Bagian XII
Quest Day 12
Genre Utama : Romance
Sub-Genre : (Sci-fi)
🎀🎀🎀
Lily terkadang bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Akan tetapi, mimpi-mimpi yang terus berulang, membuat Lily merasa kebingungan. Ia sama sekali tidak tahu, apa maksud dari mimpi itu?
Namun, ketika ia juga ikut berperan sebagai Lily dengan adegan yang terus berulang, membuat beberapa pertanyaan muncul, apa pria dan gadis itu adalah keluarganya yang sebenarnya? Lily rasanya semakin memuakkan karena di sisi lain, ia tidak tahu harus bertanya pada siapa.
Lily saat ini pun sedang duduk di atas rerumputan yang dingin, dekat dengan peternakan tempat ia tinggal. Malam itu, langit begitu cerah, dipenuhi bintang-bintang kecil yang berkerlip di antara gelapnya malam. Namun, tatapan Lily terpaku pada rembulan yang bersinar terang. Ia tidak tahu apa yang membawanya ke sini, hanya saja hatinya terasa begitu penuh. Ada sesuatu yang berdesir di dalam dirinya, memanggilnya tanpa henti, namun ia tidak tahu apa.
Matanya menyipit ketika ia melihat sesuatu yang aneh. Tepat di dekat rembulan, muncul sebuah kilauan cahaya biru yang berpendar indah. Cahaya itu begitu terang namun lembut, seolah-olah sedang mengajaknya berbicara.
Dan kemudian, semuanya berubah. Lily merasakan tubuhnya seakan ditarik ke dalam pusaran memori. Ia tidak dapat melawan, tidak dapat berpaling. Ia berada di sebuah tempat yang asing namun terasa akrab.
Seorang pria dengan senyum lebar berdiri di hadapan seorang anak perempuan kecil. Anak itu tampak bingung namun penuh rasa ingin tahu. Pria itu pun seketika memasangkan kacamata hitam kecil di wajah si gadis kecil, lalu menatapnya dengan lembut. Wajah pria itu begitu jelas, setiap detailnya tergambar sempurna di dalam ingatan itu.
"Ayah, itu apa?" tanya si anak kecil, menunjuk ke arah cahaya biru yang kini bersinar di langit setelah mengenakan kacamata itu. Matanya membulat penuh kekaguman, seolah cahaya itu adalah keajaiban yang baru pertama kali ia lihat.
Pria itu tersenyum hangat, lalu mengusap kepala anak itu. "Bukankah kamu selalu protes karena bintang-bintang tidak muncul selama sebulan ini?" ujarnya lembut. "Jadi, Ayah membuat ini agar kamu bisa melihat sesuatu yang indah. Dan kenapa kilauannya berwarna biru, karena itu ...."
Pria tersebut menggantungkan ucapannya, namun senyumnya tidak memudar. Si gadis kecil menatap cahaya biru itu dengan takjub, lalu menoleh ke arah pria tersebut. "Warna biru itu apa, Ayah?"
Putaran memori itu tiba-tiba berhenti, dan Lily terlempar kembali ke realita. Ia terengah-engah, air mata mulai mengalir tanpa bisa ia hentikan. "Itu karena ... warna biru adalah warna kesukaanku," bisiknya, suaranya pecah. "Warna kesukaan Lily."
Ia menangis tanpa henti. Potongan ingatan itu, meski begitu kecil, terasa begitu nyata dan memilukan. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa melupakan sesuatu yang begitu sederhana namun begitu penting. Siapa pria itu? Siapa gadis kecil itu? Dan mengapa semuanya terasa seperti miliknya, tetapi di saat yang sama terasa begitu jauh?
Lily mengusap wajahnya, mencoba menenangkan dirinya. Namun, ingatan lain kembali menyerangnya. Ia melihat dirinya berlari di sebuah tempat asing dengan seorang gadis yang menggenggam tangannya.
Wajah gadis itu tampak buram, seperti diselimuti kabut. Namun, suara gadis itu begitu jelas. "Lily, dengarkan aku," katanya, suaranya penuh ketegasan namun juga kelembutan. "Kamu harus tetap di sini. Aku akan datang menjemputmu."
