Chapter 3.10
Bulan purnama berpendar di balik awan yang mengapung bersama angin musim dingin. Sedikit pun tak tampak pertanda bahwa salju akan ikut bertamu, tetapi cukuplah mereka menyampaikan betapa mengigit sensasi muram di sekitar, lantas terus melewati sunyi setiap sudut kota.
Angin menjelajahi persimpangan Shibuya yang janggal. Tiada khalayak yang menciptakan ratus juta jejak seperti biasanya, televisi besar tak menyala menyiarkan berita maupun iklan menarik. Kehangatan jelas melenyap selagi warna yang senantiasa meramaikan suasana itu sirna.
Sekadar terdapat lampu-lampu di pinggir trotoar yang menerangi jalan, tetapi tetap saja tak berhasil mengurangi sendu malam. Suara derak-derak roda rantai dari tank dan baling-baling helikopter yang berputar cepat terus menambah ketegangan.
Mobil pengangkut personel menurunkan sejumlah prajurit berpakaian serta membawa perlengkapan perang di setiap perbatasan dan beberapa titik, terutama kawasan pengungsi mandiri. Sementara tiap-tiap pintu menuju Districts Underground dijaga Human Helper yang akan mendata masyarakat. Untuk mengulur waktu, terdapat dua pintu masuk menuju Districts Underground. Sesuai dengan regu yang telah dibagi sesuai dengan gelang bernomor, mereka akan mengantri di depan sana.
Salah seorang pria muda yang merupakan penduduk setempat menangkap bahwa di regu seberang terdapat lebih banyak orang-orang asing, sedangkan hanya segelintir penduduk asli yang bergabung di dalamnya. Betapa ramah petugas melakukan pengecekan ulang data serta memberikan kebutuhan-kebutuhan kecil untuk tetap bertahan di bawah tanah nantinya.
Yah, memang tiada seorang pun yang tahu berapa lama perang ini akan berlangsung, batinnya.
Beruntung evakuasi yang berlangsung hingga tiga hari tiga malam berjalan lancar. Sama sekali tiada halangan yang mengganggu kegiatan ini.
Tepatnya belum.
Bahkan bulan belum seutuhnya menampakkan diri, bukan? Bisa saja musuh enggan mengkhianati pengumuman yang ia buat sendiri. Seolah itu dapat membuat pertunjukan berlangsung spektakuler dan sempurna.
Namun, bagaimana pun juga segala pencapaian membutuhkan persiapan yang matang.
Mengingat larangan akan membawa senjata masuk ke ruang evakuasi tersebut, si pria muda berganti-ganti pandangan, mendapatkan segala sesuatu yang menarik di sekitar sini. Misalnya wanita yang sedang memastikan pisau kecil benar-benar tersimpan di tapak sepatu, atau wanita paruh baya yang menggunakan konde yang ia tahu bahwa itu mengandung racun ketika sabuknya dibuka. Belum lagi pria paruh baya di belakangnya yang sedang menyusutkan shuriken* rakitan di jam tangannya.
Mereka tampak berhati-hati, bahkan si pria muda bisa memastikan bahwa masyarakat di sekitar sini sama sekali tak menyadari semua yang telah ia lihat. Senjata-senjata di tangan mereka masing-masing pastilah akan berguna untuk merebut senjata-senjata besar dari tangan para pengawas.
Yah ... tidak akan lengkap rasanya jika masyarakat tidak diusik, bukan? Kira-kira begitulah kata sang Tuan Muda; pun itulah pernyataan yang membawa para mantan pasukan Oohara Corporation kembali bertugas.
Sudah begitu lama ia mengumpulkan anggota-anggota baru. Bahkan serupa sebagaimana agen rahasia dari divisi kemiliteran Alford Corporation bekerja, maka begitulah koneksi mereka tersebar lebih luas hampir di kota-kota besar Jepang. Hanya tinggal menunggu waktu untuk bergerak, terus saja menyamar sebagai masyarakat.
Hingga detik ini dengan bersembunyi di dalam selimut musuh, demi lolos memasuki Districts Underground untuk membuat kekacauan sebagai bentuk penyampaian kebencian Kenji terhadap masyarakat. Tetap bersama topeng datar dan tak tahu-menahu, mudahlah bagi mereka menuntaskan tugas pertama ini.
Namun ....
