Bagian I

Quest Day 1
Genre Utama : (Romance)
Sub-Genre : (Fantasy)

***

Aroma roti yang manis begitu menyeruak dipenciuman gadis itu ketika ia baru berdiri di sebuah tavern yang memang cukup dikenal di kota. Gadis itu tersenyum lebar, memperlihat bola mata dengan iris abu-abunya yang berbinar.

Perlahan, ia pun membuka pintu dan ia langsung mendapati pemandangan di sekeliling yang cukup ramai. Ada yang menikmati hidangan yang disajikan, meneguk minuman alkohol, berbincang-bincang hingga mereka menari tanpa menyadari sekitar.

Lily mengusap tangannya yang terasa lengket di pakaian usangnya dan Lily melangkah dengan sangat hati-hati, kedua kakinya yang telanjang hampir tak bersuara saat menyentuh lantai kayu tavern. Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena udara dingin yang menyusup lewat celah-celah jendela, tetapi juga karena ketegangan yang menjalar di sekujur tubuhnya. Matanya terus mengawasi setiap gerakan di dalam ruangan. Ia harus berhati-hati sebab satu langkah salah bisa membuatnya tertangkap.

Di ujung ruangan, keranjang rotinya terlihat. Penuh dengan roti yang baru saja keluar dari oven, aromanya menggoda, membuat perut Lily berbunyi nyaring meskipun ia mencoba menahannya. Orang-orang di sekitar sepertinya terlalu sibuk berbicara dan minum, tak ada yang memperhatikan seorang gadis dengan pakaian compang-camping yang menyelinap di antara meja-meja.

Lily meraih keranjang itu dengan tangan yang gemetar. Sesaat, ia merasa seperti jantungnya berhenti berdetak ketika roti pertama berhasil digenggamnya. Ia langsung menyelipkan roti itu di balik baju lusuhnya dan segera berbalik, menuju pintu keluar.

Saat pintu kayu itu hampir tertutup di belakangnya, ia berpikir telah berhasil. Namun, suara nyaring seorang pria di dalam tavern menghentikan langkahnya.
"Pencuri! Hei, gadis itu mencuri roti!"
Suara itu menggema, menghentikan percakapan dan tawa di dalam ruangan.

Lily tak berpikir panjang. Dengan sisa tenaganya, ia berlari sekuat mungkin, meskipun tubuhnya sudah terlalu lemah karena kelaparan. Nafasnya tersengal, kakinya terasa berat, tetapi ia tahu ia harus terus berlari. Di belakangnya, langkah kaki orang-orang mengejarnya terdengar semakin dekat.

Ia berbelok ke sebuah gang sempit yang gelap, berharap bisa menghilang dari pandangan mereka. Namun, ia salah. Gang itu buntu. Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, orang-orang yang mengejarnya sudah berdiri di hadapannya, memblokir jalan keluarnya.

"Kau pikir bisa lolos, hah?" Salah satu pria itu berkata dengan nada mengejek. Ia mendorong Lily hingga terjatuh ke tanah. Roti yang disembunyikannya terjatuh dan berguling ke sisi jalan.

"Maaf ... aku lapar! Aku tidak akan mencuri lagi ...." Suara Lily terdengar lemah. Ia memohon, tetapi tatapan mata mereka penuh amarah dan penghinaan.

"Lapar? Itu bukan alasan untuk mencuri! Kau pikir kami bekerja keras untuk memberimu makan gratis?" teriak seorang wanita.

Tanpa menunggu jawaban, pukulan pertama mendarat di bahu Lily, membuat tubuh kecilnya terhempas ke tanah. Pukulan dan tendangan berikutnya menyusul. Tubuh Lily gemetar, tangannya mencoba melindungi wajahnya, tetapi ia terlalu lemah untuk melawan. Darah mulai menetes dari sudut bibirnya, bercampur dengan air matanya yang terus mengalir.

"Tolong ... cukup! Aku mohon ...."
Permohonan itu hanya membuat mereka semakin bersemangat. Mereka terus memukulinya sambil melemparkan kata-kata hinaan.

"Dasar gadis hina! Kau bahkan tak pantas hidup!"

Lily hanya bisa menangis di tengah tubuhnya yang begitu sakit. Ia bahkan tidak kuasa bangkit lagi dan Lily pikir, ia akan tiada di detik itu juga karena pukulan membabi buta setelah ia yang mencuri sepotong roti.

Namun, tepat ketika Lily hampir kehilangan kesadaran, suara dalam dan penuh wibawa menggema di udara.

"Berhenti sekarang juga!"

