Bagian XVI
Quest Day 16
Genre Utama : (Romance)
Sub-Genre : (Romance)
🎀🎀🎀
Lily tersentak. Seketika, ia pun mengamati sekitar yang terasa tidak asing. Namun, saat mengamatinya. Nyatanya itu adalah perpustakaan yang membuat ia merasa ketakutan karena ada kobaran api yang mengingatkannya pada lintasan masa lalu.
"Aku ... ada di mana sekarang?"
"Lily, kau sebenarnya ada di alam bawah sadarmu setelah syok berat yang kamu alami," ucap seseorang yang membuat Lily mengerjapkan mata dan langsung menoleh ke belakang. Nyatanya, dia melihat sosok gadis yang ada di ingatannya saat kebakaran itu.
Lily terpaku di tempatnya. Sosok gadis di hadapannya berdiri dengan anggun, rambut panjangnya jatuh di bahu dan senyumnya begitu menenangkan. Itu adalah Rosie—kakaknya. Gadis yang selama ini hanya muncul dalam bayang-bayang samar masa lalu.
“Kau .…” Suara Lily bergetar, bibirnya sulit menemukan kata yang tepat. “Kau benar-benar Rosie?”
Rosie mengangguk, lalu tangannya terulur, mengusap rambut panjang Lily seperti dulu saat mereka bertemu. Sentuhan itu terasa begitu nyata, membuat mata Lily berkaca-kaca.
“Lily, kau seharusnya tidak berada di sini,” ujar Rosie lembut, suaranya penuh kasih sayang. “Kau masih punya kehidupan di luar sana.”
Lily menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar hebat. “Kau ... benar-benar kakakku? Rosie?” tanyanya lagi, seakan memastikan ia tidak sedang berhalusinasi.
Rosie tersenyum lembut dan kembali mengangguk. “Ya, ini aku. Rosie.”
Lily terdiam sesaat, lalu menatap kakaknya penuh kebingungan. “Tapi bagaimana ini bisa terjadi? Aku ... aku tidak mengerti.”
Rosie menarik napas panjang sebelum menjawab, “Aku yang membuatmu melupakan ingatan itu, Lily. Suntikan itu—aku berharap kau tidak akan lagi dihinggapi rasa takut dari kejadian itu. Tapi aku tak menyangka semuanya akan hilang. Bukan hanya kenangan burukmu.”
Lily menatap kakaknya dengan pandangan getir. “Kenapa kau melakukan itu? Apa yang terjadi? Lalu ... Ayah? Di mana dia?”
Rosie mengulas senyum tipis, meski matanya tampak berkilat sedih. “Ayah baik-baik saja, dan aku juga. Kami sudah berada di tempat yang lebih baik. Kau tidak perlu khawatir lagi, Lily. Yang perlu kau lakukan adalah hidup dengan baik. Jangan biarkan masa lalu menghantuimu.”
Lily menggeleng cepat, air matanya mulai jatuh. “Aku tidak bisa! Bagaimana aku bisa hidup tenang jika semuanya terasa salah? Bahkan Kapten Levi ... dia menuduhku membunuhmu, Rosie. Kau tahu itu, bukan? Dan itu menyiksaku!”
Rosie menatap Lily dengan penuh kasih, lalu mengusap wajah adiknya, seakan ingin menghapus semua rasa sakit yang ada. “Aku tahu, Lily. Tapi takdir sudah berkata lain. Kau tidak harus menanggung semuanya sendirian. Maafkan aku jika ini membebanimu. Tapi sekarang, kau harus kembali.”
“Kembali? Tidak, aku tidak bisa. Aku takut, Kak! Jangan pergi lagi!” Lily berteriak putus asa, tangannya ingin meraih kakaknya, tetapi Rosie perlahan mundur. Cahaya putih mulai mengelilingi sosoknya.
