Chapter 3.10 [EX]
Sang tuan menyelesaikan tuturannya, pula begitu saja ia meninggalkan Akira lantas masuk ke sebuah tempat yang dulunya dipakai sebagai ruang rapat. Dia pernah ke sana. Sekali. Hanya sekadar meja panjang dengan puluhan kursi yang mengelilinginya di tempat tersebut, pastilah Kenji akan duduk menanti tepat di kursi paling ujung sembari menyaksikan bulan yang tengah bersinar dari celah-celah atap kaca.
Tentu, dia akan menikmati obat-obatan yang telah Akira siapkan di sana dan menunggu dengan sabar hingga waktunya untuk tampil tiba.
Yokohama telah lama sepi jika dibandingkan dengan Tokyo dan Kawasaki. Sejauh ini hanya terdengar tembakan dan pecahan kaca, pula suara retakan-retakan gedung hendak runtuh samar-samar dari kejauhan. Itulah satu-satunya bukti bahwa musuh tak mampu menginjakkan kaki ke sini.
Yah, tepatnya belum.
Memang, semuanya persis direncanakan semata-mata demi mengulur waktu. Sekitar tiga perempat akan tetap tinggal di sini dan menyerbu Kawasaki dan meraih Tokyo. Tentu tiga perempat tenaga lekas melangsungkan rencana yang terdengar sederhana ini jika mereka berhasil memenangkan pertarungan di rumah sendiri.
Di luar sana, bala bantuan terus berdatangan mendesak mereka mundur. Namun, di kala musuh mencapai setengah jalan, tak jarang bala bantuan yang datang berputar haluan; mereka yang telah lama bersemayam di balik selimut musuh. Keberadaan mereka menjadi pelengkap sempurna untuk meningkatkan keraguan musuh dalam melangkah.
Sepatutnya Kenji tidak perlu risau dan berharap obatnya bekerja lebih cepat. Sebab tidak hanya itu yang mereka persiapkan.
Jangan pernah lupakan sisa seperempat yang tengah menyerang langsung bagian pusat dan Kawasaki. Memang Akira meragukan para penyusup di antara masyarakat, tetapi ia masih memiliki harapan pada para pengkhianat musuh.
Salah satu regu dititahkan untuk menyerang sang Madam secara langsung. Ya, itulah mereka yang melempar Pasukan Bela Diri di dalam helikopter terjun bebas, lantas menyerang dinding kaca gedung menggunakan senapan mesin yang tersedia.
Malah tak tanggung-tanggung pula, mulailah mereka menabrakkan helikopter guna memecahkan ruangan Kirika. Sesegera mungkin para pengkhianat itu keluar, angkat senjata menginvasi tempat. Namun, gerakan demi gerakan terpaksa melambat kala sekadar mereka dapati ruang gelap gulita dengan meja diskusi yang hancur terbalik.
Begitu lama mereka memastikan keberadaan musuh di bagian-bagian terdekat. Hingga berakhir mereka nekat melanjutkan pemeriksaan ke bagian tengah.
"Aku tak apa, Komandan Harrison." Lantas mereka dikejutkan dengan suara sang Madam tepat sebelum mereka berbondong-bondong mengepung meja. Di lain pihak, setidaknya suara yang terlanjur keluar cukup melegakan hati. "Hanya sedikit ... terkejut karena kedatangan tamu dadakan."
Pun, setidaknya di bawah sana, Emily kini bisa berpidato mewakili sang Madam lebih leluasa.
Sementara para pengkhianat mengetatkan sikap awas dan kembali mengangkat senjata tinggi-tinggi, para pemantau segera bergerak melindungi Kirika dalam formasi lingkaran. Tampak regu pengkhianat lebih unggul dalam persenjataan serta jumlah, setiap laser yang memancar dari senjata api yang mereka gunakan kebanyakan lolos menyorot bagian vital tubuh target.
Toh, dia santai saja kala diancam untuk tidak bergerak. Begitu enteng ia mengambil langkah. Namun, tiada gentar bagi pimpinan kelompok pengkhianat mengarahkan laser pembidiknya ke kening Kirika. Empunya manik kemerahan tersebut sekadar mengembangkan senyum samar. Dia angkat tangan tinggi-tinggi hingga sukses mencuri pandang regu pelindungnya.
Ah, bukan untuk menyerahkan diri tentu saja.
Dia menjentikkan jari, menciptakan suara singkat yang seolah menggema dalam kepala; mengusik sunyi. Lantas menganggap ini sebagai tanda perlawanan, maka tak ragu para pengkhianat mulai menembaki Kirika beserta pasukan kecilnya.
