Bagian VI

Quest Day 6
Genre Utama : Romance
Sub-Genre : (Fantasy)

🎀🎀🎀

Levi menunggangi kudanya lebih dalam untuk masuk ke hutan. Langkah kuda yang berat menghantam tanah berlapis dedaunan kering, menghasilkan suara yang menggema di tengah keheningan malam. Udara dingin menusuk, namun Levi tidak peduli. Ia membiarkan pikirannya melayang, terjebak dalam pusaran emosi yang tak terucapkan. 

Tak lama, ia tiba di sebuah danau kecil yang tersembunyi di tengah hutan. Airnya memantulkan sinar bulan yang terang, menciptakan pemandangan yang seharusnya menenangkan, namun tidak bagi Levi. Ia menghentikan kudanya, turun, dan berdiri di tepi danau dengan tatapan kosong. 

"Rosie ...," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan. Rasa frustrasi membanjiri dadanya, menggumpal hingga tak tertahankan. Dengan tiba-tiba, ia mengayunkan tinjunya ke pohon besar di dekatnya. Suara benturan keras terdengar, diikuti dengan rasa nyeri yang menjalar dari punggung tangannya. Darah pun bahkan mengalir, tetapi Levi tidak peduli. 

"Kenapa harus seperti ini?! Kenapa kau pergi begitu cepat?!" teriaknya, memecah kesunyian hutan. Matanya berkaca-kaca, tangannya bergetar. "Aku bahkan tidak bisa melindungimu, Rosie. Hidupku ... tak ada artinya lagi tanpamu." 

Ia terdiam, merasakan dinginnya malam menyusup ke dalam dirinya. "Aku ingin meninggalkan dunia ini. Sungguh, aku hanya ingin bersamamu," lanjutnya dengan suara yang nyaris putus. 

Levi begitu frustrasi tatkala ia hanya menemukan jalan buntu atas apa yang tengah ia cari. Sudah beberapa tahun, ia tetap saja sulit menemukan dalang tewasnya sang pujaan hati.

Akan tetapi, di tengah keputusasaan itu, suara lembut memanggil namanya.

"Levi ...."

Ia tertegun, tubuhnya kaku. Suara itu ... begitu akrab, begitu menenangkan. Dengan perlahan, ia berbalik dan matanya membelalak melihat sosok seorang wanita berdiri tak jauh darinya. Wanita itu berambut panjang dengan campuran warna hijau muda dan oranye, mengenakan gaun yang berkilau di bawah cahaya bulan. 

"Rosie?" bisiknya dengan suara gemetar, penuh harap. Walau wanita di depannya memiliki rambut berbeda dengan rambut Rosie, tetapi semua hal begitu mirip dengan Rosie.

Wanita itu tersenyum, senyum yang begitu familiar hingga membuat hati Levi terasa sesak. Dengan gerakan pelan, Levi bisa melihat wanita itu mengangkat tangannya, dan seekor burung indah dengan bulu berwarna senada dengan rambutnya hinggap di sana. 

"Levi," ucapnya dengan suara selembut angin. "Kau harus berdamai dengan semua ini. Jangan terus memendam kesedihan atas kepergianku." 

Levi merasa lututnya melemas. Ia berlutut di hadapan sosok itu, air mata mengalir tanpa henti. "Rosie ... aku tidak bisa memaafkan siapa pun yang telah mengambilmu dariku. Aku tidak bisa ...." 

Rosie melangkah perlahan, mendekat hingga ia berlutut sejajar dengannya. Burung di tangannya pun perlahan pergi dan terbang. Seketika, ia mengusap pipi Levi dengan lembut. Sentuhannya terasa nyata, hangat, seperti Levi merasakan kehadiran Rosie yang selama ini ia rindukan. 

"Kau harus tetap hidup, Levi," katanya dengan penuh kasih. "Lupakan dendammu, jangan biarkan luka itu menghancurkanmu. Kau adalah cintaku, dan sampai kapan pun, kau akan selalu menjadi cintaku. Cinta Rosie Russel." 

Levi menatap wajahnya, memejamkan mata sejenak, membiarkan perasaan hangat itu mengalir dalam dirinya. Ia tidak ingin momen ini berakhir walau hanya sekadar ilusi. Namun, suara lain tiba-tiba memecah keheningan. 

"Levi!" 

Levi membuka matanya. Ia tersentak dan nyatanya ia mendapati Rosie sudah tidak ada di hadapannya. Ia melihat ke sekeliling dengan panik, tetapi hanya ada Hansen yang berdiri beberapa meter darinya, mendekat dengan wajah khawatir. 

