Chapter 3.2
Berhari-hari setelah Kirika keluar dari rumah sakit, beritanya selalu menjadi pembicaraan hangat di mana-mana. Namun, tentu ia tak berkeinginan memusingkannya. Dia tetap memenuhi undangan polisi untuk ditanyai beberapa keterangan kejadian, berikut harus menghadiri persidangan oleh sebab tuduhan atas kematian seorang pria yang sudah membantunya dari serangan Akira.
Saksi mata teramat banyak kala itu, tetapi sayang sekali mereka tak memiliki bukti yang kuat seperti hasil perekaman kamera atau CCTV. Memang itu merupakan satu hal yang masih tidak Kirika mengerti, mengapa Akira diperintahkan meretas semua kendali listrik, berikut dengan ponsel masyarakat setempat. Kalau saja bukti-bukti ini ada, barangkali Kirika sudah dilempar ke penjara atas tuduhan pembunuhan yang dilakukan oleh bawahan.
Namun, ia tahu Kenji tidak akan membiarkannya mendekam di dalam penjara begitu saja. Dia lebih senang menontoni Kirika mondar-mandir ke pengadilan di tempat persembunyiannya, tentu saja. Belum lagi ia selalu disibukkan dengan kerumuman para pers.
Hanya saja, sangat disayangkan, Kenji tak mendapatkan reaksi Kirika yang menyenangkan untuk dinikmati dari berita-berita itu. Mendengar persidangan selalu dilakukan tertutup, ia lebih memilih menyibukkan diri kepada urusannya.
Terakhir kali ia mematikan televisi, beralihlah pandangannya kepada Eleonor yang sedang berinteraksi dengan Jackal. Seperti tengah mendiskusikan perbaikan Akira, selanjutnya ia tak begitu mengerti akan perihal-perihal yang mereka bicarakan. Tapi semuanya tetap mengalir masuk ke dalam kepalanya sebagai informasi baru, misalnya kabel dan jantung imitasi.
Dia bergerak ke meja yang tak begitu jauh dari posisinya; tempat di mana ia selalu menulis atau membaca. Tangannya meraih gagang nakas, menarik nakas tersebut yang memperlihatkan sejumlah alat suntik berukuran kecil. Di samping tumpukan suntik terdapat belasan botol vial yang tersusun rapi, berikut dengan beberapa botol obat kapsul.
Hampir-hampir ia menghela napas. Pada akhirnya ia mulai mengeluarkan sejumlah obat dan menelannya bulat-bulat tanpa sedikit pun dorongan air. Demikian ia tak lupa mengambil botol vial bertutup karet, lantas menyerap setengah isinya yang bening menggunakan suntik. Dia menyuntikkan cairan tersebut begitu hati-hati lewat nadi di lubang siku.
"Aku pergi." Demikian ia bersuara seusai menyelesaikan ritual paginya. Sontak ujarannya membuyarkan fokus pembicaraan Eleonor dan Jackal. "Kabarkan sesuatu yang menarik kalau ada."
"Kuharap kau tidak lupa minum air di atas."
Balasan Eleonor sejenak membuat Kenji membeku kala ia mengenakan jas. Sekadarnya ia mengumbar senyum seraya menoleh kepada si profesor. Meskipun pada akhirnya, ia menyahut, "Baiklah, Mama Radiovalenka."
~*~*~*~*~
Menghadapi kilatan kamera, seruan atas rentetan pertanyaan, serta kerumunan para wartawan dengan kemejanya yang penuh keringat agaknya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Kirika setiap kali ia keluar dari pengadilan belakangan ini.
Oleh karenanya meski persidangan sudah usai, ia lebih memilih duduk lebih lama di kursinya. Dia berniat bangkit ketika ruangan nyaris kosong, lagi tak akan memedulikan tatapan tajam penuntut yang hendak angkat kaki.
Sekadarnya ia menghela napas sembari menyandarkan punggungnya ke kursi. Pengacara yang ia sewa barangkali juga sudah bergabung ke kerumunan penuh sesak itu setelah mendapatkan uang kiriman dari Silvis. Mungkin akan menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan di luar sana. Entah seadanya, atau bagaimana ... dia tidak peduli.
