Chapter 3.12.5
Sungguh Edward tak habis pikir bagaimana Daniel—atau begitulah hingga kini ia memanggil Mikhail—membunuh seluruh kawanannya tanpa sisa. Mengaktifkan gas tidur, lantas menjadi satu-satunya yang bertahan hingga berakhir ia menggorok satu per satu leher mereka, pula menusuk-nusuk bagian perut dan dada sampai ia yakin nyawa mereka melayang.
Memang, itu satu-satunya cara menghindarkan serangan balik untuk pasukan. Karena ia pun sepertinya paham, membayangkan bertarung di ruangan yang sempit teramat menyulitkan.
Yah, sekali lagi ia harus bersyukur Daniel benar-benar berada di pihak mereka.
Kini ruang bawah tanah tak hanya penuh dengan prajurit yang mengamankan lokasi, tetapi juga bagian pemantau yang andil di bidang komunikasi dan jaringan. Edward menghubungi mereka, tepatnya, sebab akan banyak yang harus dilakukan dan tenaga dari dua orang saja tak cukup.
Tentu Edward menjelaskan semua duduk perkaranya, berikut menerangkan Daniel yang sungguhan berniat bekerja sama. Pun, tak ingin mempersulit diri pula mengulur waktu, mereka pada akhirnya sepakat mengerahkan tenaga untuk menjalani misi ini.
"Estimasi pengaktifan sinyal akan berlangsung tiga puluh menit dimulai dari sekarang." Demikian salah seorang berceletuk. "Pusat menunggu langkah selanjutnya."
"Mohon berikan pesan kepada pusat agar mereka menyampaikan peringatan kepada divisi robotika di Tokyo untuk mempersiapkan diri," sahut Daniel. "Kirimkan protokol hingga alamat perangkat untuk memudahkan mereka dalam pengiriman data."
"Roger."
Daniel mengembuskan napas sembari ia melekatkan satu headphone ke telinganya. Dia berfokus kepada kode-kode yang masuk secara otomatis sebagai catatan hasil pemantauan Akira. Lantas kode satu per satu akan berganti ke kalimat-kalimat yang lebih mudah dimengerti, mimiknya mengeras sengit.
"Edward, aku hampir lupa memastikan sesuatu," ujarnya seusai mengambil napas.
"Ada apa?"
"Madam benar-benar mengejar Akira, bukan?"
"Tentu ... tetapi kupikir kau tidak perlu khawatir, Letnan Jenderal Phoenix kali ini ada di sampingnya. Pasti pasukannya juga ikut serta. Apa ada yang salah?"
Sekadar Daniel mengangguk-ngangguk. "Aku hanya tak ingin insiden yang terjadi di taman bermain milik Yoshitaka itu kembali terulang. Kau tahu, kita sempat menspekulasikan kekuatan Akira dalam mode kombat tingkat normal."
"Ya," balas Edward. Pada akhirnya ia menoleh kepada Daniel. "Kekuatannya setara dengan tiga manusia normal, seingatku."
"Tepat. Semoga saja Madam tak sampai memancingnya mengaktifkan mode penghancur ...."
Daniel kemudian bungkam bersama pandangannya yang berpaku kepada monitor. Netranya bergerak cepat kepada kode-kode yang baru sampai lantas dengan kilat mereka menerjemahkan diri, justru membuat kawan di sampingnya jengkel.
"Astaga. Demi Tuhan, Daniel! Aku tahu, kau memang tak suka menyampaikan kabar buruk, tetapi jangan gantung aku begitu!"
"Baik. Harap-harap kau tak terkejut dengan spekulasi buruk ini, kawanku," balas Daniel ketus lagi sengit. "Sederhananya, mode penghancur ... memiliki kekuatan lima kali lipat dibandingkan mode kombat level normal."
~*~*~*~*~
"Nona Alford, Anda tahu kali ini saya tak akan segan-segan. Jadi pastikan Anda memiliki banyak tenaga."
