Bagian II
Quest Day 2
Genre Utama : Romance
Sub-Genre : (HTM)
🎀🎀🎀
"Kaulah penyebab semua kekacauan ini!"
"Dan seharusnya, kau yang mati!"
Begitu saja Lily tersentak dari mimpi yang selalu berakhir sama. Perlahan, mata Lily yang terasa begitu berat beriringan dengan kepala dan bahkan seluruh tubuhnya menjalarkan rasa sakit, terbuka. Lily mengamati sekelilingnya, tempatnya begitu asing dan walau tengah berbaring, ia bisa melihat jeruji besi di hadapan.
Aku berada di penjara? Lily bertanya pada dirinya sendiri. Ia mencoba untuk duduk dengan tangan yang berusaha memijit pelipisnya. Seketika, ia baru menyadari jika kepalanya terdapat perban dan beberapa di tangannya juga seperti itu.
"Apa yang terjadi padaku?" Lily bertanya dengan suara begitu pelan.
"Apa kau sudah sadar, Nona?" Sebuah suara dari seberangnya terdengar.
Lily mencoba untuk mengamati sosok yang bertanya padanya dan terdapat dua pria yang terlihat tidak asing sehingga membuat Lily menatap keduanya dengan heran.
Hansen yang melihat raut wajah kebingungan itupun tertawa pelan. "Kami dari kelompok militer perbatasan. Aku Hansen dan disebelahku adalah Kapten Levi. Kami yang mencoba menenangkan warga yang mengamuk beberapa waktu yang lalu," katanya yang membuat Lily langsung tersadar.
Lily menunduk dalam rasa bersalah yang tak berujung. Tubuhnya masih terasa sakit dan kepalanya juga berdenyut, namun yang lebih menyiksa adalah kenyataan bahwa ia sekarang berada di dalam sel penjara. Ia nyaris tewas hanya karena mencuri sepotong roti, dan sekarang ia merasa hidupnya benar-benar sudah berakhir.
Tiba-tiba, suara dingin dan intimidasi langsung membuyarkan pikirannya.
“Siapa kau dan dari mana asalmu?” Suara itu, penuh otoritas dan membuat Lily tersentak.
Ia mengangkat wajahnya, melihat seorang pria dengan tatapan tajam berdiri di luar sel. Hansen, salah satu prajurit yang membawanya ke sini, segera mencoba menenangkan suasana. “Kapten, kondisi gadis ini masih buruk. Mungkin bukan waktu yang tepat untuk bertanya.”
Namun, Levi tidak memedulikan saran itu. Dengan wajah penuh amarah yang terkendali, ia meminta Hansen memberikan wadah berisi pil. Hansen sempat ragu, tetapi akhirnya menyerah pada perintah Levi, karena ia tahu Levi tidak akan menerima penolakan.
Setelah Hansen membuka gembok sel, Levi masuk dengan langkah pelan. Hingga ia berhenti tepat di hadapan Lily yang kembali menundukkan kepalanya dalam ketakutan.
“Aku ... aku tidak bermaksud mencuri. Maafkan aku. Jika mencuri adalah dosa yang pantas dihukum mati, maka aku siap,” ucap Lily dengan suara bergetar, air mata membasahi wajahnya.
Levi tersenyum miring, sebuah senyuman yang membuat bulu kuduk Lily meremang. Dengan kasar, Levi meraih tangan Lily yang diperban dan menaruh beberapa pil di telapak tangannya.
“Telan!" katanya dingin. “Itu racun. Kalau kau benar-benar siap mati, buktikan sekarang!"
Lily terkejut, matanya membelalak, tetapi ia tahu ia tak punya pilihan. Dengan air mata mengalir, ia menatap Levi, mencari belas kasih yang tak ada di sana. Akhirnya, dengan tangan gemetar, ia memasukkan pil-pil itu ke mulutnya dan menelannya. Alhasil, rasa pahit pun menyebar di lidahnya detik itu juga.
Namun, saat matanya terpejam menunggu akhir hidupnya, tidak ada yang terjadi. Ia hanya merasakan rasa pahit di tenggorokan, tidak lebih.
“Tenang saja, itu bukan racun,” ucap Hansen terdengar dari luar sel. “Itu obat untuk memulihkan tubuhmu.”
Lily pun perlahan membuka matanya, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia menatap Levi dengan mata berkaca-kaca, tetapi pria itu tidak menunjukkan ekspresi simpati.
“Siapa kau sebenarnya?” Levi bertanya lagi, nadanya lebih tajam.