Semua orang yang ada di gang itu menghentikan gerakannya. Suara itu seketika membawa keheningan yang mendadak. Mereka menoleh, mendapati seorang pria berdiri di mulut gang. Rambut hitam pria itu tertata rapi, wajahnya tegas, dan pakaiannya menunjukkan bahwa ia bukan orang biasa. Terlebih dengan jubah panjang berwarna gelap melambai tertiup angin yang menandakan ia adalah bagian dari militer yang bertugas di perbatasan.

Mata tajamnya menatap mereka dengan begitu dingin. "Apa yang kalian lakukan di sini? Apa kalian tidak tahu, kalian semua mengganggu ketertiban kota!"

Semua orang di gang itu langsung terdiam, tangan mereka yang sebelumnya terangkat untuk melayangkan pukulan, kini terhenti di udara. Mata mereka tertunduk dengan tubuh gemetar ketakutan. Sosok yang berbicara bukan orang sembarangan.

Pria itu adalah Kapten Levi-nama yang dikenal di seluruh Eiland sebagai pemimpin militer dibagian perbatasan yang tegas, dingin dan tanpa kompromi. Kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum bertindak gegabah.

Salah satu pria yang sebelumnya memukuli Lily memberanikan diri membuka suara, meskipun suaranya terdengar bergetar.
"Kapten, gadis itu mencuri roti. Kami hanya ingin memberi pelajaran."

Levi tidak langsung merespons. Ia hanya berdiri di tempat, mengamati kerumunan dengan mata tajamnya yang seolah mampu menembus ke dasar hati mereka. Di sebelahnya, seorang pria dengan seragam yang sama, bernama Hansen, tampak geram mendengar penjelasan itu.

"Memberi pelajaran?" Hansen melangkah maju, suaranya meninggi. "Apa kalian pikir dengan memukulinya sampai babak belur, itu pelajaran yang pantas? Kalian semua ini main hakim sendiri! Apa kalian lupa hukum kota ini? Kalian yang seharusnya dihukum atas tindakan kalian!"

Wajah orang-orang itu memucat. Mereka saling pandang, berusaha mencari celah untuk membela diri, tetapi tak ada satu pun yang berani menjawab Hansen. Sementara itu, Levi tetap berdiri di tempatnya, tidak menunjukkan emosi apa pun.

Hansen berjongkok di samping tubuh Lily yang tergeletak tak sadarkan diri. Bajunya yang lusuh penuh darah dan wajah kecilnya tampak begitu pucat. Hansen menatap gadis itu dengan ekspresi penuh simpati. "Apa kalian tidak malu? Kalian hampir saja membuat seseorang tewas!"

Hansen pun langsung mengangkat tubuh Lily dengan hati-hati. Beratnya hampir tak terasa-menunjukkan betapa kecil dan lemahnya gadis itu. Ia berdiri kembali, lalu menatap kerumunan dengan mata yang menyala penuh amarah. "Kami akan membawa gadis ini untuk diperiksa dan ditindaklanjuti sesuai hukum. Kalian semua, bubar sekarang sebelum aku melaporkan tindakan kalian ke pengadilan militer!"

Orang-orang di sana tidak membutuhkan perintah kedua. Mereka segera membubarkan diri, berjalan mundur dengan kepala tertunduk. Dalam sekejap, gang itu menjadi sunyi, menyisakan Hansen yang masih memegang tubuh Lily dan Levi yang tetap berdiri di tempatnya.

"Kapten, kita harus membawanya ke tempat yang aman," kata Hansen sambil menoleh ke arah Levi. Namun, Levi tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Lily dengan ekspresi dingin, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu di dalam pikirannya.

"Kenapa kau selalu seperti ini Hansen?" tanyanya akhirnya, dengan nada datar yang sulit ditebak. "Apa kau pikir semua orang pantas ditolong?"

Hansen menghela napas panjang. Ia tahu betul sifat Levi yang seperti ini. "Dia hanya seorang gadis yang kelaparan, Kapten. Jika kita tidak menolongnya, siapa lagi yang akan melakukannya?"

"Tapi lihat Kapten! Dia ... dia memiliki liontin mawar yang begitu indah dan berkilau. Terlepas dari keadaannya yang begitu mengenaskan," kata Hansen yang membuat Levi mendekat dan meraih liontin itu.

Levi terpaku di tempatnya karena liontin itu. Seketika ia mengingat sesuatu. Liontin itu, bukanlah hal asing baginya tetapi kenapa gadis ini yang memiliki liontin berharga itu?

"Ini mirip dengan liontin Rosie."

***

Hello, aku publish cerita untuk memenuhi UNBK WGA.

So, semoga suka. See u di bab selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top