Chapter 2.9

Masih mempertahankan diri di ruangan yang ia biarkan gelap, dia terus saja mematri manik keluar jendela. Tentu manik itu belum mau berhenti berpaku tatap kepada gedung rumah sakit. Dia berpangku dagu, mulai tak sabar. Agaknya memantau dari sini hanya menyusahkan dirinya.

Sedikit ia usap bingkai kacamatanya sembari menutup salah satu mata. Pemandangan terasa lebih dekat, berfokus kepada sebuah kamar di lantai atas. Namun, sebelum memastikan keadaan di sana, ia justru beralih ke ruang yang agak jauh dari kamar tersebut.

Sementara tak lama setelah kemunculan sosok yang ia tunggu-tunggu ... mulailah ia menelan ludah. Sebisanya ia mengendalikan diri agar tetap tenang. Dalam diam, ia mengalihkan perhatian kepada ponselnya.

Jackpot. Aku akan menghubungi Jackal.

~*~*~*~*~

Baru saja Akira memarkirkan mobil, barulah ia melenggang bergabung dengan khalayak yang tengah mengarah ke gedung. Tak perlu membutuhkan waktu lama atau mengantri sama sekali, agaknya memperlihatkan kartu kerjanya kepada petugas keamanan sudah cukup untuk mendapatkan akses langsung masuk.

Acara belum dimulai, tetapi sudah cukup banyak tamu yang datang. Mereka agaknya betah menikmati pameran seperti sejarah Alford atau produk-produk yang disuguhkan Alford sendiri. Enggan berlama-lama menikmati pemandangan monoton, maka Akira melanjutkan langkah menuju belakang panggung.

Hendak masuk ke sana pun dia perlu memperlihatkan kartunya. Agaknya mereka benar-benar menjalankan usulan Silvis yang memperketat keamanan.

Lantas Akira melintas melewati pembawa acara yang tengah berbincang, berikut dengan beberapa penata rias yang sedang mengurus beberapa orang yang akan tampil di atas panggung nanti.

Akira menemukan Aoi serta Eleonor tak jauh di meja rias. Agaknya mereka tengah memperbincangkan sesuatu mengenai robot pembantu; persis berdiri memandangi mereka. Mendengar langkah datang, keduanya serentak menoleh pada Akira.

Pun, Eleonor berceletuk, "Ah, akhirnya."

"Maaf, saya menumpangkan Nona Adams agar bisa pulang bersama-sama," balas Akira. Demikian lensa biru itu melemparkan pandangan kepada robot pembantu yang melambai ramah padanya. Dia tersenyum mengangguk sebelum kembali beralih pada dua profesor di hadapannya, "Bagaimana dengan mereka?"

"Mereka bahkan jauh lebih baik setelah gladi resik kedua," sahut Aoi sembari menoleh kepada dua robot lainnya sedang dalam proses pengecekan bersama Adam dan Edward. "Setidaknya sejauh ini baik-baik saja."

"Toh mereka kedua masih dapat diandalkan." Kali ini Eleonor berceletuk. "Bagaimana dengan kabar Madam? Kami sama sekali tak dapat menemuinya. Mendengarkan kabar Madam pun tidak. Sampai-sampai aku berpikir seolah dia sengaja menjalankan semua ini lebih cepat dari agenda agar kami tidak khawatir."

Lantas ucapan Eleonor sukses membuat Aoi memasang telinga. Tepat. Memang sama sekali ia tak mendengar kabar Kirika sedikit pun setelah kepulangannya. Mengetahui berita penyerangan di hotel Howard saja sudah cukup menumbuhkan kekhawatiran Aoi.

Empunya lensa biru tersenyum kecil mendengarkan Eleonor. Pula pandangannya jauh lebih lembut setelah ia baru berpura-pura terengah saat kemari.

"Madam baik-baik saja. Besok seharusnya beliau sudah diperbolehkan pulang." Begitu tutur si android sembari memperbaiki letak dasi.

