Chapter 3.15
Lima hari sudah terlewat. Segala sarana dan prasarana negara telah sepenuhnya diperbaiki.
Di luar, orang-orang terlihat biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. Di antara mereka memang tak lagi ambil pusing, lantas mulai mengejar target dari pekerjaan sesuai tenggat waktu. Yah, tetap saja tak sedikit dari mereka belum berhenti membicarakan sisa-sisa insiden, terutama remaja.
Padahal dalam kurun waktu itu, berita skandal selebriti saja sudah surut dan terlupakan. Namun, media masih saja mengangkat hal-hal yang bersangkutan dengan insiden. Misalnya satu hingga dua sarana yang berhasil diperbaiki. Sementara para pencipta konten teori kembali membahas kembali perseteruan kedua perusahaan yang memecahkan perang saudara di negara ini.
Entah kali keberapa rumah sakit sesak akibat diisi wartawan. Tidak hanya meresahkan para perawat, dokter, dan pekerja lain, tetapi kedatangan mereka juga mengundang risih pasien yang tengah menjalani rawat inap.
Rasanya mendorong mereka keluar pun tampak percuma. Penghuni rumah sakit sekadar mampu berharap mereka cepat minggat usai mendapatkan apa yang mereka mau. Meski mereka sama sekali tak mengganggu, tetap saja keberadaan mereka terasa menyebalkan.
Sungguh, apakah memeriksa kondisi Kirika satu kali saja dalam seminggu tidak cukup?
Leona bahkan menghela napas di kala menyaksikan berita perihal sang Madam. Yah, kalau dia Silvis, barangkali kepalanya sudah pecah lebih dulu sebab harus memecah fokus antara menggantikan Kirika menuntaskan tugasnya, juga harus memperhatikan sesekali keadaan rumah sakit.
Terakhir kali, Leona mendengar kabar bahwa pria itu sampai menyewa pengawal untuk menjaga depan pintu kamar Kirika. Yah, setidaknya langkah tersebut merupakan pilihan terbaik untuk berjaga-jaga agar pers tidak masuk sembarangan. Beruntung pula para pengawal itu dibayar mahal, usaha penyogokan wartawan pun agaknya tak pernah berhasil menggugah mereka.
Leona hanya bisa mendengkus sembari menyunggingkan senyum miring setiap kali memikirkannya. Merasa tak puas dengan reaksinya sendiri, ia mengembuskan napas yang menciptakan uap hangat pula selagi berbalik menghampiri Leon yang duduk bersama sup krim jamur instan yang masih panas.
Yah, barangkali satu-satunya hal yang melegakan baginya ialah kepulangan sang ayah yang tanpa diduga lebih cepat dari perkiraan. Dokter mengatakan bahwa Leon sudah bisa melaksanakan rawat berjalan, tetapi ia masih harus memenuhi jadwal temu untuk pemeriksaan berkala.
Sesungguhnya Leona sendiri masih tak terbiasa dengan sosok pak tua kesayangannya yang kehilangan satu mata elangnya. Dia benar-benar seperti bajak laut yang sering digambarkan begitu klise di dongeng anak-anak sekarang; menggunakan penutup mata dan penuh luka yang tertutup perban serta sekian plester, bedanya lebih rapi ketimbang kapten bajak laut.
Lihat saja dirinya. Mengenakan sweater yang dirajutkan mendiang istri, telah disisir rambutnya, duduk dengan sopan meski tiada seorang pun yang hendak mendatangi mereka saat ini ... air mukanya juga terlihat lebih lembut hari ini.
Hati-hati Leona letakkan dua cangkir teh dalam genggaman, duduk di kursi menghadap Leon yang memang dikosongkan untuknya seorang. Dia lalu meraih tangan sang ayah, meremas tangan yang sempat terkepal itu erat-erat.
"Berdoa dimulai."
Sebenarnya Leon sempat terpana. Namun, dia lekas pimpin putri semata wayangnya berdoa. Bersama-sama keduanya saling memejamkan mata, khidmat meresapi segala doa dan rasa syukur yang dipanjatkan.
Demikian doa berakhir, masing-masing meraih sendok saling bergilir. Sedikit pun tiada rasa iba dari Leona yang sudah kosong perutnya, lantas merusak hiasan sup krim jamur dengan mengaduk-ngaduknya guna mengusir panas.
"Tidak seperti biasa kau ingin berdoa sebelum makan." Kontan suara Leon menyita kegiatannya yang hampir memasukkan sesendok penuh sup ke dalam mulut.
