Statera [11] : The Darkness

Gema bel yang berdentang itu telah menyelimuti seluruh pelosok Sanctus. Membuat para burung yang tengah mematuk kecambah di hamparan rumput itu mulai beranjak dan melintasi sang Surya di antara naungan langit biru.

Suara samar derap kaki puluhan manusia pun menambah melodi yang tercipta. Pula dengan suara jubah yang tersibak angin dan gemerisik dedaunan.

Tak ada lagi hamparan putih yang mereka pijak.

Tak ada lagi kepulan asap putih yang menghiasi pandangan dan aura dingin yang menusuk kulit.

Kini, hanya warna-warni alam dan hijaunya rerumputan yang menyambut mereka. Tak lupa dengan suara air yang mengalir lepas di bagian utara Sanctus dan suara tumpang tindih para binatang yang seolah tengah menyambut kebahagiaan di tengah musim ini.

Mereka, siluet bejubah putih itu berhenti di hadapan sebuah pintu maha raksasa. Tak lama kemudian, dua sosok di antara mereka melangkah maju dan membaca sebuah mantra untuk membuka pintu tersebut.

"Et aperti, domine. In januis, clauspell. Sanctus!"

Seiring selesainya pengucapan mantra, pintu yang memiliki ukiran bunga vitae di tengahnya itu perlahan terbuka. Menampakkan kemegahan aula utama Sanctus yang terakhir mereka lihat sekitar satu tahun yang lalu.

Mereka semua melangkah masuk dengan tertib, kembali disambut oleh bunga teratai yang bersinar sekaligus menepis kegelapan yang ada.

Tak ada yang berubah di sana, masih serupa seperti bertahun-tahun silam. Namun rupanya, kemegahan dan keindahan aula tersebut tetap terpatri dalam setiap memori para calon guardians muda. Hal yang membuktikannya adalah suara kasak-kusuk kekaguman yang dilontarkan oleh mereka.

Setelah duduk di singgasananya, kedua guardian yang merupakan Guru Besar Sanctus itu membuka tudung jubah tipis yang mereka kenakan. Memperlihatkan wajah rupawan keduanya yang tengah mengedarkan pandangan kepada seluruh insan yang hadir di sana.

Guardian bermanik hazel itu berdiri kemudian melangkah sekitar lima langkah. Tersenyum teduh dan berkata, "Selamat datang kembali para calon guardians yang saya banggakan. Di musim semi yang asri ini, saya harap kalian telah mempersiapkan diri dan menikmati liburan yang telah kalian lalui."

Ia menarik napas dalam dan melanjutkan, "Kalian pasti bertanya-tanya tentang kehadiran kalian di ruangan ini kembali. Ya, setelah empat tahun kalian menuntut ilmu di Sanctus, tentu saja ada akhir dari semua perjalanan itu."

Seluruh calon guardians muda membelalakan mata. Merasa terkejut dengan jantung yang seketika berdegup kencang, menanti kelanjutan dari salah satu Guru Besar Sanctus yang kini tampak seolah menikmati reaksi yang mereka tampakkan.

"Pada penghujung bulan Exi, kalian akan melaksanakan ritual Appointment Quod the Guardians."

Semua calon guardians menahan napas. Degup jantung mereka seolah terus berpacu dalam irama yang terus meningkat.

"Kalian pasti tahu ritual itu." Hazel mengedarkan pandangan sembari tersenyum tipis. "Ritual yang membuat siapapun merasakan hal yang teramat menyakitkan, serta membuat raga kalian tak bisa berdiri tegak dalam waktu yang cukup lama setelah melewatinya."

Hening pun tercipta. Suara pilar air yang menimpa permukaan biru tua itu tampaknya tidak bisa menggoyahkan rasa takut dan cemas yang melanda para calon guardians muda. Mereka menundukkan kepala sangat dalam. Membiarkan semua itu larut dalam benak mereka, dalam rasa ragu yang kini mulai menenggelamkan mereka.

"Namun ...."

Beberapa wajah di balik tudung jubah itu mulai menengadah. Menatap kembali seorang guardian yang kini tersenyum lembut seolah memberikan kekuatan pada mereka.

"Janganlah kalian takut dan ragu. Hilangkanlah semua rasa itu dalam raga kalian. Percayalah bahwa ini adalah sebuah langkah awal untuk membuktikan pada dunia."

Semua calon guardians kini menatap sosok itu. Mencoba mencari celah keberanian yang kini terbesit dalam relung hati mereka. Mencoba menemukan gagasan teguh yang dapat menepis segala keraguan di dalam sana.

Guardian itu pun melanjutkan, "Bahwa kalian mampu melewati itu semua dan memenangkan ....

