Bagian XIV

Quest Day 14
Genre Utama : (Romance)
Sub-Genre : (Fantasy)

🎀🎀🎀

Sejak mengetahui jati dirinya secara perlahan, Lily merasakan perubahan besar. Ketika ia yang sebelumnya seperti orang dungu yang tidak tahu apa-apa. Ya, walau semua hal terkesan abu-abu.

Namun, Lily setidaknya sudah tahu jalan yang harus ia ambil. Walau ia sedikit heran, bagaimana Levi tiba-tiba bersikap seperti itu padanya? Apa sesuatu telah terjadi?

"Lily, bisakah kau menemani Hana yang harus mengantar barang ke ayahnya yang tertinggal?" Lily yang tengah membersihkan area depan kandang kuda langsung menoleh ke arah Frances yang membuat Lily sebelumnya terpaku hingga ia langsung mengangguk paham.

"Baiklah. Aku akan pergi dulu. Omong-omong, di mana Nona Hana?" tanya Lily sembari menepuk pakaiannya yang sedikit berdebu.

Frances yang mendengar itu langsung menunjuk ke arah rumah utama. "Kau ke rumah utama saja. Dia sudah ada di depan pintu. Dia menunggumu karena ini perintah dari Madam Orin," kata Frances yang hanya bisa diangguki oleh Lily.

Ia merasa pantas saja. Namun di sisi lain, Madam Orin memang mulai melibatkannya dalam hal di luar pekerjaannya yang seharusnya fokus di peternakan. Akan tetapi, Lily tidak ingin berkomentar. Ia juga merasa tidak masalah tatkala keluarga Madam Orin yang begitu baik kepadanya dengan memberikan pekerjaan dan bahkan tempat untuk tinggal.

Lily melangkah dengan tenang menuju rumah utama, matanya terus mengamati sekeliling hingga akhirnya ia melihat sosok Hana Alberto, si bungsu keluarga itu, tengah berdiri di depan pintu. Gadis kecil itu tampak sibuk dengan sesuatu yang ia pegang erat di tangannya. Lily segera menghentikan langkahnya dan membungkuk hormat sebagai bentuk sopan santun.

Namun, Hana mendadak berteriak, "Lily! Tidak perlu melakukan itu. Kau tidak perlu membungkuk di depanku!"

Lily tersentak, wajahnya sedikit memerah. Ia merasa canggung dengan reaksi Hana, tetapi sebelum ia sempat menjawab, Hana sudah melanjutkan dengan nada gugup, "Ayo cepat pergi. Barang ini harus segera sampai. Kita berjalan kaki saja, tidak jauh kok."

Lily hanya mengangguk, lalu menunjuk benda di tangan Hana. "Biar kubawa saja, Nona," tawarnya.

Tetapi Hana cepat-cepat menggeleng. "Tidak usah, aku bisa membawanya sendiri."

Suasana di antara mereka benar-benar terasa canggung. Lily memilih untuk tidak banyak bicara, hanya berjalan di samping Hana, memastikan langkahnya tetap sejajar dengan gadis itu saat Hana sendiri yang menginginkannya.

Lantas, pikiran Lily pun mulai melayang ketika mereka melewati markas militer perbatasan. Ingatannya seakan memutar kembali masa-masa kelam ketika ia pernah dikurung di sana. Ia mengira mereka akan masuk ke area itu, tetapi Hana terus berjalan tanpa ragu, menuju arah yang berbeda.

"Apakah kita akan ke negara seberang?" tanya Lily akhirnya, sedikit heran. Karena ia pikir, mereka akan ke markas militer.

Hana yang sejak tadi diam, menjawab dengan tenang, "Tidak, kita hanya akan ke perbatasan. Belum sampai ke Sakuta." Ia mengarahkan pandangannya ke depan, ke tempat yang mulai terlihat jelas di kejauhan. "Kau tahu dua patung besar yang ada di perbatasan itu? Itu simbol perdamaian antara Sakuta dan Eiland. Katanya, patung itu dibuat oleh persatuan sihir di masa lalu."

Lily mengerutkan kening. Dari sini, ia sudah melihat dua patung raksasa yang tampak saling berpegangan tangan di atas air, menciptakan kesan megah dan mistis yang Hana maksud. Namun, Lily dibuat terpaku dengan perkataan Hana walau tidak menampik ikon itu karena ini pertama kalinya ia melewati area tersebut.

"Sihir? Bukankah sihir sudah dianggap ilegal sekarang?"

Hana mengangguk kecil. "Benar. Tapi itu hanya cerita lama. Aku sendiri tidak tahu apakah itu benar atau hanya dongeng belaka. Sihir sekarang dianggap sebagai bentuk pemberontakan terhadap kerajaan."

Lily mendengarkan dengan seksama, tetapi pikirannya mulai terseret ke momen lain. Bayangan seorang gadis yang mirip dirinya, mengenakan seragam sekolah, melintas di benaknya. Dalam ingatan itu, seorang pria yang ia panggil "Ayah" menyambutnya di depan patung besar yang melambangkan perdamaian itu. Ia merasakan dorongan emosi yang tiba-tiba dan tanpa sadar air matanya mengalir pelan.

"Lily, kau baik-baik saja?" tanya Hana, menyadari perubahan raut wajah Lily.

Lily cepat-cepat menghapus air matanya dan mengangguk. "Aku baik-baik saja, Nona."