“Aku sudah ditunggu, Lily,” ujar Rosie dengan suara yang semakin samar. “Hiduplah dengan baik. Jangan lihat ke belakang.”
Seketika, dunia di sekitar Lily bergetar hebat. Perpustakaan yang tadi mengelilinginya mulai hancur, digantikan oleh suara riuh rendah dan dinginnya udara musim salju. Lily tersadar di tengah jalan bersalju, di mana orang-orang berlalu lalang. Salju putih berjatuhan, tetapi kepanikan masih terasa di udara.
Lily mendengar namanya dipanggil dengan suara yang familiar. Ia menoleh dan mendapati sosok Kapten Levi, dengan seragam militernya, berjalan cepat mendekat. Wajahnya penuh kekhawatiran.
“Lily!” panggil Levi lagi, suaranya tegas namun sarat emosi. Ia berhenti tepat di hadapan Lily, menatapnya lekat seakan memastikan ia benar-benar ada di sana. “Kau baik-baik saja?”
Lily tidak menjawab. Pandangannya masih kosong, seakan jiwanya belum sepenuhnya kembali ke dunia nyata. Namun, Levi tidak menunggu jawaban. Dengan cepat, ia menarik Lily ke dalam dekapannya, memastikan gadis itu aman.
“Kau membuatku khawatir,” ucap Levi lirih. Hembusan napasnya terasa di atas kepala Lily. “Apa kau bisa mendengar suaraku?”
Lily tersentak dan perlahan mengangguk, meskipun tubuhnya masih gemetar. Levi sedikit lega, meski matanya tetap menatapnya waspada. Dengan sigap, ia memperbaiki posisi tubuh Lily di atas kuda.
“Kita harus ke pusat kesehatan kota,” ujar Levi cepat, sembari memastikan Lily duduk aman di depannya. “Pegangan erat.”
Di belakang mereka, Hana yang juga sudah menaiki kuda berteriak, “Kakak! Cepatlah! Situasinya masih kacau!”
Levi hanya mengangguk, lalu memacu kudanya dengan hati-hati. Lily bersandar lemah di dadanya, tatapannya menerawang. Ada perasaan aneh di dadanya—sebuah kebingungan yang mendalam. Bukankah Levi adalah kekasih kakaknya? Tapi mengapa hatinya berdebar saat berada di dekatnya?
Sementara itu, Levi tetap fokus menembus keramaian, sesekali menoleh ke arah Lily. “Bertahanlah, Lily. Kita akan segera sampai.”
Lily hanya diam, namun di dalam hatinya, perasaan asing itu perlahan mulai mengguncang dunianya. Terlebih, ini pertama kalinya ia melihat kekhawatiran itu timbul dari wajah dingin seorang Levi Alberto.
Sebenarnya, apa yang terjadi?
🎀🎀🎀
Lily sudah ditangani oleh tenaga medis dengan Hana yang berada di sisinya. Sementara Levi, ia harus kembali dengan tugasnya. Terlebih, kasus ini begitu meresahkan dan menciptakan kekacauan. Levi seketika berpikir, kekacauan itu terjadi bukanlah tanpa alasan.
Levi memacu kudanya dengan cepat, salju tipis yang berjatuhan menambah dingin udara malam. Wajahnya tetap dingin dan tegas, tetapi di balik itu pikirannya berkecamuk. Sosok Lily yang tadi terkulai lemah dalam dekapannya terus menghantuinya. Pertanyaannya tak terhitung—kenapa setiap kali ia melihat Lily, ada perasaan yang sulit dijelaskan?
Namun, Levi menepis semua itu. Kini bukan waktunya untuk memikirkan hal yang tidak pasti. Tugasnya adalah memastikan keamanan perbatasan, terlebih setelah kekacauan yang muncul belakangan ini.
Sesampainya di markas, Levi langsung turun dari kudanya dan melangkah cepat melewati halaman yang penuh oleh para prajurit. Namun langkahnya terhenti ketika ia mendapati Hansen berdiri di depan pintu utama dengan wajah pucat dan ekspresi khawatir yang jarang sekali terlihat di wajah prajurit senior itu.
