Statera [7] : Deka Festival
Lelaki berwajah pucat itu menutup buku keperakan yang baru saja ia baca. Ia pun menaruh buku tersebut dan berjalan menuju sekat bening yang terhias oleh rintik air hujan.
Salah satu telapak tangannya bertemu dengan permukaan kristal bening itu, membuatnya merasakan dingin yang kini menjalar pada kelima jemarinya.
Ia menggerakkan jari telunjuknya perlahan, mengukir sebuah kata di atas kaca berembun itu.
Statera
"The Guardians memiliki tugas untuk menjaga keseimbangan di dunia ini. Baik alam maupun para penduduk, harus kita jaga dengan sebaik-baiknya.
Dan karena kita memiliki sebuah kelebihan berupa kekuatan yang akan mengalir sampai akhir hayat kita, maka kita harus menggunakannya untuk keseimbangan Statera," gumamnya seraya menatap kata itu dengan sorot mata kosong.
"Apakah aku bisa? Apakah aku mampu?"
Ia membuka jendela tersebut, membiarkan rintik hujan menghiasi wajahnya sembari menatap kelabu dengan sendu.
Tak lama kemudian, ia pun menutup matanya. Mencoba menyelami sepenggal kisah masa lalu yang kini terputar dengan jelas dalam benaknya.
* * *
Pagi itu, ketika dedaunan mulai menanggalkan dirinya sedikit demi sedikit untuk pergi menjauh. Meninggalkan sang Pohon menuju angkasa biru.
Bersama angin yang terasa dingin menerpa kulit, mereka menghiasi angkasa dengan warna kemerahan, kecokelatan, maupun berbagai perpaduan warna lainnya yang memantulkan sinar sang Mentari. Sinar itu kini menembus helai dedaunan tersebut, membuat bayangannya menghiasi jalan setapak dengan warna-warni musim gugur.
Sebuah barisan berkuda yang berjumlah empat puluh-an itu tengah menelusuri jalan berupa bebatuan. Di depan barisan, terdapat seorang guardian muda yang tengah memegang sebuah bendera berlambang bunga vitae sembari menunggangi seekor kuda. Diikuti oleh tiga guardian lain di belakangnya yang juga memegang bendera tersebut. Namun, memiliki ukuran yang relatif lebih kecil.
Dengan pakaian yang terbuat dari sutra berwarna cokelat dan motif dedaunannya yang terbuat dari sulaman emas, membuat keempat guardian pria tersebut tampak gagah dan kontras dengan kuda hitam mereka.
Terlepas dari keempat guardian itu, di setiap kuda lainnya juga ditunggangi oleh seorang guardian pria dan juga seorang anak kecil, yang tak lain adalah buah hati mereka.
Salah satu dari mereka, yaitu seorang gadis kecil bernetra keemasan yang tampak berbinar itu kini tengah menatap pemandangan sekitar dari kuda yang ia naiki bersama ayahnya. Suara tawanya yang riang itu membuat ayahnya dan guardian lain tersenyum, ikut larut dalam kebahagiaan yang ia rasakan.
"Ayah! Kita akan ke mana?" tanyanya dengan ceria.
Ayahnya terkekeh dan mengacak rambut keemasan putri kecilnya itu dengan gemas. "Kita akan pergi ke Portal Caeruleus, Putriku."
"Apakah kita akan jalan-jalan, Ayah?"
"Iya." Ayahnya mengangguk. "Apakah kausuka?"
Gadis itu menoleh dan mengangguk antusias. "Luxy suka, Ayah! Kita akan pergi bersama dengan orang-orang ini, kan?" tanyanya seraya menunjuk beberapa kuda di hadapan mereka.
"Tentu saja, Putriku. Kaujuga akan mendapat teman baru."
"Wah, Luxy suka!"
Mereka pun berbincang kecil. Membuat orang-orang tersenyum ketika gadis kecil itu terus menanyakan berbagai hal dan membuat ayahnya kewalahan.