Toh, hasil dari tahapan sidang ini sudah keluar. Kirika tidak dianggap bersalah atas kematian Ryo Kimura, orang yang telah menjadi relawan dan melindunginya dari serangan Akira. Ryo merupakan salah seorang tentara yang lulus dari akademi kemiliteran dan memilih untuk masuk divisi kemiliteran perusahaan, pun ia memang ditugaskan untuk melakukan pemantauan di kawasan Yokohama.
Kirika hanya beruntung, bahkan dia sendiri beranggapan demikian. Barangkali jika tidak hanya karena Ryo berada di sana, tidak hanya tangan kiri yang terpisah dari tubuhnya, tetapi juga kepalanya.
Ya, itu bisa saja terjadi sebelum tangan kirinya lenyap.
Meski tidak bersalah sekali pun, tetap saja Akira diketahui merupakan salah seorang pekerja di perusahaan Kirika. Hal itu membuat hakim memutuskan untuk memberikannya denda atas segala kerusakan yang diakibatkan di tempat kejadian perkara.
Tidak dapat dipungkiri, Akira memang merusak banyak sarana publik. Tapi Kirika tidak mempermasalahkan berapa banyak uang yang mesti dikeluarkan untuk itu. Dia akan menggunakan tabungannya untuk segala denda yang dilimpahkan kepadanya.
"Anda ingin keluar, Nona Alford?"
Pikiran Kirika terpecah oleh suara petugas keamanan. Dia menoleh kepadanya, melangkah menuju pintu tanpa suara. Namun, segera ia kembali tenggelam bersama seisi kepalanya selagi berjalan.
Langkahnya mendadak melambat daripada biasanya, tetapi siapa peduli? Kirika tetap memilih bersama pikirannya yang penuh dengan praduga.
Kirika tidak percaya insiden itu terjadi dalam sehari. Memang tidak terlalu cepat, pula tidak terlalu lambat. Semua diawali dengan kesenangan. Namun, segalanya tidak diizinkan untuk bergelantungan lebih lama. Maka persis seperti roller coaster, kebahagiaan tersebut dipaksa jatuh menuju terowongan gelap nan muram.
... Dan tidak akan pernah kembali.
Di kala ia koma, Silvis mengabarkan bahwa Adam mendapatkan rekaman panggilan yang diterima Akira. Dua panggilan terakhir merupakan rekaman percakapan antara si android dan kepala divisi robotikanya, Eleonor Natashka Radiovalenka.
Dari penyampaian Aoi, Adam mengaku bahwa mereka memang berniat menciptakan program baru untuk Akira agar ia mampu menggunakan fitur-fitur di dalam kepalanya lebih mudah, berikut menambah kualitas kecepatan dari perangkat-perangkat itu sendiri. Dia juga ingin belajar mengenai hal itu, mengingat ia terampil mengurusi perangkat lunak.
Tak disangka Eleonor menggunakan alasan tersebut dan mengirimkan virus yang malah mengganggu setiap sistem Akira. Kala keamanannya lengah, Eleonor langsung meretas kendali Akira; memerintahnya untuk mengaktifkan mode manual.
Ada dua kemungkinan mengenai Profesor Radiovalenka. Sekali lagi Kirika berprasangka. Mengkhianati atas kehendak atau diperdaya oleh segala siksaan.
Tepat langkahnya terhenti, lantas perhatian Kirika tercuri oleh pemandangan dari jendela. Dia berkedip guna mengabaikan khalayak yang sedang berkumpul di depan pengadilan, pikirannya ikut berhenti ke suatu pertanyaan yang mengganjal di dalam hati.
Bagaimana dengan salah seorang pekerja divisi robotika yang juga menghilang?
Dia juga merupakan orang terpenting dan keadaan sedang genting di saat itu. Namun, orang itu tidak ada di mana pun atau sekali pun tak berminat untuk segera datang. Adam dan Edward berinisiatif untuk mencarinya.
Sayangnya ... dia tidak ditemukan di mana pun.
Kirika menyunggingkan senyum samar; entah sebab ia telah berhasil memecahkan teka-tekinya dari mana, atau sekadar memilih menyimpan segala dugaan di dalam kepalanya sendiri.
Maka, sampailah ia di depan pintu yang masih terbuka lebar. Oleh karena terik matahari, seutuhnya langit terasa silau kelihatannya. Beruntung ia bisa menikmati pemandangan cerah untuk sementara waktu, mengingat para pers tidak boleh menginjak depan pintu masuk.