Baru saja Eleonor ingin menanggapi, tetapi Nina telah datang bersama kopi pesanannya. Maka ia segera bergegas menghampiri si gadis. Hingga berakhir Aoi mengambil kesempatan ini untuk menyeret Akira menepi.

Si profesor muda bahkan merapatkan tubuhnya kepada si android. Meski demikian, ia membiarkan dirinya tetap rileks. Lantas dengan waswas ia berbisik kepada Akira, "Kau sudah memberikan alarm bantuan itu kepadanya?"

Lekas Akira mengangguk sebagai jawaban. Dia begitu ingat-berdasarkan data lampau dari memorinya-ia diperintahkan Aoi untuk memberikan sebuah gelang kepada Kirika. Dia hanya akan meminta empunya manik merah itu mengenakan gelang tersebut ketika Akira jauh darinya.

Benar. Itu memang bukan gelang biasa. Gelang tersebut telah dirancang oleh Aoi, terhubung langsung kepada Akira. Jika gelangnya terbentur sesuuatu dengan keras, Akira akan menerima peringatan berupa sengatan di lensa kirinya.

"Kemarin, Madam menghantam gelang tersebut ke nakas. Saya langsung menerima sengatan yang telah Anda sebutkan," terang Akira. "Barangkali rasanya seperti ketika manusia merasakan nyeri."

Aoi nyaris tergelak. "Kuharap dia tidak melakukannya lagi."

"Tentu tidak. Beliau sudah berjanji."

Akhirnya pengurus acara muncul, meminta agar mereka segera bersiap. Pembawa acara yang telah menyelesaikan riasan bangkit dan melenggang menaiki panggung. Dia bahkan menyempatkan diri bersorak menyemangati yang lain.

Kelihatannya mereka beruntung telah menyewa pembawa acara yang cukup menyenangkan.

Para juru kamera sudah bersiap-siap untuk melakukan perekaman dokumentasi. Kilatan kamera dari pihak media cetak sesekali ikut menyilaukan mata. Beberapa wartawan telah menyediakan perekam suara dengan ponselnya, ada pula yang sudah bersiap-siap dengan pena stylus serta tabletnya.

Acara dimulai dengan lancar. Kadang-kadang pembawa acara akan memberikan celetuk berupa candaan yang sukses membuat beberapa tamu tertawa. Barulah ketika itu, Silvis muncul di balik panggung, bergabung dengan kelompok Aoi dan Akira yang tengah mendengarkan.

Orang-orang di sana membungkuk hormat padanya, tak lama beralih kembali memandang penasaran ke panggung.

"Apa aku terlambat?"

"Tidak, Tuan. Pembawa acara baru saja mulai," jawab Akira seadanya.

Mendengar hal tersebut, cepat-cepat Silvis merapikan diri. Dia juga menyempatkan diri menyeka keringat dengan saputangan yang ia keluarkan dari saku jas. Demikian salah seorang pengurus acara memberikan tablet yang berisikan kata sambutan.

Berakhir Silvis diam-diam melangkah mendekati Akira. Hampir-hampir ia meringis sebab usahanya gagal setelah Akira menoleh terang-terangan. Beruntung tak ada yang menyadarinya.

"Omong-omong Aleah sangat sensitif mengenai anak gadisnya malam ini," bisik Silvis, sedikit pun tak mengalihkan pandangan dari panggung yang bisa ia dapati sebisanya. "Kau sudah memeriksanya?"

"Sore tadi ...." Akira menjeda, ikut bertepuk tangan kala pembawa acara menyebutkan nama acara yang kemudian disambut dengan musik. "Saya memang sempat menghubunginya di jalan. Beliau mengatakan ia tak memiliki kendala apapun."

Sekenanya Silvis mengangguk-ngangguk.

"Jika memang terjadi sesuatu, lekaslah pergi. Aku bisa mengatasi acaranya." Kali ini ia memandang serius android di sampingnya. "Dia menginginkan acara ini tetap berjalan sesuai rencananya."

"Meskipun beliau diserang Oohara?"

"Meskipun dia diserang Oohara."

