Chapter 3.4 [EX]

Dua tapak kaki mungil seorang bocah berderap mengitari rumah; suaranya menguasai seisi ruangan yang sejenak ia pijaki.

Empunya kaki mungil itu membiarkan iris kemerahannya berpuas diri menjelajahi ruang tengah. Tak menemukan apa yang ia cari di sana, maka ia kembali mengitari rumah melewati tempat yang sama.

Tanpa ia menyadari wujudnya mengalami perubahan. Satu putaran terlewat, ia beranjak remaja. Kemudian beberapa putaran lamanya sudah ia habiskan. Tanpa terasa, ia berubah menjadi pria muda.

Kini, ia kembali memutuskan berhenti di depan ambang pintu ruang tengah.

Enggan agaknya ia memedulikan peluh yang terlanjur membasahi tubuh, bahkan paru-paru yang sudah meronta meminta istirahat. Lantas sisa-sisa tenaganya mengeluarkan suara lirih di atas patahan tanya penuh khawatir ....

"Ibu ... Ibu ada di mana?"

Sungguh, hampa yang mendominasi melemahkannya.

Hampir-hampir ia memilih tumbang ketimbang terus mengitari tempat yang sama. Namun, ia tak ingin mendengarkan tubuhnya yang meronta lelah. Malah ia sejenak bersandar di ambang pintu selagi menyesuaikan diri dengan pandangan yang sekilas memburam.

Sekali lagi si pria muda mengedarkan maniknya. Pun, ia mendapatkan pemandangan yang sama.

Ruang tengah, tanpa seorang pun singgah di sana selain dirinya.

Batinnya terlanjur putus asa. Tapi kakinya masih menyeret si pria muda mengitari rumah. Meski tak lagi memiliki semangat seperti sosok semasa kecilnya, ia tetap melanjutkan langkah.

Tempat ini sungguh menguras tenaga. Ingin sekali rasanya ia cepat-cepat minggat dari sini. Namun, agaknya ia tak bisa; ia tak mampu.

Pun ... sebuah suara bisikan yang kala kemudian memanggilnya sukses membuat ia ingin tetap bertahan di dalam sini.

Ah, ternyata tidak hanya sekali bisikan tersebut melantun. Suara tersebut terus menggaung memanggil namanya. Maka si pria muda melanjutkan langkah hingga berakhir ia mendapati sebuah tangga di hadapannya.

Di puncak tangga, cahaya menyebar menyilaukan mata. Namun, si pria muda mengabaikannya dan terus mendaki tangga. Isi hati terlanjur mendorongnya merasa yakin bahwa suara yang menggaung itu berasal dari sana.

Angin berembus menyambut kedatangannya, lengkap pula dengan suara kicau burung yang menumpang membelah udara hendak kembali ke sarang. Demikian ia mendapati pohon momiji* menggugurkan daun-daun merahnya lalu menari-nari diterpa angin, si pria muda tersadar bahwa ia kini ia berpijak di halaman belakang.

Di dalam pikirannya, hidup terkadang lebih mudah tanpa harus repot-repot mengingat angka di dalam kalender. Ya, sekarang ia benar-benar harus melewatkan musim panas tanpa mengunjungi festival setelah beberapa tahun. Namun, sekali lagi itu bukanlah masalah besar di dalam hidupnya.

Netra kemerahannya berakhir jatuh kepada sosok wanita yang sedang berdiri menghadap pohon momiji. Rambut hitamnya yang panjang melambai indah dibelai angin.

Satu hal yang membuat si pria muda mengulas senyum ialah kala sosok itu memutuskan melilit rambutnya ke sekitar leher guna melindungi diri dari hawa dingin; sebuah kebiasaan yang ia tahu kalau si wanita lupa membawa syal.

Baru saja terbesit keinginannya mengejutkan si wanita, justru ia mendapati sosok itu berbalik lebih dulu sebelum ia mengambil langkah.

Hanya saja kala kemudian si pria muda ragu untuk berpindah.