Sedangkan di barisan depan, seorang anak laki-laki bernetra jelaga itu sama sekali tidak tertarik dengan percakapan kedua orang di belakangnya dan hanya fokus pada sebuah buku yang sedari tadi ia baca.
Ia mengangkat salah satu alisnya, merasa sedikit terusik ketika suara tawa orang-orang mulai memecah keheningan. Ia pun menoleh kepada ayahnya yang juga terlihat sedang menahan tawa.
"Apakah aku melewatkan sesuatu?" tanya anak lelaki itu penasaran.
Ayahnya menggeleng kecil seraya berdeham pelan. "Tidak ada. Hanya sebuah gurauan kecil."
Anak lelaki itu mengernyitkan dahinya. Mencoba melihat ke arah belakang barisan tersebut, namun terhalangi oleh postur ayahnya yang besar. Tak berselang lama, ia pun mengangkat bahunya tak acuh dan melanjutkan kegiatan membacanya tanpa menghiraukan suara lengkingan gadis itu.
* * *
Suara tabuhan tympanum yang menggema telah membuat barisan berkuda tersebut berhenti. Saat ini, mereka berada di pintu masuk portal caeruleus yang berbentuk lingkaran sempurna.
Dengan teratur, satu persatu kuda mulai memasukinya dan berhenti di sisi portal tersebut secara melingkar. Keempat guardian muda itu pun turun dari kuda mereka. Melangkah secara perlahan dengan iringan suara tabuhan alat musik berbentuk lingkaran yang berbahan dasar kulit binatang dan kayu jati tersebut.
Anak lelaki bersurai hitam yang sedari tadi sibuk membaca buku itu kini menutupnya. Tatapannya mulai menari-nari memperhatikan sekitar, mencoba mencari hal yang menarik baginya dan akhirnya tatapan itu jatuh pada sebuah siluet samar. Di dalam iris kelamnya, terdapat sebuah pantulan siluet seorang gadis yang kini berada jauh di seberangnya.
Ia pun menyipitkan matanya, berusaha membuat objek yang dipandangnya itu terlihat jelas. Namun, bendera vitae yang berkibar itu menghalangi pandangannya, disusul dengan munculnya keempat guardian itu yang hampir sampai menuju tengah portal.
"Seharusnya kita tidak berada di sini, Ayah," gumamnya kesal karena tidak dapat melihat siluet samar gadis itu lagi dan akhirnya memilih untuk memperhatikan ritual di hadapannya itu walau dengan hati yang masih menggerutu.
Setelah sampai di tengah portal, guardian yang memegang bendera terbesar berteriak lantang, "Dengan ini aku memanggilmu, wahai portal biru Statera!"
"Dengan ini kami memanggilmu, wahai portal biru Statera!" seru ketiganya setelah guardian tersebut.
"Caeruleus!"
Setelah keempat guardian itu mengucapkannya secara serempak, sebuah cahaya kebiruan menyeruak dari tengah altar berbetuk bunga vitae tersebut. Cahaya biru itu mulai merambat ke seluruh sisi, memenuhi portal tersebut yang kini seolah menjadi kolam berwarna biru laut dengan kerlap-kerlip kebiruannya yang berpendar menuju angkasa.
Empat guardian tersebut kini seolah tampak berdiri di atas air, membuat seluruh anak di sana tampak terpana ketika melihatnya.
"Caligo," panggil ayah anak lelaki bernetra jelaga tersebut dengan lembut.
Caligo pun menoleh perlahan. Wajahnya yang imut dengan mulut sedikit terbuka karena terkejut itu telah membuat ayahnya tersenyum geli.
"Ada apa, Ayah?"
Sosok pria berparas lembut namun tegas itu mengacak rambut anak semata wayangnya dengan gemas. "Bagaimana menurutmu, Anakku?"
"Tentang apa?"
"Tentang ritual ini."
Caligo tersenyum tipis. "Ini sangat hebat, Ayah. Bagaimana cara melakukannya?"
"Nanti kauakan mempelajarinya ketika di Sanctus. Jadi, di sana kau harus rajin belajar, ya?"
