Statera [4] : Before Everything

Kutermenung menatap langit biru yang terhias oleh bias sang Surya dan helai tipis awan putih yang terhampar di atas sana. Beralas rerumputan hijau, pula pohon rindang yang menaungiku.

Aku ... tengah duduk seorang diri.

Tersenyum dalam sendu dan termangu dalam kesendirian.

Angin musim panas yang hangat membelai wajahku lembut. Seolah tengah menghiburku dalam kesedihan.

Kesedihan karena rindu yang begitu menyesakkan hati, dan melelahkan raga.

Aku selalu berpikir ... apakah rindu ini hanya menjadi milikku sendiri?

Atau, milik kami bersama?

Seandainya....

Seandainya dia di sini, maka akan aku ajukan pertanyaan itu dan memaksanya untuk menjawab.

Namun, dua hal yang pasti aku ketahui dari kerinduan yang perih ini.

Kenyataannya, ia tidak bersamaku saat ini.

Lalu....

Rindu itu egois dan menuntut.

Egois karena diriku yang selalu ingin bersamanya setiap saat, dan menuntut akan kehadirannya tanpa mempedulikan sebuah alasan yang mungkin membuatnya terpaksa pergi.

Aku tersenyum miris. Ya.... Hati ini menginginkan dan menuntut itu semua.

Sebut aku wanita egois.

Sebut aku wanita penuntut.

Aku hanya ingin melihatnya. Melihat manik teduh itu dan tersenyum bersamanya. Bersandar padanya, dan bercanda ria dengannya.

Sesederhana itu.

Ah.... Jika kuingat-ingat, betapa bersyukurnya diriku yang telah menikmati itu semua.

Namun, selama lebih dari satu bulan ini, aku tidak merasakan semua keindahan itu lagi. Walau menurutmu hanya sebentar, percayalah....

Percayalah bahwa setiap detik itu terasa sangat menyiksa.

Dan fakta bahwa aku tidak mengetahui keberadaannya, membuat hati ini semakin terpuruk saja.

"Sebenarnya kau berada di mana, sih! " cibirku sebal kepada sang Mega yang kini seolah tersenyum padaku, namun bersikukuh enggan menjawab.

Aku bergeming. Merasa bodoh karena telah berbincang dengan langit yang sampai kapan pun takkan menjawabku. Aku pun hanya dapat tertawa. Ya, tertawa miris tepatnya.

"Aku rindu padamu. Rindu ini sungguh melelahkan, Caligo. Mengapa kau menghilang seolah ditelan bumi?" tanyaku sendu, "dan fakta bahwa sekarang dirimu tidak bersamaku, membuatku ingin memukulmu saat ini juga."

Aku tertawa kecil. Membayangkan diriku yang tengah memukulnya bertubi-tubi seperti dahulu. Ketika ia mengambil dengan mudah sebuah apel yang sebelumnya susah payah aku coba dapatkan.

Aku masih ingat dengan jelas. Hari itu aku sedang menapaki jalan setapak yang telah tertutupi oleh salju putih yang turun di musim dingin ini.

Mengedarkan pandanganku pada pepohonan yang kini telah menggugurkan semua daunnya dan tengah menopang benda putih nan dingin tersebut.

Tak lama kemudian, aku sampai pada tujuanku. Ya, sekolah para guardians yang tersembunyi di balik hutan Nature Kingdom.

Aku bersenandung ria. Melanjutkan perjalananku menuju halaman belakang sekolah, tepatnya menuju sebuah danau yang kini tengah membeku.

Aku mengembuskan napasku ke langit. Menciptakan sebuah asap putih yang mengepul di udara.

Namun, sebuah apel merah yang berada di seberang danau itu menarik perhatianku.

"Wah, sepertinya apel itu enak!" gumamku berbinar menatap apel yang menggiurkan itu.

Aku pun mencoba menyeberangi danau itu. Terpeleset dan terjatuh beberapa kali sebelum akhirnya sampai di sana.

