Statera [12] - Caligo and Luxy

Seberkas cahaya menyusup di antara sekat bening itu, menerpa wajah seorang gadis yang tengah termenung di antara rak buku nan besar yang seolah mengurungnya.

Ia memeluk lututnya. Membenamkan wajah sendu yang terlukis jelas di sana.

Ia pun menengadah, menghirup dalam-dalam aroma khas buku tua yang tidak terlalu ia sukai itu.

"Luxy!"

Samar-samar, ia mendengar seseorang memanggilnya. Setelah mencari sumber suara, akhirnya ia menemukan seorang guardian wanita yang kini berada beberapa meter darinya.

"Ia tidak datang," ucap guardian tersebut seraya duduk di sampingnya. "Mungkin ia memang tidak akan pernah datang lagi."

Mendengar hal itu, gadis bersurai keemasan itu kembali mendesah kecewa. Sudah sekitar dua bulan sejak ritual itu dilaksanakan, sosok yang ia cari tidak pernah muncul.

Ya, sang Kegelapan menghilang.

"Apakah kau tahu sahabat Caligo, Nona Liber?" tanya Luxy lemah. "Aku harus segera menemuinya."

"Bukankah kau sudah bertemu dengan mereka?" tanya guardian itu hati-hati.

Gadis itu mengerutkan dahinya. "Benarkah?"

Guardian wanita itu mengangguk mantap. "Bukankah kau pernah bercerita padaku tentang dua orang yang mengirimmu apel? Kurasa, orang-orang yang kau cari adalah mereka."

Sekali lagi, gadis itu mendesah frustasi. "Masalahnya aku tidak ingat."

Guardian wanita itu menganga tak percaya. "Apa yang kau lakukan selama ini sehingga kau tidak pernah mengingat wajah orang-orang di sekitarmu?"

Guardian muda itu mengerucutkan bibirnya. "Aku tahu. Aku memang bodoh."

"Aku tidak berkata seperti itu."

"Tapi kau seperti ingin mengatakannya."

"Terserah padamu." Guardian itu mengembuskan napas. "Aku memang tidak akan menyangkalnya, kok."

"Nona Liber!!!" jerit Luxy sembari mencubit lengan wanita itu.

Yang dicubit hanya mengaduh kesakitan dan menatap gadis itu tajam. Membuat guardian muda itu berhenti dan tersenyum lebar.

"Ah, ya. Ngomong-ngomong, kenapa kau ingin sekali bertemu Caligo?" tanya Liber sembari mengusap lengannya.

Gadis itu membelalakkan matanya. Kemudian, wajah yang tadi tersenyum itu beralih sendu. "Aku .... Aku ingin meminta maaf padanya."

Guardian wanita itu terdiam.

"Karena diriku yang bahkan tidak pantas menjadi guardian cahaya, harus membuatnya seperti itu."

"Kau tidak bersalah, Luxy. Kau-"

"Aku bersalah!" teriak gadis itu. "Aku menerima banyak pujian dan kebaikan lainnya yang seharusnya tidak aku dapatkan!"

"Tapi, memang seperti itulah perlakuan orang-orang kepada guardian cahaya. Kau harus terbiasa."

"Terbiasa?" lirihnya. "Dengan mengorbankan kebahagiaan seseorang yang tidak bersalah?"

Guardian wanita itu menunduk. Mendengar setiap kata gadis itu yang menikamnya perlahan.

"Aku tidak bisa, Nona Liber. Aku tidak bisa lagi menerima kebaikan itu. Aku tidak pantas. Seharusnya Caligo yang menjadi guardian cahaya, seharusnya ia yang mendapatkan semua pujian dan kebaikan itu." Ia terisak. "Bukan aku. Aku adalah gadis yang bodoh, sedangkan ia adalah murid terbaik di Sanctus. Aku merasa ... takdir ini sungguh tidak adil."

"Lalu, apa yang dapat kau lakukan?" tanya Liber kemudian. "Mengubah kenyataan yang ada?"