Dia ingin memastikan segalanya dari jauh. Netranya memandang setiap detail yang tersuguh di setiap lekuk wajah sosok di hadapannya. Bibir ranum yang kontras dengan kulit seputih salju, hidung yang sedikit bulat, kemudian mata senada obsidian berkilauan. Dia tidak pernah melupakan tahi lalat di bawah mata dan di dekat dagu itu. Aneh memang, tetapi kedua tahi lalat tersebut selalu berhasil mempercantik wajah si wanita.

Segalanya terasa nyata. Maka lenyap sudah semua penat dan keraguan yang menghinggapinya.

Demikian si pria muda memantapkan diri untuk mendekat. Senyum sumringah ia kembangkan seiring lari kecilnya menciptakan jejak. Betapa bahagia hatinya tepat si wanita mulai merentangkan tangan kala menyambutnya.

Pria muda menyambarnya dengan pelukan. Sebagai balasan, wanita itu memberikan sentuhan hangat. Lantas ia mengambil kesempatan menghirup aroma yang menghinggapi si wanita, berpuas diri bernostalgia bersama manik terpejam.

"Kenji ... anakku." Pada akhirnya sosok tersebut bertutur lembut. "Sudah lama sekali, ya."

Yang disebutkan namanya masih enggan membuka mata. Namun, indera pendengarannya masih setia mendengarkan.

"Maafkan Ibu ...."

Lagi-lagi ia mendengar patahan kata tersebut darinya. Sungguh ia membenci itu.

Dia selalu mendengarkan permintaan maaf dari sang ibunda setiap hari ulang tahunnya tiba melalui rekaman yang disimpan oleh bibinya. Keiko sudah mempersiapkan segalanya, seolah tahu ajal tengah menjemput. Namun, sayang sekali, ia tidak dapat menyelesaikan semua rekaman ucapan ulang tahun untuk Kenji sampai berusia lima puluh.

Semakin erat dekapan Kenji kala mengingatnya, kian dalam pula kernyitan di keningnya. Konon kenangan pahit datang, secercah bau anyir menguar entah dari mana muasalnya.

Itulah hal pertama yang menarik dirinya membuka mata. Barulah dirasa kini ia tak lagi menginjak tanah. Dia melepas pelukan ibunda, sebisa mungkin ia melakukannya dengan lembut meski ngeri lebih dulu menjalar menusuk jantung.

Pemandangan halaman belakang menghilang. Sekeliling mereka tak lebih dari latar merah. Mereka seolah mengambang di tengah laut bercampur darah. Namun, bukan itu yang membuat ketakutan sukses menguasai Kenji.

Di hadapannya, Keiko menitikkan air mata. Kulitnya yang bening perlahan terkelupas, sedikit demi sedikit mengantarkan bau bakar. Tak sampai di sana, rambutnya perlahan rontok. Masing-masing yang terbuang darinya melayang-layang mencapai permukaan.

Sementara ia mengamati Kenji yang terpaku, tangan Keiko mencengkeram lengan anak semata wayangnya kuat-kuat. Tatapan yang ia lontarkan teramat nanar.

Batin Kenji mencelos dengan segala pemandangan yang disuguhkan dunia ini.

Baru hendak Keiko bersuara, kala kemudian wanita itu membeku tepat mereka mendengar pisau mendarat tepat merusak tulang belakang. Suaranya samar, tetapi atas keheningan merengkuh mereka, indera pendengaran Kenji mampu mendengarnya dengan jelas.

Ah, ya. Ujungnya benar-benar menancap melukai Keiko. Keyakinan akan batin Kenji yang berkata pisau tersebut sukses mencapai jantung sang ibunda itu benar-benar terjadi.

Keiko ambruk. Namun, kala Kenji mulai mengambil ancang-ancang menangkapnya, ia menjelma ribuan kupu-kupu api yang menyebarkan cairan merah kental berbau anyir ke sekujur tubuh Kenji. Hilangnya sosok sang ibunda nyaris membuatnya meraung.

Nan jauh di hadapannya, Aronia berdiri seraya mengulurkan tangan. Persis wanita itulah yang membuat Kenji mengurungkan diri untuk menjerit mengadu rasa sakit dari sayatan di dalam hati.

Sebab dia tahu, Aronia tidak bermaksud membantu.