Kala kemudian Leona mengangkat bahu. "Aku mulai belajar dari perkataan Ibu soal makanan akan terasa lebih enak jika kita berdoa. Kupikir dia benar."
Andai saja sosok itu ada di sini, pastilah ia berbangga diri sekarang.
Tampak Leona sedikit menggoyangkan bahunya usai melahap sup; gestur bahwa ia menyukai rasa sup yang meleleh di dalam mulutnya. Yah, sepatutnya ia berbangga pula atas pencapaiannya menaklukkan resep-resep rahasia sang ibunda.
Padahal terakhir kali Leon memergokinya belajar memasak, dapur seperti kapal pecah dan alarm kebakaran tidak mau berhenti berbunyi sampai para tetangga ikut ricuh. Waktu memang berjalan cepat tanpa disadari.
"Sangat disayangkan kita melewatkan natal dan tahun baru dengan peperangan, ya," celetuk Leona usai mengulum suapan keempat. Pun ia mendesah penuh keluh setelahnya. "Pada akhirnya perang itu tak lebih dari misi meredakan tantrum seorang bocah."
Ah, waktu yang ditunggu Leon tiba juga. Ya, demi kesembuhannya berikut ia harus lebih banyak beristirahat kala rawat inap, jadi dia tidak banyak bicara soal perihal yang akan menambah pikiran.
Setidaknya ia mengetahui semuanya setelah terbebas dari infus dan bau obat-obatan menusuk yang menjadi ciri khas rumah sakit. Tak disangka ia melewatkan banyak hal.
Leon tidak pernah meragukan gerakan pemerintah yang begitu cepat dalam memperbaiki setiap infrastruktur negara. Pun, agaknya pemerintah masih melanjutkan hubungan kerja sama dengan Alford Corps., terutama di bidang pertahanan.
Namun, dia memprediksikan sewaktu-waktu mereka akan mengurangi anggaran untuk diberikan kepada perusahaan. Toh perusahaan tetap mampu menambal pendapatan dari divisi lain, sepatutnya ia tak perlu khawatir.
Robotika kembali berhasil meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa produk-produk yang akan mereka pasarkan sama sekali tak berbahaya dan mengancam eksistensi manusia dalam pekerjaan.
Sementara itu, perusahaan menerima banyak sekali bangkai-bangkai eksperimen untuk diteliti divisi biogenik. Tidaklah sedikit para investor menyalurkan dana untuk penelitian lebih lanjut terhadap makhluk tersebut.
Leon mungkin tidak mengenal banyak orang-orang yang terlibat dalam peperangan ini pula, tetapi tetap saja kabar-kabar mereka penting, bukan?
Daniel, Jackal, Mikhail ... atau sebagai siapa saja orang-orang mengenalnya hengkang dari Cyclone Team untuk memenuhi janjinya dengan sang Madam. Sebelum itu, ia membeberkan semuanya kepada anggota, jujur terhadap Aoi yang tidak menyangka mendengar rahasia yang ia simpan sejak lama.
Dia berpamitan, pada akhirnya. Kini akan utuh berfokus kepada panti asuhannya di Moskow dengan donasi yang nantinya disalurkan penuh dari Kirika.
Akira sedang berada dalam masa perbaikan. Sesungguhnya Aoi terpukul ketika Edward sekadar membawa pulang kepalanya. Namun, apa boleh buat. Setidaknya dengan begitu semua orang di negara ini selamat karena pengorbanan si android.
Namun, dalam perbaikan Akira, mereka tetap membutuhkan bantuan Eleonor dalam hal ini, tentu saja. Beruntung ia hampir seutuhnya pulih dan tidak lagi menyudutkan diri ketika Aoi mendatanginya.
Ah, ya. Aoi juga membawa serta anggota untuk menjenguknya di kala sang profesor telah pulih secara mental.
Betapa Leon menyayangkan kabar duka dari gadis yang menemaninya bertarung mendampingi Kirika. Vanessa tak bertahan lama sebab keterlambatan penyelamatan terhadap pembuluh darah otak yang pecah. Tim Aleah menemukan akar masalahnya bermuasal dari si gadis yang memaksakan tenaga dalam menyembuhkan diri.
Wanita empunya rambut kemerahan itu pula lebih sering keluar laboratorium untuk mendatangi makam Vanessa, juga Kirika yang masih belum sadarkan diri hingga sekarang.
