Chapter 3.14.5
"Kudengar kau memanggilku?"
Suara bariton dari seorang pria yang nyaris mencapai paruh baya membuyarkan fokus sang Madam. Sementara manik biru langit yang masih berdiri di ambang pintu mendapatinya duduk di set sofa bersama mimik berselimut kejut.
"Kemarilah, Paman." Demikian ia menyurutkan air muka. "Aku hanya ingin sedikit berbincang kalau kau tak keberatan."
Maka Silvis mendekat sembari ia melepaskan jas laboratorium selagi Kirika menutup semua dokumen yang tampil melayang dari monitor hologram. Namun, ia bukannya segera duduk di samping keponakannya, malah sekadar berdiri lalu menangkup wajahnya yang kemudian ia angkat.
Kirika entah mengapa sama sekali tak menolak perbuatannya. Dia membiarkan Silvis mengamati wajahnya menggambarkan lelah, tetapi tetap ia sungging senyum samar kepada pamannya.
"Suhu tubuhmu meningkat."
"Banyak urusan yang tidak bisa ditinggal, Paman," balas Kirika. Sungguh tak biasa, suaranya terdengar sabar; lebih lembut pula. Konon Silvis menurunkan tangan, ia kembali menepuk bagian sebelah sofa yang masih kosong seraya berujar, "Duduklah."
Seiring Silvis menuruti permintaannya, Kirika lalu mencetuskan "Tidak seperti biasanya kau tidak ingin berceramah."
"Soal?"
"Jangan mengaku tidak tahu."
Satu kerjapan bahkan sudah cukup membuat netra birunya menunjukkan bahwa ia menyembunyikan sesuatu. Ya, tepatnya Silvis mengerti maksud Kirika soal sisa-sisa bau rokok.
Dia sudah tahu Kirika mulai merokok sejak kedua orang tuanya meninggal. Pun, sempat ia memergoki keponakannya. Percuma saja melarang Kirika. Dia tak mau mendengarkan.
Ah, memangnya kapan pula ia tak mengalah dengan sikap Kirika yang keras kepala?
Itulah yang membuat Silvis enggan untuk ambil pusing soal bau rokok yang menguar di sekitarnya.
"Kalau aku menceramahimu, apa kau akan berhenti?" balas Silvis kemudian.
"Mungkin ini yang terakhir, siapa tahu?"
"Katamu, kau akan berhenti jika kau punya anak. Jadi apakah sekarang itu mungkin?"
Sekilas kening Kirika berkedut tersinggung. Namun, dia sekadar menjawabnya dengan tawa kecil. "Tidak ada yang tahu soal masa depan, bukan begitu?"
Silvis mengumbar senyum tepat mendengarnya. Ketimbang memperpanjang masalah soal candu terhadap rokok yang diidap Kirika, ia lebih memilih mengalihkan topik pembicaraan sekarang.
"Ada hal yang mengganggumu?"
Dimulai dari pembukaan yang paling mendasar, Kirika pun agaknya tak keberatan. Malah, ia menanggapinya dengan satu anggukan.
"Kau tahu peperangan sudah dekat. Jadi aku melakukan banyak riset mengenai penelitian Alex Oohara yang mana juga melibatkan Kenji dalam satu eksperimennya ...," terang Kirika. "Anak itu memang terlahir ringkih, bukan? Alex benar-benar memandangnya sebagai kelinci percobaan yang sempurna."
"Begitulah." Silvis setuju. "Alex memang melakukan penelitian dengan tujuan menyembuhkan makhluk hidup, tetapi ia mengambil langkah pintas yang salah akibat obsesinya terhadap keabadian. Bahkan segala kesuksesan jenjang karirnya di masa lampau harus tertutupi dengan satu kegagalan penelitiannya kali ini; yang mana juga mengorbankan banyak jiwa.
"Kenji—katakanlah secara ajaib—menjadi salah satu kelinci percobaannya yang berhasil dan merupakan satu-satunya subjek yang bertahan hidup hingga saat ini. Eksperimen penggabungan DNA juga membantunya meregenerasi luka lebih cepat; bahkan lebih unggul jika dibandingkan kemampuan penyembuhanmu."