Ujaran itu terlontar bersamaan kala Edward melapor kondisi ruang bawah tanah kepada Kirika. Tak lama ia mendapati Akira yang melesat kepadanya hendak memberikan serangan, agaknya tak salah jika berasumsi segala hal yang terjadi di bawah sana benar-benar sedikit pun tak diketahui si android.
Vanessa begitu cepat menghadang Akira guna menghindarkannya dari sang kakak. Diaktifkannya tameng, kemudian sekuat tenaga ia dorong Akira. Merasa tak cukup, segera ia kendalikan tulang-tulang jari tumbuh memanjang seperti cakar yang membuat pandangan si android teralih.
Vanessa mencakar Akira yang bergerak mundur menghindarinya. Maka Leon mengambil kesempatan menyerangnya dengan satu pukulan dari sarung tangan baja. Cepat ia memberikan pukulan kedua, disambung sebuah tendangan layang dua kali.
Sempat Akira sukses menangkis segala serangan, tetapi ia mulai sedikit kewalahan akan serangan susulan Vanessa yang serentak saling bantu dengan Leon. Lantas ia menyilang kedua tangan, menciptakan tameng energi yang begitu menyengat. Persis keduanya teralih, ia memutus kedua lengannya hingga menyisakan tali kendali yang memberikan pukulan keras untuk kedua musuhnya.
Mereka terempas, tetapi mereka tak tinggal diam. Namun, tepat sebelum mereka bangkit, Kirika berseluncur cepat dan melompat sembari menghunuskan pedang dari punggungnya. Hendaknya ia memberikan satu tebasan, seribu sayang Akira lebih cepat menarik kembali kedua tangannya, lantas mengeluarkan bilah dan menangkis serangan tersebut.
Kali ini Kirika memilih mundur tepat tenaganya tak lagi kuat untuk saling dorong. Sempat-sempatnya ia melempar sebuah pisau kecil. Kalau saja Akira tak menarik tubuhnya ke belakang, pisau itu akan persis melukai batang hidungnya. Segeralah si android roll ke belakang.
Serangan tak berhenti sampai di sana.
Leon menembakinya. Satu peluru berhasil menancap di lengan atas si android, pula mengucurkan darah. Maka lensa hitam Akira mulai membidik, ia mengarahkan telunjuk seusai mengunci titik target.
Tak ingin membiarkan sang Letnan Jenderal tertembak, Kirika mulai maju memberikan satu sabetan yang ditangkis Akira yang sedikit pun belum menoleh. Momen ini tentu cepat-cepat dimanfaatkan. Empunya manik delima menghunus bilah pedang dari tangan prostetik, lantas memberikan satu sabetan yang sukses mengaktifkan refleks bagi lengan si android untuk menghindarkan diri dari serangan.
Berhasil melukai android itu dengan luka lebar ternyata tak membuahkan hasil sesuai spekulasi. Belum habis taktiknya, lantas dua peluru lebih dulu ia tembakkan, sukses memecahkan kacamata pelindung bagian bawah mata milik Kirika, sementara satunya menciptakan bekas lecet di area samping.
Kirika kemudian melayangkan tendangan berputar ke leher Akira. Dia berhasil memberikan sayatan tipis, tak sampai membuat si android kembali banjir darah. Hampir ia lengah dengan satu tembakan sebagai balasan. Meski berhasil menghindar dengan mendongak, tetap saja ia harus mengorbankan sedikit helaian rambutnya.
Sayangnya, dengan mengelak pun ia tetap menerima balasan berupa tendangan keras di perut yang sukses membuatnya terpental bersama rasa mual. Vanessa sigap meluncur memberikan sandaran kepada sang Madam agar ia tak sampai terpelanting.
Maka kembalilah Vanessa dan Leon maju bersama guna mengulur waktu selagi Kirika memulihkan nyeri di perutnya. Mereka berhasil menghindari tiap-tiap pola penyerangan yang kurang lebih sama; kala Akira terpojok ia akan melepas kembali kedua lengan bawahnya, dia akan mengayun-ngayunkan pukulan secara asal, hingga mencakup area luas untuk memojokkan musuhnya.