Peluru menghancurkan lantai, pula mengangkat debu-debu dari serpihan semen. Suara bising senapan bertubi-tubi menguasai ruangan sepi. Kalau saja mereka tak mengenakan kacamata penglihatan malam, mereka tak akan berhenti demi membuang-buang waktu melakukan hal yang tak perlu.
Mulailah tampak ratusan peluru sekadar jatuh, menciptakan denting-denting tak serirama. Kirika beserta pasukannya masih berdiri tegak di tengah ruangan, konon pula tanpa secercah luka.
"Terima kasih sudah merelakan diri terlibat dalam proses percobaan tabir pelindung rancangan terbaru. Pun, sebuah keberuntungan bagi kita, para tamu juga dapat hadir sebagai penguji langsung." Demikian Kirika bersuara, menggetarkan hati pimpinan pengkhianat.
Nyaris serentak, tiap-tiap mata berpaling kepada muasal desing yang mengeliling pasukan Kirika. Pimpinan konon mulai menerka-nerka dalam hati bahwa keempat benda itulah yang melindungi sang Madam dari serangan.
Drone pemancar energi pelindung. Kiranya mereka tidak dapat mewujudkan salah sebuah tameng semacam ini dalam waktu dekat, tetapi di sinilah mereka menyaksikan bahwa Alford mampu menampilkannya pada mereka.
Oh, tentu saja seharusnya ini merupakan situasi emas untuk dikenang sebelum ajal menjemput. Betapa tidak. Bahkan masih dalam uji coba saja, keempat drone tersebut mampu melindung sang Madam beserta pasukannya. Pastilah mereka tak mampu membayangkan apa jadinya drone tersebut benar-benar siap digunakan.
Yah, itu jika mereka berada di pihak Alford. Ketimbang takjub, kepercayaan diri mereka yang telanjur terbang tinggi harus jatuh terbanting hingga berkeping-keping atas kegagalan penyergapan yang terjadi.
"Ah, aku melihat Kapten Phoenix juga berada di sini." Kontan kali ini patah kata tersebut sukses mencelos jantung pimpinan pengkhianat. "Kau terlalu marah kepadaku sehingga berpindah pihak hingga mengajak Morgan ikut serta bersamamu, begitu?"
Dia yang disebutkan namanya sekadar memutar bola mata, secepat kilat ia menembakkan satu peluru ke pimpinan pengkhianat yang persis berada di hadapannya. Tentu ia tahu peluru tersebut tak akan tembus dari rompi anti peluru, maka sebelum pimpinan itu berbalik dan membalas serangan, dia menghujam belati tepat ke ulu hati si pimpinan.
Lantas anggota pengkhianat mengarahkan moncong senjata api kepadanya. Drone terbang cepat menghampiri Leona, memancarkan energi yang utuh melindunginya dari hujaman peluru.
Kelengahan ini dimanfaatkan segera oleh Edward yang kemudian melemparkan belati kepada salah seorang musuh yang hendak menyerang punggung Kirika. Dia bergerak cepat keluar dari tabir pelindung, menembak bersama kenekatan mendekati musuh.
Beralih kepada Kirika yang hampir-hampir lolos dari perlindungan pasukannya, kini ia dihadapkan dengan dua musuh yang senjata laras panjangnya kehabisan peluru. Mau tak mau mereka melawan menggunakan pistol. Desingannya lebih halus, tetapi Kirika mampu berfokus kepada kedua suara tembakan. Mudahnya ia menghindar meski tak utuh sempurna.
Dia bergerak maju, membuat bising dengan tembakan bertubi-tubi dan entak sepatu bertumit. Sigap ia menukar magazen yang dirasanya hendak kosong, maka tanpa ragu ia tembak peluru hingga kaca pelindung kepala salah seorang musuh pecah.
Musuh yang tersisa berada tak jauh dari sisinya menembak, tetapi sayang Kirika lebih cepat merunduk. Lantas peluru malah menancap ke kaca pelindung kepala kawannya, pula menerima tendangan di betis hingga membuat ia tersungkur.
Betapa hafal Kirika seragam divisi kemiliterannya, maka ia segera merogoh saku belati dan menggorok leher musuh yang meringis meratapi nyeri tulang duduk, pula ia melempar belati yang sama kepada musuh di belakangnya.
Itu yang terakhir. Pun, menyesal sudah Leona menyorotkan senter senapannya kepada musuh bersama belati menancap di mulut yang persis menembus kerongkongannya.