Pisau yang baru merenggut nyawa Keiko itu berasal dari Aronia. Pun, keyakinan di dalam dada atas asumsi itu tengah membangun kemurkaan besar di dalam diri Kenji. Si pria muda sampai gemetar, membiarkan dirinya meluap akan emosi yang ia pendam. Satu jejak ia ciptakan, perlahan berangsur menjadi lari.

Akan tetapi, seluruh pergerakannya tersita oleh rantai yang dari entah dari mana muasalnya membelenggu anggota geraknya.

Kenji meronta selagi Aronia mendekat. Setiap langkahnya memberikan perubahan pada tiap-tiap bagian tubuhnya. Dia bertambah tinggi, kulitnya seketika teramat berbeda; sedikit lebih pucat dari beberapa langkah sebelumnya.

Manik biru Aronia berkedip sekali, ikut berubah warna senada delima. Pun, kala melepas kucir, pirang rambutnya tergantikan oleh mawar keemasan.

Ingin sekali Kenji mengenyahkan semua pemandangan di hadapannya setelah mengetahui terkaannya benar.

Aronia menjelma Kirika tepat ia berhenti persis di hadapannya.

Sosok itu menelengkan kepala, menyeringai tipis berpuas hati memandangi Kenji tak memiliki kuasa untuk melakukan apa-apa. Betapa keras usaha untuk melepaskan diri dari rantai yang semakin ramai mengikatnya sama sekali tak membuahkan hasil.

"Kenji ...." Suara Keiko menggema di kepalanya, seketika membuat ia berhenti memberontak.

Dia bisa merasakan keberadaan sang ibunda sekali lagi. Kontan detak jantungnya berpacu lebih cepat. Sensasi dingin merengkuhnya dari belakang.

Keiko dengan sekujur tubuh yang pucat pasi memeluknya, melayang-layang bersama gaun putih.

"Jangan pernah lupa membalas dendam Ayah dan Ibu," tuturnya lembut dan tenang. Iris gelapnya lantas tertuju kepada Kirika yang tengah memungut pisau.

Kenji mendelik ngeri tepat Kirika mempersempit jarak. Senyum samar wanita itu entah bagaimana mengundang keringat dingin keluar dari pori-pori kulit. Dia bahkan tersentak tepat Kirika memeluknya.

"Kamu ... mampu menyanggupinya, bukan?"

Tanpa sepatah kata, satu sentakan sukses menikam dada Kenji. Tarikan napas panjang spontan memindahkannya ke tempat lain.

Dia terduduk di ranjang dari ruang temaram yang sunyi, sekadar diramaikan dengan suara derik kipas angin gantung setiap lima putarannya. Sama sekali mereka tak berhasil mengantarkan hawa dingin kemari, angin panasnya hanya menambah keringat dingin yang membasahi sekujur tubuhnya.

Kontan napasnya terengah. Sempat-sempatnya pula ia memperhatikan pemandangan sekenanya. Namun, sebelum melakukan itu, tanpa diminta sebuah sentuhan menghinggapi lengannya sukses membuatnya menoleh.

Ayame.

Setidaknya dengan keberadaan wanitanya di sini, Kenji bisa meyakinkan dirinya bahwa kini ia telah kembali ke dunia nyata.

Segala sikap yang sedang Ayame tumpahkan padanya ada bentuk tanya seperti ....

"Ada apa?"

Alih-alih menjawab pertanyaan tersirat itu, justru Kenji mengangkat tangan; memberi isyarat harus kepadanya agar ia mau menyingkir barang sejenak. Secepatnya ia menyeret diri bersama kepala yang masih belum mampu membedakan kenyataan dan maya menuju tepi ranjang.

Lama ia merenung memandang lantai. Pikirannya bahkan tak mengundang mimpi buruk itu, seketika ia datang menghantuinya; kian terbayang-bayang. Lantas Kenji memukul pelipis keras-keras, dengan harapan dalam hati semua bayangan dari sisa-sisa mimpi yang terngiang cepat menghilang.

Perbuatannya bahkan sudah cukup untuk mengundang Ayame segera menghampirinya. Tanpa memedulikan selimut yang jatuh mengekspos setengah tubuhnya, Ayame bergerak mengcengkeram tangan Kenji sebelum ia mendaratkan pukulan ketiga.