Dirasa mulai menghafal pola serangan Akira, Vanessa nekat berada di dalam jangkauan kedua lengan tersebut. Dia tetap menghindar dengan gerakan lihai lagi lincah, sukses pula memusatkan fokus si android. Leon pun segera menyiapkan senapan, membidik dengan lensa bawaan dan menembak.
Sial. Demikian Leon mengumpat dalam batin mengetahui tembakannya meleset. Akira menelengkan kepala sembari mengerling kepadanya, lantas menjadi kesempatan bagi Vanessa untuk melangsungkan serangan jarak dekat.
Baru sampai setengah jalan gadis itu, kedua lengan Akira segera menyerbu. Tangan-tangannya mencengkeram Vanessa kuat-kuat, benar-benar merematnya hingga si gadis merasakan nyeri seolah nyaris remuk badannya. Lantas ia mengangkat Vanessa dengan sepasang lengan tersebut tinggi-tinggi di udara.
Si gadis merasa sesak, pula tak mampu berbuat apa-apa. Mengaktifkan roket? Rasanya tiada guna, pula segala cara penggunaan roket dilakukan hanya sekadar membuang bahan bakar percuma; dia benar-benar tak bergerak sedikit pun meski sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk lepas.
Setidaknya kondisi itu memberanikan Leon kembali menembaki si android. Akira melompat-lompat menghindari segala serangan jarak jauh, akan tetapi dia membatasi langkah. Jelas ia tak bisa bergerak lebih jauh sebab itu akan mempersulitnya mempertahankan Vanessa.
Kirika akhirnya bangkit. Melesat ia memungut pedang yang kemudian ia kibas kuat-kuat, membiarkan bilahnya bertransformasi menjadi lebih lebar sembari ia menghampiri Akira.
Begitu cepat si android membagi fokus, secepat itu pula ia menarik Vanessa. Secara otomatis ia mendekap gadis itu dan mengelak dari Kirika. Dia memperkirakan pedang itu tak seberat lebarnya, maka mudah bagi si wanita mengayunkan pedang tersebut. Tak lama terbesit satu-satunya jalan untuk membalikkan keadaan.
... Meskipun Akira memang tak pernah menyukai langkah ini, tetapi agaknya ia terpaksa melakukannya sekarang.
Dia berhenti cukup jauh dari posisi Kirika, membalikkan badan Vanessa dan menodongkan ujung bilah pisaunya ke leher Vanessa. Benar saja. Itu benar-benar berhasil menghentikan langkah Kirika, berikut Leon dari kejauhan terpaksa kembali mengangkat senjata.
Sebisanya Kirika menyembunyikan engah. Dia berhenti melangkah, demikian kini mampu ia rasakan adrenalin yang kian memuncak bersama munculnya peluh-peluh lelah. Sembari merasakan nyeri di setiap otot anggota gerak, sekadar ia pandang lurus Akira yang masih bertahan di posisi yang sama.
"Jadi nyawa Nona Vanessa tampak berharga, ya? Anda bahkan sampai berhenti untuknya." Demikian si android mengumbar senyum tipis. "Namun, agaknya Anda mengerti saya tak akan pernah berkeinginan untuk melakukannya."
"Ya, aku tak akan menyangkal bahwa Vanessa merupakan adik kecilku yang begitu berarti," balas Kirika segera. "Akan tetapi kali ini aku lebih mengkhawatirkan dirimu yang baru saja salah mengambil langkah."
Ya, memang ada satu hal yang barangkali Akira lupakan.
Kala itu Vanessa menggeram, seolah tengah menahan sakit. Pun, geraman semakin keras, mengundang Akira mengalihkan perhatian. Dia terpaku kepada sebuah retakan penghubung sepasang roket di punggung Vanessa, sementara perlahan-lahan bahunya seolah tampak menyempit. Di situlah Akira terlambat sadar.
