Statera [9] : Doubt
"Siapa namamu?" gumamku dengan sorot mata yang tak lepas memandangnya.
"Ini sudah tiga tahun, dan betapa bodohnya aku karena belum ....
Mengetahui namamu."
Kala sang Mentari mulai bersinar terik. Berpadu dengan rerumputan hijau yang mulai berdesakan keluar menuju permukaan helai putih yang sempat menyelimuti mereka, pun diiringi oleh suara riak air sungai yang mulai mengalir dengan deras.
Ia.
Seorang gadis bersurai keemasan itu tengah termangu.
Manik emasnya menatap angkasa yang mulai membiru dan gurat putih yang terhampar di atas sana.
Ia tak mengindahkan suara samar seorang wanita yang tengah menjelaskan berbagai hal di hadapannya. Juga dengan sebuah tinta yang hanya menetes dari ujung bulu angsa yang ia genggam, sekaligus memberi corak pada kertas putih itu dengan pola abstrak di tengahnya.
Udara sekitar pun acap memenuhi kedua relung paru-parunya. Menjadikan setiap jengkal kulit pucatnya tak luput dari sapaan angin penghujung musim dingin yang berembus dan memenuhi seluruh penjuru ruangan bernuansa putih itu.
"Luxy."
Panggilan itu membuatnya menoleh. Ia pun menatap guardian wanita beriris emerald itu seraya mengerjapkan mata beberapa kali. "Ada apa, Guru?" tanyanya polos.
Wanita yang merupakan Guru Besar di Sanctus itu hanya tersenyum lembut, kemudian menaruh buku usang bersampul cokelat yang tadi ia jelaskan di atas meja berpola bunga vitae di depannya.
"Apa yang sedari tadi kau pikirkan, Luxy? Sepertinya menarik," ucap Emerald tenang. Namun, membuat gadis itu menjadi sorot utama.
Luxy pun hanya tersenyum kikuk sembari menggelengkan kepala. Menyadari bahwa ia tertangkap basah tengah melamun di jam pelajaran yang penting itu.
"Maafkan aku, Bu Emerald," cicitnya sembari menunduk malu.
Guru Besar Guardian wanita itu hanya terkekeh pelan. "Baiklah, tidak apa-apa. Lain kali jangan melamun lagi, ya?"
Luxy mengangguk patuh. Ia pun mulai mendengarkan lanjutan penjelasan yang sempat terhenti tersebut.
"Dan yang terakhir, Guardian Elemen Kegelapan. Guardian ini tidak banyak dibutuhkan untuk-tidak. Sama sekali tidak dibutuhkan di berbagai ritual." Sorot mata wanita itu tiba-tiba menggelap. Membuat seluruh calon guardians muda bertanya-tanya.
"Memangnya ada apa dengan Guardian Kegelapan, Guru?" tanya salah satu dari mereka yang tak dapat membendung rasa penasarannya. "Mengapa ia sama sekali tidak dibutuhkan dan tidak pernah kudengar desas-desusnya?"
"Apakah kalian pernah mendengar hukuman bagi guardian yang berkhianat?"
Semua menggelengkan kepala.
"Hukuman mati. Itulah yang pantas untuk mereka." Jawaban tersebut tentu membuat seluruh calon guardians muda tercekat. Mereka pun hanya dapat menundukkan kepala sembari termenung.
"Lalu apakah hal itu berkaitan dengan guardian kege-"
"Iya. Dia berkhianat," potong Emerald. "Dahulu, ada seorang Guardian Kegelapan yang telah melakukan tindakan keji kepada sebuah desa di Nature Kingdom. Ia membantai seluruh penduduk desa itu untuk memenuhi hasratnya saja."
Mendengar itu, semua calon guardians hanya bergeming di tempat.
Tak lama kemudian, gadis bermanik biru laut di samping Luxy membuka suaranya takut-takut. "Lalu apa yang terjadi kepada para Guardian Kegelapan setelahnya?"
Emerald mengembuskan napas-yang terdengar berat-kemudian menjawab, "Sebenarnya, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk memberi tahu kalian tentang hal itu." Ia menutup matanya. "Tapi, karena Guru sudah terlanjur menyinggung hal ini, kuharap kalian sudah mempersiapkan diri untuk mendengarnya."
Seluruh insan yang mendengar hal itu mulai bergerak gelisah. Wajah mereka pun tampak agak pucat, ditambah dengan irama jantung mereka yang mulai berdegup kencang.
Semua benak mulai bertanya-tanya.
Apa yang akan menimpa mereka?
Takdir apa yang akan mereka jalani?
Hukuman apa yang akan mereka rasakan?
Ya, terlalu banyak pertanyaan.
Terlalu banyak yang mengusik mereka.
Namun, hal itu dipatahkan ketika Guru Besar Sanctus itu berujar,
"Mereka diasingkan,
dan dilupakan dari dunia."