Langkah pertama menjadi seorang guardians."

* * *

Musim telah bersilih menuju warna baru. Berbagai warna-warni bunga dan pepohonan telah berganti menjadi warna hijau yang menyegarkan mata.

Harum semerbak musim semi tak lagi bertiup. Pula udara sejuk yang kini menjadi sebuah kehangatan berkesinambungan di jangka waktu tiga bulan.

Di Sanctus, hari-hari selalu dihiasi oleh kasak-kusuk perihal siapa yang menjadi guardian ini dan itu, tentang siapa yang pantas dan tidak pantas, serta siapa yang kelak menjadi guardian penuh hina--sang Kegelapan.

Angin lalu itu tentu membuat siapa saja yang tidak terlalu pandai menerima imbasnya. Rasa ragu dan takut pun hanya dapat mereka rasakan setiap hal itu menjadi topik yang orang-orang angkat ke permukaan. Membuat setiap hari di waktu yang berjumlah kurang dari tiga bulan ini berubah menjadi sebuah perkara yang menyiksa mereka.

Namun seiring waktu berjalan, hal tersebut mereda kala hari itu akhirnya tiba.

Hari dimana mereka akan mengukir sebuah sejarah baru dengan nama mereka,

sebagai seorang guardian.

Melodi indah petikan cithara serta alunan votre telah mendampingi tiap langkah para calon guardians muda menuju Altar Putih Vitae.

Mereka sembunyikan setiap kepalan tangan yang bergetar di balik jubah putih yang tersibak angin kala itu. Menahan rasa takut, pula rasa khawatir yang memenuhi setiap benak di sana.

Apakah ritual ini akan terasa menyakitkan?

Apakah rasa sakit itu dapat membuat siapapun merasakan jiwa mereka seolah ditikam dengan ribuan belati?

Apakah mereka akan seperti para guardian sebelumnya?

Tumbang, lalu tidak ada satu pun dari mereka yang sadarkan diri hingga dua hari lamanya?

Tapi, mereka tetap melangkahkan kaki mantap. Tidak sedikit pun terlintas dalam hati untuk memadamkan tekad dalam meraih mimpi.

Langkah demi langkah itu disaksikan oleh para guardian yang menatap mereka harap-harap cemas. Namun, semua tahu bahwa inilah langkah awal menjadi seorang guardian sesungguhnya dan tidak ada yang dapat maupun akan menghalangi mereka.

Setelah sampai di altar utama tersebut, mereka berdiri melingkar dengan jarak masing-masing sejauh satu meter. Suara kedua alat musik nan indah itu pun samar-samar mulai menghilang, digantikan oleh suara angin yang membawa dedaunan hijau serta atmosfir yang terasa menegangkan.

Seorang guardian berjubah biru muda dengan pedang perak itu berdiri tak jauh dari mereka. Sorot semua insan di sana langsung tertuju padanya, pada sosok ketua para guardian dengan wibawa kuat yang dimilikinya.

Ia mengacungkan pedang silver itu dan berseru, "Dabo. Eis. Viribus. In vitae magna."

Setelah mengucapkan mantra itu, tiba-tiba ada sebuah lingkaran kecil yang berada di bawah setiap calon guardians. Lingkaran itu perlahan semakin membesar dan mengeluarkan kelopak bunga vitae yang kini mengurung mereka.

Mereka tidak bisa keluar dari sana. Sebanyak apa pun mereka mencoba.

Tak lama kemudian, bunga tersebut menguarkan gas berwarna hitam yang membuat setiap calon guardians tertidur.

Satu persatu tubuh mereka pun mulai jatuh terduduk dan menyesapi alam mimpi.

Begitupula sosok remaja lelaki bersurai hitam itu.

* * *

Kukerjapkan mataku beberapa kali. Namun, yang kutemui hanyalah kegelapan. Aku mencoba menggapai udara dan berteriak sekuat tenaga. Tapi, hanya gema teriakkanku dan kekosongan yang membalas itu semua.

Setitik cahaya tiba-tiba muncul dan menghampiriku. Ia terdiam lalu pergi menuju suatu tempat, seolah mengajakku untuk mengikutinya.

Tanpa kusadari aku pun mengikutinya dan menemukan sebuah pohon dengan cahaya serupa sebagai kelopaknya.

Aku pun tersenyum dan mencoba meraih cahaya yang berguguran tersebut. Namun sebelum tanganku menyentuhnya, kumpulan cahaya itu tercerai berai dan meninggalkan sebuah pohon yang berbatang hitam pekat.

Aku pun mundur beberapa langkah dan mengernyitkan dahi. Lalu, tiba-tiba sulur sulur berwarna serupa bermunculan dari bawah dan mengikatku.

