Statera [8] : Sanctus, the Guardians School

Langit biru kini telah terganti oleh corak warna kelabu yang kini menaungi dunia.

Dedaunan berwarna kemerahan itu telah terganti, oleh sebuah ukiran putih nan kecil yang turun bersama embusan hawa dingin dari atas sana.

Di sana, seorang anak lelaki berjubah putih tengah menengadah menatap pemandangan yang terpatri indah di sekitarnya. Ia menatap hamparan putih yang ia pijak, meninggalkan jejak kaki mungilnya di antara puluhan jejak kaki yang lain.

Ia menatap sekitar. Matanya berbinar kala melihat benda putih nan dingin tersebut yang tengah bersanding dengan pepohonan hitam yang telah menanggalkan daunnya.

Ia pun mengembuskan napasnya perlahan, menciptakan kepulan putih yang kini menghiasi jarak pandangnya.

Setelah puas terkagum, sorot matanya kembali menatap ke depan. Kepada barisan yang mengenakan jubah putih serupa.

Barisan berjubah putih yang menyatu dengan warna sekitarnya itu berhenti di hadapan sebuah danau yang membeku. Membuat anak lelaki itu melakukan hal yang sama.

Seseorang berjubah hitam keunguan di depan barisan itu kini berdiri di sebuah dahan pohon yang tumbang. Ia tersenyum kala melihat sorot mata seluruh barisan yang kini tengah menatapnya.

"Selamat datang di Sanctus, para calon guardians muda yang saya banggakan," sambutnya dengan suara penuh kewibawaan.

Guardian itu pun turun dari dahan tersebut. Kemudian melangkah ke depan danau dan mengangkat kedua tangannya, bersamaan munculnya sebuah cahaya keunguan yang berkumpul di antara kedua telapak tangannya.

"Portam falsa, aperta!" serunya bersamaan dengan berpendarnya kumpulan cahaya tersebut.

Pemandangan danau itu seketika memburam dan tercerai berai. Meninggalkan sebuah jalan setapak dan pohon-pohon di sekitarnya yang kini terpampang jelas, juga tak lupa dengan sebuah bangunan putih yang berdiri kokoh dan berada tidak jauh di hadapan mereka.

Ya, bangunan itu bernama Sanctus. Tempat di mana seluruh guardians menuntut ilmu dan mempersiapkan diri untuk menjadi sosok guardians yang sesungguhnya.

Barisan itu kembali menelusuri jalan setapak tersebut. Melangkah dengan pasti menuju tempat yang selalu mereka nanti dan impikan.

Seorang anak lelaki bermanik kelabu muda itu menyenggol lengan anak lelaki yang tengah sibuk memuji keindahan alam yang terlukis di hadapannya.

"Caligo! Apakah kau lihat sihir tadi? Benar-benar ajaib, bukan?" tanyanya dengan mata berbinar.

Anak lelaki itu menoleh. "Kau benar. Aku jadi tidak sabar untuk belajar semua itu!" jawabnya dengan sama antusiasnya.

"Kalian ini." Anak lelaki yang melipat kedua lengannya itu menggeleng kecil. "Kalian kira hanya kalian saja yang tak sabar? Aku yakin semua anak di sini merasakan hal yang serupa."

Anak lelaki dengan gelagat yang cerianya itu mengangguk. "Iya, ya? Berarti kita punya banyak saingan kalau begitu."

"Betul, Aero. Maka dari itu, kita harus rajin belajar dan menjadi guardians yang membanggakan!" ujar Caligo memberikan semangat yang disambut dengan senyuman dan anggukan oleh keduanya.

"Ayo kita berjanji." Anak lelaki bersurai abu-abu tua itu mengulurkan salah satu tanganya. "Kita harus menjadi guardians yang terkuat di antara semua. Bukan begitu, Aero, Caligo?"

Keduanya mengangguk, kemudian mengulurkan tangan mereka dan menumpuknya menjadi satu kesatuan. Mereka pun berjanji menjadi guardians terkuat, terhebat, dan dapat diandalkan bagi dunia mereka.

Janji mulia yang diucapkan ketiganya itu tentu bukanlah janji yang dapat ditepati dengan mudah. Bukan pula janji yang dapat ditinggalkan begitu saja. Namun, ketika semangat mereka membara. Mencairkan seluruh keraguan dan keluh kesah yang akan mereka hadapi kelak. Tak ada satu pun yang dapat menghentikan ketiganya.

Tak ada satu pun yang dapat meruntuhkan cita-cita mulia mereka.

* * *

Barisan itu sampai di hadapan sebuah pintu gerbang berwarna putih yang terpampang dan berukuran sangat besar tersebut. Pintu itu memiliki ukiran bunga vitae yang memperindah di setiap sisinya.