"Sinyal jaringan sama sekali tak tersambung." Lantas suara salah seorang wanita muda membuyarkan pikiran barang sejenak, sukses mengalihkan perhatian indra pendengaran.
"Benar. Aku jadi sulit menghubungi kerabat jauh. Apakah mereka baik-baik saja?"
Ya, tentu saja tugas kedua tidak semudah yang mereka bayangkan.
Sulitnya sinyal jaringan membuat mereka kesulitan menghubungi kawanan yang lebih dulu masuk Districts Underground sejak dua hari silam. Ini berlaku kepada ruang bawah tanah di kawasan Kawasaki dan Yokohama, sehingga mereka tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana. Sementara tiada berita melainkan rumor-rumor beredar bahwa prajurit Alford Corporation kewalahan di Yokohama. Hanya rumor, tetapi cukuplah menghibur diri.
Berhasil atau tidak kawanan mereka di luar sana, sepatutnya itu tak mematahkan harapan keberhasilan para penyusup dalam menunaikan tugasnya, bukan?
"Setidaknya, walaupun sinyal jaringan membuat resah, pemerintah benar-benar memastikan masyarakatnya baik-baik saja." Suara bariton menarik perhatian pria muda yang sedari tadi tenggelam dalam pikirannya. "Benar begitu, anak muda?"
Dia menoleh ke belakang, persis kepada pria paruh baya yang ia tahu merupakan salah seorang kawanannya. Betapa ia mengerti bahwa si pria paruh baya sedang memulai percakapan dengan sindiran tersembunyi.
Pemerintah melakukan semua ini agar berita dan rekaman tidak sampai menyebar keluar, lantas merusak citra negara yang terkenal dengan kedamaiannya.
Kira-kira begitu.
"Terima kasih kepada Alford Corporation dan pemerintah." Akhirnya si pria muda membalas. "Districts Underground menurut saya cukup efektif untuk wilayah-wilayah besar. Konon para pemberontak itu teramat nekat ... meski begitu, kita tidak tahu apa motif mereka."
"Barangkali musuh-musuh lama Alford akhirnya telah kembali." Wanita paruh baya menyahut, sosoknya persis berdiri tak jauh dari kedua pria tersebut. Ah, ya. Salah seorang kawanan mereka juga yang mereka tahu bahwa ia selalu tak segan-segan buka suara terang-terangan. "Sudah menjadi rahasia umum, bukan? Alford memiliki musuh bebuyutan. Tidak mengherankan jika mereka baru timbul ke permukaan sekarang, sebab mereka juga tahu Alford sendiri mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Maka mereka butuh kekuatan besar."
"Lantas musuh-musuh Alford muncul setelah merasa cukup dengan kekuatan yang ia kumpulkan dengan teror-teror itu, begitu? Betapa percaya dirinya." balas pria paruh baya. "Namun, kenekatan ini barangkali akan berbuah manis jika mereka berhasil mengalahkan Alford. Seperti yang kalian tahu, sebagian besar kendali keamanan negara berada di tangan mereka. Jika mereka saja tak berhasil menjaga masyarakat, orang-orang barangkali tak akan percaya dengan perusahaan itu dan lantas bangkrut.
"Rencana yang cukup ekstrim, tetapi mungkin inilah satu-satunya jalan untuk menjatuhkan Alford."
"Anda berpikir terlalu jauh, tetapi memang pendapat Anda terdengar masuk akal." Akhirnya si pria muda kembali buka suara. "Tapi semoga saja Alford dan pemerintah bisa memenangkan peperangan ini. Kirika Alford seolah berperan sebagai permaisuri sekaligus wali sang Kaisar, pastilah ia memiliki banyak rancangan strategi untuk mengatasi semua ini."
Pria paruh baya tersenyum miring tepat pada akhirnya regu selanjutnya telah dipanggil. Ya, wanita paruh baya yang masuk ke percakapan barusan masuk ke dalam regu tersebut, yang mana meninggalkan hening yang mengundang si pria muda kembali melakukan observasi singkat.
Yah, memang tidak ada lagi hal menarik lain yang bisa ia amati, tetapi apa yang bisa ia lakukan sekarang selain memandang dalam diam sembari tenggelam dalam pikiran? Selama hampir setengah jam lamanya, ia tetap berkutat dengan kegiatan yang sama.