Barulah Akira mengerjap kala ia memberanikan diri memandang Silvis. Dia tertegun cukup lama untuk terus bisa berpaling setelahnya. Ragu-ragu ia mengangguk tepat sebelum beralih kembali ke panggung.

Giliran Silvis untuk memberi kata sambutan pun tiba. Segera tepuk tangan kembali bergemuruh. Silvis tampak sedikit tersenyum kala mendapati tim robotika menyemangatinya.

Akan tetapi, baru saja Akira hendak mengangkat tangan, lensa kirinya berkedip sekilas. Hampir tak seorang pun yang menyadari hal itu kalau saja ia tidak menyentakkan kepala. Berikut tangannya menutupi mata seraya meringis. Namun, tentu Silvis jelas menangkap peristiwa tersebut, lantas menghampirinya.

Salah satu ujung bibirnya Akira paksa naik, mengukir senyum dengan tatapan lirih. "Anda baru mengatakannya."

Tidak sekali sengatan listrik menghantam lensanya, sukses kali ini membuat Akira terang-terangan merintih. Berakhirlah Silvis melemparkan pandangan penuh tanya kepada divisi robotika di sana, terutama pada Aoi.

"Saya memohon izin, Tuan Silvis."

Android lantas berhambur keluar, mengundang banyak sekali tanya di dalam kepala Silvis.

Tapi sayang. Agaknya mereka tak memiliki banyak waktu. Dia akan menyimpan semuanya setelah kata sambutan, sementara utuh membiarkan Akira pergi sekarang.

~*~*~*~*~

Akira bahkan tak tahu mengapa ia memilih untuk berlari menuju rumah sakit. Semua mata sempat memandangnya kala ia berpapasan, tak sengaja pula ia menabrak bahu orang berkali-kali. Toh, ia tetap meminta maaf kepada siapa saja yang menjadi korban tabrakannya. Mereka yang mendengarkan penjelasan singkat darinya pun berakhir enggan mempermasalahkan.

Kini ia lebih berhati-hati. Namun, tetap saja kepanikan seolah terpancar dari sepasang lensa tersebut. Kala berbelok tikungan saja ia hampir persis menabrak seorang wanita yang terkaget atas kehadirannya. Kalau saja tidak merendahkan kecepatan, wanita itu sudah jelas bisa terpental karena bobot tubuhnya yang lebih berat.

Sekali lagi Akira meminta maaf, kali ini memastikan sampai si wanita tidak apa-apa. Beruntung, wanita tersebut terpana pada paras si android, lantas spontan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Meski Akira telah berlalu dalam gerak lambat semula, kepalanya bahkan ikut berputar pada Akira, tetap berpaku di tempat sampai punggung tegap tersebut hilang dari pandangan.

Sementara di dalam kepalanya, baru ia menerima sebuah pesan yang cukup menarik perhatian. Dari nomor tak dikenal.

Toh juga tak akan ada yang menyadari bahwa ia bukan manusia saat ini. Jadi Akira segera membuka pesan tersebut tanpa terlebih dahulu merogoh ponsel dari saku jasnya.

Di pandangannya tertulis, Dia dalam bahaya. Segeralah datang!

Berakhir Akira menutup pesan. Beberapa kali lensa bagian kirinya merasakan sengatan. Peringatan ini justru membuat kehawatirannya memuncak. Pun, cukup mengganggu.

"Sial!" erang Akira seraya memulihkan keseimbangan. Dia tak tahu apakah ia harus merasa beruntung atau tidak setelah mempelajari umpatan itu dari Adam.

Sementara jauh di sana, tepat beberapa waktu lalu Kirika masih berpaku tatap kepada pria yang baru saja ia sebut ayah. Kini, sungguh ia tak yakin apakah ia sedang berada di alam sadar atau dunia mimpi sama sekali.

Satu langkah dari orang yang memiliki rupa seperti Hardy tersebut sukses membuat Kirika mengeratkan pegangan pada selimutnya. Bahkan ia tak henti-hentinya menelan ludah, sebisanya menghilangkan cekat di bagian leher juga berharap agar jantungnya berhenti memicu lebih cepat.