Tapi sayang, salah seorang wartawan sudah lebih dulu memergoki keberadaannya. Mau tak mau, sepertinya Kirika harus turun sekarang.
Kini batinnya hanya berharap Silvis akan hadir menjemputnya di depan dan mulai membantu menghalangi serangan pers.
"Nona Alford, mohon berikan pendapat Anda mengenai persidangan!"
"Apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?"
"Rumor mengatakan bahwa Tuan Ryo Kimura adalah salah seorang pekerja dari perusahaan Anda. Masyarakat berpendapat bahwa segala hal yang terjadi merupakan hukuman atas kelalaiannya atas pekerjaannya. Apakah itu benar? Mohon berikan detail mengenai hal ini, Nona Alford!"
Padahal, belum lagi Kirika mencapai pertengahan tangga, sejumlah pertanyaan meluncur secepat lebah mencari sari bunga. Kirika lebih memilih mengabaikannya, sebisanya menerawang menembus kerumunan dan mencari-cari mobil jemputan.
Sial sekali, Silvis tidak datang tepat waktu. Namun, beruntung para penjaga keamanan andil melindunginya dari kerumunan. Sayangnya, ia tetap tak bisa mengelak dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghujam telinga.
Pada akhirnya ia mengedarkan pandangan, seketika sukses menciptakan hening dalam sekejap mata. Jepretan kamera masih senang menyakiti mata, tetapi ia tidak peduli.
Sudah saatnya untuk bersuara sekarang.
"Atas segala kejadian yang terjadi, saya turut berduka. Mohon untuk tidak memercayai rumor, kami tidak pernah memperlakukan para karyawan seperti di masa lampau. Kami selalu melakukan yang terbaik dan mempertimbangkan segalanya dengan matang.
"Setelah keputusan hakim dikeluarkan, tentu saya akan melaksanakan hukuman yang diberlakukan kepada saya. Jadi—"
Ucapannya terhenti kala sesuatu mendarat di kepalanya. Benda itu terasa keras sesaat, kala terpecah menyebarkan bau amis dan busuk. Wujudnya berupa cairan kental, di antaranya menetes, pula yang lain lebih memilih tinggal di rambut Kirika.
Nyaris ia mengerutkan hidung sebab bau telur busuk terus menusuk indera penciuman. Bersama beberapa juru kamera, ia menoleh ke sumber.
"Kami tidak butuh belasungkawamu!" Segera sosok itu mengutuk tanpa permisi. "Topengmu bahkan tidak mencerminkan itu, Ratu Es!"
Kirika memilih bungkam.
"Aku tak akan pernah memaafkanmu! Anakku tidak berhak mendapatkan semua ini!! SEHARUSNYA KAU MENDEKAM SAJA DI DALAM PENJARA!"
Aku juga berharap begitu .... Demikian batin Kirika menjawab. Jadi aku pun tak perlu terus bekerja melawan anak sialan itu.
Dia menoleh kepada suara pintu mobil dan derap langkah yang menyisir kerumunan. Lantas Kirika angkat kaki tepat mendapati Silvis yang segera merangkulnya, sementara beberapa pengawal yang turut serta, ikut melindungi Kirika dari serangan kamera yang kian meliar.
Mereka mengabaikan sumpah serapah yang disiram oleh Nyonya Kimura, pula enggan menanggapi panggilan dari para wartawan. Secepat kilat Silvis melompat ke bagian kemudi dan tanpa berbasa-basi tancap gas.
Barangkali ini disebabkan oleh rasa panik. Ya, pengawal yang seharusnya mengemudi agak sedikit canggung di tempat duduknya, tetapi ia tak berani protes pula. Sementara salah satu di antara mereka cepat-cepat menyodorkan tisu kepada Kirika. Hendaknya ia ingin membantu, hanya saja Kirika lebih cepat mengangkat tangan sebagai isyarat dia bisa melakukannya sendiri.
Tiada lagi suara bising yang merasuk telinga, justru menciptakan suasana yang benar-benar berbeda. Setidaknya Kirika bisa memuaskan diri menikmati pemandangan, tak peduli seberapa banyak kepalanya mulai kembali menimbun pikiran.
"Kuharap tidak masalah jika kita pulang sekarang. Kau bisa mengerjakan beberapa tugas yang bisa kau kerjakan di rumah untuk dua sampai tiga hari," ujar Silvis. "Aku harap kau tidak keberatan mengingat punggungmu belum sepenuhnya pulih."