"Aku sudah membacanya. Namun, halaman hasil persentasenya hilang. Ditambah lagi, aku tak menemukan kelebihan lain yang menjadi tolak ukur Alex mengapa ia begitu membanggakan satu keberhasilan di antara puluhan jiwa yang melayang ...." Sembari melipat kedua tangan, Kirika bersandar di badan sofa. "Kau mengetahui sesuatu?"
"Dia mampu memanipulasi bagian-bagian tubuhnya. Sebut saja bagai werewolf, hanya saja tak membutuhkan sinar rembulan untuk berubah wujud."
Mulai tampak antusias sang Madam mendengarkan, maka Silvis melanjutkan, "Tentu ia tidak sampai berbulu, tetapi eksperimen ini cukuplah membuatnya menjadi lebih kuat; menumbuhkan paksa kuku-kukunya menjadi cakar yang tajam, juga memperkencang otot agar lebih mudah baginya bergerak cepat.
"Namun, tentu saja kemampuan ini memiliki kekurangan. Dia harus mengerahkan sejumlah stamina untuk melakukan kelebihan yang kusebutkan. Mungkin ini sebabnya mengapa ia tak memperlihatkan kemampuannya di kali pertama ia muncul menyerang kita di parkiran bawah tanah."
Masuk akal. Lagi pula sejak awal Kenji datang untuk mengukur kemampuan Kirika, tak lebih. Jadi dia tak perlu membuang tenaga, mengobservasi Kirika saja baginya sudah teramat cukup.
Tetap saja, dengan dokumen-dokumen lama hanya membantu sedikit. Sekarang Kenji seolah membiarkan mereka berdua menerka-nerka kemampuan dan apa yang dimilikinya setelah bertahun-tahun terlewat.
Ya, dia benar-benar besar kepala, persis seperti ayahnya. Sudah dirasa mantap memamerkan hasil kerjanya, lantas Kenji memberikan Alford Corps. mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
Rasanya kejadian masa lalu seolah kembali terulang kali ini; polanya hampir serupa. Namun, tentu Kirika tak mau akhir cerita dari peperangan ini berujung sama dengan ketika ayahnya memimpin, bukan? Berhasil memenangkan perang yang dicetuskan di Lebanon dan menyelamatkan semua orang ... tetapi Hardy lengah terhadap diri sendiri membuatnya tinggal nama dengan keadaan terduduk lemas bersama pandangan kosong.
Bahkan membayangkan jasadnya yang pucat pasi sudah cukup mengundang mata Kirika terpejam erat-erat.
"Intinya aku membutuhkan senjata yang mampu mengimbangi kekuatan itu. Akan tetapi ... tentu kekuatan biologis melawan hal yang serupa tidak memungkinkan, sebab eksperimen membutuhkan waktu untuk mencapai keberhasilan," cetus Kirika kemudian. "Baik kau dan aku pun tak menginginkan kegagalan di waktu yang terbatas ini, bukan? Maka kupikir aku harus memanfaatkan divisi lain untuk rencana kali ini."
"Apa kau membutuhkan BM Corps.? Mungkin kita bisa merundingkan perihal ini kepada Tuan Sergeyevich. Kau tahu, beliau selalu menanti kita jika memang membutuhkan bantuan."
Kirika mengangguk, lalu berpaling. "Kita bisa membicarakannya nanti ...."
"Sepatutnya begitu."
Kini empunya rambut senada mawar keemasan mengembalikan pandangan. Tampak tenang, tetapi teramat disayangkan rasa kekhawatirannya tak mampu bersembunyi di hadapan netra Silvis.
"Apa aku sungguhan mengganggumu?"
Konon ia menunjukkan kernyitan yang begitu kentara menggambarkan kegelisahannya, Silvis kontan iba. Maka kembalilah tangannya terangkat, menangkup wajah keponakan yang sedikit merona. Tak sengaja ibu jari Silvis merasakan hawa hangat dari mulut Kirika tepat ia mengembus napas berat.