Lily merasa bibirnya terkunci. Tatapan dingin Levi membuatnya takut untuk mengatakan apa pun. Melihat keengganan gadis itu, Levi akhirnya berdiri, menatap Lily dengan sorot mengancam.
“Aku akan kembali. Dan saat itu, kau harus bicara,” katanya. “Jika tidak, aku sendiri yang akan memastikan kau dieksekusi, karena aku tak akan membiarkan orang berbahaya berkeliaran di Eiland," ucap Levi yang kemudian berbalik dan keluar dari sel. Ia meninggalkan Lily yang masih gemetar dengan air mata yang tak kunjung berhenti mengalir.
Sungguh, ia tidak berniat membuat kekacauan seperti ini. Jika ia tahu akhirnya akan seperti ini, Lily lebih memilih mati kelaparan ketimbang berakhir menyedihkan setelah ia mencuri sepotong roti.
Sementara di sisi lain, Hansen langsung memukul bahu Levi setelah mereka berjalan menjauh dari penjara yang memang berada di bawah tanah. Hansen terlihat menyipitkan mata sembari menahan amarahnya.
"Apa-apaan itu? Kau harus bisa mengendalikan diri Levi," ucap Hansen yang jelas membuat Levi menghentikan langkahnya. Kali ini, Levi tidak menunjukkan emosi apapun, hal yang membuat Hansen sangat kesal lagi.
"Levi--"
"Dia berbahaya, Hansen. Terlebih, dia memiliki liontin itu. Bukankah kau sendiri yang menemaniku mengambil hadiah untuk kuberikan pada Rosie saat ingin melamarnya? Tapi ... kenapa gadis itu yang memilikinya?" tanya Levi dengan tatapan yang tajam seperti mata elang mengintai mangsanya.
"Liontin itu." Levi menggeram pelan. "Aku sendiri yang mendesainnya, Hansen. Aku bahkan mengukir nama Rosie di dalamnya dan bukan sekadar nama lain dari bunga di liontin itu. Tidak ada orang lain yang bisa memilikinya. Tapi sekarang, gadis itu—" Levi menghela napas panjang, menahan emosi yang terus berkobar dalam dadanya "—dia memilikinya. Kau ingin aku percaya itu hanya kebetulan?"
Hansen terdiam, sorot matanya berusaha mencari penjelasan yang masuk akal, tetapi otaknya tetap buntu. Ia mengingat betapa Levi mencurahkan segalanya untuk membuat liontin itu. Liontin yang begitu indah, sederhana namun sarat makna. Tidak mungkin ada duplikatnya, apalagi mengingat Levi yang selalu menjaga desain itu tetap rahasia.
"Aku tidak tahu, Levi," jawab Hansen akhirnya, dengan nada setenang mungkin. "Tapi mungkin ada penjelasan lain. Kau tidak bisa langsung menyimpulkan dia terkait dengan tragedi itu."
Levi mendekat, napasnya terdengar berat. "Aku sudah mencari liontin itu sejak malam Rosie tiada, Hansen. Tapi, aku tidak menemukannya di rumah atau di tubuhnya. Dan sekarang, seorang gadis asing yang diamuk warga karena mencuri roti, memilikinya?" Levi mendengus sinis.
"Apa kau pikir aku bisa mengabaikan ini? Aku akan membawa gadis itu ke markas!"
Hansen menatap Levi dengan penuh keraguan. "Membawa gadis itu ke markas militer perbatasan? Kau tahu itu akan menarik perhatian, apalagi kalau komandan mengetahuinya. Ini bisa menjadi masalah besar, Levi."
Levi tidak bergeming. "Aku tidak peduli. Komandan bisa berurusan denganku nanti. Gadis itu harus diawasi. Jika dia benar-benar terlibat dalam kematian Rosie, aku sendiri yang akan menghabisinya."
Kata-kata Levi penuh tekad dan kemarahan yang terpendam. Hansen menghela napas berat, tahu bahwa meyakinkan Levi untuk mundur hanya akan membuang tenaga.
"Baik." Hansen akhirnya menyerah. "Tapi kau harus ingat konsekuensinya, Levi. Komandan tidak akan mudah memaafkan pelanggaran protokol seperti ini," ucap Hansen yang mencoba untuk mengingatkan Levi.
Namun, Levi tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Hansen yang terpaku.
🎀🎀🎀
Aww, gimana nih bab ini? Jujur, aku panik sendiri nulisnya karena harus sesuai sama quest dari WGA😭
So, sampai jumpa di bab selanjutnya yang sebenarnya bikin aku penasaran juga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top