Ketahuilah, tak satu pun amanat Silvis memasuki telinga Kirika.
Pandangannya tertuju kepada langit. Jauh dari mobilnya yang berhenti di depan lampu merah, ia mendapati awan-awan bergumul. Sedikit kelabu, tetapi itu cukup menarik perhatiannya.
Di musim panas, negara menerapkan hujan buatan untuk menurunkan kasus kekeringan yang pula menyebabkan dehidrasi di kalangan masyarakat. Setiap distrik yang telah mendapatkan peringatan akan peningkatan suhu secara drastis, maka hujan buatan akan diciptakan di sana jika awan muncul cukup banyak agar bisa digiring ke tempat tertentu.
Terkadang memang terdengar kurang efisien, mengingat tak selamanya proses pembuatan hujan tersebut berhasil. Hanya saja, setidaknya angka kematian karena dehidrasi sudah mulai berkurang setiap tahunnya karena agenda pemerintah yang satu ini.
Kirika tahu ini bukanlah waktu yang tepat. Namun, tetap saja hal yang menarik perhatiannya itu membuat dirinya segera melepas sabuk pengaman; tanpa berbasa-basi ia keluar dari mobil dan melangkah menjauh.
Tentu saja Silvis tak tinggal diam. Namun, tidak seperti Kirika, dia sekadar melepas sabuk pengaman dan menurunkan kaca.
"Kirika—"
"Aku akan pulang nanti." Lantas Kirika memotong panggilannya sembari berbalik.
Senyum tipis yang terukir di wajahnya yang nyaris memerah karena panas sukses membuat Silvis termangu dan menunggunya meneruskan.
"Ada hujan yang menungguku."
~*~*~*~*~
"Wah, mereka benar-benar melemparkan telur busuk kepadanya. Kupikir ini agak berlebihan ...."
Jam istirahat dihabiskan dengan menonton berita. Namun, ketimbang bersantai, Eleonor lebih senang memanfaatkan kemampuan multitasking yang ia punya agar bisa mendengar sekaligus melanjutkan pekerjaannya. Pun, dia membiarkan Jackal duduk di depan televisi dan bersuara semaunya.
"Oohara benar-benar sinting, ya. Tidakkah kau berpikir begitu, Profesor?" Sebuah pertanyaan lantas melayang dari mulut Jackal tak lama seusai ia mengunyah kacang. "Dia tidak melewatkan sedikit pun detail; membunuh Nyonya Kimura asli, memintaku meretas dan mengubah data kependudukan, lalu membiarkan aktris ini menguasai panggungnya.
"Dia benar-benar membuat media bertingkah seperti Nona Alford di masa muda; kau tahu, menyerangnya dengan sejumlah pertanyaan dan rumor, kemudian menumbuhkan berbagai perasaan di setiap batin masyarakat. Hmm ... apakah yang seperti ini akan menurunkan kepercayaan konsumen? Entahlah, tetapi kira-kira apa yang akan Oohara lakukan selanjutnya, ya?"
Sekadarnya desah Eleonor keluar sebagai tanggapan. "Ketimbang harus memikirkan itu, mengapa kau tidak kemari saja dan bantu aku melakukan pengecekan sistem? Akira hampir selesai sekarang."
Jackal mau tak mau segera kembali ke sisinya.
Sayang sekali, Eleonor termasuk orang Rusia yang terlampau serius kala bekerja. Itu agak menyebalkan Jackal. Tapi senyuman tetap saja bertahan di wajahnya. Dia mulai menyambungkan beberapa kabel di bagian punggung Akira. Segera ia melakukan pengecekan data, berikut beralih ke sistem operasi baru yang hendak dimasukkan.
"Semuanya sudah siap. Setelah instalasi, dia akan bekerja seperti sediakala!" seru Jackal dengan nada menyenangkan. "Tapi ... agaknya ini akan sangat mengganggumu. Lensanya yang sebelah memiliki warna yang berbeda."
"Tak apa. Itu lebih baik daripada dia harus bergerak dengan tidak seimbang, atau penglihatannya terganggu."
Bersama-sama mereka mencabut satu per satu kabel. Hampir usai, maka Jackal beralih kepada punggung Akira, meraih kepala kabel yang akan ia sambungkan ke stop kontak. Maka Jackal kembali beralih menganalisa fungsi kamera, benar-benar membiarkan Eleonor berdiam di belakangnya.