"Ah, sial. Aku lupa nahan napas."
Senyum Silvis merekah persis Kirika berceletuk asal. Tampaknya ia pun tak berniat untuk menyembunyikan kondisi kesehatannya sekarang.
"Beristirahatlah," balas Silvis. "Tiga puluh menit tidak akan sia-sia ketimbang berbaring di kasur rumah sakit selama tiga hari atau bahkan lebih."
Tiada sepatah mantra sihir, tetapi secara ajaib Kirika menuruti ucapannya. Hal yang sangat jarang terjadi, siapa pun tahu itu.
Usai melepas sepatu, ia segera bergeletak ke lengan sofa yang berlawanan. Maka Silvis menyingkir agar ia bisa meluruskan kaki.
Kirika bisa mendapatinya berdiri kaku sekarang, sama sekali tak berbuat apa-apa hingga ia mengumbar senyum samar kepada sang paman.
"Kau tahu aku bahwa aku sebenarnya benci memperlihatkan kelemahanku kepada siapa pun, bukan? Kupikir aku lebih benci ketika melakukannya di hadapanmu," komentarnya. "Aku juga sempat berpikir kau merupakan contoh yang tepat untuk kalimat 'jangan menilai buku dari sampulnya.'"
"Kenapa?"
"Kau terlalu kaku daripada Ayah."
Dengkusan tanda tersinggung berembus singkat di kala Silvis tersenyum tipis.
"Seharusnya aku memanggil Bibi untuk ini, tetapi ... aku lebih merindukan senandungmu." Sementara itu Kirika mulai kembali memejamkan mata. "Jadi kupikir tak ada salahnya jika aku meminta kau duduk di sampingku dan nyanyikan lagumu sampai aku terlelap."
Sukses luluh hatinya dibuat Kirika. Namun, entah mengapa sisi dirinya yang lain merasa berat untuk menyanggupi permintaan itu. Begitu cepat kepalanya membantu batin menemukan celah, lekas bibirnya mengutarakan alasan untuk lari dari permintaan, "Itu sudah lama sekali. Aku bahkan ragu apakah suaraku masih tetap sama seperti dulu."
"Emas selalu memancarkan kemilaunya meski dilempar ke dasar lautan, Paman." Agaknya ia kalah telak dengan pernyataan ini, lantas Silvis duduk di sofa tunggal yang tak begitu jauh dari Kirika. "Pun, aku tak pernah melupakan indahnya kilauan itu."
Ketika keponakannya beranjak dewasa, memang Silvis selalu merasa beruntung ketimbang harus bersusah hati di kala Kirika sakit. Dia lebih banyak bicara dan mudah diajak bernegosiasi barang sesekali. Sedikit kekanakan pula ocehannya, pun permintaan yang ia ajukan terlampau sederhana.
Akan teramat disayangkan jika Silvis tak menuruti, bukan? Dia akan kehilangan momen langka bagi mereka berdua di masa kini; saling dekat dan bercerita banyak tentang hal-hal yang tak membutuhkan tenaga untuk berpikir panjang.
Maka ia menyeret sofa tunggal, duduk lebih dekat dengan Kirika. Dia pandang wajah teduh si keponakan, ia belai rambutnya yang bersinar diterpa cahaya muram dari mentari musim dingin.
"Omong-omong, kau belum memberitahukanku senjata macam apa yang telah kau rancang bersama profesor muda itu."
Segala-gala pemandangan kantor buyar, utuh tergantikan oleh seisi gedung kumuh yang menyisakan mereka berdua di antara puing-puing bangunan yang menjadi pelindung tambahan sementara bagi mereka.
Meski berada di tempat yang begitu luas, tetapi rasanya Kirika tak memiliki ruang untuk menghindar dari topik pembicaraan yang satu ini. Mendapatkan celah untuk keluar pun tidak. Demikian ia tak memiliki pilihan selain mengulur waktu barang sejenak.