Demikian regu terakhir dipanggil, pria muda dan pria paruh baya mulai maju memasuki lift.
Lagi, sepi kembali terasa di antara keramaian di dalam sana, persis dengungan lift yang mampu mereka dengar. Aura suram konon bertambah parah jika dibandingkan dengan di luar sana. Barangkali hati terlanjur diliputi cemas akan segala hal, sebab pikiran telah berlari mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penuh kekhawatiran.
Berapa lama lagi akan sampai?
Seperti apa ruang evakuasi itu?
Sungguhkah mereka akan benar-benar aman di dalam sini?
Wajar memang jika batin mereka bertanya-tanya demikian. Ini kali pertama bagi mereka, sementara pemerintah tidak pernah membeberkan kalau ruang ini benar-benar ada sejak bertahun-tahun lamanya. Meski lima belas menit lantas terlewat dengan selamat sampai tujuan pertama, itu pun tak benar-benar mampu menyembuhkan kekhawatiran. Setidaknya mereka bisa berpikir lebih jernih sebab kini tak lagi perlu merasa kesempitan di satu ruangan kecil.
Mereka dihadapkan oleh satu terowongan temaram, persis di depannya terdapat dua jalur. Di sini keamanan diperketat, para prajurit Alford Corporation tampak lebih banyak terang-terangan memegang senjata. Namun, sepatutnya penduduk tak usah risau, selalu ada petugas yang mendampingi.
Kembalilah mereka disaring untuk penyesuaian ke jalur mana yang akan mereka lalui. Kebanyakan orang yang berkebutuhan dan kaum manula akan diarahkan ke jalur pendek, sementara yang tersisa merupakan kaum muda dan sehat akan mendapatkan jalur panjang.
Bukanlah sebuah masalah besar. Pun, memang tidak ada yang protes mengenai masalah itu.
Beruntungnya demikian. Sehingga komplotan penyusup bisa melangsungkan misi lebih cepat ketika mereka mendapatkan ruangan mereka nanti.
Setiap terowongan terdapat pintu-pintu di kanan dan kiri yang kemudian dalam beberapa jarak setelahnya diapit oleh penyangga-penyangga terowongan yang kokoh. Tiada seorang pun yang tahu apa isi ruangannya. Kala kembali satu per satu orang-orang dipecah dan dimasukkan ke tiap ruangan tersebut, lantas pintu terbuka menyambut mereka tak seorang pun mampu mengintip ke dalamnya.
Hingga tersisa pria muda dan paruh baya itu. Batin penuh tanya mengundang mereka saling pandang. Nyaris mereka salah tingkah, betapa beruntung mereka mampu mengambil sikap dengan melempar senyum dan anggukan sebagai sapaan.
Pada akhirnya mereka mencapai jalan buntu berhias pintu. Lantas si petugas mempersilakan keduanya untuk memasuki ruangan.
Memang tiada hal yang mencurigakan, petugas pula mengekor demi keamanan mereka memasuki lorong yang tak begitu panjang lagi pendek menuju ruangan. Namun ... mungkinkah ini sekadar perasaan mereka berdua saja?
Kesenyapan berangsur tak menyenangkan. Canggung mulai dirasa menguat di lorong temaram. Konon bau asing samar-samar mulai menyeruak, sukses menaikkan bulu kuduk yang berniat mengundang peluh dingin meluncur membasahi tubuh. Hampir-hampir si pria muda utuh menoleh, melontar tanya dengan sorot mata kepada kawannya.
Namun, tetap saja mereka terus melanjutkan langkah. Bau tersebut semakin kuat kian mereka mendekat inti ruangan. Pekat busuknya, menusuk anyir yang terus menghantui begitu menggentarkan hati.
Hal yang paling mencurigakan ialah petugas seolah bertingkah tiada hal yang mengganjal; seolah petugas tak menyadari bau yang mereka cium. Hendaknya salah seorang dari kedua pria tersebut memutuskan menyerang, tetapi entah bagaimana ia mengurungkan niat tepat setelah mereka sampai ke tikungan menuju ruangan evakuasi.
Jantung mencelos, mengantarkan gemetar hebat yang nyaris membuat mereka kesulitan berdiri akibat mata terlanjur merekam pemandangan yang terpampang. Bukanlah sebuah ketakjuban yang mereka rasa, justru kini ketakutan yang menjalar menguasai diri.