Geram berangsur menjadi jerit serak yang membelah ngeri udara. Saat itu tulang belulangnya mencuat merusak sekujur dada Akira, sekaligus sukses mendorong si android mundur. Nyaris Vanessa tumbang. Sekadar terpaku kala hilang keseimbangan Akira memandang piring-piring tulang di bagian garis tulang punggung Vanessa dengan alis bertaut.
Tentu ia tidak dibiarkan berdiam diri. Leon menembakinya tepat sebelum ia mengulurkan tangan dan membidik ke arah bagian vital Vanessa. Tanpa memedulikan sedikit pun kondisi beberapa bagian dada, ia mulai menghindari Letnan Jenderal yang mulai bergerak mengitari ruangan sembari menembak.
Vanessa mengaktifkan tabir pelindungnya selagi Kirika maju menyerang. Serangan jarak dekat yang dibarengi tembak-menembak ini sungguh membuat Akira kewalahan. Dia bahkan tak menyadari Leon juga kian mengambil kesempatan mempersempit jarak.
Tanpa ampun Kirika terus mengayunkan pedang besarnya. Hingga dirasa perhitungannya cukup, ia tancapkan pedang ke tanah yang tampak dari keramik-keramik lantai yang pecah. Bertumpu dengan pedangnya, ia melayangkan tendangan persis ke dada Akira yang berhasil mendorong si android hingga punggungnya mencium tembok.
Secepatnya ia mendongak, telah ia dapati moncong senapan menodong persis ke keningnya.
"Saya tersanjung." Dia kembali mengembangkan senyum sebagaimana ia menyandera Vanessa. "Pun, tak disangka-sangka para bintang tamu lebih bersemangat tampil ketimbang saya sendiri. Akan tetapi, saya harap kalian tak lupa bahwa ini soal hidup dan mati.
"Ya, saya menyinggung Anda." Akira mengalihkan pandangan kepada Leon. "Seharusnya Anda tak berhenti."
"Sayangnya kita berada di kondisi yang sama, bocah," jawab Leon. "Serupa sepertimu, aku pun bergerak atas perintah Madam-ku. Khususnya situasi ini, dialah yang berhak memutuskan nasibmu."
Sekadar Akira berpaling kepada Kirika yang melangkah mendekat.
"Saya penasaran apa yang begitu mengganggu pikiran Anda sampai-sampai menunda merusak saya hingga ke inti," kata Akira. Jelas penuturan tenang itu bermaksud menghasut. "Kemenangan sudah di depan mata, kenapa pula harus menunda?"
"Sudah terpojok pun masih banyak bicara. Kau memang tak banyak berubah, ya." Pada akhirnya Kirika bersuara, sukses melukiskan kerut heran di kening Akira. Pun, ia meneruskan sembari ia mengibas pedang yang kemudian ia sarungkan kembali. "Namun, kusarankan simpan saja suaramu. Tidakkah kau merasa bateraimu sedikit berkuras kalau kau pun sering-sering bersuara?"
Hendaknya ia bergerak seolah mengambil napas, pula nyaris ia menyuarakan satu kata, pesan suara yang merasuk ke dalam kepalanya sejenak menyita perhatiannya.
"Kupikir dia ada benarnya."
Itu tuannya.
Bukan hal yang patut diherankan jika pada akhirnya Kenji turun tangan. Dia telah diberikan perangkat untuk menontoni Akira, baik melalui lensa kamera Akira.
Ya, sejak awal ia telah menyaksikan pertarungan tiga lawan satu itu di tempatnya.
Dia masih duduk di tempatnya. Tatapannya tampak sedikit sayu, konon menjadi bukti yang cukup bahwa ia sama sekali tak tidur. Pun, senyum yang ia kembangkan kali ini sama sekali tak menunjukkan ketertarikan lagi; kosong, seolah enggan melebar.
"Maafkan saya. Saya mungkin telah menggagalkan misi yang Anda berikan."