* * *
"Emerald!"
Seruan itu membuat wanita berjubah hijau itu berhenti kemudian menoleh. Ia melihat seorang pria yang tengah tergopoh-gopoh menghampirinya bersama suara tempo langkah yang menggema.
Emerald mengernyitkan dahi kala melihat raut pria itu yang tak biasa. Walau lorong itu cukup gelap, ia dapat melihat air wajahnya yang tersirat amarah ketika tertimpa sinar tembaga sang Rembulan.
Guru Besar Guardians wanita itu berdeham dan bertanya pelan, "Ada apa, Hazel?"
Pria itu berhenti tepat di hadapannya lalu mengatur napasnya sejenak. "Kau .... Apa yang telah kau ajarkan pada murid-murid, Emerald?" tanyanya tenang.
Terlihat mata wanita itu terbelalak lebar. Namun, detik itu juga ia berhasil menormalkan diri. "Apa maksudmu?"
Kali ini Hazel menatapnya dengan tajam, hal yang tidak pernah ia lihat dari pria itu. "Kau tahu betul maksudku, Nona Emerald," ungkapnya penuh penekanan.
Wanita itu melipat kedua tangannya dan menatap kedua iris lelaki itu dengan jenaka. "Aku hanya memberitahu 'betapa buruknya sang Kegelapan' kepada murid-muridku. Apakah aku salah?"
Tanpa Emerald sadari, kedua tangan sosok di hadapannya itu tengah mengepal menahan emosi yang kini perlahan mencuat. "Apakah kau tahu bahwa hal itu dapat membuat Guardian Kegelapan kembali diasingkan?" Ia mengusap wajahnya gusar. "Hentikan semua ini, Emerald. Perbaikilah apa yang telah kau-"
"Memangnya kenapa?!" sergah wanita itu dengan kilatan kebencian yang kini terlukis jelas di matanya yang indah. Wajahnya merah padam dan bahunya naik turun akibat deru napasnya.
Hazel pun memilih menyaksikan dalam diam. Batinnya terlalu berkecamuk, sehingga ia memilih tidak membalas bentakan itu.
Wanita itu melanjutkan dengan amarah yang sama, "Ini semua salah sang pengkhianat!" serunya. "Ia membunuh saudara-saudara leluhurku. Jadi, bukankah hal yang wajar jika kami meminta bayaran kepada setiap Guardian Kegelapan-"
"Tapi itu salah!" potong Hazel. "Tidak semua Guardian Kegelapan akan melakukan hal mengerikan seperti itu! Dan tindakan 'Balas Dendam' yang kau lakukan hanya akan berakhir pada sebuah kebencian yang tak berujung."
"Lalu apa yang kau inginkan?! Kau ingin aku menghentikan balas dendam leluhurku ini, begitu?"
Hazel menganggukkan kepalanya tegas.
Emerald menggeram dengan tangan terkepal kuat. "Kau yang terlahir murni sebagai guardian tidak akan mengerti perasaan guardian sepertiku yang terlahir dengan leluhur manusia! Kau juga tidak akan mengerti jika leluhurmu adalah KORBAN PEMBANTAIAN SANG KEGELAPAN!" teriaknya yang membuat atmosfer lorong itu semakin mencekam.
"Kau-"
Sebelum pria itu selesai berbicara, sosok di hadapannya langsung membalikkan tubuh dan berjalan menjauh dengan wajah merah menahan tangis dan amarah. Meninggalkan sebuah hening yang menghiasi lorong itu.
Hazel pun hanya dapat mengembuskan napasnya kuat-kuat kemudian berjalan menuju jendela besar sembari menatap bulan penuh dengan taburan bintang-bintang di sekitarnya. Ia menundukkan kepalanya dengan rahang yang terkatup kuat.
"Maafkan aku. Kali ini, aku pun tidak bisa menghentikan rantai balas dendam yang tak berujung ini," gumamnya pelan.
Ia mengeluarkan rantai kalung yang ia kenakan di balik baju kebesarannya itu. Menatap liontin berupa dua cincin perak identik yang bertahtakan sebuah berlian hitam dan putih.
"Apa yang harus kulakukan untuk melindungi sang Kegelapan selanjutnya?"
* * *
Angin malam yang berembus itu telah menyibak helai rambut cokelat seorang wanita yang kini duduk sembari memeluk kedua lututnya di bawah sebuah pohon. Ia membenamkan wajahnya di balik kedua kakinya, menyembunyikan raut bercampur emosi yang terlukis di sana.
Dalam kegelapan itu dia mulai merangkai kepingan masa lalu. Menghasilkan sebuah memori ketika ia berusia sekitar tujuh tahun. Kala itu dirinya tengah membaca buku di pangkuan sang kakek sembari memakan buah pir kesukaannya.
"Kakek," panggilnya dengan mulut penuh. "Apakah aku bisa menjadi guardian sepertimu?"