Mereka menarikku sehingga aku kembali tenggelam dalam kegelapan. Semua tubuhku kaku serta kurasakan tenggorokanku terasa tercekat.

Aku tak bisa bernapas dan tubuhku seolah tertusuk oleh ribuan jarum yang membuatku ingin berteriak.

Samar-sanar kulihat sebuah bayangan dalam benakku. Seolah hal itu teresap dalam setiap sel-sel kemudian membentuk rangkaian peristiwa mengerikan yang tak dapat kupercaya.

Pembunuhan.

Perbudakan.

Pencurian.

Semua. Semua hal buruk yang mungkin terjadi di dunia ini mendesak masuk dan terputar jelas.

Kurasakan rasa pilu di hatiku ketika melihat semua itu. Ketika melihat sebuah pedang yang merenggut sebuah nyawa tanpa dosa, ketika seorang gadis miskin yang dijual oleh keluarganya dan menangis sepanjang jalan di sebuah kereta, ketika seorang anak kecil dengan pakaian lusuh yang terpaksa mencuri dan dipukuli warga demi memberi makan keluarganya yang kelaparan di bawah jembatan lusuh nan dingin, dan masih banyak lagi.

Semua itu terpampang jelas. Seolah tubuh dan jiwaku berada di sana. Merasakannya, tapi tak dapat berbuat apa-apa.

Perlahan semuanya mulai menghilang. Menyisakan diriku yang kini menangis tanpa suara.

Apa yang selama ini kulakukan?

Kenapa aku tidak menyadari orang-orang seperti itu ada di dunia ini?

Kenapa aku terbutakan oleh kebahagian dan kemewahan tanpa menoleh, bahkan tidak mengetahui mereka yang berjuang dengan hati terluka?

Mereka tertatih demi mendapatkan sebuah kebahagiaan. Demi mendapatkan sesuatu yang dapat membuat mereka bertahan hidup tanpa kata menyerah.

Lalu apa yang kulakukan?
Menutup mataku dari itu semua?

Lalu apa yang dapat kulakukan?

"Kau dapat mengubahnya."

Suara seseorang membuatku menengadah dan menatap sosok rupawan yang menguarkan cahaya keperakkan di hadapanku.

Mataku terbelalak hebat, kemudian dengan hati-hati aku bertanya, "Siapa kau?"

Ia tersenyum lembut. Menyelipkan anak rambutnya dan mengulurkan tangan. "Jika kau membalas uluran tanganku, maka aku akan menjawabnya."

Tanpa ragu aku langsung meraih tangan itu. Lalu ia pun menariknya sehingga aku berdiri.

Ia melepaskan tanganku dan memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya. "Perkenalkan, namaku adalah Vitae."

"Vi-Vitae?"

Ia tertawa kecil dan mengangguk pelan. "Sebenarnya aku tidak memiliki nama, tapi kalian sering memanggilku Vitae. Jadi, kurasa itu namaku juga."

Aku pun langsung berlutut dan menundukkan pandanganku. "Saya bernama Caligo, putra dari seorang guardian api bernama Ignis."

"Iya, aku tahu." Vitae terkekeh pelan. "Angkatlah kepalamu, Caligo."

Perlahan aku mengangkat kepalaku lalu menatap lamat-lamat manik perak indah miliknya. Ia pun mundur beberapa langkah dan dari tangan kanannya berpendar sekumpulan cahaya perak yang berputar, dan akhirnya berubah menjadi sebuah pedang satu tangan berwarna hitam kelam.

Ia mengangkat pedang itu dan menempelkan bagian tumpulnya di pundakku.

"Kau adalah salah satu guardian dunia ini yang akan mengalami berbagai hal."

Aku melihat wajahnya berubah menjadi sangat serius.

"Caligo,

Kau adalah guardian kegelapan."

* * *

Detik detik ritual itu kini mulai menemukan titik akhir. Setiap guardian yang menunggu di sana mulai berdoa untuk keselamatan setiap calon guardians yang ada.

Tak lama kemudian, bunga-bunga Vitae yang mengurung mereka mulai terbuka dan sedikit demi sedikit menghilang.

Terlihat semua calon guardians yang tengah terbaring tak berdaya dengan wajah sangat pucat di sana. Namun, bukan hal itu yang membuat semua guardians terpaku dan membulatkan mata mereka.

Ya, hanya ada satu pemandangan.

Yaitu sosok remaja lelaki yang dengan gagahnya berdiri di antara teman-temannya yang terbaring sembari menggenggam pedang yang menguarkan kerlip hitam.

Caligo, sosok yang justru menjadi guardian kegelapan.

.
.
.
.
.

_To be Continued_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top