Perlawanannya terasa sengit. Beruntung, Kenji cepat mengalah.

Ya, melawan wanitanya hanya akan memperkeruh suasana.

Berakhir ia menarik tangan Ayame, secara tak langsung meminta agar ia memeluknya dari sana. Ayame tentu menurut, sempat-sempatnya ia mengecup bahu Kenji yang belum utuh hilang keringatnya.

"Kau tidak apa-apa."

Bisikan Ayame bukanlah pertanyaan. Pun, ia bahkan mengulangi patahan kata yang sama dengan lirih sebelum ia bersandar di pundaknya.

Tapi benarkah ungkapan yang berujar menenangkan itu benar adanya?

Kenji menggerakkan kepalanya bertengger di puncak kepala Ayame bersama sela-sela keheningan canggung yang ia ciptakan sendiri. Dia terus mengatur napas bersama mata yang terpejam, maka indera pendengarannya dipaksa bekerja lebih keras menangkap suara derik kipas angin gantung.

Dirasa jantungnya mulai berdetak normal sebab terhibur oleh suara-suara di sekitarnya, Kenji menoleh kepada Ayame. Dia berbalik setelah Ayame melepas pelukannya.

Kini Kenji menangkup wajah Ayame sambil tersenyum kecil.

Lihat betapa cepat suasana hatinya berubah sekarang.

"Tampaknya kau enggan bercerita."

Sekadarnya si pria muda mendengkus selagi ia memperlebar senyuman. Masih saja ia mengunci mulutnya rapat-rapat, sedikit pun tak berkeinginan menyuarakan jawaban. Alih-alih menanggapi, ia menyerang bibir Ayame dengan sebuah ciuman.

Ciuman berangsur kasar dan memburu. Di kala wanitanya lengah, Kenji menuntunnya berbaring kembali ke kasur. Dia mempertahankan setiap kecupannya, tetapi ia tetap berhati-hati memastikan punggung Ayame merebah dengan nyaman.

Kenji berhenti tepat Ayame melenguh penuh keluh dalam sesak. Tangannya bertumpu di kanan dan kiri kepala Ayame, dengan begitu dengan mudah ia menurunkan pandangannya ke tubuh wanitanya.

Bersama telunjuknya, ia menciptakan garis tak kasat mata di belahan dada Ayame, diteruskan hingga mencapai pusar. Kenji berhenti di sana, seolah itu sudah cukup bagi tangannya menelusuri jejak luka yang ia ciptakan dalam semalam. Begitu lama pandangannya terhenti kepada lebam bekas gigitan di bahu Ayame.

"Sekarang aku mengerti mengapa kau bangun lebih awal setiap kita tidur bersama." Lantas netra kemerahan itu memandang lurus ke manik karamel di hadapannya. Pun, tangan kanannya meraih pipi Ayame, membiarkan ibu jarinya membelai lembut pipi mulus itu. "Apa terasa sakit?"

"Bukan apa-apa. Tidak sesakit kala Kurihara menusuk perutku di Amerika."

Persis Ayame berkata demikian, tangan Kenji meraba bekas luka di perutnya dengan gerakan memutar. Samar, tetapi dari tatapan Kenji kini ia bisa melihat kegetiran di sana.

Ayame selalu tahu bagaimana Kenji mengutarakan maaf tanpa melontarkan sedikit pun sepatah kata.

"Ayolah. Lukanya sudah lama menutup, bukan?" ucap Ayame.

Dia memandangi Kenji yang mengatur posisi berbaring di sampingnya. Tepat Ayame memutuskan memindahkan kepala ke lengan Kenji yang terentang, dia kembali mengangkat topik pembicaraan dengan sebuah tanya, "Kau yakin tidak ingin bercerita soal mimpinya?"

Ada secercah binar yang mengartikan permohonan di iris karamel itu, dan netra kemerahan Kenji berhasil menangkapnya. Namun, sekadarnya Kenji tersenyum kecil sembari menyibukkan tangan dengan menggulung sehelai rambut Ayame di jemarinya.

Pada akhirnya ia menyahut, "Tidak sekarang."