Beruntung balasan Akira masih sanggup menyunggingkan senyum miring yang lebih baik di wajahnya. Kenji bahkan memangku dagu setelahnya.
"Tak apa-apa. Aku mengerti. Menjadi pemeran utama memang merupakan beban yang sangat besar jika kurang persiapan, Akira," ujarnya kemudian. "Aku cukup terhibur, akan tetapi ... aku masih kurang puas."
Begitu lama Akira terdiam tenggelam di dalam kepalanya. Kenji bisa melihat penglihatan si android bertukar kepada ketiga musuhnya melalui monitor kecil di samping lengannya.
"Anda ingin saya menggunakannya?"
"Kalau kau tak keberatan, aku bisa melangsungkan perintah."
Kini malah dengkus panjang yang terdengar di telinganya.
Pandangan Akira turun kepada lantai yang tak utuh keramiknya.
"Saya pikir Anda benar. Sebaiknya saya menghemat suara dari sekarang," ujarnya tak lama. "Nona Alford, saya harap Anda tak keberatan jika saya melanjutkan pertunjukannya."
Tak lama ia mendengarkan titah yang mau tak mau ia dengar.
"Akira, aktifkan mode penghancur. Perintahku : hancurkan semuanya yang menghalangi."
Seluruh pandangan Akira menggelap, berangsur-angsur tampak sedikit memerah. Utuh jantung imitasinya tak lagi melangsungkan program rasa, pula menetralkan ekspresi si android.
Begitu cepat ia menarik moncong senapan Leon, spontan mengundang Letnan Jenderal menembakinya. Akira menelengkan kepala, lantas sekuat tenaga menarik senapan hingga Leoo terpaksa berhenti dan melepas senjatanya.
Sayangnya ia terlalu lambat menghindar kala Kirika meluncur mundur.
Akira menahannya, cepat-cepat bangkit dan meraih kepala Leon. Dia tembakkan peluru persis ke mata kiri yang tak lagi terlindung kaca utuh. Peluru sukses menerobos memecahkan kaca, berikut mata Letnan Jenderal. Pekikan lantas meledak merasakan nyeri yang datang bersama darah segar yang memancur, pula mengalir utuh menodai pipi hingga lantai.
Seolah belum puas mendapatinya bertekuk lutut menahan sakit yang tak terkira sembari bertahan untuk tetap mempertahankan kesadaran, si android menendang pipi wajahnya. Tak tanggung-tanggung mulai ia hunus bilah pedangnya tepat Leon tersungkur. Akira menarik kerah pria itu, benar-benar tak ragu mengarahkan pedangnya persis ke leher Leon.
Sebelum itu terjadi, Vanessa mendorongnya sekuat tenaga. Refleks Akira mengaktifkan roket, sementara si gadis mulai menggunakan pistolnya. Lebih dulu si android melepas satu lengannya guna mengaburkan fokus. Secepatnya ia melesat ke udara yang tentu mengundang si gadis mengejarnya.
"Menghubungkan sambungan suara kepada Edward Morgan!" Sembari ia menghubungi Edward, Kirika melesat menghampiri Leon yang kemudian ia rangkul. Hanya saja Letnan Jenderal menolak untuk mundur, maka Kirika memilih mengaktifkan tabir pelindung.
"Edward Morgan menerima panggilan."
"Laporkan estimasi transfer data."
Sempat terdengar suara si pria muda menanyakan perihal serupa kepada salah seorang pemantau hingga berakhir mengulang, "Lima menit akses akan dibuka. Estimasi penerimaan data dari kantor pusat berdasarkan ukuran barangkali tak sampai memakan waktu empat menit. Kami akan melaporkan kembali jika instalasi sudah siap dan peretasan berhasil dilakukan. Apakah itu cukup bagi tim Anda untuk bertahan?"
"... Kami memang tak memiliki pilihan lain, bukan?"
Ya, peretasan kunci pintu pun agaknya sukar dilangsungkan. Kendalinya berada pada Akira, pula jika ia tahu, barangkali ia akan menjadi yang pertama keluar dan menghabisi semua orang yang ada di luar sana.