Gadis itu menggeleng serta menghapus air matanya yang berderai. "Aku .... Aku tidak tahu."

Lawan bicaranya pun mengembuskan napas berat dan bersandar pada buku-buku di belakangnya. "Jujur saja, aku juga tidak percaya bahwa Caligo yang menjadi guardian kegelapan. Tapi, inilah kenyataan yang ada, Luxy. Kenyataan bahwa ia adalah guardian kegelapan yang seluruh hidupnya akan terasingkan dan dikurung di sebuah tempat tersembunyi. Dan lebih buruknya, kita tidak bisa menentang hal itu."

Guardian muda itu tersentak hebat. Dengan hati yang seolah tertampar itu ia bertanya pilu, "A-apa yang tadi kau katakan, Nona Liber?"

Perlahan Liber memejamkan matanya dan tersenyum tipis. "Kau mendengar jelas semuanya, kan?"

Gadis itu langsung bangkit dan berlari. Meninggalkan sosok guardian wanita itu yang kini membuka matanya kembali.

Ia menatap langit-langit perpustakaan nan besar itu. Menerawang jauh ke dalam memori masa lalu tentang guardian muda yang menjadi bahan cacian dan berteman oleh kesendirian itu.

Hatinya terpukul. Ia tak mampu menerima kenyataan bahwa pemuda itulah yang menjadi sang Kegelapan.

Guardian paling hina di dunia itu.

Ia hanya dapat berdoa untuk pemuda itu agar ia dapat melewati semua kepedihan yang akan selalu menghampirinya. Kesedihan yang tiada habisnya.

Nona Liber, aku akan selalu datang kemari dan menemanimu.

Janji itu. Janji yang pemuda itu ucapkan sejak pertama kali mereka bertemu kembali terngiang. Membuat sebuah luka tak berdarah yang kini mengoyak hatinya.

"Caligo, kuharap kau akan bahagia," isak Liber. "Aku yakin, selama kau bersabar, kau akan menemui kebahagiaanmu."

* * *

Keping es yang terjatuh dari atas langit nan kelabu itu berbaur dengan hamparan putih yang melingkupi dunia. Memberikan corak seragam yang memanjakan mata siapapun.

Ia, gadis yang berdiri di sana itu menengadah. Membiarkan butir salju itu mencair di wajahnya yang tampak lesu. Mengecap rasa dingin yang ada dan berteman dengan kesedihan.

Sudah tujuh bulan berlalu, dan ia tidak dapat menemui pemuda itu. Entah mengapa, hatinya terasa ditikam ketika menerima kenyataan tersebut dan ia tak dapat mendeskripsikan perasaannya kembali.

Mengapa ia seperti ini?

Mengapa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika ia tak kunjung bertemu sang Kegelapan?

Ia tidak mengerti. Dan kebingungan itu menghantuinya hingga saat ini.

"Luxy!!!" panggilan itu membuatnya menoleh dan menatap gadis bersurai hitam yang berlari menghampirinya.

"Caeru?" Ia memiringkan kepalanya. "Ada apa?"

"Pengumuman ujian kelulusan sudah dipasang." Gadis itu menjawab dengan napas tersenggal. "Kau harus melihatnya sekarang juga!"

Gadis bermanik keemasan itu mengembuskan napas berat, menciptakan sebuah kepulan asap yang menghiasi udara. "Ya, aku harus melihatnya dan mengetahui bahwa aku adalah peraih nilai terburuk sekarang juga."

Gadis bermanik biru laut itu menggeleng keras. "Bukan itu! Ya, walaupun memang itu kenyataannya."

Luxy menyipitkan matanya.

"Ah! Yang penting, kau harus tahu peraih nilai tertinggi!" serunya setelah menetralisir rasa gugup karena ditatap tajam oleh sahabatnya itu.

"Siapa? Aku tidak terlalu tertarik, kau tahu?"

Gadis itu memutar bola matanya. "Oh, ayolah. Jika aku memberitahumu kalau Caligo yang mendapatkan nilai tertinggi, kau pasti-"

"Tunggu kau tadi bilang ...."