Matanya menangkap senyum tipis pria paruh baya itu, pula dengan mata yang agak membulat karena terkejut.
"Apakah kau ingin menjadi guardian?"
Ia mengangguk mantap.
Sang kakek pun hanya terkekeh, membuat Emerald kecil bertanya-tanya, "Apakah itu aneh, Kek?"
"Tidak, Cucuku." Guardian itu menggeleng pelan. "Kau pasti bisa menjadi seorang Guardian yang hebat."
Mata anak itu berbinar senang. "Pasti! Emerald pasti akan menjadi Guardian yang hebat!"
Sekali lagi, Guardian itu terkekeh. Tapi saat ini ada rasa bangga ketika ia mendengar tekad cucu kesayangannya.
"Kalau begitu, kau harus belajar yang rajin, ya?"
"Baik, Kek!"
Emerald kecil dengan semangat melanjutkan buku yang ia baca. Namun, Guardian itu hanya melihatnya dengan tatapan kosong, tidak menghiraukan gadis itu ketika ia bertanya materi di buku tersebut.
"Kakek?"
Panggilan kecil itu membuat kesadaran kakeknya kembali. Tapi secara tiba-tiba, sang kakek menatap mata gadis itu lekat-lekat.
"Emerald, jika kau menjadi Guardian, maukah kau melakukan hal yang Kakek minta?"
Gadis itu memiringkan kepalanya. "Jika Emerald bisa, pasti Emerald akan melakukannya."
Guardian itu tersenyum tipis. Ia pun melihat sekitar kemudian berbisik, "Buatlah sang Kegelapan diasingkan kembali dan dibenci oleh seluruh orang di dunia ini."
Emerald kembali terheran. "Apa maksudnya, Kek? Emerald tidak mengerti."
Pria paruh baya itu berpikir sejenak. "Jadi seperti ini, jika kau menuruti keinginan Kakek, maka kau akan menjadi seorang Guardian."
"Benarkah? Kakek berjanji?" tanyanya berbinar senang.
"Ya, Kakek berjanji."
"Baiklah! Emerald pasti akan menuruti semua keinginan Kakek!"
"Bagus. Ini baru cucu kesayangan Kakek," pujinya sembari mengusap kepala gadis itu.
Kala itu, dirinya tidak mengetahui arti dari senyuman dan tatapan sang Kakek.
Dirinya terlalu polos menerima semua keinginan Kakeknya hanya untuk mengejar impiannya semata.
Ya, menjadi seorang Guardian.
Ia pun menengadah menatap langit. Matanya sendu, lidahnya kelu. Ia hanya bisa berbisik pada angin malam yang menyapa.
"Apakah semua ini benar?" Ia bertanya dengan tatapan kosong. "Apakah hal yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan seperti yang dikatakan Hazel?"
Ia menggeleng kuat. Menepis segala keraguan yang sempat memenuhi relung hatinya.
Wanita itu meyakinkan kembali dirinya,
bahwa yang ia lakukan tidak salah.
Bahwa yang ia lakukan benar adanya.
Balas dendam yang leluhurnya tanamkan secara turun-temurun pasti memiliki alasan yang jelas. Alasan logis baginya untuk menjalani itu semua.
Dahulu, ia sering bertanya-tanya. Mengapa leluhurnya selalu meminta guardian kegelapan diasingkan? Bukankah hanya ada seorang yang bersalah?
Tapi, ia harus mengubur rasa penasarannya walau keraguan itu tetap muncul. Menghantui benaknya setiap saat, dan memuncak ketika Guardian bermanik Hazel itu mengingatkannya.
Ia marah padanya. Namun, lebih marah pada dirinya sendiri karena hal yang berakar dari dirinya itu akan menyiksa seorang guardian yang tak melakukan kesalahan apa pun.
Tiba-tiba sebuah suara gemerisik semak belukar telah membuatnya siaga. Ia bangkit kemudian menatap tajam arah sumber suara sembari menyiapkan sebuah belati di balik jubah hijaunya.
Ketika siluet yang muncul dari semak itu berada di hadapannya, ia pun mengembuskan napas lega. Ia menyimpan kembali belatinya dan berkata, "Kukira ada apa, ternyata kamu ...,
Caligo."
.
.
.
.
.
Hai semua!
Udah berapa lama aku ngga update cerita ini? //ngga tau! Kelamaan!
Oke, oke.... Maafkan diriku kalau chapter ini kurang memuaskan :"'
Alurnya jadi lambat lagi yaampun #plak
Dan kualitasnya malah campur aduk //nangis guling-guling
Kuharap kalian ngga jenuh dengan kisah Caligo dan Luxy hehe.
Ngomong-ngomong, aku mau nanya, nih.
Scene apa yang paling kalian suka sejauh ini? Dan scene apa yang paling bikin kalian greget? //maaf nanya hehe
See ya! ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top