"Baik, Ayah!" ujar anak lelaki manis itu dengan semangat.
Tak berselang lama, sebuah suara tabuhan tympanum yang membentuk rangkaian melodi itu kembali terdengar. Membuat seluruh barisan berkuda itu mulai memasuki portal biru tersebut.
Terdengar banyak sekali gumaman samar para anak yang terkagum-kagum. Mereka melihat ke bawah, tepatnya ke birunya portal yang kuda mereka pijak. Ketika kaki kuda tersebut bertemu dengan permukaan portal, kerlap-kerlip itu seolah mencuat ke luar. Membuat para makhluk di sana memantulkan warna kebiruan di tubuh mereka.
Setelah mereka semua sampai di sekeliling pusat portal, empat guardian itu kembali berteriak lantang.
"Praesidio Caeruleus!"
Seketika cahaya kebiruan itu kembali menyeruak. Membuat seluruh guardian memejamkan mata mereka untuk menahan angin yang menerpa dengan kuat. Cahaya itu pun menghilang, bersamaan dengan hilangnya barisan berkuda tersebut bersamanya.
Kini mereka tengah menuju tempat kedua dilaksanakannya ritual tersebut. Tepatnya di puncak pohon praesidio.
Salah satu dari ketiga portal utama.
* * *
Mereka sampai di titik kedua dari portal Caeruleus. Tentu saja, sisi luar Altar Putih Vitae adalah titik ketiga tersebut. Altar sekaligus portal paling agung di Statera.
Di sana, seluruh wanita-yang tak lain adalah ibu dari calon guardians muda itu-tengah berdiri di sisi dalam altar berbentuk lingkaran tersebut. Mengenakan gaun keemasan dengan selendang jingga yang tergerai indah di bahu mereka.
Di kedua tangan mereka melingkar sebuah gelang perak yang memiliki tiga buah lonceng kecil berlapis emas. Gelang tersebut kelak akan mengalunkan suatu rangkaian nada yang jernih dan indah. Tak lupa rambut mereka pun diikat oleh sebuah pita merah dengan dua buah lonceng yang serupa di setiap ujungnya.
Para ayah mulai turun dari kuda bersama anak mereka. Melangkah secara perlahan seraya menggenggam tangan mungil anaknya, menuntun ke hadapan sang Ibu yang sudah menunggu kedatangan mereka.
Para ibu menatap wajah polos itu dengan tersenyum dan kemudian membalikkan badan mereka setelah membungkukkan badan kepada suaminya, meminta izin untuk memulai ritual.
Tak lama kemudian, para guardians wanita tersebut mulai melangkah mendekati pusat altar. Dan ketika sebuah alunan tympanum mulai bertabuh, mereka pun mulai menghentakkan kedua tangan mereka seolah menantang angkasa. Menimbulkan sebuah suara gemerincing yang dapat menarik siapapun untuk larut ke dalamnya.
Mereka berputar dengan anggun, sesekali menghentakkan tangan mereka lagi seraya melangkah ke samping dengan lemah gemulai.
Alat musik bernama cithara dan votre pun ikut mengiringinya. Cithara yang dipetik dengan lembut dan votre yang digesek penuh perasaan itu telah menciptakan sebuah lantunan yang sangat indah. Diselingi oleh tabuhan tympanum, tentu saja berhasil memukau setiap insan yang melihat tarian maupun mendengar melodi tersebut.
Cithara
Votre
Anak laki-laki itu tertegun. Melihat sang Ibu yang tengah menari di sana. Hati kecilnya tidak berhenti memuji, kepada sosok bersurai cokelat yang paling lihai menari.
"Caligo!"
Anak lelaki itu menolehkan kepalanya. Menatap kedua sahabatnya yang salah satunya melambaikan tangan riang.
"Ada apa, Aero?" tanya Caligo berbisik.