Aku menepuk seragam putihku ini beberapa kali. Mengusap luka-luka di kakiku akibat terjatuh ketika menyeberang tadi.

"Aku harus mengambilnya!" ujarku semangat, kemudian melakukan berbagai cara untuk mendapatkan satu-satunya apel di pohon itu.

Melempar batu, memanjat, dan menggoyangkan pohon itu sudah aku coba berkali-kali. Namun nihil, apel itu seolah tak pernah terusik sama sekali.

Aku pun menghentakkan kakiku kesal. Semua usahaku ini seolah tidak berarti sama sekali.

Dan akhirnya aku pun menyerah. Membalikkan tubuhku dan berjalan menuju seberang danau itu, lagi.

Bruk

Suara sesuatu yang terjatuh itu membuatku terperanjat kaget dan langsung membalikkan tubuhku.

Mataku membulat melihat seorang remaja laki-laki yang kini tengah berdiri di samping pohon itu dengan buah apel merah digenggamannya.

Ia menggigit apel itu. Memejamkan matanya seolah tengah menikmati rasa buah apel yang tadi susah payah aku coba ambil walau tak berhasil.

"Hei! Kenapa kau seenaknya saja memakan apel itu?!" teriakku yang membuatnya langsung tersedak.

Aku menghampirinya seraya menghentakkan kakiku. Membuatnya mundur beberapa langkah seraya mengernyitkan dahi.

"A-aku memetiknya tadi. Memangnya kenapa?" ucapnya sedikit gugup karena ditatap tajam olehku.

Tanpa menunggu lama, aku langsung memukulnya bertubi-tubi. "Tadi aku sudah susah payah untuk memetiknya tahu!" pekikku.

Ia melindungi dirinya dari pukulanku dengan kedua tangannya. "Apa yang sebenarnya kau maksudkan, Nona?" ringisnya.

Aku pun mendesah frustrasi. Menghentikan aktivitasku memukulnya, dan langsung bergegas pergi meninggalkannya yang semakin terlihat bingung.

Tak kusangka kenangan itu telah membuatku tersenyum geli. Kenangan ketika bertemu seorang remaja laki-laki bersurai hitam yang dengan mudahnya memetik apel merah itu.

Aku pun tak percaya jika remaja lelaki itulah yang kini memenuhi relung hatiku.

Setelah merasa puas bernostalgia, aku pun bangkit. Menepuk belakang gaunku beberapa kali, dan mulai berjalan menuju hijaunya permadani alam yang kini membentang di hadapanku. Bersenandung ria untuk menepis kesedihan hati ini walau hanya barang sejenak.

Namun, tiba-tiba ada seekor burung merpati putih yang jatuh tak jauh dariku. Membuatku memekik karena mendengar suara sayap yang patah dari burung malang itu.

Aku langsung berlari, dan duduk bersimpuh di hadapan burung yang kini terbaring kaku. Aku mengernyitkan dahi. "Apakah burung ini mati?" tanya batinku khawatir.

Aku pun menyentuh tubuh kecil burung itu dengan telunjukku. Burung itu begerak sedikit, membuatku yakin bahwa burung merpati putih ini masih hidup.

Aku bergegas mengambil sebuah kristal yang berisi cairan berwarna hijau di saku gaunku. Ya, cairan ini selalu dibawa oleh para guardians ke mana pun mereka pergi.

Kuteteskan cairan hijau itu ke sayapnya. Dan secara perlahan, kerlipan berwarna hijau telah menyebar di tubuh burung itu.

Aku menautkan alisku bingung. Mengapa reaksinya lambat? Apakah lukanya separah itu sampai-sampai obat ini tidak bisa mengobatinya dengan cepat seperti biasa?

Aku pun teringat ucapan History yang mengatakan bahwa kekuatanku dapat meningkatkan kekuatan guardians lain.