Sebenarnya keheningan yang mereka ciptakan ini tak berlangsung lama. Sebab setelahnya Eleonor mendengkus panjang sembari ia mengamati pundak Jackal.
"Mengingat kau memiliki banyak identitas, dengan nama apapun itu. Terserah. Rasanya akan sedikit menyebalkan, tetapi aku akan menanyakan ini," cetusnya cukup panjang. Bahkan ia sampai menyempatkan diri melipat tangan di bawah dada. "Apa kita ... benar-benar pernah berjumpa sebelumnya?"
Jemari Jackal berhenti menari di atas keyboard. Dia memperbaiki postur tubuh sejenak dari posisi membungkuk, sebab meja yang digunakan untuk monitor terlalu pendek untuknya. Lekas dia menarik kedua sudut bibirnya sebelum ia memutar kursi menghadap Eleonor.
"Kita memang berjumpa beberapa kali," kata Jackal di kala menggerakkan kaki guna memutar kursi.
"Dalam keadaan baik atau buruk?"
"Keadaan baik, tentu saja," jawab Jackal. Pandangan ia tujukan kepada langkah Eleonor yang mengarah ke sofa. Mendapati si profesor mulai duduk dengan nyaman, maka Jackal melanjutkan, "Aku mengagumi sejak lama sampai-sampai menginginkanmu terus berada di sampingmu. Terdengar mengerikan, benar?"
"Sangat. Teruskan."
Padahal ia tidak bergidik sama sekali.
"Tapi setidaknya aku berhasil dan kita bersama-sama mengerjakan proyek besar. Pencapaian yang sangat luar biasa." Lagi, Jackal meneruskan. "Sayangnya itu terasa kurang menyenangkan. Habis, meski kita bersama, kita jarang sekali berinteraksi.
"Karenanya, aku meminta bantuan Oohara dan menemuimu lagi di sini. Kali ini dengan kondisi dirimu yang tak mengingat bagian itu, lalu bertemu diriku yang dikenal nama Jackal, sebagaimana orang-orang terdekatku memanggilku demikian."
Sekilas Eleonor tampak seperti sedang menahan napas. Lekas ia membuang pandangan, tidak sampai harus berpaling, tetapi cukuplah dirinya tak mendapatkan sosok Jackal di sana.
Dia hanya memandang bayangan yang terlihat begitu samar terpantul di sebuah kaca yang terpecah separuh. Maniknya persis tertuju kepada bayangan netra yang menyiratkan tanda tanya, lagi sebisanya ia menilik ingatan lebih dalam.
Berusaha mengada-ngada pun tak membuahkan hasil. Padahal dia pikir itu merupakan batu yang bagus untuk menyemburkan pasir yang menumpuk di dasar kolam; seperti membangkitkan sesuatu yang ingin ia tahu dari dalam kepalanya.
... Nihil.
Benar-benar nihil sampai ia harus mengernyit tepat pusing menghampirinya. Eleonor menahan diri untuk merebahkan tubuh di sofa, kontan lebih memilih menoleh kembali kepada Jackal yang tengah bermain-main dengan sebuah kacamata baca.
Persetan dengan milik siapa kacamata baca tersebut. Pun, ia tak begitu peduli dengan sosok Jackal yang kini tertarik untuk mengenakan kacamata itu.
Sekarang, satu pertanyaan terbesit di kepalanya. Mungkin, Eleonor bisa saja mengingat masa-masa indah dari Jackal ini jika ia mendapatkan jawaban yang ia inginkan.
Ya. Mungkin. Mungkin pertanyaannya akan menjadi batu yang bagus untuk meledakkan pasir-pasir di dasar ingatannya, jadi ... mulailah ia bertanya, "Siapa namamu di kala kau bertemu denganku saat itu?"
Senyum simpul lantas terpatri dari si pemuda tepat ia mulai memangku dagu dengan kedua punggung tangannya. Jauh di lubuk hatinya, sungguh senang sekali si profesor mau bertanya.
Tapi ketimbang menjawab, ia malah berpaling dan berujar, "Kurasa sebaiknya kau tidak perlu tahu banyak sekarang."
Ohohohohoho~~. Ayo lanjut. Kita ngoceh di 3.2.5 aja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top