Epilogue

Musim semi kembali tiba, kedamaian kembali tersebar bersama angin yang menerbangkan dedaunan bersama kelopak bunga di taman. Mulai banyak yang memilih bubar ketika langit gelap hadir.

Lampu-lampu jalan sudah menyala, konon pula lampu neon toko yang menarik perhatian pengunjung kota. Bahkan di antaranya sudah mulai memakai spanduk hologram berjalan.

Hal yang terpenting ialah segala aktivitas berjalan lancar seolah tiada lagi yang sepatutnya dikhawatirkan. Tanpa terasa tiga bulan terlewatkan.

Kalangan turis enggan ambil pusing perihal peperangan.

Kalangan masyarakat sebagiannya barangkali sudah mulai lupa.

Kalangan pemerintah mulai lepas tangan terhadap apa yang telah berlalu.

Seutuhnya Jepang kembali normal. Begitulah pandangan yang tertangkap oleh sepasang lensa kehijauan.

Kantor sang Madam sudah gelap, lanas menggunakan isi kepala, sosok android pria perempat baya itu mengontrol lampu-lampu untuk menyala dalam cahaya temaram.

Untuk kesekian kali dirinya menjatuhkan pandangan kepada bangku Kirika bersorot mata yang dilingkupi perasaan sepi. Rasanya memang percuma jika ia besuara barang mengujarkan satu kata ... tidak ada yang mendengarnya sebab dirinya merupakan satu-satunya penghuni kantor saat ini.

Sungguh perihal yang tidak biasa memang, Kirika ingin menyelesaikan tugasnya sendiri tanpa sedikit pun mengharapkan bantuan terhadap sekitar. Namun, apa pula yang bisa dilakukannya selain menuruti sang Madam untuk tetap berada di sini sementara waktu—

Ah ... sementara waktu? Ini bahkan hampir seharian ia ditinggal di kantor.

Tapi tanpa berkeinginan mengeluh barang sedikit saja, kembali ia lemparkan pandangan keluar dinding kaca, menerawang jauh kepada seisi kota yang ramai oleh kesibukan pejalanan kaki yang baru saja menyelesaikan kegiatan hanaminya. Kadangkala ia meningkatkan fokus kamera kepada halaman utama gedung perusahaan kalau-kalau ada yang sedang keluar atau memasuki kawasan tersebut.

Sempat ia hendak memperhatikan pepohonan yang tumbuh di sekitar halaman utama, suara pintu yang terbuka secara otomatis menyita kegiatannya.

Dia menoleh, tetapi sayang bukan sosok yang ia nanti sejak siang hari yang muncul dan melangkah masuk.

Tak lain tak bukan ialah Silvis yang tanpa segan mengedarkan pandangan. Ya, tampaknya pun ia tengah mencari seseorang yang sedari tadi dinanti.

"Dia belum juga kembali, Akira?"

Dia yang disebut namanya tanpa ingin membuat Silvis menunggu segera menggeleng. "Namun, Madam tetap menaktifkan GPS-nya. Beliau berada di dalam gedung, tetapi ... dikarenakan saya merasa ia belum membutuhkan eksistensi saya, saya tidak mendatanginya."

"Kau tampaknya masih berusaha menjaga jarak dengannya ... tetapi tak masalah. Kuharap kalian bisa akur." Demikian Silvis berkacak pinggang. "Jadi, di mana dia berada?"

"... Lantai teratas; atap."

Nama tempat yang sungguh tak pernah mau ia dengar. Kapan pun itu.

Beberapa saat lalu, memang Kirika sudah menginjakkan kaki di sana. Seisinya tak lagi seindah pertama kali ia menerima jabatannya. Kini sudah kosong melompong, pun seutuh pelindung sudah dibalut baja yang tak memberikan sedikit pun celah untuk melihat keluar, memberikan kesan bahwa atap ini merupakan ruang luas ... tetapi tetap saja terbatas.

Beruntung rasanya tempat ini memilih pencahayaan yang memadai, sehingga sekitarnya tetap tampak hidup meski sekadar secercah saja. Maka begitu mudah pula bagi empunya manik delima mendapati sosok Kenji yang dikurung dalam jeruji.

Yah, begini saja sudah cukup. Akan dirasa dramatisir jika mereka memasung pria muda itu. Bahkan dihukum seperti ini saja keadaannya jelas tak tampak menyehatkan.

Cekung pipinya, benar-benar begitu kurus pula seperti tidak diberi makan. Nyatanya ia hanya menolak makanan yang disuguhkan setiap tiga hari sekali dan hanya melahapnya ketika benar-benar ingin.

Kelopak matanya berkantong, sembab dan nyaris menghitam, tetapi sangguplah keduanya menopang sepasang mata merah yang sedang menyalang kepada sosok wanita yang mendekati jeruji.

Toh, beruntung sekali Kirika tak pernah ambil hati dengan segala perlakuannya.

"Lama tak berjumpa."

Malah, ia menyapa Kenji dengan ramah.

Seribu sayang pria muda itu malah menganggap senyum samarnya merupakan bentuk ejekan. Lantas sugesti yang ia ciptakan sendiri membuatnya mendengkus sembari ia berpaling.

"Lakukan apa yang kau mau," katanya, kontan mengundang tatapan penuh tanya dari Kirika. "Kedatanganmu merupakan hari penentuan bagiku, ingat?"