Sebenarnya itu bukan hanya sekadar cahaya. Sebenarnya cahaya-cahaya itulah yang memperkuat kekuatan guardians yang lain. Kau bisa merasakannya ketika kekuatanmu terasa 'terhisap'. Seperti yang kau katakan tadi.

Aku pun mengangguk pasti dan berusaha berkonsentrasi untuk mengalirkan kekuatanku pada burung itu. Tak lama kemudian, sebuah kumpulan cahaya kini telah berada di tanganku. Aku bergegas menyalurkannya kepada kerlipan-kerlipan hijau itu, dan seketika itulah penyembuhannya cepat selesai.

"Berhasil!" Aku tersenyum girang. Dapat kulihat burung itu yang kini mulai menggerakkan tubuhnya, dan secara perlahan bangkit.

Burung itu mengepakkan sayapnya ingin menguji kekuatannya terlebih dahulu sebelum akhirnya terbang, dan bertengger pada pundakku.

Burung itu berkicau merdu seolah ingin berterima kasih padaku. Aku pun tertawa kecil, dan mengelus kepalanya.

"Sama-sama," ucapku seolah menjawab rasa terimakasihnya.

Burung itu pun mengeluskan kepalanya pada pipiku yang sontak membuatku kegelian. Aku pun meraih burung itu, dan menaruhnya di atas pahaku.

Aku mengusap pipi yang tadi dielus oleh bulu putihnya. Terbelalak kaget karena merasakan jejak air mata yang telah kering disana.

"Jadi, sedari tadi ... aku menangis tanpa aku sadari?" batinku lirih.

* * *

Seorang pria bersurai hitam itu tengah berjalan seraya menengadahkan kepalanya menatap langit biru. Ia meremas buket mawar putih yang ia bawa. Menyalurkan rasa sedih yang tersirat pada hati rapuh pria itu.

"Rindu ini sangat besar. Sampai-sampai ... ketika aku menatap langit pun seolah memandang wajahmu yang selalu ingin aku tatap itu," ujar hatinya pilu. "Apakah ... kau merindukanku juga, Luxy?"

Sebuah tepukan pelan pada pundaknya telah menyadarkan pria itu dari lamunannya. Ia menatap orang yang telah menepuknya kemudian bertanya, "Ada apa, Ayah?"

Guardians bernama Ignis yang tak lain adalah ayah dari pria bermanik hitam pekat itu tersenyum lembut. "Jangan melamun terus, Anakku. Kauharus menyiapkan diri ketika bertemu keluarga-- Ah tidak. Tepatnya ketika bertemu gadis itu."

Caligo hanya bisa mendesah frustrasi. Kegugupan yang ia rasakan mungkin akan mengacaukan salah satu rencana terpenting dalam hidupnya ini.

"Apakah kaugugup? Sebentar lagi kita sampai ke tempat tujuan," ucap seorang guardians lain yang kini menggenggam salah satu tangan putra semata wayangnya yang bebas.

Ia tertawa geli. Menatap netra jelaga putranya dengan tersenyum jahil. "Tanganmu sangat dingin dan berkeringat. Segugup itukah putraku yang tampan ini?"

Wajah Caligo bersemu merah. Ia pun bergegas memalingkan wajahnya guna menghindari tatapan jahil sang Ibu.

"I-ibu.... A-aku--"

"Terra, Caligo. Kita sudah sampai."

Ucapan Caligo terputus. Ia pun menatap kedepan, dan langsung tercekat karena telah sampai ke tempat tujuan mereka.

Ya. Rumah gadis itu.

Terra pun semakin menjadi untuk menjahili putranya yang semakin pucat itu. Membuat Caligo seolah ingin berlari menjauh karena bertambah gugup.

Ignis hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ia merasa bahagia karena melihat keakraban seorang Ibu dan putranya itu.