... Atau yang lebih buruk ia akan mulai dari ruang bawah tanah lebih dulu. Misi seutuhnya terhitung gagal, sebab tiada lagi yang mengkoordinasikan peretasan. Lantas? Akira, sampai habis dayanya, sungguhan menuntaskan satu perintah yang dibisikkan Kenji.
Rekap perintah tersebut berhasil diterjemahkan oleh perangkat di hadapan Daniel. Betapa rapi pun kodingnya tak akan mengurangi keresahan di dalam dadanya. Pun, perasaan itu kian memuncak tepat penerjemah rekapnya tak lagi bergerak.
[[MODE PENGHANCUR : AKTIF; PERINTAH : HANCURKAN SEMUANYA YANG MENGHALANGIMU]]
Daniel tidak akan lagi menerima catatan hasil pemantauan jika Akira berada dalam mode ini. Dia tidak tahu apa yang hendak dilakukan si android, pula tak akan tahu apa yang tengah terjadi di atas sana.
"Kau lihat sekarang." Sekadar embusan pasrah yang dapat ia keluarkan. "Dengan menonaktifkan jantung dan program perasaan otomatis, Akira mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mematuhi perintah yang diberikan. Itulah yang membuat Akira lebih berbahaya."
Secara tak langsung ia mengeluh kepada Edward dengan satu toleh; bersungguh-sungguh dalam menanti terasa bagaikan menunggu selama satu jam. Lagi, tiada henti Daniel berganti posisi duduk sembari ia memperhatikan segala pemantau.
Betapa tidak. Nyawa ketiga orang yang berada di dalam ruangan bersama Akira kini bergantung di tangan mereka.
Begitu juga divisi robotika.
Kabar bahwa pada akhirnya akses jaringan akan kembali tersambung menyeluruh di tiga kota disambut dengan kelegaan yang teramat sangat. Konon di luar sana Tokyo nyaris bebas dari perang, tetapi tetap saja masyarakat harus tetap mendekam di Districts Underground sementara para prajurit mulai membereskan korban yang berjatuhan.
Tentu divisi robotika juga tak tinggal diam. Segera mereka bekerja mempersiapkan semuanya. Nina sebisanya mengkoordinasikan seluruh anggota, sementara Adam dan beberapa rekan melakukan pengecekan berkala.
Debaran jantung tak lagi mampu Aoi kendalikan tepat ia memasuki ruang kontrol. Harus ia akui, teramat jarang ia menginjakkan kaki ke tempat ini kecuali jika mereka memang membutuhkannya ketika mereka hendak memberikan fitur-fitur baru untuk Akira.
Tempat ini sudah menjadi ruang rahasia mereka berdua. Mereka melakukan apa yang mereka mau, berbicara mengenai apa saja. Memang, keduanya tak memiliki banyak waktu, karena itulah melukis kenangan di sini agaknya sudah lebih dari cukup.
Padahal mereka sudah saling berjanji untuk berlibur berenam. Akan tetapi, melihat kini mereka sedang terpecah belah, terpaksa mereka harus menunda janji itu.
Setidaknya ... untuk sekarang, mereka harus mengembalikan yang satu.
"Kak Aoi, kau siap?"
Suara membuyarkan lamunannya, sontak Aoi menoleh ke sumbernya. Dia tersenyum tipis tepat mendapati Nina yang tengah menghampiri.
"Sejujurnya aku agak sedikit takut, tetapi ... aku sungguh ingin menemuinya dan benar-benar mengembalikan semua yang ia miliki."
"Padahal aku bisa menggantikanmu kalau kau mau," kata Nina. Tangannya terangkat, bertengger sebentar di bahu Aoi seolah tengah memberi kekuatan sekaligus membujuk.
Namun, betapa pun Nina mencoba, Aoi membalas dengan gelengan. "VirtualGear sama sekali tidak memiliki risiko besar dalam pemakaiannya, bukan? Tak apa. Sebab kupikir akan sangat disayangkan jika bukan aku yang menemuinya pertama kali. Aku begitu merindukannya."