"Sinting," umpatnya tanpa ragu melempar pandangan kepada Kirika. Demikian ia menghampiri Kirika sembari membuka kaca pelindung kepala. "Aku tahu kau bisa bertarung dengan keren, tetapi bisakah kau memperhatikan dirimu sedikit? Lihat, bahumu terluka."
"Luka kecil, Ibu. Tenanglah aku bisa mengobatinya di bawah," balas Kirika, sukses pula membuat Leona merengut. Sejatinya, ia baru merasakan nyeri barusan. Namun, alih-alih melanjutkan topik mengenai luka, Kirika beralih kepada Edward sedang menghampiri mereka. "Kerja yang bagus, bocah."
Kalau saja di sini sedang terang benderang, pastilah semua orang mampu melihat rona merah di pipi pemuda yang tersenyum tersipu dengan jelas. Cepat ia mengendalikan diri untuk tidak berbesar hati, kontan mendengkus panjang di dalam pelindung kepala.
"Semua benar-benar sesuai dengan ekspektasi, ya. Rasanya memang tak salah memasukkanmu ke divisi kemiliteran." Lantas sang Madam menepuk bahu sebelum ia melangkah ke celah-celah pecahan dinding kaca tepat di samping helikopter.
Enggan rasanya memandang tempat kesayangannya harus hancur seperti ini. Sekadar manik delima tersebut mengabaikan sekitar, lantas tertuju kepada sinar bulan yang begitu cerah menerangi malam. Dia menemukan beberapa helikopter yang tengah menghampiri, sementara di bawah sana mobil pengangkut personel semakin ramai.
"Hampir lima puluh persen di antara mereka merupakan kelompok pengkhianat. Sesuai dengan pesan yang saya sampaikan, mereka berhasil mengumpulkan sekutu dari orang-orang baru," lapor Edward. "Saya juga mendengarkan diskusi bahwa mereka yang berada di Kumamoto dan Sapporo akan membawakan makhluk-makhluk itu ... entahlah, saya mendengar itu dari sebersit bisikan saja."
Baru Edward menerangkan, mobil pengangkut personel mendorong keluar sebuah peti. Tak perlu menunggu lebih lama, peti tersebut mengeluarkan dua sosok makhluk bermoncong serigala berkuku tajam pula bertubuh kurus lagi membungkuk.
Sekadar menontoni persis di pintu masuk, kening Silvis sudah berkerut menahan pening.
"Apa yang sudah kau lakukan, Alex?" desisnya. Bibirnya bahkan sudah memucat menahan emosi agar tidak pecah menjadi amarah yang tiada guna.
Perhatiannya teralih oleh sebuah bayangan yang mengejutkan. Persis di hadapannya Kirika mendarat mulus setelah menggantung sekian detik.
Yah, tidak hanya dirinya. Bahkan Edward yang menyaksikannya terjun bebas seusai menanggalkan pengait dari tali yang tersembunyi di jam tangannya menganga lebar-lebar. Namun, justru sudah terbiasa, toh yang lain konon lagi Leona sekadar menggeleng dan angkat bahu.
"Salah satu keseharian pimpinan sinting si tukang pamer. Biasakanlah dirimu dengan itu," katanya. "Sebaiknya kita lewat jalan normal saja dan segera melangsungkan titahnya sekarang."
Memang tiada waktu untuk tercengang, apa lagi memarahi sang Madam dalam situasi seperti ini.
Selagi menunggunya mengganti pakaian, Silvis mati-matian untuk tidak mengumpati perbuatannya. Ya, alih-alih demikian pun, dia lebih memilih menunggu keponakannya mengganti pakaian saja. Betapa ia paham membutuhkan sedikit waktu untuk itu, maka ia segera beralih keluar untuk mengais informasi.
Setengah gedung telah dilalui rombongan Leona, Kirika baru saja memasang earphone dan berlanjut mengenakan pelindung kepala, sebuah suara gesekan kasar dan samar mengganggu indra pendengarannya.
"Halo. Kau mendengarku?"
Betapa Kirika familier dengan suara ini.
Sayang, ketimbang menanggapi, ia lebih senang menyibukkan diri dengan mengenakan sepatu bot.
"Jangan abaikanku begitu. Sinyal hanya dapat digunakan oleh kalian dan Daniel berhasil meretasnya agar aku bisa menyapamu, tahu." Pun, padahal Kenji sendiri tahu, mengomel tak akan berhasil membuka suara empunya manik delima itu. "Tidakkah kau ingin berterima kasih kepadanya? Ah, atau barangkali kau ingin menitipkan salammu kepada Akira?"