Tanpa mempedulikan mereka yang kini berdebat kecil, Ignis berjalan menuju pintu kayu yang besar itu dan mengetuknya beberapa kali.

Tak lama kemudian, pintu kayu jati berukir bunga vitae itu terbuka. Menampakkan seorang wanita cantik bersurai cokelat muda yang tergerai indah.

Wanita bermanik biru terang itu mengernyitkan dahi, dan kemudian tersenyum lebar. "Ah! Tuan Ignis, Nyonya Terra, dan Caligo rupanya. Ayo silakan masuk," ucapnya mepersilakan masuk tamu-tamunya itu dengan antusias.

"Terra, Caligo, mari kita masuk," ucap Ignis sedikit keras kepada dua orang yang tengah berdebat kecil itu agar dapat terdengar jelas.

Terra mengangguk kepada suaminya, kemudian menarik lengan putranya dengan paksa dan berjalan santai memasuki rumah itu.

"Ibu.... Mengapa kauseperti ini?" bisik Caligo dengan nada kesal yang tersirat.

"Bagaimana tidak? Ini hari yang sangat penting, dan Ibu sudah menunggunya sedari dulu. Jadi, jangan tanya lagi kenapa Ibu sesemangat ini," jawab Ibu pria itu bahagia.

Caligo pun hanya bisa tersenyum melihat Ibunya yang sangat antusias ini. Ia mengecup pipi Ibunya sekilas, membuat Terra terkejut dan seketika berhenti di ambang pintu.

"Terima kasih Ibu. Terima kasih atas segalanya," ucap Caligo tulus yang membuat Terra menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Dengan perlahan, Terra melepaskan tangannya yang membuat putranya itu kebingungan.

"Ibu?"

"Kau seorang pria yang baik dan bijaksana. Ibu tahu itu, dan Ibu percaya atas semua keputusan yang telah kauambil ini. Jadi, walau banyak rintangan kedepannya, tetaplah teguh dan percaya pada keputusanmu ini," ucap Terra yang kini tengah mengusap air mata yang mengalir deras.

Caligo menatap sendu Ibu yang sangat ia sayangi itu. Seorang wanita yang telah membesarkan dirinya dengan kedua tangan rapuh itu dan menyayanginya tanpa batas.

Caligo meraih kedua tangan Ibunya dan mengecup punggung tangan tersebut cukup lama.

"Kedua tangan inilah yang telah membesarkan diriku dengan bersusah payah. Kedua tangan inilah yang telah menghantarkan kebahagiaan padaku dan juga Ayah.

Maafkan aku, Ibu. Maafkan diriku yang tidak bisa membalas semua perjuangan dan kasih sayangmu yang tak terhingga itu."

Terra yang mendengarnya tentu sangat bahagia dan terharu. Dipeluknya putra semata wayangnya. Didekapnya erat dan merengkuhnya dalam kasih sayang seorang Ibu yang sangat indah.

Namun di kejauhan sana, seorang pria yang berdiri di salah satu anak tangga itu hanya dapat bergeming. Tersenyum haru melihat dua insan itu seraya menitikkan air mata.

"Mengapa takdir ini sangat kejam padamu, Caligo?" batinnya pilu.

Ia bergegas menghapus air matanya. Menghampiri dua insan itu dan berdeham pelan.

"Maaf karena mengganggu kalian. Tetapi istriku dan Ignis mungkin telah menunggu kalian di ruang tamu," ucapnya yang sebenarnya menyesal telah merusak kehangatan itu.

"A-ah, Aquo. Iya. Aku dan Caligo akan segera ke sana," jawab Terra seraya tersenyum dan menghapus air matanya. Caligo menundukkan kepalanya pada Aquo. Kemudian meraih tangan ibunya lembut dan berjalan menuju ruang tamu rumah ini.

Aquo mengekor dari belakang. Tak lama kemudian, sampailah mereka di ruang tamu yang didominasi oleh kayu yang menyeruakkan harum khas pepohonan di hutan.