Lawan bicaranya itu hanya tersenyum lebar, menampakkan kedua gigi gingsulnya yang membuat anak itu terlihat manis. Hal itu tentu membuat Caligo kebingungan. Sebelum anak lelaki bermanik hitam itu sempat bertanya, anak lelaki bersurai abu-abu gelap-yang tak lain adalah salah satu dari kedua sahabat Caligo-memotongnya.
"Kautahu, kan? Aero memang aneh," ucapnya dengan wajah datar.
"Apa kaubilang?!" pekik Aero dengan suara tertahan.
Caligo hanya bisa tertawa kecil mendengar kedua sahabatnya yang mulai berdebat kembali. Keduanya memang sangat berlawanan, Aero dengan sifatnya yang ceria dan Ligno dengan sifatnya yang dingin tentu saja membuat mereka berdua tampak tidak selaras. Namun, hal itu tentu salah. Walau mereka sering berdebat, bukan berarti mereka tidak akur. Menurutnya kedua sahabatnya itu tampak akur dan serasi dengan cara mereka masing-masing.
Suara dehaman halus telah menyadarkan mereka. Membuat ketiganya tersenyum kikuk ketika ditatap garang oleh ayah mereka.
Akhirnya mereka pun kembali memperhatikan ke depan, ke arah ritual yang telah mencapai puncak acara. Seluruh guardian wanita yang barusan menari, kini membentuk dua buah lingkaran yang mengelilingi pusat portal tersebut. Semua anak bertanya-tanya, apa yang akan ibu mereka lakukan?
Ketika suara iringan ketiga musik itu melembut, seluruh guardian wanita itu pun berkumpul dan mengangkat selendang mereka. Seolah tampak sebagai bunga vitae yang menguncup.
Kini suara alunan votre yang memimpin. Dengan suaranya yang halus dan indah, mempercantik ritual tersebut ketika mereka mulai membuka selendangnya, membuat formasi tersebut tampak seperti bunga vitae berwarna jingga yang tengah mekar.
Sebuah cahaya keperakan menguar dari tengah altar. Cahaya-cahaya tersebut terembus angin menuju setiap guardian wanita itu dan membentuk sebuah kalung perak berliontin bunga vitae.
Setelah kalung itu terbentuk sempurna, mereka pun berjalan menuju anak mereka. Melepas kalung tersebut dan memakaikannya kepada calon guardian muda itu dengan lembut.
Tentu saja, gadis manis bersurai emas itu langsung terpekik girang ketika memakainya. Membuat kedua orang tuanya saling melempar senyum dan tertawa pelan.
"Ibu! Kalung ini sangat cantik! Tapi, untuk apa ini?"
"Ketika kaumasuk Sanctus, kauharus menggunakan ini sebagai tanda pengenal di sana."
"Sanctus? Tempat apa itu, Ayah?"
"Itu adalah tempat para guardians menuntut ilmu. Secara sederhana, itu adalah sekolah bagi para guardians."
Manik gadis itu tampak berbinar. "Jadi, aku akan menjadi murid di sana, kan?"
"Tentu saja, Anakku. Jangan sampai kehilangan kalung ini, ya."
* * *
Seluruh guardians itu kini sampai di jantung kota Alba. Portal utama caeruleus yang ketiga.
Senja tengah menaungi langit, menggantikan langit biru dengan warna merah keemasannya. Embusan angin dingin itu kembali menerpa, membuat anak lelaki itu mengeratkan jubah yang ia kenakan.
"Dingin sekali," gumamnya seraya menggosokkan kedua tangan mungilnya.
Ia mulai mengedarkan pandangannya. Melihat kerumunan penduduk yang tengah merayakan festival deka dengan dihiasi oleh berbagai alunan musik. Festival itu dilaksanakan ketika perayaan calon guardians muda di penghujung bulan deka, bulan kesembilan dari kalender cynosura.
Ia melihat banyak sekali dekorasi berbentuk daun maple di sepanjang jalan dan bangunan berwarna putih di sana. Pula orang-orang yang kini berlalu-lalang untuk menikmati meriahnya festival yang terjadi sepuluh tahun sekali itu.
"Caligo?"