Sedikit pun Kirika enggan memalingkan pandangan kepada Silvis. Setidaknya dia tidak membiarkan Silvis menunggu lebih lama dan lekas bertutur, "Kami merancang sesuatu ... yang hanya diperuntukkan untuk anak itu. Senjata tersebut akan membantu hingga aku tidak perlu bergerak banyak, tetapi justru akan berhasil memancingnya menari-nari hingga staminanya habis.
"Ditambah, kau tidak perlu khawatir. Senjatanya akan aktif hanya jika aku marah."
Terdengar sederhana.
Justru firasat Silvis mengatakan bahwa mekanismenya tidak sesederhana sebagaimana Kirika menjelaskan. Sungguh, ia memang sangat pintar memainkan kata-kata. Silvis bahkan tidak berhenti memikirkan senjata macam apa yang Kirika bawa ke dalam sana.
Konon di kala mendapatkan berita terkini dari prajurit yang mengawal Kirika hanya menambahkan keresahan dalam hati saja. Sekarang Silvis bertanya-tanya seberapa besar senjata itu sampai para prajurit mampu mendeteksi suara dentuman hingga kaca pecah samar-samar dari sana.
Mana mungkin mereka mendengar kekehan yang melantun dari sang Madam. Pandangannya meliar kepada musuhnya yang tak henti-henti menghindar dari lengan-lengan besi yang terus menyambar.
Tiada di antara mereka yang peduli lagi bau anyir yang menyeruak bercampur asam dari keringat. Mereka enggan memperhatikan lantai dan dinding yang berhias darah. Ditambah mereka tak akan pernah sempat mengkhawatirkan luka-luka baru.
Bersama gerakan patah-patah, Kirika pelampiaskan amarah yang ia pendam sejak lama; yang telanjur membendung semakin tinggi akibat kesalahan yang bukan bermuasal darinya.
Kini Kirika sekadar terduduk di tengah ruangan, sebisanya mengangkat tangan demi mengendalikan senjata yang tumbuh dari dalam diri. Tak jarang ia mendelik menahan sakit yang menjalar menunjang picu adrenalin, terhitung sering pula air matanya menetes tanpa diminta demi menggambarkan derita yang ia tahan untuk mengontrol senjatanya.
Kenji terus menghindar, mengelak, melompat ke setiap sisi dinding serta puing-puing. Mulai tampak ia terengah. Berakhir mendapatkan jarak yang cukup jauh, Kenji menghentikan langkah. Namun, seribu sayang ia harus kembali memaksa anggota geraknya untuk membantunya berpindah.
Dari beberapa lengan itu, terulur benang-benang kuat lagi tajam yang memiliki bilah-bilah pisau mungil yang melesat ke sasaran. Dia tidak begitu yakin apakah sejumlah bilah tersebut mampu membuka luka lebar, tetapi indra penciumannya bahkan berani taruhan bahwa semuanya berlumur racun.
Berakhir Kenji bergelantung kepada salah satu kerangka langit-langit kaca, tanpa sengaja membuat telapak tangannya memberikan tanda bercak-bercak merah di ujung-ujung bagian kaca yang pecah. Dipandangnya Kirika menengadah, meneleng bersama tatapan menyalang.
"Kita baru bermain setengah jam ...." Suara paraunya terasa menusuk jantung. "Akan tetapi kau sudah tampak kelelahan menari. Pergi ke mana semangat jiwa yang selalu siap menerkamku itu?"
Kembali Kirika terkekeh, maka ia angkat tangan kanannya yang terbuka lebar. Segenap lengan-lengan besi bagian kanan mengembang, lantas ketika Kirika menurunkan jari tengah, satu lengan besi menyasar kepada Kenji.
Secepat apa pun ia menghindar, Kirika terus menyusul dengan lengan besi di sebelah kiri. Dia tentu menikmati langkah-langkah Kenji yang tampak tergesa-gesa. Ya, dia terus mengendalikan senjatanya, tidak peduli kian redup pandangannya ....
Dia akan terus membuat Kenji bergerak sampai staminanya habis.
Memposisikan diri di segala sisi Kirika, sama sekali tak membantunya menemukan satu pun celah. Akan tetapi Kenji tampaknya tak putus harapan.