Ketiga guardians itu kini tengah duduk di kursi yang cukup luas untuk diduduki oleh tiga orang. Sedangkan Aquo duduk di kursi tunggal di samping mereka, dan istrinya--Glacie--tengah menyiapkan teh herbal.

"Sudah cukup lama aku tidak melihat kalian semua kemari. Bagaimana kabar kalian?" tanya Aquo basa-basi.

"Baik, Aquo. Maaf karena sudah lebih dari satu bulan ini tidak berkunjung. Aku memberi Caligo sebuah misi yang penting. Jadi, tolong maafkan anakku yang hilang tanpa kabar," jawab Ignis sembari memberi tatapan penuh arti kepada Aquo. Membuat pria bermanik biru laut itu langsung paham dan tertawa kecil.

"Kau memang selalu melakukan hal yang tidak-tidak sedari dulu," ucap Aquo yang telah meredakan tawanya. "Caligo, tak tahukah kau bahwa Luxy sangat merindukanmu?"

Pandangannya kini teralih menuju pria bersurai hitam yang kini tengah melamun. Pria itu tersentak dan menjawab pertanyaan Aquo dengan agak kikuk.

"A-aku tahu, Paman. Dan aku merasa sangat bersalah karena hal itu."

Aquo hanya terdiam. Tiba-tiba lidahnya kelu untuk membalas percakapan sederhana itu. Ia menatap pria itu dengan sedih. "Tentu saja. Kaupasti merasa sangat bersalah pada Putriku. Aku tahu betul bahwa kausangat mencintainya," batin pria paruh baya itu.

Tak berselang lama, wanita bernama Glacie--yang tak lain adalah Ibu dari Luxy--tengah berjalan menuju mereka dengan lima buah cangkir berisi teh di nampan yang ia bawa.

Ia menaruh cangkir-cangkir tersebut di atas meja dan mempersilakan tamunya itu untuk meminumnya.

"Jika aku boleh tahu, mengapa kalian kesini? Maksudku, jarang sekali kalian semua kemari bersama," tanya Glacie yang memang sudah penasaran semenjak ketiga tamunya itu baru sampai ke rumah ini.

Ignis yang tengah meminum teh tersebut melirik istrinya. Membuat Terra langsung mengerti, dan ia pun berpindah ke samping Glacie yang berada di seberang tempat duduk mereka.

Terra membisikkan sesuatu kepada Glacie. Membuat Glacie membulatkan matanya tanpa dapat berkata apa-apa.

Ia mengerjapkan matanya berulang kali kepada Terra. Membuat Terra terkikik geli dan menganggukkan kepalanya seolah mengerti raut wajah sahabatnya itu yang seolah bertanya, "Apakah kauserius?"

Glacie yang melihatnya pun langsung menatap suaminya penuh binar. "Suamiku, Putri kita--"

"Aku tahu. Ignis sudah mengatakannya padaku jauh hari," potong Aquo yang membuat istrinya itu cemberut.

"Mengapa kau tidak memberitahukannya padaku?" tanya Glacie yang seolah tidak terima.

"Jangankan dirimu. Aku saja baru tahu kemarin," ucap Terra seraya menatap sebal kepada suaminya dan putranya itu.

Ketiga pria itu hanya bisa saling menatap dan melempar senyum. Entah bahagia karena berhasil menjalani rencana mereka atau saling memberikan kekuatan karena mungkin mereka bertiga akan mendapatkan sebuah hukuman.

"Ah!" Glacie menjentikkan jarinya. "Luxy sedang tidak ada di rumah. Sekitar sejam yang lalu ia meminta izin padaku untuk keluar. Kauharus mencari Luxy, dan ... ehm. Melaksanakan rencanamu itu hanya berdua dengannya saja. Bagaimana?" tanya Glacie dengan semangat kepada Caligo, dan diangguki oleh tiga orang guardians yang lain.