Anak itu menengadah. Melihat sang Ibu yang kini menggenggam tangan kirinya, menghantarkan sejumlah kehangatan padanya.
"Apakah kaulapar?"
Anak lelaki itu mengangguk kecil. "Iya. Caligo lapar, Ibu."
Wanita bermanik cokelat itu tersenyum teduh. "Kauingin memakan apa?"
Caligo pun mengedarkan pandangannya kembali. Melihat beberapa tenda kecil yang menyuguhkan beberapa makanan yang menguarkan harum menggiurkan.
"Aku ingin sup ayam." Ia menunjuk salah satu tenda dengan pelanggan yang ramai. Membuat ibunya mengangguk dan menuntunnya ke sana.
Karena pelanggan yang ramai, mereka bedua sempat terhimpit oleh beberapa orang. Namun, salah satu penduduk menyadari dua guardians tersebut dan langsung berteriak, "Tolong minggir! Nyonya ini ingin memesan supnya!"
Semua orang langsung menoleh. Menciptakan sebuah keheningan yang membuat Caligo menelan salivanya susah payah.
Ibunya itu hanya tersenyum kikuk ketika melihat kerumunan itu bergeser, memberikan jalan bagi dirinya pula anaknya untuk memesan sup itu terlebih dahulu.
"Ibu," bisik Caligo seraya menarik gaun ibunya pelan.
"Ada apa, Anakku?"
"Aku tidak lapar. Lebih baik kita pergi, ya?"
Terra pun mengembuskan napas pasrah. Meminta maaf kepada kerumunan tersebut dan pergi menjauh sesuai permintaan anaknya.
"Bukankah kaulapar?" tanya Terra khawatir dan berlutut untuk menyetarakan tingginya.
Caligo tersenyum lembut dan menggeleng kecil. "Tidak apa-apa, Ibu. Aku hanya tidak suka ketika orang-orang itu memperlakukan kita seperti tadi." Ia terdiam sejenak. "Mengapa mereka melakukannya?"
"Para penduduk memperlakukan kita dengan berbeda karena kita adalah guardians. Mereka bukannya tidak suka pada kita, tapi mereka menghormati kita. Hal yang wajar ketika seseorang yang sangat penting berada di dekatmu, lalu tiba-tiba kaubertingkah seperti mereka."
"Tapi aku tetap tidak menyukainya. Mereka sama seperti kita, sama-sama makhluk yang diciptakan Tuhan."
Terra tersenyum tipis. "Kaumemang anak baik, tapi kauharus membiasakan diri dengan hal itu. Karena bagaimanapun juga, mereka akan tetap bersikukuh untuk menghormati kita."
Caligo mengangguk pelan. "Baik, Ibu. Aku akan membiasakan diri."
"Caligo!!!"
"Caligo!"
Suara dua orang itu membuat mereka menoleh. Terlihat Aero dan Ligno yang kini tengah berlari kecil ke arah mereka.
"Bibi, bolehkah kita mengajak Caligo jalan-jalan?" tanya Aero dengan suara khasnya yang ceria.
"Ke mana?"
Ligno tersenyum tipis dan menjawab, "Kami ingin melihat kembang api di air mancur blok barat."
Terra menatap manik putranya yang berbinar seolah memohon. Membuatnya tertawa dan mencubit pipi putranya iti dengan gemas.
"Oh, begitukah? Kalau begitu hati-hati ke sananya, ya?"
Ketiganya pun bersorak gembira. Mereka langsung berlari menuju barat, meninggalkan Terra yang tertawa kecil ketika melihat ketiganya yang sangat antusias.
Ia bangkit dan menepuk gaunnya beberapa kali. Kemudian membalikkan tubuhnya untuk berjalan-jalan di festival deka yang meriah itu.
* * *
"Kenapa festival ini dirayakan di penghujung bulan Deka, ya?" tanya Aero sembari mengulum manisan apel merah yang sempat mereka beli.