Lantas, mereka akhirnya sampai di perbatasan sesungguhnya, tempat patung raksasa itu berdiri megah di atas air. Lily terpaku sejenak, kagum sekaligus terenyuh melihat simbol perdamaian yang ia dengar lewat cerita sekilas Hana. Patung tersebut sungguh memancarkan perpaduan antara keindahan alam, arsitektur kuno, dan elemen fantastis yang mengundang rasa takjub. Patung raksasa yang seakan menjaga pintu masuk laut tampaknya menjadi simbol penting dari tempat tersebut, mungkin sebagai penjaga atau pelindung antar dua negara? Lily hanya berpikir sekilas.

Namun, perasaan itu berubah menjadi tegang ketika matanya menangkap beberapa orang di kejauhan.

Di sana, berdiri Tuan David bersama jajaran militer perbatasan. Tetapi yang membuat Lily terkejut adalah sosok Levi yang berdiri dengan postur tegas, mengenakan seragam militernya. Pandangan mereka bertemu sesaat dan Lily merasa seolah jantungnya berhenti berdetak.

Lily mengerjapkan mata, sedikit merasa aneh pada dirinya sendiri. Akan tetapi, bayangan ketika ia menangis semalam, membuat pipi Lily merona merah.

"Ayah, ini yang kau butuhkan. Tidak terlambat bukan? Aku memilih berjalan kaki," ucap Hana yang sedikit mempercepat langkah dan Lily hany berjalan pelan di depan, dengan perasaan yang terasa begitu campur aduk.

Tuan David tersenyum kecil saat Hana menyerahkan barang yang tertinggal kepadanya. "Bagus sekali, Hana. Kau berhasil membawa ini tepat waktu. Ayah bangga padamu," ucapnya dengan nada puas.

Namun, kebanggaan itu tak bertahan lama ketika Levi, yang berdiri di sisi Tuan David, menimpali dengan suara datar. "Hana, kau terlalu membuang waktu untuk hal kecil seperti ini. Tidak heran, tak ada perkembangan darimu."

Hana langsung menundukkan kepala. Wajahnya berubah sedih sekaligus kesal. "Kak Levi, kau sama sekali tidak bisa memujiku, ya?" gumamnya dengan nada getir.

Levi melipat kedua tangannya di dada, tatapannya dingin. "Apa yang perlu dipuji? Kau malah mengajak orang lain kesusahan. Saat ini sudah memasuki musim dingin, dan kau bahkan tidak memikirkan untuk memberi jubah hangat pada pekerja kita. Apakah itu yang pantas dipuji?"

Ucapan Levi membuat Hana mengerjapkan mata, bingung sekaligus merasa bersalah. Ia tak menyangka hal itu sama sekali. "Aku … aku tidak terpikirkan soal itu ...," gumamnya pelan.

Lily yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari mereka, segera angkat bicara untuk meredakan suasana. "Aku tidak kedinginan, Tuan Levi. Saya baik-baik saja." Senyumnya mencoba meyakinkan, meskipun dalam hati ia sebenarnya sudah merasa dingin sejak tadi dan tubuhnya sedikit bergetar.

Levi menatap Lily dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia tampaknya menyadari kebohongan kecil itu. Tanpa berkata apa-apa, Levi melepas jubah hangat yang ia kenakan, lalu berjalan mendekati Lily. Dalam keheningan yang mendadak terasa tegang, ia memasangkan jubah tersebut ke bahu Lily. Gerakannya cepat, tetapi tidak kasar.

Semua orang di sana terkejut. Mata Tuan David membelalak kecil, Hana menatap kakaknya dengan bingung dan Hansen, yang baru saja tiba, hanya bisa berdiri terpaku sambil memandang mereka.

Lily sendiri merasa tubuhnya kaku. Jarak mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan kehangatan sisa dari jubah Levi. Mata mereka bertemu dan dalam sekejap, dunia seakan membeku. Bahkan, jari-jari Levi masih berada di area kerah jubah, memastikan jubah itu terpasang sempurna di leher Lily.

Bahkan, momen yang ditunggu-tunggu semua orang. Tidak disangka terjadi. Salju pertama perlahan mulai turun, butirannya jatuh lembut di antara mereka. Pemandangan itu membuat perhatian semua orang teralihkan, kecuali Levi dan Lily yang masih saling menatap. Mereka seperti saling berkaca di mata satu sama lain, seakan-akan ada sesuatu yang mengikat mereka tanpa mereka sadari.

"Salju!" seru Hana, matanya memandangi langit yang mulai memutih.

Namun, momen itu tidak berlangsung lama. Levi tiba-tiba menarik tangannya dari kerah jubah Lily, wajahnya kembali dingin seperti biasa. Ia melangkah mundur, kembali menjaga jarak.

"Pastikan kau tidak kedinginan lagi," ucap Levi dingin, nadanya datar seolah-olah apa yang baru saja ia lakukan tidak berarti apa-apa.

Lily masih berdiri terpaku, wajahnya sedikit memerah, tidak tahu harus berkata apa. Sementara itu, Hansen akhirnya memecah keheningan dengan suaranya yang ceria, "Sepertinya ini waktu yang tepat untuk survei. Tapi, wah ... salju turun lebih awal dari biasanya, ya?"

Hana mengangguk setuju, mencoba mengalihkan perhatiannya dari interaksi kakaknya dengan Lily. "Ya, aku tidak menyangka salju sudah turun," ujarnya, terdengar sedikit lebih ceria.

Namun, suasana hati Lily masih bergulat dengan kebingungan dan perasaan aneh yang muncul tiba-tiba. Ia melirik ke arah Levi, yang kini kembali sibuk berbicara dengan Tuan David. Sementara ia, seperti orang dungu setelah semua yang telah terjadi.

🎀🎀🎀

Halo, aku update lagi, heheh. Alhamdulillah bisa rutin dulu ya. Mau dapat pita soalnya 😭👊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top