Sejenak lawan bicaranya tertegun, tetapi tak membutuhkan waktu lama pula baginya untuk melantunkan kekehan.

"Ya, tentu aku ingat, tetapi ...." Kirika melipat kedua tangan di atas lutut. "Sejatinya aku datang untuk membebaskanmu."

Kernyitan dalam terukir jelas di kening Kenji yang mendengar perkataannya.

Apa kepala wanita ini baru terbentur sesuatu atau telinganya sendiri sedang bermasalah?

"Jangan khawatir. Ini pembebasan bersyarat jika kau sekadar dibebaskan saja masih berasa keberatan."

"... Tetapi kau sadar bahwa kini aku tak membutuhkannya, bukan?"

Demikian salah satu tangan Kirika terangkat memangku dagunya sendiri. "Hanya karena kau tidak memiliki apa pun yang bisa kau elu-elukan, kau tak lagi membutuhkan kehidupan."

"Aku memang tak lagi membutuhkannya—"

"Bahkan jika aku mengatakan gadismu masih hidup?"

Napas Kenji sejenak tertahan. "Apa?"

Sulit untuk memercayai musuhnya, tetapi entah bagaimana hati kecil Kenji ingin sekali percaya dengan pernyataan itu. Konon pula, dia nyaris menghapus keraguan dalam batinnya, lekas mulai tampak binar penuh harap di dalam mata kemerahan itu.

Lantas bersama nada tak sabaran ia bahkan berani melontar kalimat tanya, "Di mana dia sekarang?"

"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang," jawab Kirika enteng. "Namun, aku bisa menjanjikan pertemuan kalian di saat waktunya tiba."

"Dan kau akan melakukannya jika aku mau menyetujui perundingan yang kau ajukan?"

"Siapa yang tengah berunding di sini? Justru ini perintah untukmu."

Rasanya sudah lama sekali sejak ayahnya sendiri yang berujar demikian. Setiap kali mendengar kata-kata yang bermakna arahan mutlak, ia selalu terpaku di tempat dengan kesiap singkat.

Segera Kirika manfaatkan kesempatan ini dengan menarik tangan si pria muda dan memakaikan sebuah gelang dengan alat pengait otomatis. Sementara ... Kenji entah bagaimana sekadar memperhatikan apa yang tengah ia lakukan, persis seperti orang linglung.

"Kita akan memulai permainan baru di mana aku yang menjadi pendirinya kali ini," terang Kirika yang kemudian bergerak meraih pipi Kenji untuk diusap penuh kasih. "Gagak, temukan hal-hal berkilau dari masa lalu. Kumpulkan dan tata semua itu sedemikian rupa. Lalu, rombaklah danau di dalam kepalamu jernih agar kau bisa memasukkan semuanya ke sana.

"Jumpai diriku ketika segala hal yang telah kau dapatkan mampu kau melihat cahaya dari dalam danau itu." Kirika mengakhiri teka-teki dengan senyum lembut.

Sungguh, itu benar-benar sisi yang tak biasa bagi Kenji.

"Pergilah ketika jeruji ini naik dan terbuka lebar ketika sampai di atas sana. Bibimu menunggu di bawah, dia pasti akan menjelaskan semuanya. Gelang itu akan mengulurkan tali dan pengait untuk membantumu turun," terang Kirika. "Aku tidak memiliki minat untuk menghentikanmu. Ikuti saja aturan mainnya. Selesai perkara.

"Aku bisa menjamin kepalaku untukmu."

Tampaknya ia bersungguh-sungguh akan segala kata-katanya.

Kirika bangkit selagi tangannya sibuk merogoh saku dalam jas. Dia mendapatkan pistol dari situ, lantas tiada sedikit pun ragu ia tempelkan moncongnya persis ke pelipis.

Demikian jeruji bergerak, mulai naik membawa Kenji yang masih termangu. Tetap ia pertahankan tatapannya kepada manik delima yang masih memandangnya lurus pula. Tak terlihat keraguan, bahkan tanda pergerakan darinya.

Jeruji sudah mencapai tiga perempat jalan, lantas lingkaran di langit-langit terbuka memperlihatkan gelap malam tak berbintang sekaligus mengizinkan udara segar masuk. Namun, Kenji lebih memilih menarik diri untuk kembali memandang Kirika.

Tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk mendapati suara ledakan pistol dari bawah. Sungguh memekakkan, sekonyong-konyong melemaskan otot-otot Kenji kontan memberikan nuansa pucat di kulitnya. Beberapa kali ia berusaha menfokuskan pandangan yang memburam selagi engah napasnya terlampau kentara untuk didengar.

Gemetar Kenji mendapati sosok itu benar-benar tumbang akibat dorongan keras dari tembakan. Adrenalin terpacu tepat mendapati genangan darah yang kian meluas tercipta dari pelipis bolong dengan peluru yang menembus tengkorak.

Demikian jeruji telah tergantikan oleh pilar yang menjulang mencapai langit-langit, sementara ruangan telah diwarnai cairan merah di tengahnya berhias sosok sang Madam memandang kosong bagai benda mati, lantas menyambut kedatangan Silvis yang begitu tenang.

Sekadar ia bergeming di tempat meresapi bau anyir yang menguar memasuki rongga hidung. Tidak ia perlihatkan keterkejutan, bahkan rasa heran. Seolah-olah ia sudah mengetahui semua ini terjadi.

Ya, tanpa disangka permainan baru telah dimulai secepat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top