"Apakah boleh?" tanya Caligo yang tak bisa menyembunyikan raut kebahagiaannya.

"Tentu saja boleh!" ucap dua pasangan itu secara serempak. Membuat mereka tertawa sekaligus memecah keheningan sesaat yang terjadi sebelumnya.

"Sekarang bergegaslah!" ucap Terra yang kini mendorong punggung putranya itu sehingga Caligo pun berdiri dan terdorong menuju keluar.

"Baiklah aku pergi dulu! Doakan aku!" teriak Caligo yang kini tengah berlari untuk mencari gadis pujaannya itu. Meninggalkan keempat guardians itu yang kini menampakkan wajah serius, kecuali Glacie.

Merasa atmosfer ruang tamu itu berubah secara tiba-tiba, Glacie pun bertanya dengan gugup, "Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba suasananya berubah?"

"Glacie, ada yang ingin aku katakan padamu," kata Aquo seraya menatap lurus pada istrinya yang kini kebingungan.

* * *

Aku hanya dapat menatap dirinya yang kini menangis dari balik pohon ini. Ia menangkup wajahnya dengan kedua tangan rapuhnya. Menangis dengan pilu yang membuatku ikut merasakan kesedihan yang tengah ia rasakan.

Seekor burung merpati putih di pundaknya hanya bisa berkicau sendu. Seolah ikut menangis melihat orang yang telah menolongnya kini tenggelam dalam kesedihan yang tengah ia rasakan.

Aku menatap Dark yang tertutup oleh tingginya pepohonan di hutan ini. Ia membalas tatapanku kemudian berkata, "Pergilah, Caligo. Aku di sini akan menunggu, dan mengawasi keadaan sekitar."

Aku pun mengangguk, dan tersenyum penuh rasa terima kasih padanya. Berjalan dengan mantap untuk menghampiri kekasihku yang kini bersimpuh di sana.

Terdengar suara isak tangis yang menohok hati kecilku. Kini aku dapat menatap bahunya yang begetar dengan tatapan sendu, dan penuh penyesalan.

Aku tak kuasa melihatnya seperti itu. Begitu rapuh, dan lemah.

Di manakah wanitaku yang selalu tertawa dan tersenyum manis?

Di manakah wanitaku yang kuat dan keras kepala itu?

Di sanakah?

Yang kini menangis di hadapanku?

Aku berhenti melangkah tepat di belakangnya. Rupanya, ia tetap tidak menyadari kehadiranku dan masih duduk bersimpuh dengan uraian air matanya.

"Luxy...," panggilku lirih.

Kulihat ia mengangkat kepalanya. Menengok kearahku dan menengadahkan kepalanya dengan perlahan.

Mata keemasan itu tampak membulat. Ia mengerjapkan matanya berulang kali seolah memastikan kehadiranku.

"Iya. Aku disini, Luxy. Bersamamu," ucapku dengan tersenyum tipis.

Tangisnya pecah kembali. Ia langsung bangkit dan memelukku erat. Aku membalas pelukannya, dan mengusap puncak kepalanya pelan.

"Kau kembali. Kau kembali--

Kekasihku," ucapnya yang kini membenamkan wajahnya di dadaku.
.
.
.
.
.

_To be Continued_

🍀 🍀 🍀

Miha update yuhuhu ~( ^ ^ )~
Gimana dengan chapter ini?
Kurang baper? Kurang seru? Atau....

Kurang banyak? #plak :v

Seriously.... Ini udah +2600 kata loh~
Biasanya aku ngga nulis lebih dari segitu wkwk :v #plak

#Emang ada yang nanya?

Okelah.... Rapopo aku mah :'v

Kritik dan saran akan sangat diperlukan ^^ (p.s : tapi jangan yang pedes-pedes amat ya... Nanti sakit perut :v)

Udahlah segitu aja wkwkwk

We Hope you enjoy this story ^^

Vomments?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top