Kalau begini, tidak ada yang bisa menghentikannya.
Aoi memasuki ruangan sembari melepas kacamata dan segera berbaring di ranjang yang tersedia di sana. Para asisten sigap menempelkan dan memasang alat pendeteksi denyut nadi, lalu membantunya mengenakan sebuah helm dengan penutup mata yang juga sanggup menutup keningnya secara utuh.
Sementara ruang pemantau telah disibukkan kembali. Salah seorang pemantau melapor, "Kondisi detak jantung, stabil. Melanjutkan inisiasi program VirtualGear."
"Estimasi akses jaringan tersisa kurang tiga menit," sahut Nina. Dia baru kembali, tetapi matanya jeli terhadap pengecekan. "Terus pantau kondisi fisik Profesor, tetap lakukan pengecekan data secara berkala."
Demikian pula Nina beralih kepada Aoi, "Kuharap kau berbaring dengan nyaman di sana. Tenangkan dirimu."
Sejenak tawa kecilnya terdengar samar. Tak heran, perekam suara terletak cukup jauh dari ranjang. Namun, setidaknya setelah itu Nina bisa mendengar suaranya yang sedikit lemah sebab efek tengah berbaring.
"Aku akan berusaha untuk itu." Begitu ucap Aoi. Pun ia mengembuskan napas sebelum meneruskan, "Mari kita bawa dia pulang."
~*~*~*~*~
Punggungnya berakhir menghantam lantai. Pelindung kepala tak begitu membantu, tetapi beruntungnya kepala Vanessa tak harus merasakan remuk yang serupa di sekujur punggung. Beberapa bagian tulang yang tak sempat ia susuti pun retak, bahkan di antaranya ada yang hancur. Bersama sekian kesakitan itu, ia harus merasakan nyeri dari tendangan siku pula.
Sempat ia mendapati potongan-potongan roket dengan bagian yang hangus, tetapi apa pentingnya lagi itu? Dia meringis, merasakan anyir yang memenuhi mulut, sungguh membuatnya tak nyaman. Sebisanya ia berguling, memaksa diri terseret untuk bangkit.
Desing roket lantas mendekatinya. Empunya berhenti persis di hadapan Vanessa, tak tanggung-tanggung menodongkan ujung bilah pedang pula. Namun, tak lama usai ia angkat bilah pedang itu, ia menerima sebuah lemparan belati yang persis menancap di lengannya.
Itu berasal dari Kirika.
Tepat Akira menoleh, sang Madam ternyata sudah berlari menghampirinya.
Maka cepat ia menembaki Kirika dengan jemari yang telah dirancang menjadi senapan, tetapi satu pun peluru tak berhasil mengenainya akibat drone yang tengah melindungi.
"Letnan Jenderal Phoenix, saya serahkan Vanessa kepada Anda!"
Kirika menghunus pedang, kembali membuat mereka kembali beradu bilah. Dia mendorong Akira yang menyilang kedua bilah pedangnya sekuat tenaga. Agaknya si android enggan mundur, maka ia mulai menggunakan satu tangan dan menghunus bilah dari tangan prostetik.
Nyaris perhatiannya meleng. Akira lantas melepas pertahanan, membuat lawan terempas. Akan tetapi, justru empunya netra delima itu berusaha agar ia tetap bertahan dalam posisi kuda-kuda meski harus terseret jauh.
Dia lalu memberikan serangan demi serangan. Setidaknya itu utuh sukses mengalihkan perhatian si android hingga Leon berhasil menarik Vanessa ke sudut ruangan.
Dentingan pedang yang beradu sengit terus menggema, dengan segala gerakan itu, mereka saling menorehkan luka. Tembakan tiap tembakan ikut melaung. Sulit bagi Leon menyaksikan pertarungan itu. Keduanya benar-benar bergerak cepat.