Leona ingat raungan pilu yang dilolongkan wanita itu di saat Kirika tiba bersama Silvis. Orang-orang di sekitarnya bahkan merasakan keterkejutan dan sedih yang tengah ia rasa. Silvis bahkan melontarkan kata maaf berkali-kali sembari memeluknya erat-erat.
"Semuanya telah berkorban, tetapi tak sedikit di antara mereka yang tidak sanggup menerima ganjarannya." Leona membuyarkan lamunan Leon sembari ia memangku dagu. Kembali ia aduk-aduk sup krim jamur demi menemukan irisan jamur kering yang melembek di dalamnya. "Kirika juga berpegang teguh kepada pendiriannya yang berkata, 'Tak apa merugi untuk mendapatkan keuntungan yang besar.' Akan tetapi ...."
Dia mengembuskan napas penuh keluh, entah diperuntukan irisan jamur yang telah habis dilahapnya, atau ujaran yang hendak ia cetuskan selanjutnya. "Apakah sekadar menangkap anak itu benar-benar sepadan dengan pengorbanan semuanya? Ditambah, dia menghancurkan dirinya sendiri hanya untuk menunjukkan betapa serius ia menanggapi peperangan ....
"Kalau aku jadi Kirika, sudah kubunuh saja dia di tempat."
Sebagai tanggapan atas ujaran yang menggebu-gebu dari putrinya, Leon tersenyum samar.
"Sebaliknya, aku berpikir itu langkah yang tepat," katanya kemudian.
"Kenapa?"
Leon menurunkan pandangan kepada sendok yang tengah ia kerahkan untuk membelah brokoli sebelum membalas. "Pencapaian terakhir Kenji adalah kematian. Berhasil atau tidak dirinya membunuh semua orang yang terlibat dalam peperangan, dia tetap bahagia sebab akhirnya ia mencapai akhirat.
"Lantas dibiarkan hidup di dunia fana menjadi hukuman yang sangat menyiksa baginya." Lekas Leon menyantap sesendok sup bersama sepotong brokoli kecil. "Sekarang kita memang tak tahu apa keputusan terakhir Kirika. Namun, kita tetap mendapatkan keuntungan dari sini.
"Berakhirnya perang ini, Kenji benar-benar berhenti sebab ia sudah kehilangan semuanya. Dia tidak bisa melakukan apa pun. Jadi setidaknya untuk sekarang, negara telah aman dan kita bisa berfokus melatih tamtama baru."
Yah, memang patut disyukuri ialah segalanya sudah tenang dan tak perlu lebih banyak memusingkan diri soal hal rumit. Lagi pula, selama satu tahun terakhir ini, kapan mereka bisa setenang ini duduk berhadapan untuk makan bersama?
"Namun, melihat keadaannya yang seperti itu, konon vonis akan dijatuhkan lebih lama, ya."
"Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu." Leon menanggapi usai meneguk teh. "Entah perseteruan dua keluarga ini akan berhenti atau berlanjut ... tidak ada yang tahu."
~*~*~*~*~
"Terima kasih sudah mau datang, Tuan Silvis Alford."
Rasanya sudah lama sekali ia tidak menginjakkan kaki di kediaman keluarga Oohara. Konon pula semua yang terpampang di sini tak jauh berbeda sejak dulu, Silvis masih familier terhadap seisinya; sebuah bukti bahwa Meiko benar-benar merawat rumah ini dengan baik.
Sesungguhnya ia sekadar datang untuk mengunjungi Keiko dan menyajikan manjuu di altar, tetapi siapa sangka adik dari mendiang sahabatnya menyambut kedatangannya dengan baik?
Yah, tidak sebaik dalam pikirannya. Setidaknya ... toh, Meiko tidak sampai mengusirnya atau sama sekali menunjukkan gestur risih terhadap kedatangan Silvis. Pun, tanpa disangka, Meiko menjamunya ke ruang tamu usai memanjatkan doa untuk Keiko.
"Maaf telah merepotkan."
"Sama sekali tidak," tukas Meiko sembari ia menuangkan secangkir teh untuk pria itu. "Hanya saja ... saya memang tak menyiapkan apa pun. Anda tahu sendiri, rumah ini sangat sepi sehingga itu meragukan saya untuk memasakkan sesuatu. Sangat tidak etis jika masakan saya lebih banyak dibuang nantinya, sementara di luar sana masih banyak orang-orang kelaparan."
Sekilas alis Silvis naik seolah memahami makna tersirat di dalam perkataan Meiko. Tetap saja empunya manik biru langit tersebut belum berminat menatap netra karamel yang memandangnya kosong.