Lily di memori itu, menangis ketakutan. "Aku tidak mau di sini, aku takut ...."
Gadis itu berlutut dan memeluknya erat. "Dengarkan aku, adikku. Aku Rosie Russel, kakakmu. Aku berjanji akan kembali menjemputmu. Percayalah padaku."
Lalu, ia seketika melepas liontin dari lehernya lalu mengenakannya pada Lily. "Liontin akan menemanimu dan Kakak janji akan menjemputmu. Oke?"
Seketika, ingatan itu perlahan memudar, meninggalkan Lily yang kini terduduk lemas di rerumputan. Liontin itu. Nama itu. Rosie Russel. Apa gadis itu benar-benar kakaknya? Semua itu terasa seperti kunci dari teka-teki besar yang selama ini menghantuinya. Tetapi bagaimana mungkin ia melupakan semuanya? Bagaimana ia tidak tahu siapa dirinya sendiri?
Dengan tangan yang gemetar, Lily memegangi dadanya. Rasa sakit itu kembali menghantamnya, seperti duri yang menancap dalam di hatinya. Namun di tengah rasa sakit itu, ada satu hal yang jelas: ia harus menemukan jawaban dari semua pertanyaannya. Terlebih ketika pertanyaan yang terus keluar dari mulut Kapten Levi yang mengatakan jika ia yang telah membunuh Rosie.
Kepala Lily sontak menggeleng. "Tidak. Bukan aku yang membunuhnya! Aku ...."
Tangis Lily pecah semakin menjadi. Ia mencoba bangkit dari rerumputan, namun tubuhnya lemas dan tidak mampu menopang dirinya. Ia terjatuh kembali, kedua lututnya menyentuh tanah yang dingin. Dadanya sesak, pikirannya kacau, dan air matanya tidak berhenti mengalir.
Saat itulah langkah kaki terdengar mendekat. Sosok seseorang berjalan pelan ke arahnya. Dalam tangisannya yang memudar, Lily mendongak dengan wajah penuh air mata, mencoba melihat siapa yang mendekatinya.
Sebuah tangan terulur ke arahnya, besar dan kuat. Lily menatapnya dengan penuh kebingungan sebelum perlahan mengangkat pandangannya ke wajah orang itu. Nyantanya, Kapten Levi berdiri di hadapannya, masih mengenakan seragam militer yang khas. Wajahnya serius seperti biasa dengan tatapan yang tajam, namun ada sesuatu di matanya yang sulit Lily pahami.
Ketakutan merayap dalam hati Lily. Ia segera menggelengkan kepala, mencoba mundur meskipun tubuhnya terasa terlalu lemah untuk bergerak. "Bukan aku!" ucapnya dengan suara yang pecah di tengah tangis. "Bukan aku yang membunuh Rosie! Lagipula, bagaimana mungkin aku membunuh kakakku sendiri?"
Kapten Levi tidak langsung menjawab. Tangannya yang terulur perlahan mengendur, tetapi ia tidak mengalihkan pandangannya dari Lily. Raut wajahnya tetap tenang, namun tatapan matanya begitu dalam, seakan menelusuri sesuatu yang tersembunyi di dalam diri Lily.
Lily menggigit bibirnya, mencoba menenangkan dirinya meskipun rasa takut masih menguasai. "Aku ... aku tidak tahu apa yang terjadi," katanya, suara Lily terdengar gemetar. "Aku tidak tahu kenapa aku bisa melupakan apa yang terjadi padaku, Kapten. Aku tidak tahu ...."
Levi terdengar menghela napas pelan, tetapi tetap tidak berkata apa-apa. Ia hanya memandangi Lily dengan tatapan yang sulit diartikan, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Wajahnya tidak menunjukkan amarah atau kebencian, namun justru keheningan yang membuat Lily semakin merasa terintimidasi.
🎀🎀🎀
Wkwk, aku nggak tahu nulis apa😭 See u pokoknya guys 🌹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top