Dua orang guardian pria dewasa itu membuka pintu gerbang tersebut secara perlahan. Seolah menyambut dan membawa para calon guardians muda kepada mimpi mereka yang berada tepat di baliknya.

Kini, terperangahlah mereka semua. Pada keindahan bangunan yang didominasi oleh warna putih dan berdiri kokoh di hadapan mereka. Siapapun yang melihat keelokan bangunan itu pasti akan berpikir bahwa Sanctus lebih cocok disebut sebuah istana dibandingkan dengan sebuah sekolah.

Mereka pun melangkah masuk. Berpijak pada rerumputan beku di tanah Sanctus yang merupakan langkah pertama mereka dalam perjuangan menjadi guardians sesungguhnya.

Setelah melewati hamparan salju yang cukup luas, akhirnya mereka pun berhenti di depan tangga menuju pintu utama.

Dua orang guardians berjubah putih itu naik terlebih dahulu dan berhenti di tengah tangga. Membalikkan tubuh mereka seraya membuka tudung jubah yang sedari tadi menutup wajah keduanya.

"Selamat datang di Sanctus, para calon guardians muda. Saya adalah Guru Besar guardians wanita di Sanctus." Guardian wanita bermanik emerald itu menarik napas sejenak. "Nama saya adalah Emerald. Semoga kalian bisa menikmati kehidupan di Santus ini," ucapnya seraya tersenyum lembut.

"Lalu perkenalkan. Nama saya adalah Hazel. Guru Besar guardians pria di Sanctus. Saya harap kalian dapat menjadi guardians yang membanggakan," ucap guardian pria yang berada di samping guardian wanita bermanik emerald tersebut.

Terdengar suara riuh tepuk tangan yang kini disematkan untuk kedua guardians tersebut. Setelah tepuk tangan tersebut mereda, mereka pun berjalan menuju pintu utama dan menyayat telapak tangan mereka dengan sebuah belati. Membuat telapak tangan keduanya kini mengalirkan darah yang cukup banyak.

Para calon guardians tentu sedikit bergidik ngeri. Membuat kedua Guru Besar tersebut tertawa kecil ketika melihatnya.

"Jangan takut. Ini adalah cara untuk membuka kunci pintu utama Sanctus yang telah terkunci selama sepuluh tahun," ucap Guru Besar Emerald seraya tersenyum dan membuat seluruh calon guardians muda itu mengembuskan napas lega.

Keduanya kini menyentuh permukaan pintu tersebut dengan telapak tangan mereka yang sudah terpenuhi oleh darah dan sempat diratakan itu. Membuat pintu dan kalung berliontin bunga vitae yang dikenakan oleh seluruh orang di sana mulai menyeruakkan cahaya keperakkan yang menyilaukan mata.

Tak lama kemudian, pintu besar tersebut terbuka secara perlahan. Kedua Guru Besar itu pun masuk terlebih dahulu dan diikuti oleh barisan tersebut.

Ketika permukaan sepatu yang mereka kenakan bertemu dengan lantai ruangan yang temaram itu, satu persatu bunga teratai di sekitar kolam yang berada di seluruh sisi ruangan berbentuk lingkaran tersebut mulai mekar, kemudian terbang dan mengeluarkan cahaya yang kini merekah dan menepis kegelapan yang melingkupi ruangan itu.

Memperlihatkan kepada setiap insan yang hadir di sana dengan kemegahan ruangan putih dengan berbagai ukiran yang terpahat halus di seluruh dindingnya. Di langit-langitnya terdapat sebuah ukiran bunga vitae yang besar, pula mata air di empat titik yang menumpahkan air jernih dan terlihat bagai pilar biru ruangan tersebut.

Setelah barisan tersebut berada di tengah ruangan, seluruh guardians dewasa mulai berjalan menaiki tangga menuju kursi yang kini berjajar rapi di sana. Kedua Guru Besar tersebut pun duduk di kursi yang paling tinggi, layaknya Raja dan Ratu yang tengah duduk disinggasananya.

"Sekarang kalian berada di aula Sanctus. Tempat pertama kali kalian menuntut ilmu di sini," ucap Guru Besar pria tersebut.

"Sebelum itu akan saya perkenalkan, mereka adalah sosok-sosok yang akan menjadi pembimbing kalian," seru Guru Besar wanita itu seraya mengangkat kedua tangannya agak menyamping. Seolah tengah menyambut para guardians yang kelak akan menjadi pembimbing di Sanctus.