"Kau baik-baik saja?" tanya Hansen, suaranya terdengar tulus. 

Levi tidak menjawab langsung, ia hanya menatap danau di depannya. Ia merasa begitu kosong, namun sekaligus ringan, seolah beban besar sedikit terangkat dari bahunya. Dengan suara pelan, ia akhirnya berkata, "Ya, aku baik-baik saja." 

Hansen mengamati Levi, lalu mengangguk. "Kau seharusnya tidak berkeliaran sendirian di hutan seperti ini, apalagi larut malam. Kita harus kembali." 

Levi berdiri dengan perlahan, menatap ke arah danau sekali lagi sebelum mengikuti Hansen menuju kudanya. Dalam hatinya, ia tahu pertemuan itu—entah nyata atau hanya ilusi, tetapi hal itu memberinya alasan untuk terus bertahan.

Rosie menginginkannya hidup dan itu cukup baginya untuk melanjutkan langkahnya, meskipun luka itu masih terasa menyakitkan.

🎀🎀🎀

Hari ini, Lily sudah mendapatkan kebebasan. Walau terkadang rasanya ia ingin mendekam di penjara saja karena setidaknya, ia tidak memusingkan soal makanan dan tempat tinggal. Setelah ini, ia jelas dibuat pusing untuk berkelana ke mana.

Bahkan, Lily sudah berpikir jika ia akan mati tidak lama lagi.

Alhasil, Lily pun melangkah keluar dari gerbang penjara dengan langkah gontai. Udara luar terasa asing baginya setelah sekian lama terkurung di balik jeruji besi. Langit mendung menutupi sinar matahari, membuat suasana semakin suram. Ia bisa melihat markas militer perbatasan yang besar dan kokoh, tempat yang dulu ia takuti. Sekarang, ia berdiri di depan dunia yang terasa lebih dingin dan tidak bersahabat daripada tembok penjara itu sendiri.

Ia termenung sejenak, menggenggam liontin di tangannya—satu-satunya benda yang tersisa dari masa lalunya. Ia tidak tahu mengapa liontin itu begitu penting, tetapi ia tahu satu hal: keberadaannya membuat hidupnya lebih sulit. 

Hari ini, anehnya, ia tidak bertemu dengan Kapten Levi. Biasanya, pria itu akan muncul dengan tatapan menusuk, mendesaknya untuk mengungkapkan kebenaran tentang kematian Rosie. Namun, kali ini suasana begitu sunyi. Mungkin ini adalah bentuk kebebasan yang sebenarnya, pikir Lily. 

Namun, ketika ia hendak melangkah pergi, suara langkah berat menghentikan gerakannya.

"Lily." 

Ia menoleh perlahan, tubuhnya seketika tegang saat melihat sosok tinggi dengan seragam militer berdiri tidak jauh darinya.

Lily langsung menundukkan pandangannya, merasa jantungnya berdegup kencang. Levi berjalan mendekat, setiap langkahnya terasa seperti dentuman palu yang menghantam kesadarannya. 

"Ke mana kau akan pergi?" tanya Levi dengan nada dingin, tatapannya menusuk seperti biasa. 

Lily menggigit bibirnya, merasa gugup. "Aku ... aku tidak tahu, Tuan," jawabnya pelan. "Aku tidak punya tempat tinggal atau tujuan." 

Levi menyilangkan tangannya, menatap wanita di depannya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Setelah beberapa saat hening, ia berkata, "Kalau begitu, kau tinggal saja di tempat keluargaku. Mereka mengelola peternakan kuda. Kau bisa bekerja di sana, setidaknya itu lebih berguna daripada berkeliaran tanpa arah." 

Lily tersentak, tidak menyangka tawaran seperti itu keluar dari mulut Levi. Ia menatap pria itu dengan mata penuh kebingungan, mencoba memahami maksud di balik kata-katanya. 

Namun, sebelum ia bisa menjawab, Levi melanjutkan dengan senyum miring yang membuat bulu kuduknya meremang. "Atau, kau bisa memilih untuk pergi dan mempertaruhkan nyawamu. Pilihannya ada di tanganmu sendiri." 

Lily terdiam, tubuhnya gemetar. Kata-kata Levi terdengar seperti ancaman yang tidak bisa dianggap enteng. Pilihan itu begitu jelas: menerima tawaran Levi atau menghadapi dunia luar yang penuh bahaya tanpa apapun yang ia pegang. 

🎀🎀🎀

Huah, akhirnya bisa nulis bab ini sebelum deadline.

See u deh pokoknya😭🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top