Padahal Kirika tahu bahwa langkah yang ia buat begitu lambat. Namun, barangkali gerak-gerik seperti itulah yang mengundang gemetar menguasai tubuhnya sekarang.

Kontan Kirika merasa setengah kewarasannya hilang setelah menyadari orang itu semakin dekat. Dia malah memilih melemparkan tablet yang tengah berada di pangkuan, berharap perbuatannya berhasil menghentikan si pria.

Seolah bereaksi dengan ancaman, tangan kirinya dengan cepat berubah wujud menjadi tentakel yang sama seperti kala ia menyerang suster yang merawat Kirika. Hanya saja kali ini ia sama sekali tak memperlihatkan bagian yang tajam.

Secepat kilat tentakel tersebut menghalau tablet hingga terbanting entah ke mana. Pula tanpa aba-aba mulai melilit diri ke leher Kirika yang kemudian mengangkatnya, persis bagai tengah mengangkat kapas.

Otot-otot di sekitar leher Kirika mengejang karena panik akan serangan. Empunya kesakitan, terus menarik napas sembari meronta. Manik delimanya lantas menyalang kepada pria yang tengah memandangnya kosong.

Akan tetapi ... balasan yang ia dapatkan dari mata hijau itu tak lebih dari semburat kesedihan.

Demikian puas membiarkan Kirika kehabisan napas dalam cekikannya, si pria melempar Kirika. Pertama, si wanita menabrak meja, terus terpental keras hingga dinding. Bahkan tiang infus ikut serta, sukses menghantam Kirika tanpa sengaja.

Cepat-cepat Kirika menggapai nampan, menjadikannya sebagai pelindung dari serangan tentakel yang kembali datang. Dia terseok-seok di tengah pening yang mengaburkan pandangan. Sial sekali. Kirika tak memiliki kesempatan untuk menarik napas.

Nampan penyok begitu saja setelah menerima pukulan keras yang datang bertubi-tubi. Kirika dengan kasar melemparkannya, lantas beralih kepada tiang infus untuk mencoba menyerang di tempat. Kala tentakel melilit tiangnya, Kirika terus mempertahankan tiang agar tak lepas dari pegangan.

"Tidakkah kau mau menyusulku?"

Celos tercipta di dalam dada Kirika. Namun, kali ini tatapannya melontar garang. Seolah tak acuh dengan jarum infus yang hinggap di punggung tangannya, Kirika memutar paksa tiang infus hingga jarum terlepas dari sana.

"Kau ...," geram Kirika penuh amarah, merasakan sedikit hasil dari usahanya. Terus begitu sampai ia merasakan ototnya nyaris sama kebas dengan punggung tangan kiri yang sedang berdarah-darah. "Kau bukan Ayah!"

Bersamaan dengan jeritan yang Kirika laungkan, secepat yang ia bisa ia memutar tiang lalu menyorongkan ujung tiang tepat ke muka pria di hadapannya. Gerakannya sedikit tersendat, tetapi setidaknya berhasil mengenai wajah hingga membuat si pria utuh menengadah.

Ini merupakan kesempatan bagi Kirika untuk melarikan diri. Dia mulai melawan gentar di dalam diri, hendaknya meraih pintu.

Sayang rencana itu tak berjalan semulus yang ia kira.

"Sayang sekali."

Suara itu datang dari si pria tepat di kala Kirika merasakan sensasi basah dan dingin melilit di bagian kakinya. Tanpa menunggu tentakel yang ia temukan persis di kakinya menarik ia kembali masuk.

"Tuanku meminta agar menghancurkanmu sekarang juga." Jelas nada suaranya sama sekali tak memilih pertanda belas kasih.

Hal pertama yang Kirika dapatkan adalah hantaman keras pada punggung. Tepat. Makhluk tersebut membantingnya ke lantai. Selanjutnya ia menggunakan Kirika untuk menghancurkan lampu. Bahkan si wanita tak tahu berapa banyak pecahan lampu yang hinggap ke kulitnya yang mulus.