"Ya!" Caeru tersenyum riang. "Caligo orangnya!"

Setelah mendengarnya, gadis bersurai keemasan itu langsung berlari menembus hawa dingin dan salju yang berjatuhan. Tidak menghiraukan teriakan sahabatnya yang memanggil namanya.

Ada perasaan senang kala mendengar nama itu. Ia baru sadar, bahwa jika pengumuman hasil ujian akhir harus dihadiri oleh seluruh guardian muda. Dan, bukankah itu berarti pemuda itu berada di sekitarnya?

Ketika sampai di aula itu, ia langsung mengedarkan pandangannya. Mengabaikan puluhan mata yang kini memandangnya dan melontarkan senyuman.

Ia melangkah menuju papan pengumuman itu. Menatap dengan takjub nama yang tertera pada urutan paling atas di sana. Namun, para guardians muda lain justru tertawa sinis dan melontarkan rangkai kata penuh cemooh pada sang pemilik nama.

Mereka bahkan tidak mempedulikan fakta bahwa ia lebih baik dari mereka. Bahwa ia adalah murid terbaik yang meraih nilai sempurna.

Tapi, hal itu tetap tidak cukup untuk menepis kenyataan yang ada.

Bahwa di mata mereka, ia hanyalah sosok yang tidak berharga.

Hal itu tentu membuat hati gadis itu panas. Bahkan, mulutnya sudah siap melontarkan berbagai kata untuk menepis kasak kusuk tersebut. Namun, hal itu harus terurung karena sosok Guru Besar para guardian lelaki yang berjalan ke arahnya.

"Apa kabar, Luxy?" tanyanya basa basi.

"Baik, Guru Besar Hazel." Ia mencoba menahan rasa amarah itu dan tersenyum. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Bisakah kau ikut denganku?" Hazel mengedarkan pandangannya. "Ada yang ingin aku bicarakan."

Gadis itu pun mengikuti arah pandang sang Guru. Menatap puluhan pasang mata yang kini menyorot mereka berdua. Hal itu tentu membuat ia merasa risih dan segera menatap manik hazel sang Guru.

"Dengan senang hati, Guru."

Mereka pun berjalan dalam hening di sebuah lorong bernuansa putih dan megah. Sinar samar sang Mentari yang menembus sekat bening itu terbias sehingga menciptakan pendar cahaya yang menghiasi dinding dan sedikit menerpa tubuh mereka.

Sudah cukup lama mereka berjalan dan guru besar itu tampak belum ingin membuka suara. Hal itu tentu membuat gadis bersurai keemasan itu gelisah, mengisi hantinya dengan rasa canggung sekaligus penasaran yang membara.

Dengan hati-hati ia bertanya, "Guru, apa yang ingin kau bicarakan padaku?"

Guardian pria itu hanya menoleh sedikit dan tersenyum tipis. "Nanti, tunggulah sebentar lagi."

Guardian muda itu hanya dapat mendesah kecewa. Ia pun kembali mengikuti langkah sang Guru Besar sembari menatap hamparan dan pohon-pohon yang menopang benda putih nan dingin itu.

Tak lama kemudian, mereka berhenti di ambang pintu. Membuat gadis itu menengadah dan menatap wajah guardian itu yang memandang ke luar.

Guru Besar Sanctus itu mengangkat lengannya seraya menunjuk sesuatu. "Bukankah kau mencarinya?"

"Apa maksudmu, Guru?"

"Kau mencari Caligo, kan? Sekarang ia berada di sana."

Sontak gadis itu pun menyadari sosok yang kini tengah duduk di kursi taman sembari bermain dengan merpati salju. Wajah sosok itu tampak sendu. Namun, masih terdapat senyum yang terpatri di wajah menawan itu.

Ya, ialah sosok itu. Sosok yang telah ia tunggu selama tujuh bulan lamanya.

Dan ... gadis itu terpana olehnya.