"Lalu, kauingin festival ini dirayakan di bulan apa? Di bulan ketika musim dingin? Apakah kauingin mati kedinginan ketika melaksanakan ritual ini? Ck, kauselalu menanyakan hal yang tidak penting," ketus Ligno seraya mendelik.
"Aku hanya bertanya saja kautahu! Mengapa kauselalu mencari masalah denganku?!" ucap Aero tidak terima.
Ligno tidak menjawab. Ia sibuk mengulum manisan apel itu dan memalingkan wajahnya dari Aero. Hal tersebut tentu membuat Aero kehilangan kesabaran, dan akhirnya perdebatan itu tidak terelakkan lagi.
Caligo yang berada di belakang mereka hanya diam tanpa bersuara, tidak menghiraukan perdebatan yang sehari-hari ia lihat. Ia memilih memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di jalan tersebut. Namun pada akhirnya, siluet gadis bersurai keemasan yang berada jauh di depannya telah menarik perhatian anak lelaki itu, lagi.
"Aero! Ligno!"
"APA?!"
"Apa?"
Caligo menunjuk pertigaan yang baru saja gadis itu masuki. "Aku akan pergi ke sana dulu. Boleh, ya?"
"Mengapa kauingin ke sana?" tanya Ligno seraya menautkan kedua alisnya.
"A-aku.... Ah! Aku perlu ke kamar kecil," jawab Caligo dengan agak gugup.
Ligno menyipitkan matanya. Membuat Caligo salah tingkah dan memilih menatap lentera-lentera yang kini menyala di atas mereka.
"Pergilah."
Caligo menatap Ligno dan Aero bergantian. "Benarkah?"
"Kalau kauingin ke kamar kecil, bukankah seharusnya kaubergegas sekarang?" ledek Aero.
Caligo pun menganggukkan kepalanya mantap. Segera berlari membelah kerumunan yang memenuhi jalan tersebut.
"Dia tidak pernah bisa membohongi kita, bukan?" bisik Ligno dengan tersenyum tipis.
"Memangnya dia berbohong?" tanya Aero polos.
Ligno berdecak. "Sudah, lupakan saja."
* * *
"Huft, di manakah kau?" keluh anak lelaki itu seraya mengerucutkan kedua bibirnya.
Benar, Caligo telah kehilangan gadis itu. Awalnya ia berhasil membuntutinya. Namun, kerumunan orang yang semakin memenuhi blok tersebut karena ingin melihat acara kembang api telah membuatnya kehilangan jejak gadis itu.
Setelah lelah mencari, akhirnya ia pun memilih untuk berhenti mencari gadis tersebut. Menyandarkan diri pada salah satu rumah, dan mengembuskan napas kecewa.
"Ada apa denganku? Mengapa aku sangat ingin bertemu denganmu?" lirihnya seraya menatap binar gugusan bintang yang mulai menghiasi langit.
Bruk
Prang
Suara benda-benda yang terjatuh dan pecah itu telah membuatnya tersentak, kemudian bergegas mencari sumber suara tersebut.
Dilihatnya di seberang sana seorang kakek tua yang tengah memungut berbagai perhiasan dagangannya di jalan yang padat itu. Ia pun bergegas menyeberang dan membantunya.
"Terima kasih," ucap kakek itu tulus.
"Sama-sama, Kek." Ia menatap mata kakek itu dan terkejut.
"Iya, Nak. Kakek memang buta," ucap kakek tersebut seolah menyadari rasa keterkejutannya.
Kakek itu pun duduk kembali. "Nak, sebagai rasa terima kasihku, kauboleh mengambil salah satu perhiasan yang aku jual ini."
"Tidak perlu, Kek--"
"Tolong, ambillah."
Caligo pun tidak tega ketika melihat kakek tersebut yang kini menampakkan raut wajah sedih. Ia pun akhirnya memilih sebuah jepit bertahtakan pertama biru yang sederhana.
"Aku akan mengambil jepit biru ini, Kek," kata Caligo dengan tersenyum.
"Jepit bertahtakan permata biru? Pilihanmu sangat bagus, Nak. Jepit itu memiliki pasangan." Kakek itu memberikan jepit yang serupa. "Ambillah. Kau boleh membawa keduanya."