Suara tepuk tangan yang tumpang tindih itu kembali terdengar. Menciptakan suasana penuh antusias dari para calon guardians muda tersebut yang membuat para guardians dewasa tersenyum kala melihatnya.

Guru Besar guardians pria itu terkekeh. "Aku telah melihat semangat putra-putri para guardians yang sangat membara ini. Apakah kalian sudah tidak sabar untuk menuntut ilmu di Sanctus?"

Semua calon guardians mengangguk penuh rasa semangat.

"Namun, sebelum memulai pembelajarannya, saya akan memberi tahu tugas seorang guardian yang sebenarnya." Ia mengambil napas dan mengembuskannya perlahan.

"Guardians memiliki tugas untuk menjaga keseimbangan di dunia ini. Baik alam maupun para penduduk, harus kita jaga dengan sebaik-baiknya.

Dan karena kita memiliki sebuah kelebihan berupa kekuatan yang akan mengalir sampai akhir hayat kita, maka kita harus menggunakannya untuk keseimbangan Statera," tegasnya yang disambut oleh para calon guardians yang kini terpaku.

* * *

Three years later....

Pelajaran menjahit yang menjadi momok menakutkan bagiku akhirnya selesai. Aku pun membungkus peralatan menjahitku, dan meregangkan kedua otot lengan yang terasa kaku karena berkutat dengan alat-alat tersebut. Saat ini, aku tengah duduk di salah satu bangku yang di susun membentuk setengah lingkaran di ruangan serba putih ini.

"Luxy!"

Panggilan itu membuatku menoleh. Menatap seorang gadis bermanik biru laut itu yang kini berlari kecil menghampiriku.

"Ada apa, Caeru?"

"Kau harus ke aula pedang sekarang! Ada pertandingan seru antara Caligo dan Ligno!!!" ucapnya penuh semangat.

Aku mengernyitkan dahi. "Siapa mereka?"

Ia mencebik sebal mendengar pertanyaanku barusan. "Kau ini. Padahal selama dua tahun ini aku selalu membicarakan tiga pemuda paling hebat di Sanctus itu, dan kau malah melupakan mereka?" Ia menggeleng pelan. "Apakah aku harus menjelaskan lagi siapa mereka, hmm?"

Aku mengerjapkan kedua mataku. "Kalau begitu, jelaskan saja."

Kudengar ia mengembuskan napas berat sekaligus kesal. Memangnya kenapa? Aku memang tidak pernah ingat siapa mereka. Aku terlalu sibuk menghafalkan buku-buku tebal yang sulit kuingat, dan tidak pernah tertarik dengan para guardians lelaki yang memang berada di seberang bangunan kami, para guardians wanita.

"Aku terlalu lelah untuk menjelaskan lagi kepada orang pelupa sepertimu." Ia bersungut kesal. "Lebih baik kau ikut denganku sekarang!"

Ia pun menarikku dengan paksa dan membawaku ke aula pedang. Di sana, puluhan guardians wanita yang sebaya denganku pun berebut ingin melihat pertarungan pedang yang diadakan satu bulan sekali itu.

Setelah berdesakan dan menyelip di celah-celah kerumunan, akhirnya aku dan Caeru berhasil berada di depan barisan.

Kini aku dapat melihat dengan jelas pertarungan dua remaja lelaki yang kini dengan lihainya memainkan pedang mereka.

Suara dentingan pedang yang beradu dan kegesitan mereka telah membuatku terpaku sekaligus takjub pada keduanya.

Dan ketika salah satu pedang terlempar ke luar arena, remaja lelaki yang kini menghunuskan pedangnya ke samping leher lawannya itu telah membuatnya menjadi pemenang dari pertarungan sengit barusan.

Suara sorak semarai kembali terdengar. Baik dari para guardians wanita maupun guardians laki-laki yang takjub akan pertarungan yang sangat menakjubkan itu.

Aku menatap lekat lelaki bersurai hitam yang kini membantu lawannya berdiri sembari tersenyum. Seolah larut dalam senyuman yang tengah lelaki itu sunggingkan.

"Luxy."

"Ah, iya?" Aku mengerjap kedua mataku dan dibalas oleh kekehan wanita bernetra biru laut itu.

"Kau tahu nama mereka?"

Aku menggeleng lemah.

"Kau ingin tahu?"

Aku mengangguk mantap.

"Yang kalah bernama Ligno. Dan yang selalu menang dalam pertarungan pedang itu bernama,

Caligo."

* * *

Siluet putih yang berkelebat itu telah membuat remaja lelaki bersurai hitam itu terusik. Ia mengernyitkan dahi ketika aktivitas membacanya itu terganggu oleh dua orang yang kini berdiri di hadapannya.

"Ada apa?" tanyanya kepada dua orang yang mengusiknya itu.