Meski sekilas, setidaknya kernyitan sempat tercipta seusai telinga menerima patah kata tersebut. Namun, dia tetap mengabaikannya, kontan keluar gedung tanpa suara.
Serupa seperti yang tengah Kenji dengarkan di Yokohama, Shibuya pada akhirnya kembali ramai dengan drone, monster dan para tentara. Samar-samar Kirika dengarkan suara tembakan saling bersahutan. Pun, tak tanggung-tanggung dari sini ledakan tampak lebih jelas meruntuhkan kaca-kaca gedung tinggi yang kokoh.
Asap berangsur menyusut warna kemerahannya, lantas tergantikan oleh kelabu muram yang membumbung tinggi menghiasi udara, menyisakan lubang pada gedung di seberang sana.
Nyaris utuh seluruhnya pemandangan itu membayang di manik delima yang berpaku tatap kosong.
"Jadi kau suka dengan permulaannya, Kirika Alford?"
Ya, tentu Kenji tak ingin membiarkannya menikmati segala yang tersuguh lebih lama. Semata-mata demikian, ia masih tak senang terus-terusan diabaikan.
"Kau memulainya dengan cara yang bagus." Pada akhirnya Kirika menjawab. "Puas dengan jawabanku?"
Kenji tersenyum kosong. Agaknya tak perlu lagi ia meneruskan percakapan. Toh, Kirika sudah memutuskan sambungannya, pula terlalu malas ia meminta Jackal kembali menghubungkannya dengan sang Madam karena memang itu membutuhkan waktu yang panjang.
Cahaya bulan dari celah langit-langit kaca yang hancur menyorot bagai tirai-tirai semu. Beberapa bagian ruangan mendapat secercah penerangan karenanya. Namun, ia masih menikmati pemandangan remang di hadapannya. Seolah bangku-bangku penuh dengan manusia dalam bayangannya, bahkan ia merentangkan tangan sebagaimana ia menyambut para tamu yang telah sudi mendatanginya di tempat ini.
"Tuan dan nyonya sekalian. Berhubung sang bintang belum kunjung tiba, untuk sementara waktu, mari kita dengarkan alunan melodi dari kejauhan."
Jackal mendengarnya di ruang bawah tanah. Tanggapannya sekadar dengkusan bersama senyum yang kian melebar, tetapi ia tak berhenti untuk tetap fokus ke depan layar.
Divisi robotika memulihkan kembali peretasannya. Yah, tidak mengherankan jika yang memegang kendali ialah Adam maupun Edward. Peretasan ini masih langkah terkecil yang sedang ia jalankan, mudahlah bagi mereka mengatasi ini.
"Let's start the cyber party, shall we?"
Di sana lawannya baru mengembuskan napas lega, segera menerima gosokan kasar di puncak kepala tanpa diminta. Persis Adam menoleh kepada empunya tangan berbalut sarung tangan, kontan tercengang dengan penampilan Edward yang tak biasa.
"Yo, bro," sapa Edward kepada ia yang berbinar-binar.
Peluk hangat menyambar seusai ia menyapa. Senang hatinya mengumbar senyum. Pun, kegembiraannya kian meningkat tepat netra birunya menangkap Nina dan Aoi yang tengah menghampiri.
"Maaf, aku hanya bermaksud untuk singgah sebentar. Jadi aku tidak bisa membantu."
"Hal terpenting kau tidak melupakan sistem perancangan." Kali ini Nina menyahut. "Itu sudah cukup."
Tawa enteng meledak sebagai balasan atas sahutannya.
Demikian ia berpaling kepada Aoi. Tiada sedikit pun suara dari si profesor muda, akan tetapi mata gelap itu tak luput dari wajahnya. Sirat kecemasan tampak jelas tergambar dalam manik kecil yang bersembunyi di balik lensa kacamata.
"Aku memang telah meminta untuk ditempatkan di sekitar sini agar bisa memastikan kalian tetap aman, tetapi ... berdasarkan perkembanganku Kapten Leona memintaku agar ikut ke garda depan bersama teman-teman satu barak," terang Edward. "Sudah menjadi risiko bagi kita di sini; menerima apa yang tidak kita ekspektasikan. Namun, tenang saja. Aku pasti akan menjaga diri."
"Sepatutnya begitu." Aoi melangkah lebih dekat lantas meremas kedua lengan adik angkatnya kuat-kuat. "Jika tak bisa membawa mereka pulang, itu bukan masalah besar. Jadi kuharap kau benar-benar memegang janjimu."