Secepat yang ia bisa, Kenji berlari mengitarinya. Sesekali ia dorong kuat-kuat tenaga dari betis agar ia mampu melompat dengan jarak jauh, pula tetap ia amati setiap pola gerakan lengan-lengan besi milik Kirika.
Benar praduganya, hanya satu sisi saja yang utuh bergerak mengincar Kenji jika ia berada di samping. Sementara dari kedua sisi terus bergerak-gerak aktif tepat ia berada di depan dan belakang.
Kadangkala Kirika juga menggerakkan tangan prostetik, menembakkan peluru kepada Kenji meski kini jarang ia lakukan sekarang. Cukup mengherankan ... entah sengaja atau tidak sama sekali, satu tembakan pun tidak ada yang sukses mengenainya.
Maka sekarang Kenji memiliki dugaan baru; Kirika sudah mengetahui efek dari kekuatannya, dan kini wanita itu sedang berada dalam kondisi sadar tak sadar.
Kedua dugaan mengundang seringai di wajahnya. Walau begitu ia tak yakin apakah ia tengah menertawakan diri sendiri atau malah terheran dengan kenekatan Kirika dalam melakukan ini.
Ya, siapa pula yang mau menanamkan senjata di belikatnya hanya untuk menguras stamina seorang musuh?
Kenji melanjutkan langkahnya yang sudah mencapai lingkaran penuh. Dia menambah kurang dari seperempat putaran lagi untuk sampai di bagian samping, membiarkan satu lengan besi menyambar. Dia melompat maju menghampiri Kirika sembari mengelak lengan besi lain.
Tepat ia hendak berhasil meraih bahu Kirika, satu lengan dengan cepat mengaitkan diri persis di kerah bajunya. Sukses Kenji menarik diri, membiarkan bajunya terkoyak.
Namun, agaknya ia lupa terhadap lengan-lengan lain yang masih mampu bergerak menerkamnya.
Kenji memang berhasil mencengkeram bahu Kirika, menancapkan kuku-kukunya seiring semakin kuat pegangannya di sana. Akan tetapi ia lengah terhadap satu dari dua lengan besi yang paling panjang dan kuat mulai bergerak membelah diri menjadi lima ujungnya, persis seperti jari-jari.
Lengan tersebut berhasil menangkapnya, lantas mengajaknya melayang tinggi sebelum Kirika mengendalikan senjata itu untuk membanting Kenji ke dinding. Ya, tentu ia akan berhenti ketika ia puas membuat hiasan berupa retakan di sana.
Lalu Kirika menariknya dari dinding, hampir-hampir kepala Kenji menghantam ujung pecahan kaca yang tajam. Dia mempertahankan si pria muda di hadapan atas kepalanya.
Sembari menelengkan kepala, Kirika pandangi ia dari sudut mata. Seringainya menggambarkan betapa puas dirinya melihat Kenji yang lunglai dalam genggaman lengan besinya. Satu maniknya menyaru dengan darah yang masuk mewarnai kornea, lantas si pria muda mengernyit dalam merasakan perih dari sana pula.
Sama sekali Kenji tak lupa akan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Namun, alih-allih meresapi kesakitan yang kini ia derita, justru ia tertawa kecil tepat satu matanya yang terbuka mendapati sosok Kirika. Ya, wanita itu masih ada di tempatnya, sedang menggerakkan tangan yang satu untuk menautkan seluruh jemari tangan, saling bergenggaman memerintahkan lengan panjang di sisi lain ikut meremat Kenji.
Semakin besar tenaga yang Kirika kerahkan ke genggaman, maka kian keras rematan sepasang lengan besi tersebut. Kenji tak lagi mampu memberontak. Mendongak tampaknya percuma, malah usaha itu seolah memperlihatkan gambaran ia tengah meringis.
"Tampaknya kendali jarak jauh di dalam kantongmu sudah rusak ...." Suara Kirika konon sukses membuyarkan fokus Kenji dalam misi melepaskan diri. "Kau tak lagi kubutuhkan. Sepatutnya mudah bagiku menghancurkanmu seperti kendali jarak jauh itu."