"Kau...." Ligno bergumam. "Apa yang kau lakukan di sini, Caligo?" tanyanya seraya memicingkan mata.

Remaja lelaki bermanik jelaga itu menutup buku usang yang tadi ia baca. "Aku sedang membaca buku," jawabnya seraya memperlihatkan buku berjudul 'Sejarah Statera'.

Remaja lelaki satu lagi berdecak kecil. "Apakah kau ingin mati kedinginan dan kelaparan, hah? Kau belum makan siang tadi." Ia mengerucutkan bibirnya kesal. "Cepat makan!"

Remaja lelaki yang diomeli itu terkekeh. Berdiri, dan menepuk belakang baju berwarna putihnya yang tadi bersentuhan dengan dinginnya salju.

"Baiklah, Aero, Ligno. Aku akan pergi mencari makanan."

"Baguslah kalau begi-HAH?! MENCARI?!" teriak Aero yang membuat Ligno mengusap kedua telinga dan memukul lengan remaja lelaki bernetra abu-abu muda itu cukup kuat.

Caligo menganggukkan kepalanya. "Hanya sebentar. Tolong jaga buku ini dulu, ya?" Dan ia pun berlari menembus salju yang kembali turun.

"Anak itu...."

"Sudahlah, biarkan saja. Setidaknya dia tidak lupa makan lagi," ucap Ligno seraya duduk di bawah pohon cemara yang tadi menjadi tempat Caligo membaca buku.

"Tapi...," sanggah Aero.

"Sudah kubilang biarkan saja. Jangan berkata apa-apa lagi, mengerti?" pungkas Ligno tajam yang membuat Aero bergidik ngeri. Anak lelaki itu pun ikut duduk di sampingnya dan memejamkan mata seraya menikmati desauan angin dingin yang menyapanya.

* * *

Aku mencari pohon-pohon yang sekiranya masih berbuah di sekitar danau ini. Namun, yang kutemukan hanya sebuah apel berwarna merah yang berada di puncak pohon.

Aku pun mengambil beberapa kerikil dan melemparkannya tak jauh dari pohon itu. Aku terus mencobanya berulang kali sekaligus berlatih ketepatan melempar dengan mengarahkan batu tersebut ke arah apel itu.

"Berhasil" batinku bersorak senang ketika apel tersebut mulai terjatuh dari atas pohon.

Aku pun mengambil apel tersebut. Membersihkannya dari salju yang menempel, dan mulai merasakan kenikmatan apel musim dingin yang terasa sangat manis seraya memejamkan mataku.

"Hei! Kenapa kau seenaknya saja memakan apel itu?!" teriak seseorang yang sontak membuatku tersedak.

Gadis bersurai keemasan itu menghampiriku seraya menghentakkan kaki. Membuatku mundur beberapa langkah dan mengernyitkan dahiku.

"A-aku memetiknya tadi. Memangnya kenapa?" ucapku sedikit gugup karena ditatap tajam olehnya.

Tiba-tiba ia memukulku secara bertubi-tubi. "Tadi aku sudah susah payah untuk memetiknya tahu!" pekiknya.

Aku melindungi diri dari pukulannya dengan kedua tanganku. "Apa yang sebenarnya kau maksudkan, Nona?" ringisku yang mulai merasakan perih di kedua lenganku ini.

Ia pun mendesah frustrasi. Menghentikan aktivitasnya memukulku, kemudian bergegas pergi dan meninggalkanku yang kebingungan.

Kini aku hanya dapat melihat punggung dan helai keemasannya yang teribak angin. Tak lama kemudian, aku membulatkan mataku dan baru menyadari sesuatu ketika gadis itu sudah menjauh dari pandanganku.

"Siapa namamu?" gumamku dengan sorot mata yang tak lepas memandangnya.

"Ini sudah tiga tahun, dan betapa bodohnya aku karena belum ....

Mengetahui namamu."
.
.
.
.
.
_To be Continued_

🍀🍀🍀

Gimana dengan part ini? Apakah mengecewakan? Hohoho #plak

Kalau ada kekurangan atau hal yang mengganjal di benak kalian silakan beri tahu ^^ Itu akan sangat membantu untuk memperbaiki berbagai kekurangan cerita yang aku yakin banyak banget ini wkwk #plak

Oh, ya. Terima kasih untuk dukungan kalian selama ini ^^
Itu menjadi motivasiku dalam menulis wkwk. Maaf ngga bisa sering update karena masih belum bisa mengatur waktu antara kesibukan di dunia nyata dan dunia kepenulisan ini ^^

Thanks for everything, guys!

Hope you enjoy and like my story ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top