di sini. Kalau kamu butuh pelukan, bilang saja. Mas pasti sukarela kok."

Aku terkekeh pelan mendengar ucapannya. Tapi di sisi lain, aku bersyukur karena memilikinya. Dia selalu ada dan selalu berusaha membuatku nyaman dalam segala hal. Tidak heran jika setelah aku menikah dengannya, aku selalu merasa bergantung padanya.

"Dek, ada telepon dari panti."

"Panti?"

"Iya, katanya mau ngundang kamu."

Aku mengerutkan kening. "Kok bisa, Mas? Maksudku ... kok tumben banget ada yang ngundang aku?"

Mas Rayyan tersenyum lagi. "Katanya, salah seorang anak di panti suka banget sama tulisan kamu. Anak itu jadi minta supaya kamu dateng ke sana."

"Wah, heran aku tuh, Mas. Kok bisa ya anak itu suka sama tulisan amburadul kayak gitu? Hihihi."

"Itu berarti kamu penulis hebat karena bisa menarik perhatiannya."

Aku tertawa, menertawakan diriku sendiri. Tapi di sisi lain ada perasaan hangat di dalam hatiku mendengar bahwa ... ternyata masih ada yang menaruh harap pada tulisanku itu. Meski tidak tercetak ribuan eksemplar, tapi mengetahui hal itu tentu saja membuatku merasa ... dihargai.

***

Halow, akhirnya part 1 nongol nih. Wkwkwk

Gimana? Gimana? Lanjut nggak nih?😁

Semoga suka, ya. Hehehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top