Mereka dihadapkan dengan ruang penuh anggota tubuh yang terputus-putus, tergeletak dibiarkan seolah sekadar dijadikan hiasan. Tubuh-tubuh juga ikut berserak, tak jarang terlihat ada yang sedang bersandar dan tergantung. Hampir seluruh kepala melontar tatapan kosong ke sembarang arah, bagai tengah meratapi darah mereka yang tumpah, membusuk mengering menodai seisi ruangan.
Sementara wanita yang bergabung ke dalam percakapan kedua pria tersebut terikat di tiang tepat di tengah ruangan. Persis pandangan mereka bertemu, kala kemudian ia meronta di balik mulut terbungkam kain meredam suara.
Lantas pintu dari sisi-sisi dinding lain terbuka, menyambut kedatangan orang lain. Ialah mereka kawanan penyusup yang merupakan satu regu dengan penduduk sebelumnya. Bermimik sama, lantas diseret masuk agar mereka mampu menyaksikan semuanya secara utuh.
"Selamat datang, kepada para penyusup regu terakhir di hari ketiga." Suara wanita berujar begitu tenang, tetapi tak menutupi betapa lantang suara manisnya berseru.
Itu berasal dari Emily yang berdiri di balkon. Seluruh mata kawanan penyusup mengarah kepadanya yang tersenyum ramah. Tiap-tiap pandangan itu penuh tanya 'mengapa' dan 'bagaimana' yang berusaha terus bersembunyi di balik mimik datar.
Memang sangat disayangkan. Kemampuan mereka berperan sebagai orang bodoh terlanjur tertelan oleh rasa gentar lagi takut.
"Penyangga terowongan memberitahukanku bahwa kalian melanggar satu peraturan penting memasuki ruang evakuasi sebanyak tiga kali; membawa senjata api dan senjata tajam, yang terlihat maupun yang tersembunyi." Seolah membaca semua pertanyaan dari tatapan mereka, Emily akhirnya kembali bersuara.
Telunjuknya mengarah kepada salah seorang pria paruh baya. Ya, tepat yang sedang berdampingan dengan pria muda itu.
"Sebagai contohnya pisau di jam tangan Tuan Tampan di sana," kata Emily. Demikian ia mengangkat sebuah tusuk konde tinggi-tinggi. "Saya pun mendapatkan konde beracun dari Nyonya Cantik yang terikat di sana. Betapa berbahayanya jika ini benar-benar menghujam jantung. Racun yang terkandung di sini menyebar cepat menewaskan kucing itu."
Baru mereka tersadar akan bangkai seekor kucing yang tergeletak ikut mengeluarkan bau busuk tepat Emily menunjuk ke arahnya. Posisinya tak begitu jauh dari wanita yang tengah diikat. Betapa mengenaskan, air liur yang menetes dari moncong menganga kaku seolah habis lelah megap-megap.
"Dengan kedatangan regu terakhir, kalian semua cukup untuk menggantikan Petra si bola bulu manis tersayang. Jadi, Human Helper mohon bantuannya."
Emily mundur dari balkon, lantas secepat itu pula para petugas bergerak sesuai perintah. Mulailah mereka angkat senjata sementara musuh berbalik melawan.
Sulit untuk menghindar, tetapi tidak ada salahnya berusaha. Para penyusup mulai melawan semua Human Helper dengan senjata kecil sembari mengelak sebisanya. Akurasi yang dimiliki robot-robot pembantu tersebut terbilang mendekati delapan puluh persen akurat, sukses membuat musuh kewalahan dalam mengelak.
Namun, betapa pun Emily yakin ... serupa dalam dua regu yang telah masuk sebelumnya, pastilah Human Helper mampu menumbangkan mereka dalam belasan menit ke depan. Senjata kecil, ruang yang terbatas cukuplah menyita pergerakan mereka.
Suara ketukan langkah yang terus mengelak tertutup oleh senjata api yang senantiasa meledak-meledak tanpa henti. Peluru melesat menciptakan lecet pada dinding, pula tak sedikit mendarat tepat sasaran kepada bagian tubuh para penyusup. Tidaklah pula rumit bagi mereka menghindar dari pisau mungil yang melesat membelah angin.
Sesuai dengan dugaan Emily, belasan menit selanjutnya tiada lagi terdengar suara seusai ia mendengarkan pekikan terakhir. Dia tahu, itu berasal dari wanita di tiang. Maka kembalilah ia muncul di lantai yang sama dengan Human Helper.