Hingga suatu ketika si android sukses mengempas pedang sang Madam sekali lagi, Leon meringis kencang. Pandangan si wanita sempat teralih, tetapi justru ia yang menyelamatkannya dari satu tembakan dari telunjuk Akira.
Kirika melakukan hal yang sama dengan tangan prostetiknya. Sukses ia buat Akira mendongak, lantas ia menebas habis lengan kanan si android yang kemudian terbelalak sempurna. Sekadar ia terpaku, segeralah Kirika menyerang bagian kakinya yang memberikan sayatan cukup besar menggunakan bilah sepatu.
Tak tanggung-tanggung, dengan bilah yang penuh darah itu, Kirika tendang perutnya sampai terpental jauh hingga kakinya yang terluka tampak sedikit membengkok.
Maka Kirika ikut mundur, memungut kembali pedangnya.
Enggan rasanya memandangi android itu tengah bersusah payah untuk berdiri. Gerakannya patah-patah, pula masih terbelalak seolah menahan sakit tak terkira. Dia membiarkan darah kian merembes pula menciptakan genangan di lantai.
"Harus ... mematuhi ... p-perintah ...."
Sungguh, suara yang lambat laun seolah berdistorsi itu memberikan luka yang terus membekas di hati Kirika.
Namun, ia tahu ini bahkan belum usai.
Akira kembali mengulurkan tangan. Kali ini bukan lagi jemari-jemari yang akan bekerja. Tampaknya ia akan kembali menggunakan rudalnya.
"Keras kepala sekali ... kau benar-benar memaksaku untuk melakukan itu?" Maka Kirika memimik gerakan itu. Pun, telapak tangan prostetiknya juga lebih dulu terbuka. "Agaknya aku pun tak punya pilihan."
"Menghubungkan sambungan suara kepada Madam Alford."
Edward bersuara di saat yang tepat. Yah, katakanlah begitu sebab karenanya Kirika terlihat sedikit lega meski tak melepas pertahanannya.
"Laporkan rencananya."
"Master sudah berhasil diambil alih. Pengenalan suara dikembalikan kepada Kirika Alford. Kami hendak melangsungkan mode manual, maka Anda—"
"Aku mengerti."
Akira lebih dulu meluncurkan rudalnya, sementara Kirika menyusul tak lama ia menutup percakapan. Alhasil, kedua rudal menciptakan dentum yang sangat kuat kala tersebut saling bertubrukan persis di hadapan Kirika. Asap menguar, mengembang pekat bersama ledakan.
Leon membeku di tempat, sementara si android sekadar menyaksikan dalam diam; begitu yakin Kirika hancur berkeping-keping di sana.
Namun, sesungguhnya ia salah.
"Madam, sekarang!"
Wanita yang tengah dinanti muncul kembali dengan sepatu roda elektrik, menghalau asap yang mengepul-ngepul itu bersama pedang yang ia pegang kuat-kuat. Dia lalu melompat tinggi-tinggi, sukses membuat si android terpana; tak lagi mampu memperhitungkan ke mana ia harus mengelak.
Segeralah Kirika menghujam dadanya, mendorong ia sekuat tenaga hingga Akira menancap ke tembok. Seolah itu tak berhasil mengganggunya, tampak ia masih sanggup mengeluarkan bilah pedang di pergelangan tangannya.
Ya, dia masih sanggup merencanakan pemenggalan kepala musuhnya. Akan tetapi, sebelum itu terjadi ....
"Akira, aktifkan mode stand by."
Oleh titah itu ia berhenti.
Pun, pada akhirnya seluruh pandangannya utuh menggelap.
Sebenarnya ini mau dipisah dua, tetapi entah kenapa lebih pas tetap digabungkan saja. Jadinya terasa lebih panjang, ya?
Sekian lama gak nulis aksi, jadi agak menggebu-gebu pula dan minim percakapan ueueueue. Maafin, ya. ;w;") Tapi semoga kalian senang dengan chapter panjang ini.
Sampai jumpa di chapter selanjutnya~.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top