"Kalau tidak sekarang, kapan?"

"Kapan-kapan, ya. Kalau tidak sibuk."

Ayame merengut. "Kenapa kau selalu seperti ini?"

Kekehan adalah tanggapan pertama dari Kenji. Tak lama ia menarik Ayame agar wanitanya duduk di pangkuan. Perlahan ia menempelkan dahi mereka, maka dengan begitu ia hanya akan berfokus kepada iris karamel Ayame yang menggelap ditelan temaram.

"Selalu seperti ini bagaimana?" bisik Kenji kemudian, masih terdengar menggoda.

"Menyebalkan."

"Tapi kau tetap suka, 'kan?"

Ada sensasi geli yang menghinggapi pipi Ayame. Semakin ia menahan diri untuk tidak mengumbar senyuman, rasa menggelikan itu semakin kentara. Maka ia memutar bola mata sembari mendengkus panjang.

Dia meraih tangan Kenji dan mulai menunduk memandangi setiap kapalan yang menghiasi telapak tangan itu. Ya, dia butuh sedikit peralihan untuk menghilangkan kesipuan di dalam benak yang berdebar hangat. Kenji semakin gemas menonton aksinya yang mulai meraba-raba kapalan itu.

"Aku akan tetap bercerita," ujarnya guna mengundang Ayame kembali mengangkat pandangannya. Itu berhasil, lantas Kenji tersenyum lebar padanya selagi tangannya bergerak mengusap pipi si wanita sekali lagi; menunggu Ayame melontarkan sepatah kata.

"Setelah aku pulang nanti, ya?"

Sekarang Kenji malah menimbang-nimbang. Senyumnya surut, tetapi tak utuh menghilang. Masih ia gantung tangannya di pipi Ayame, hanya saja gerakan usapannya sedikit melambat.

Begitu berat hati Kenji menurutinya, betapa Ayame mengerti itu.

Meski pada akhirnya Kenji mengangguk menyanggupi kesepakatan yang ia ciptakan, entah bagaimana kini batin Ayame merasa bersalah.

Sebab Ayame tidak bisa kembali.

Iris karamel itu kemudian terbuka bersama jalur air mata yang terlanjur keluar lebih dulu. Lantas ruang temaram nan hangat itu menghilang dari pandangannya, begitu pula seisi ruangan hingga kekasihnya sendiri.

Dia dihadapkan ruangan yang jauh lebih terang, dan itu membuatnya merasa tak nyaman karena seolah terekspos oleh beribu pasang mata. Keheningan tak lagi membuatnya gentar, konon lagi jeruji yang berdiri kokoh membelah kedua ruang.

Ayame tak perlu terkejut. Berada di sini adalah hasil kecerobohannya.

Pun, ia tak seharusnya terkejut akan keberadaan wanita empunya rambut mawar keemasan di seberang jeruji itu. Sayangnya irama jantung enggan mengikuti kata otak.

Kalau boleh jujur, seisi kepalanya seolah ikut terguncang sekarang. Konon mendengar gemelatuk tumit sepatu yang begitu perlahan dari sana, hampir-hampir Ayame merasa gila di balik topeng datarnya.

"Kudengar Aoi menangkap tikus yang besar sekali, jadi aku pulang lebih awal. Kupikir dia benar, tikus ini merupakan makhluk terbaik sebagai hadiah selamat datang." Kirika membelah hening di antara ketukan langkah tanpa sedikit pun Ayame meminta. "Luciana Adams, Yuna Takahashi ... atau Nona Rubah? Panggilan mana yang kau suka?"

Langkah itu terhenti. Tak perlu Ayame menoleh terang-terangan pun, ia tahu wanita tersebut sedang tersenyum samar; menerawang segala perasaan yang dipikul Ayame.

"Omong-omong, aku tak punya banyak waktu," lanjut Kirika. "Sebab kita memiliki banyak pekerjaan yang mesti kuselesaikan secepatnya."

Trivia :

Awalan chapter diambil dari kepingan spin-off dari The Another Little Thing, di mana juga dipublikasikan di revisi sebelumnya, tepat sebelum chapter baru berlanjut.

Tanpa banyak bacot, sampai jumpa di chapter selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top