Tahu-tahu ia mendapatkan kepala wanita menggelinding bergabung dengan sejumlah mayat baru yang tercabik-cabik.
Benar-benar tiada ampun. Bahkan mereka pun berakhir sama seperti mayat-mayat sebelumnya.
Alih-alih mengeluarkan pendapat itu, Emily sekadar mengumbar senyum dan berkata, "Kuharap kalian bisa membersihkan seluruhnya termasuk kalian sebelum memasuki ruang evakuasi untuk menjaga para masyarakat. Ah, kalian juga boleh membakar mereka nanti."
Yah, memanglah tidak menutup kemungkinan pakaian hingga bagian badan Human Helper juga ternodai oleh darah, bukan?
Maka beralihlah ia kepada earphone penghubung menuju pusat dan para komandan di luar evakuasi. Lantas ia meninggalkan ruangan, melaporkan tiap regu telah bersih dari para penyusup kepada Kirika yang berada di ruangannya.
Kali ini empunya manik delima itu tidak sendirian. Meja monitor panjang akhirnya kembali digunakan untuk melakukan pemantauan beberapa distrik di tiga kawasan rawan perang. Mereka akan mendapatkan sejumlah informasi mengenai keadaan wilayah, termasuk District Underground yang dibangun di sana.
Pentingnya melakukan pembagian terhadap daerah yang dipantau. Distrik dalam satu kota bahkan terlalu banyak, maka masing-masing pemantau akan menyaring laporan-laporan penting sebelum mengirimkannya ke bagian sang Madam di sana. Tidak hanya mengenai laporan, mereka juga harus menjadi perantara para komandan yang hendak menghubungkan diri dengan Kirika.
Ya, seperti yang sedang berlangsung saat ini. Betapa khidmat ia mendengarkan Emily melantunkan kabar baik itu. Maka berakhirlah komandan wanita memenggal laporannya dengan satu pertanyaan.
"Madam, apakah Anda yakin dengan semua rencana ini?"
Sebuah pertanyaan yang benar-benar sukses menyungging senyum samar Kirika.
"Kau baru saja menuntaskannya, lantas kau baru menanyakannya sekarang, Komandan Harrison?" balasnya. "Namun, jika memang pertanyaanmu itu sungguh serius, maka jawaban pertama ialah aku mengutamakan keselamatan masyarakat dan para kabinet pemerintahan. Tentu, kita juga melakukan semua ini guna melindungi nama baik kita.
"Kuakui itu terdengar jahat, begitulah keadaannya, benar begitu?"
Emily membalas dengan kekehan singkat. "Sama sekali tidak, Madam. Yah, setidaknya itulah pendapat dari pandangan kami. Namun, bagaimana dengan musuh kita? Pantas memang jika Anda, tidak ... kita disebut sebagai penjahatnya sebab kita tidak sejalan dengan mereka."
"Aku melakukannya semata-mata menagih bayaran atas segala perbuatan mereka. Misalnya ... kematian masyarakat di sejumlah acara besar itu sepadan dengan nyawa ratusan kaki tangan yang menyelinap ke tempat perlindungan kita. Maka aku merenggut seluruhnya tanpa sisa.
"Betapa pun itu belum seberapa, bukan? Sebab jika dikaji dari praduga Kapten Phoenix, mereka masih bersemayam di balik selimut kita, kira-kira nyaris dari setengah Pasukan Bela Diri. Lagi, bukan kali pertama bagi kita melayani pelanggan menyebalkan yang mengharapkan pesta besar semacam ini."
Ah, soal masa lalu ....
Memang sulit untuk tidak berpaling ke belakang. Namun, agaknya kali ini mereka bisa menjadikan masa lalu sebagai pelajaran.
Betapa tidak. Di kala itu, mendiang ayahanda mendatangi hujan lebat dengan persiapan seadanya. Justru bersama segala peninggalan Hardy, sudah patut Kirika mempersiapkan diri lebih matang demi menjaga semua belah pihak. Sebab ia tahu yang dihadapinya saat ini bukanlah sekadar hujan seperti yang sudah-sudah.