"Kalau begitu lakukanlah! Tujukan kebencianmu kepada kami, Alford; tunjukkan kau tak jauh berbeda denganku!" tantang Kenji. Tanpa basa-basi pun, suaranya yang melantang disusul dengan tawa. "Lakukan jika kau memang mampu, Alford ... lengan-lengan ini belum cukup melampiaskan amarah yang kau pendam bertahun-tahun lamanya, aku tahu. Kau hanya akan puas jika kau berhasil membunuhku, jadi lakukanlah!"
Kirika menegakkan kedua jari tengah di antara genggaman tangan, membuat mereka saling bertempelan untuk menitah sepasang lengan besi yang lain bergerak mendekat kepada Kenji. Keduanya memiliki bilah-bilah mungil yang ia yakini berlumur racun.
"Sudah kuduga ... musuhku tak lebih dari seorang bocah yang besar omongannya. Pikirmu, aku akan menelan bulat-bulat semua hasutanmu?" Tawa kecil Kirika bersenandung tepat menyaksikan Kenji yang menaikkan dagu penuh nekat di kala kedua pisau mendekati lehernya. "Tenanglah, Adik Kecil. Mereka hanya akan melumpuhkanmu barang sejenak. Aku hanya membantumu merasa jauh lebih tenang."
Membantu? Kenji mengernyit terang-terangan kala mendengarnya. Namun, seolah tidak diizinkan berpikir lebih jauh, pisau-pisau mulai menyayatkan luka tipis kepada kulit lehernya. Sama sekali nyaris tak terasa, dia sendiri tak yakin apakah racunnya akan berefek sesuai perkataan Kirika.
Setidaknya dengan waktu yang tersisa, dia bisa melihat si wanita bernetra delima kembali menegakkan punggung. Gerakannya masih terpatah lagi terbata, Kenji hanya bisa menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
Ya ... tak lebih.
Sepasang tangan yang masih bertautan Kirika angkat tinggi-tinggi, lantas lengan besi yang menggenggam Kenji terangkat hingga mencapai langit-langit yang berlubang. Kedua kakinya yang bergelantung memberontak lesu tak berdaya.
Maka secepat Kirika menghantamkan diri mengikuti ke mana genggaman tangannya ia bantingkan, kontan pula lengan besi membanting Kenji ke meja. Dentumannya begitu keras, bahkan tumbang kaki-kakinya, lantas badannya menghancurkan keramik lantai.
Pada saat yang sama, Kenji merasakan darahnya bergejolak keluar hingga memaksa ia memuntahkan cairan merah itu. Kebas berangsur-angsur tergantikan nyeri tak terkira menghantui kembali tulang belakangnya, semua seolah sudah berhasil diluluhlantakkan.
Utuh buram pandangan Kenji, tetapi tak luput pemandangan sesosok wanita berambut mawar keemasan akhirnya kembali bangkit persis tak jauh dari posisinya. Sakit, pedih karena kesedihan, kemarahan yang membumbung tinggi hingga ubun-ubun tergambar di air muka penuh sengsara. Bahkan cairan bening terpaksa mengalir melewati pelipisnya.
Sewaktu-waktu indra pendengarannya menangkap kedua suara yang berujar serentak.
"Tidurlah, Kenji."
Demikian bayang-bayang Kirika membentuk sosok sang ibunda di pandangannya. Secercah perasaan lega dicampur haru konon menguasai dada, lekaslah mimik wajahnya sedikit melunak. Kenji tak lagi memaksakan diri untuk mengerahkan tenaga dari jari-jari besi yang menahannya.
Bersama air mata terakhir yang ia teteskan, pada akhirnya Kenji menutup mata. Kesadarannya sungguhan melayang.
Betapa sangat disayangkan. Dia melewatkan satu kata yang meniru ujaran bayang-bayang Keiko. Ya, tentu. Kali ini jelas tiada lagi suara sang ibunda; tersisa Kirika seorang.
"Tidurlah."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top