"Pergilah ke sana, Luxy."

Guardian muda itu membelalakkan matanya.

"Bukankah kau ingin berbicara dengannya?" Guardian pria itu menoleh. "Kalau benar, aku akan memberikan kalian waktu."

Gadis itu tergagap. Sebelum ia bertanya lebih jauh, Guardian terhormat itu sudah melanggang pergi dan meninggalkannya sendirian.

Dengan jantung yang berpacu cepat, ia kembali menatap sosok di hadapannya.
Menatap manik hitam yang indah miliknya dan entah mengapa ... membuat saraf tubuhnya mati seketika.

Ia pun menggelengkan kepala sekuat tenaga untuk menyadarkan diri. Dan ketika sosok guardian itu menyadari kehadirannya, ia pun langusng bersembunyi di balik semak-semak.

Suara langkah kaki di atas salju itu membuat darahnya kembali berdesir. Dengan harap harap cemas, ia menutup wajah dengan kedua tangannya.

"Caligo!"

Panggilan itu membuat suara langkah itu terhenti. Gadis itu pun bernapas lega ketika sosok itu menjauh, dan akhirnya ia hanya dapat mengintip dan menyimak dari semak-semak.

Terlihat sosok itu yang kini berbincang membelakanginya dengan pemuda bersurai abu-abu tua yang tak ia sadari sempat meliriknya.

"Caligo, apa yang kau lakukan di sini?" tanya pemuda itu.

"Aku hanya ingin berada di sini saja."

"Kenapa kau tidak masuk saja dan melihat hasil pengumuman itu?"

"Lain kali saja aku melihatnya. Sekarang terlalu banyak orang."

"Kau ...." Pemuda itu mengembuskan napas berat. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Sekarang, ayo kita pulang."

Sosok itu pun mengangguk kemudian menghilang dari taman itu bersama pemuda yang tadi berbincang dengannya. Tapi, gadis itu memilih untuk duduk di sana lebih lama. Tepatnya tengah menenangkan irama jantungnya.

"Ternyata ... namamu Caligo." Gadis itu tersenyum dengan wajah bersemu merah. "Akhirnya, aku mengingat namamu."

* * *

Ruangan itu tampak temaram. Hanya secercah cahaya perak sang Rembulan yang kini menerangi ruangan luas nan besar tersebut.

Sosok bersurai hitam itu berjalan di antaranya. Berjalan di tengah kegelapan dan cahaya.

Ia memandang papan besar bertulis puluhan nama guardian muda yang terpampang di hadapannya. Melihat namanya tertera di urutan teratas dengan nilai sempurna.

Tapi, hal itu tidak membuat ia bahagia. Namun, justru membuatnya kembali dilingkupi oleh rasa takut yang delapan bulan terakhir ini menemani kesehariannya.

Caligo,

Kau adalah guardian kegelapan.

Kalimat itu kembali terngiang di benaknya. Membuatnya kembali teringat masa ketika semua orang menatapnya rendah, hina, dan seolah tersudutkan oleh dunia.

Seorang sepertinya bahkan tidak mampu memikul itu semua. Tidak, jika harus ia lalui selama sisa hidupnya.

Ia memukul dadanya. Manahan rasa sesak yang kembali menusuknya.

Secara perlahan, ia biarkan tubuhnya luruh ke bumi. Bersandar pada papan itu dan memandang lantai putih itu dengan tatapan kosong.

Dua sosok yang melihatnya dari kejauhan hanya dapat terdiam. Mereka menunduk dalam melihat penderitaan sang Kegelapan.

"Ligno," panggil salah satunya. "Mengapa kau tidak membiarkan mereka bersama?"

Yang dipanggil pun menengadah. Menatap sedih sahabatnya yang kini bergeming dengan penuh kelabu.

"Biarkan waktu yang akan mempertemukan mereka berdua, Guru Hazel." Ia menatap serius kedua manik yang membulat itu. "Takdir akan mempertemukan mereka di masa depan."

.
.
.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top