"Aku sudah terbiasa dengan percikan yang dia berikan, Komandan Harrison. Jadi mudah bagiku memprediksikan badai yang hendak ia datangkan." Kembalilah Kirika bersuara sembari ia memangku dagu. Lantas suaranya berangsur pelan seiring ia meneruskan, "Namun, aku tidak menyangka badainya menjadi sebesar ini dan melibatkan kalian."
Persis Emily memberikan jeda begitu lama setelahnya.
Ya, di lorong bawah tanah itu, dia bahkan terpaku di tengah jalan. Betapa pun, manik yang seolah bersinar di dalam gelap tersebut tak berpaling dari pintu masuk menuju ruang evakuasi meski kepalanya berpikir cepat, selagi batin berkecamuk hendak menjawab pertanyaan sang Madam.
"Kami memang berharap membawa pulang kemenangan, tetapi ... bagaimana pun hasilnya, kami akan selalu berada di sisi Anda." Pada akhirnya ia mengutarakan isi hati. Jernih suaranya, sama sekali tak terdengar gentar. "Jadi saya ingin menyatakan bahwa kami berada di sini bukan karena paksaan, Madam. Karena itu—"
Tak sampai ia mengakhiri balasan terakhir, jantungnya diguncang oleh suara kaca pecah bertubi-tubi. Batin yang sekadar mampu menerka apa yang tengah terjadi di atas sana, refleks mendorong kepala Emily menengadah.
"Madam?" Hampir-hampir tenggorokan yang tercekat tak mampu mengeluarkan suara semata-mata memastikan kabar lawan bicara.
Sama sekali satu suara pun tiada yang menyahut selain tambahan retakan yang bertambah deras menyerang gendang telinga.
Segeralah ia mengecilkan suara earphone, melangkah lebih cepat menuju ruang evakuasi. Sebisa mungkin Emily menetralkan mimik, tetapi apalah daya debar jantung menegangkan urat wajah.
Tibalah ia di depan pintu, terpaku kaku. Tiada seorang pun yang bisa menenangkannya sekarang, bahkan Leona kini ditempatkan begitu jauh sehingga menghubunginya begitu sulit.
"Dalam perang, selalu terjadi hal yang tidak disangka-sangka."
Sial. Alih-alih mengutarakan kalimat yang mampu menghibur diri, dia malah memilih untaian terburuk. Keningnya bahkan berkedut enggan menerima fakta bulat-bulat dari mulutnya sendiri.
"Saya sudah mengatakan kepada Anda sebelumnya, kita harus tetap maju apa pun hasilnya." Ya, mau tak mau ia harus meneruskan. "Madam, jika Anda aman, mohon berikan sinyal kepada saya."
~*~*~*~*~*~
Kira-kira ... berapa lama ia meninggalkan tempat ini?
Ya, sudah lama sekali sejak terakhir kali Kenji menginjakkan kaki di bangkai gedung perusahaan keluarga. Kala itu, persis di waktu yang sama; bersama bulan purnama yang menghiasi langit.
Senyum konon mengembang tepat ia tersadar akan keindahan bulan yang agak merona dari biasanya. Sembari maniknya terpaku, terus ia melangkah mendekati gedung, pula membiarkan suara kekacauan samar-samar memasuki telinga. Ledakan, lalu suara tembakan saling bersahutan telah meramaikan sepi setiap sudut kota. Apa yang ia pedulikan mengenai keresahan di sekitar, selagi ia bisa menikmati semua itu?
Tepat di dalam, tampak Akira menghadap puing-puing lobi. Tak membutuhkan waktu lama bagi android tersebut berbalik usai ia menyadari keberadaan sang tuan yang kian mendekat.
"Kuharap kau telah menyiapkan semuanya sesuai perintahku," Sekadar ia lewati Akira kala membuka percakapan. Namun, tak membutuhkan waktu lama pula enggan terlalu jauh dari lawan bicara, pada akhirnya ia berhenti setelah menciptakan jarak beberapa langkah. Dia meneruskan, "Omong-omong, kau masih ingat peran yang kuberikan padamu?"
"Anda menjadikan saya sebagai kunci cadangan. Apakah ada yang salah dengan itu?"
"Tidak, tidak. Tetaplah pegang peran itu erat-erat," jawab sang tuan. Demikian ia mengembangkan seringai seiring mengerling kepada Akira. "Aku hanya ingin kau tampil di babak pertama. Bisakah kau melakukannya?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top