Sesungguhnya Edward membutuhkan waktu lebih banyak untuk membalas perkataannya. Teramat disayangkan, keberadaan Leona di ambang pintu menginterupsinya menemukan jawaban. Seolah tiada lagi waktu yang tersisa, Edward sekadar mengangguk dan berpamitan.
Namun, kini dirasakannya sebuah genggaman erat yang menghentikan langkah sesuai ia berbalik. Edward paham, dari siapa gerak refleks ini bermuasal. Pun, Adam kontan melipir; mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya.
Maka secepatnya Edward lengan empunya tangan berjemari kurus itu. Sengaja ia mempersempit jarak dengan si gadis, pula tanpa ragu mengecup puncak kepalanya.
"Aku akan kembali, Nona White," bisiknya. "Jagalah aku dari sini, oke?"
Memerah wajah ia yang disebutkan namanya. Dalam-dalam ia menunduk menyembunyikan wajah, akan tetapi ronanya tetap kelihatan di daun telinganya. Berakhirlah Nina mengangguk tepat sebelum Edward mendekapnya erat-erat.
Agaknya suasana seperti sukar diganggu. Leona sendiri memutuskan angkat kaki lebih dulu lantas menuruni gedung dengan tangga darurat. Ya, untuk kondisi seperti ini, kakinya bisa bergerak lebih cepat ketimbang lift gedung yang belum diperbaiki.
Benar saja ia sampai lebih dulu. Segeralah ia menghampiri sang Madam yang sedang berpaku membiarkan rambutnya ditiup angin musim dingin; diam menyaksikan seluruhnya, sedikit pun tak menghiraukan keberadaan Leona di belakangnya.
Pemandangan bahkan terlihat lebih parah ketimbang kala Kirika keluar. Wilayah ini masihlah aman mengingat para prajurit mengerahkan seluruh tenaga demi melindungi pusat. Namun ... masih saja sanggup manik delima itu merekam kejadian ke dalam otaknya akan kehancuran dan gugurnya tiap-tiap prajurit.
Leona mengerti, Kirika sedang menelan bulat-bulat segala hal yang ia rasa dengan berdiam di tempat bersama pandangan kosong yang sama. Maka ia menunggu sampai akhirnya Kirika menoleh.
"Menurutmu, apa arti dari perang kecil ini, Kapten Phoenix?" tanyanya kemudian. Namun, sedetik pun enggan ia nantikan jawaban dari sang kapten, lantas ia menjawab, "Jika kau bertanya mengenai pendapatku, ini permulaan sia-sia sebelum aku menemui anak kecil yang sedang tantrum."
Ya, Leona pun setuju.
Meski tak seluruh masyarakat mendapatkan jatah pengungsian, tetapi Kirika percaya Pasukan Bela Diri mampu melindungi mereka dari makhluk-makhluk eksperimen yang sedang kelaparan. Memang akan menjadi tanggungan yang berat jika terjadi banyak kerusakan pada gedung-gedung dan jalanan. Namun, setidaknya kehancuran tak memakan jiwa masyarakat.
Benar kata sang Madam. Sia-sia saja mengacau sekarang, tetapi ....
"Sebaiknya jangan terlalu percaya diri."
"Aku tahu." Kirika menukasi. Tak tanggung-tanggung, ia pun berbalik menghadap Leona. "Kita mungkin merelakan nyawa kita dalam peperangan, tetapi tidak dengan orang-orang yang tak memiliki kekuatan untuk menghindari serangan ini. Jadi apa pun yang terjadi maksimalkan perlindungan terhadap mereka.
"... Agaknya mereka pun tak ingin terburu-buru menyerangku di sini. Nyawaku ialah miliknya. Maka aku akan pergi menanggapi undangan kecil ini."
Dia lalu melangkah meninggalkan tempat sedari tadi ia berdiri di sana. Pula tak ragu ia mempertemukan netranya dengan manik Leona tepat ia sekadar memapasnya sang kapten. Suaranya terdengar begitu pelan, seolah dipaksa ditekan. Namun, Leona mendengarnya pasti akan titah Kirika sebelum empunya mata senada delima itu meninggalkannya.
"Aku percayakan pasukan Tokyo kepadamu, Leona."
AAAAAAAAAAAAA TAKUUUUTTTTT!!!!! D'X
Tapi apa pun itu, sampai jumpa di chapter selanjutnyaaaaa~~~.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top