"Silakan."
Demikian Silvis menarik cangkir mendekat.
"Tampaknya kurang cocok jika saya berkata, 'Banyak hal yang tak diduga-duga terjadi di dunia ini.'" Tuturan Meiko sukses mencuri perhatian tamunya, lantas ia mengukir senyum sendu di wajahnya. "Tidakkah Anda berpikir demikian, Tuan Silvis?"
Tak disangka-sangka pula Meiko berani mengangkat topik ini terang-terangan. Namun, setelah berkata begitu, dia malah menundukkan pandangan untuk memperhatikan kedua tangan yang ia gerak-gerakkan gelisah saling menggenggam silih berganti.
Meiko merupakan salah seorang yang sudah tahu tabiat Kenji yang sesungguhnya. Dia tahu, psikosis yang diidap keponakannya bertambah parah karena dendamnya. Kematian Keiko terus membayang-bayanginya, hingga delusi itu membuat ia berpikir satu-satunya cara untuk menghilangkan sosok dalam pikirannya ialah menghancurkan semuanya; Alford, pemerintah, dan masyarakat.
Hanya saja ... sedikit pun Meiko tidak pernah memprediksikan langkah yang Kenji pijakkan terlampau jauh. Mustahil pula dihentikan dengan petuah.
"Atas nama keluarga Yamada dan Oohara, saya meminta maaf atas segala hal yang terjadi." Demikian Meiko membungkukkan tubuhnya dalam-dalam usai mengungkit semuanya dalam pikiran sendiri. "Saya sadar bahwa permintaan maaf saja tidak cukup, tetapi ... untuk sekarang, hanya ini yang bisa saya utarakan. Harap Anda tak keberatan."
Rasanya sudah menjadi kebiasaan bagi penduduk negara ini untuk berlakon demikian; yang tertua dari keluarga bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat anggota keluarga lain. Silvis sudah bagaimana polanya bekerja, tetapi tetap saja sulit baginya menerima permintaan maaf tersebut.
Tentu bukan karena enggan memaafkannya. Justru Silvis sedang tak ingin ambil pusing mengenai perihal ini lagi.
"Hal yang terjadi biarlah berlalu, Nona Yamada. Semuanya sudah berakhir," katanya kemudian. "Justru sebaliknya. Saya harus berterima kasih kepada Anda sebab telah membantu kami dengan dokumen-dokumen lama dari Oohara Corporation yang Anda simpan."
Konon ia berhasil memancing Meiko mengangkat kepala dengan air muka yang bercampur aduk. Lantas tanpa segan, Silvis segera menerangkan, "Kirika tidak pernah menyembunyikan apa pun dari saya. Karenanya saya mengetahui kerja sama kalian sejak awal, dengan begitu saya paham Anda sekali lagi mendapatkan peran pendukung yang tidak boleh dilewatkan."
Kernyitan dalam ia ukir di keningnya selagi senyum pilu mengumbar jelas melengkapi air muka Keiko sekarang.
"Jika ingin tahu, sejak lama saya ingin melarikan diri dari semua ini, Tuan Silvis."
"Namun, hal yang amat disayangkan, takdir belum mengizinkan kita melepas semuanya. Benar begitu, Nona Yamada? Ditambah masih banyak hal-hal yang belum kita ungkapkan; hal-hal tak terduga masih disimpan rapat-rapat untuk sekarang membuat kita sulit untuk bersantai atas takdir yang kita emban."
Meiko mengangguk, kontan mengundang Silvis mendengkus lega sebab suasana sudah dirasa sedikit melonggar, tetapi sepertinya ia tidak ingin berlama-lama lagi di sini.
Silvis bangkit usai menghabiskan beberapa teguk tehnya yang sudah menghangat, mengancing jas; hendak berpamitan. Akan tetapi sebelum ia melangkahkan kaki menuju pintu, ia berbalik kepada Meiko.
Ada perihal yang perlu ia sampaikan sebelum pergi.
"Omong-omong, saya rasa Anda tak perlu mengkhawatirkan Kenji. Kami memang akan memberikan hukuman yang dirasa Madam setimpal, tetapi kami tetap memastikan agar ia diberikan perawatan yang cukup untuk kesembuhannya sampai hari penentuan tiba."
Ya, tidak perlu pula menutup-nutupi perihal ini.
Serupa seperti Kirika, Kenji juga belum sadarkan diri sebab pada pertarungan staminanya benar-benar habis. Dia menerima banyak luka dalam sehingga ia membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih.