Kesadaran Kirika hampir lenyap tepat makhluk itu menggantungnya lagi di udara dengan tentakelnya. Dia memandang dingin darah si wanita yang terus menetes dari kepala, ada pula yang bermuasal dari bagian lain sudah terlanjur tercecer hingga lantai.

Dalam remang, Kirika bisa mendapati manik zamrud yang menyala-nyala. Bagai sepasang permata yang berkilauan di dalam gelap. Berujar dingin, hanya saja masih menyisakan kesedihan.

Barangkali ia sudah menganggap dirinya sinting. Tapi apa mau dikata? Toh, tak akan ada yang melarangnya menderai tawa di sela tangis yang tak ia harapkan keluar.

"Kenapa anak bodoh itu harus menciptakanmu?" Utuh Kirika melemaskan segala otot-ototnya. Dia bahkan tak lagi berkeinginan untuk melawan. "Ah, dia terlalu payah untuk-"

Enggan agaknya Hardy menunggu Kirika menyelesaikan patahan kata selanjutnya. Maka, tentakel yang ia punya melempar si wanita persis ke jendela.

Begitu keras, sangat keras hingga sukses memecahkan kaca. Bagian jendela yang menganga membuang sosok wanita dari kamar.

Seluruhnya seolah bergerak lambat. Bulir air mata melayang, berkilauan di terpa sinar rembulan. Pecah-pecahan kaca yang hendak ikut terjun tampak seperti intan yang tengah mengelilingi Kirika.

Sempat-sempatnya Kirika mengukir seringai. Menggapai langit sama sekali tak membantu ia bertahan di udara. Utuh berakhir ia membiarkan dirinya ditarik gravitasi.

Setidaknya ia mampu meneruskan kalimat yang sempat terputus dalam hati.

... memainkan isi kepalaku, benar begitu?

Lalu semuanya terjadi sangat cepat. Tepat manik delima itu menutup mata, tubuhnya lebih dulu menghantam sesuatu begitu keras.

Namun ... sama sekali Kirika tak merasakan sakit yang hampir serupa kala ia menghantam lantai kamar rumah sakit. Atau tidak ia rasakan sakit yang lebih dari itu.

Sama sekali.

Desing mesin membuatnya yakin untuk membuka mata. Begitu perlahan, takut kalau-kalau ia sudah berada di alam lain. Sayup-sayup ia dapatkan wajah penuh peluh, pula tengah terengah seolah dibuat-buat.

"Akira ...." Berakhirlah Kirika menggumamkan namanya.

"Maafkan saya, saya terlam-"

"Akira," panggil Kirika lagi. Kali ini suaranya lirih, sukses memotong Akira lebih dulu. "Aku mau pulang ...."

Akira mengernyit sakit mendengarkannya. Konon lagi sang Madam telah merapatkan tubuhnya tepat ke dada si android.

Erat-erat Akira mendekapnya, tetapi sama sekali tak menghilangkan rasa hati-hati agar Kirika merasa nyaman di sana.

"Anda boleh tidur sebentar. Setelah ini, kita akan pulang."

~*~*~*~*~

Masih di hari yang sama setelah kejadian itu. Empunya manik delima akhirnya membuka mata.

"Akhirnya."

Baru saja pandangannya beredar kepada langit-langit kamar, indera pendengaran Kirika mendengar jelas suara Akira dari sampingnya. Pun ia menelan ludah, seluruh ingatan mengenai kejadian barusan kembali terbayang.

Akan tetapi pegangan yang hangat di tangan kanannya membuyarkan bayangan tersebut. Kirika menurunkan pandangan, berakhir beralih pada Akira yang tersenyum kecil.

"Sekarang Anda aman."

Justru tatapan sendu yang kini terpatri dari sang Madam. Kelopak matanya yang sembab hanya membuat keadaannya semakin menyedihkan.

"Orang itu ... bagaimana?"

Kini Akira merasakan genggaman tangan Kirika yang sengaja ia eratkan. Mau tak mau, si android membiarkan Kirika tetap berlaku demikian kala ia menceritakan semuanya.

Hardy melompat dari jendela tanpa Akira sendiri yang harus menghabisinya. Ya, dia benar-benar bunuh diri tanpa ragu sedikit pun tepat di hadapan Akira.