“Kapten Levi!” panggil Hansen cepat, suaranya nyaris bergetar. “Kita punya masalah besar.”
Levi mengernyit. “Apa maksudmu?”
Hansen menelan ludah, jelas terlihat ia berusaha menahan ketegangan. “Tahanan itu … pria yang kita curigai sebagai dalang kekacauan beberapa waktu lalu—dia ditemukan tewas.”
Levi terdiam sejenak, matanya menyipit tajam. “Tewas? Bagaimana bisa?”
Hansen menghela napas panjang, lalu mendekat agar tidak ada yang mendengar percakapan mereka. “Seseorang menyusup ke dalam ruang tahanan militer dan melakukan penembakan. Itu bukan serangan sembarangan, Kapten. Tembakannya tepat di kepala. Pria itu tidak punya kesempatan untuk bertahan.”
Levi mengepalkan tangannya kuat-kuat, rahangnya mengeras. “Tidak mungkin. Ruang tahanan itu dijaga ketat. Siapa pun tidak akan mudah menembusnya.”
“Itulah yang membuat semuanya semakin aneh.” Hansen menatap Levi serius. “Sepertinya ada pengkhianat di dalam barisan kita, Kapten.”
Levi membuang napas kasar, kemarahannya nyaris meledak. Ruang tahanan militer di perbatasan adalah salah satu tempat paling aman dan dijaga ketat. Jika seseorang berhasil menyusup dan membunuh tahanan, maka ini bukan hanya persoalan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di balik layar.
“Bawa aku ke sana,” perintah Levi tegas.
Hansen mengangguk, lalu memimpin langkah menuju ruang tahanan. Sepanjang perjalanan, Levi memikirkan banyak kemungkinan. Ini tidak hanya soal seorang tahanan tewas—ini adalah peringatan bahwa ada musuh yang jauh lebih licik daripada yang ia duga.
Setibanya di ruang tahanan, Levi mendapati beberapa prajurit tengah memeriksa tempat kejadian. Bau mesiu masih samar tercium di udara dan di tengah ruangan itu, sosok tahanan tergeletak tak bernyawa di lantai. Luka tembak di dahinya begitu jelas, membuat Levi semakin yakin bahwa ini adalah eksekusi yang dilakukan dengan presisi tinggi.
“Siapa yang terakhir berjaga di sini?” tanya Levi dengan suara dingin, tatapannya menyapu seluruh ruangan.
Seorang prajurit muda maju dengan gugup. “I-Itu saya, Kapten,” jawabnya sambil menunduk. “Saya hanya pergi sebentar untuk melapor, dan ketika saya kembali … dia sudah seperti ini.”
Levi menatapnya tajam. “Kau meninggalkan posmu? Siapa yang menyuruhmu pergi?”
“Saya … saya hanya mengikuti perintah dari seseorang yang mengaku sebagai utusan dari anda, Kapten,” jawab prajurit itu dengan suara bergetar. “Saya pikir itu perintah resmi.”
Levi merasakan dadanya semakin sesak oleh amarah. “Utusan? Aku tidak pernah mengirim siapa pun!”
Seluruh ruangan mendadak sunyi. Hansen menatap Levi, wajahnya sama seriusnya. “Ini sudah jelas. Ada yang bermain di belakang layar, dan kita baru saja dijadikan pion dalam permainan ini.”
Levi mengangguk, pikirannya bekerja cepat. “Segera periksa seluruh daftar prajurit yang keluar masuk markas hari ini. Pastikan tidak ada celah yang terlewat.” Ia lalu menoleh pada Hansen. “Dan temukan siapa ‘utusan’ yang berani menggunakan namaku!"
🎀🎀🎀
Halo, aku update, hehe. Nggk kerasa ya🌹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top