Caligo menggeleng. "Tapi, Kek. Ini adalah barang dagangan Kakek. Bukankah Kakek akan rugi?"
Kakek itu tertawa terbahak-bahak. Membuat Caligo menautkan kedua alisnya, bingung.
"Kaumemiliki hati yang sangat baik, Nak. Ini hadiahku untuk anak lelaki yang baik sepertimu. Lagipula, aku tidak akan merasa rugi walau harus memberikan seluruh dagangan ini padamu," ucap kakek itu, "dan apakah kautahu? Jepit ini adalah jepit ajaib."
"Ajaib?"
"Iya. Jika kaumemberikan jepit ini pada wanita yang kaucintai, maka kalian berdua akan dipertemukan dalam sebuah ikatan takdir."
Kakek itu menggenggam kedua tangan Caligo. "Dan...."
"Dan apa, Kek?"
Kakek itu terdiam sejenak. Tak berselang lama, ia pun menggeleng pelan. Mengeratkan genggamannya pada anak itu dan menitikkan air mata.
Caligo pun panik melihatnya. Ia menghapus air mata di kedua pipi kakek tersebut dengan tangan mungilnya dan bertanya sedih, "Kakek kenapa?"
"Kautahu? Takdir tidak selamanya indah, pasti akan ada lika-liku yang menyertainya. Kauboleh mengatakan bahwa takdir itu kejam, tetapi kautidak boleh membencinya."
Dan Kakek itu pun merengkuh anak lelaki itu dengan erat.
.
.
.
.
.
_To be Continued_
{Glosarium}
Portal utama caeruleus : Portal utama terdiri dari tiga buah portal, yaitu:
🍁 Portal caeruleus di Sky Island,
🍁 Portal caeruleus di sekitar Altar Putih Vitae (praesidio caeruleus), dan
🍁 Portal caeruleus di kota Alba.
Festival Deka : Festival ini dirayakan setelah ritual penyambutan calon guardians yang baru. Dilaksanakan pada penghujung bulan Deka, tepatnya ketika akhir musim gugur.
Alat musik ritual penyambutan calon guardians muda :
1. Tympanum -> serupa dengan gendang yang besar.
2. Cithara -> serupa dengan harpa
3. Votre -> serupa dengan biola kristal
Tahun Cynosura : Tahun ini memiliki 12 bulan. Satu bulannya terdiri dari 30 hari dan 31 hari yang berselang-seling. Lebih tepatnya, yaitu:
❄Musim dingin❄
Bulan ke-11 sampai ke-1
11. Anteka
12. Dodeka
01. Unum
🌸Musim semi🌸
Bulan ke-2 sampai ke-4
02. Dyo
03. Tribus
04. Tessera
☀Musim panas☀
Bulan ke-5 sampai ke-7
05. Quinque
06. Exi
07. Epta
🍁Musim gugur🍁
Bulan ke-8 sampai ke-10
08. Octa
09. Novem
10. Deka
🍀 🍀 🍀
Hai hai! Apa kabar semuaaa ^^
Maaf Miha lama update #plak #sudah biasa #para pembaca harap bersabar
Well~ bukannya sok sibuk atau apa wkwk. Tapi aku emang lagi sibuk :"'
Semoga chapter ini tidak membosankan (karena bercerita tentang ritual) dan kepanjangan sampe kalian eneg bacanya (karena sampai 3200+ kata hahahaha!) #plak
Aku harap ritualnya hidup dan kalian dapat membayangkannya hehe :3
Btw, kenapa kisah ini kok tiba-tiba flashback?
Ayo tebak~ wkwk #plak
Udah, segitu aja dulu cuap-cuap dariku kali ini. Doakan aku semoga menang lomba, ya :"'
See ya!
Lop you all!
Jangan kapok baca cerita ini, ya 😄
Vomments please ^^
Aku lebih suka comments daripada vote wkwk #plak
😮😳😗😚😙😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top