Pihak kepolisian, berikut dengan wartawan dari beberapa stasiun televisi datang sepuluh menit setelah kejadian. Atas perintah Silvis, Akira membayar tiap-tiap wartawan untuk tidak membeberkan bahwa Kirika terlibat dalam pembunuhan berantai di lantai teratas rumah sakit. Tentu, pasien-pasien di lantai bawah akan diungsikan sementara di cabang rumah sakit terdekat sementara dokter dan perawatnya diliburkan sementara karena polisi akan melakukan penyelidikan.

Sementara kejadian berlangsung, acara pameran lancar tanpa kendala.

Meski telah mendengarkan laporan sampai habis, Kirika tampak sedikit pun tak berminat untuk bertanya. Pikirannya seolah melayang entah ke mana, begitu Akira beranggapan.

Akira ragu berceletuk setelahnya. Pun dia tidak bisa ke mana-mana sebab Kirika masih menggenggam tangannya. Leher si android justru bergerak seolah tengah menelan ludah, merasakan canggung mulai berkuasa.

"Seharusnya ini kali pertama bagimu tampil di pameran itu." Pada akhirnya Kirika memecah hening. "Peringatannya cukup menyakitkanmu, benar begitu?"

"Tidak masalah. Profesor Aoi memilihkan peringatan yang tepat, menurut saya. Dengan begitu saya bisa datang sesegera mungkin," balas Akira sembari menggosok tengkuk dengan tangan yang tersisa. "Lagi, memang sebaiknya saya berada di dekat Anda. Jadi Anda akan tetap aman.

"Maafkan saya. Saya gagal melindungi Anda lagi."

Ucapannya membuat ia menerima sebuah belaian di puncak kepala. Sukses saja ia mengangkat pandangan, melihat Kirika yang sedikit meringis melawan sakit di sekujur tubuhnya.

Sementara Akira merasakan sensasi menggelitik di pipinya. Pun, debaran jantungnya kian meningkat. Tidak tahu bereaksi apa, Akira memilih menunduk tanpa berkedip sekali pun.

"Kita sama sekali tidak menduga anak itu mengambil kesempatan dengan cepat," kata Kirika sembari menurunkan tangan. Sulit memaksakan tubuhnya untuk bergerak lebih saat ini. "Jangan menyalahkan dirimu."

"Kenji Oohara sudah mulai bersungguh-sungguh," balas Akira. Sekarang ia berani memandang sang Madam. "Tapi saya tidak mengerti ... mengapa kaki tangannya itu memilih bunuh diri ketimbang melawan?"

Satu kedipan membimbing manik Kirika kepada pemandangan lain. Akira segera paham bahwa pertanyaannya hanya membuat kembali mengingat kejadian yang tidak mengenakkan itu. Belum lagi genggaman tangannya semakin kuat, jelas bahwa ia sangat marah.

Demikian Akira mengangkat tangan sang Madam. Keduanya bergerak menyembunyikan tangan berjemari lentik tersebut, lantas ia tempelkan ke pipinya.

Kirika tak berkomentar apa-apa meski ia tidak mengerti sedikit pun apa maksud perbuatannya. Namun, segala emosi yang berkecamuk di dalam dadanya agak mereda.

"Saya pernah membaca bahwa pelukan bisa membuat perasaan orang menjadi lebih baik," terang Akira kemudian. "Mengingat Anda masih sakit, saya harap tidak masalah jika saya hanya memeluk tangan Anda."

Sempat sang Madam tertegun atas pernyataannya. Tapi tak lama kekehan melantun, berikut pandangannya kian melembut.

"Kalau begitu, kau harus tinggal lebih lama," ujarnya. "Buat aku lupa akan kejadian itu meski hanya sebentar."

Semringah merekah di wajah Akira. Lantas ia mengangguk mantap tanpa basa-basi.

"Saya menyanggupi permintaan Anda."

Kembali lagi~. Saya harap kalian menyukai ini. Sampai jumpa di chapter selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top