Dikarenakan ia merupakan salah satu kelinci percobaan dari eksperimen Alex Oohara, Kenji mendapatkan perawatan sekaligus pengawasan penuh dari divisi biogenik perusahaan Alford.
Tentu itu sebuah kabar yang melegakan hati Meiko. Bahkan binar dari manik karamelnya tak segan-segan menampakkan diri bersamaan di kala ia terkesiap.
"Terima kasih, Tuan Silvis."
~*~*~*~*~
Salju kembali turun. Meski tipis, cukuplah menghiasi di luar sana dengan keindahan warna putih cemerlang yang mereka punya.
Seperti biasa, orang-orang mulai mengenakan sepatu bots untuk menghindari kecelakaan kecil seperti terpeleset hingga terjerembab. Mudah menahan sakitnya, tetapi sulit menampung malu di khalayak ramai jika itu terjadi.
Di kamar, tinggallah Aleah bersama Kirika seorang. Para pekerja medis baru saja kembali membalikkan tubuhnya ke samping yang berlawanan untuk menghindari keram hingga mati rasa usai Aleah membersihkan sekujur tubuh Kirika. Yah, untuk kondisi sekarang, sekadar mengelap badan dan mengganti bajunya sudah cukup.
Tidak ada lagi kegiatan yang bisa ia lakukan, maka Aleah memilih berdiam diri di samping Kirika. Biasanya ia akan duduk dan menggenggam salah satu tangan keponakannya. Kadangkala ia juga membelai rambut mawar keemasan itu.
Barang setitik air mata tak lagi tampak. Kelopak mata yang sembab menahan isak tangisnya, dia mungkin terlalu lelah pula melanjutkan episode kesedihan terbaru.
Elektrokardiogram tak memedulikan suasana, baik tengah sepi maupun ramai, benda tersebut terus berbunyi seiring memperlihatkan keadaan detak jantung Kirika yang cenderung stabil. Pun, deru napasnya tampak damai, ditambah sesekali Aleah bisa mendengar dengkuran samar darinya.
Hal yang cukup melegakan. Namun, tetap saja Aleah ingin melihat sepasang netra delima itu kembali terbuka lebar.
Bersama harapan kecil di dalam hati, Aleah menggenggam erat tangan Kirika. Dia menciumi punggung tangan hingga jemari-jemarinya. Mata keemasannya terpejam, meresapi apa yang batinnya rasakan.
"Kerja yang bagus. Kalian bisa beristirahat sekarang."
Utuh buyar konsentrasi Aleah tepat mendengar suara suaminya dari luar. Tampak bayang-bayang menyingkir dari kaca pintu, menyisakan sesosok bayangan pria yang kemudian memperlihatkan diri dengan membuka pintu tersebut.
Hendaknya ia mengumbar senyum guna menyambut kedatangan Silvis, utuh sunggingan kecil tersita oleh gerakan kecil dalam genggamannya.
"Kirika?"
Buru-buru Silvis menghampiri mereka, tahu-tahu ia mendapati tangan yang terlilit perban itu menggenggam tangan Aleah. Maka ia meraih pipi Kirika, mengusapnya lembut seiring menunggunya dengan sabar.
"Bibi ...."
Tampak sayu, tetapi pada akhirnya sepasang netra senada delima itu membuka mata juga. Kontan kelegaan bercampur haru menyeruak dari lubuk hati.
"Semuanya ... benar-benar sudah berakhir?"
"Ya." Silvis yang angkat bicara.
Pun, kau tidak perlu berdarah-darah lagi.
Masih tampak sayup-sayup seluruh pandangannya, maka kian erat pegangan yang ia kerahkan kepada genggaman Aleah. Namun, tak membutuhkan waktu lama ia kembali menutup mata.
Lekas Silvis menoleh kepada elektrokardiogram yang masih setia menunjukkan konsistensi detak jantung Kirika dengan bunyiannya. Yah, setidaknya ia bisa mendesah lega mengetahui keponakannya kembali mendengkur.
Meski sebentar, tetapi itu sepercik kebahagiaan yang mereka nanti-nanti. Maka Silvis raih bahu Aleah untuk dirangkulnya, bersama-sama mereka memandangi wajah Kirika yang sangat damai.
Barangkali ini terdengar familier, tetapi seiring dirinya membelai kepala keponakannya, Silvis tetap menuturkan kalimat itu dengan gumaman kecil.
"Beristirahatlah, Kirika."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top