Chapter 2.6 [2/2]
Hai. Sekadar mengingatkan para pembaca wwwww. Silakan skip jika sedang membaca sambil makan. Karena mungkin ini sedikit membuat Anda ... ngilu? (Tapi sebenarnya sudah mencoba untuk meminimalisirnya.)
Semangat melanjutkan bacaan!
~*~*~*~*~
Terbangun sambil merintih, sayup-sayup menangkap suara hujan yang terendam kaca. Pula sedikit terdengar lebih jelas kala ia menyadari beberapa bagian kaca pecah karena penyerangan yang terjadi. Hendaknya ia mengerakkan anggota gerak, tetapi alhasil ia merasakan sesuatu membelenggu kedua tangan di kedua lengan kursi yang tengah ia duduki.
"Akhirnya Anda tersadar, Tuan Jason."
Lantas sebuah suara utuh mengembalikan kesadaran. Di antara tempat yang temaram, ia bergidik kala mendapati sosok tersebut berakhir muncul tepat di hadapannya, tersenyum samar di tengah gelap. Kala gemuruh menyambar, terlihat manik merah dari si wanita seolah menyala. Kontan itu sukses membuat Jason kembali merasakan nyeri di matanya.
Selagi jantung mulai memompa semakin kencang, kontan sepatah kata melantun seolah meminta ia berhenti memacu, "Atau haruskah kita berkenalan, Tuan Palsu?"
Kala gemuruh kembali memecah hening. Pria di hadapan Kirika terbelalak ngeri, lantas mengundang dirinya semakin memperlebar senyum. Segera ia menegakkan tubuhnya dan melangkah, agak menjauh dari posisi di mana si pria masih duduk di tempat.
"Aku hampir tidak mengenalimu. Kau berperan begitu sempurna." Sekali lagi, di saat empunya manik delima menerawang ke pemandangan gelap, ia pula memecah hening. Perlahan ia menelengkan kepala sebelum menoleh, seketika membuat sasaran manik delima memalingkan pandangan. "Tapi ... Jason Howard tidak pernah memanggilku 'Nona Alford', kau tahu?"
Segera jantung si pria mencelos. Desir dingin mulai menghantui, sementara gemetar mulai menguasai tubuhnya. Sekali pun ia tak berani memandang empunya manik delima yang telah melangkah mengambil pena yang tergeletak di bawah meja.
Konon dia mendengar langkah dari sepatu hak Kirika, seolah menggema di dalam kepala. Dia melirik si wanita yang mempertahankan senyum samar. Perlahan dia memberikan sentuhan di dadanya, bertutur lembut, "Tampaknya kau sama sekali tak ingin berkenalan, ya?"
Jemari lentik mulai membuka kancing kemeja si pria. Napas pria di hadapan Kirika kontan mulai tak beraturan. Justru ia menyeringai puas kala melirik wajahnya kini persis bagai tikus yang disudutkan kucing di dapur.
Kemudian Kirika mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu, lantas berbisik, "Bagaimana kita bermain sebentar, Jason Palsu?"
Samar-samar rintik hujan berujar semakin deras, seperti tengah berusaha mengalahkan kaca yang meredam suara mereka. Pula gemuruh kembali meramaikan.
Kirika menarik tubuhnya, kembali tegak meski maniknya masih tertuju pada Jason Palsu. Spontan, Kirika memperlihatkan pena stylus yang baru ia pungut, sukses membuat ia bergidik.
"Truth or Hurt ... bukankah terdengar sedikit menyenangkan?"
Selagi Jason Palsu menahan napas, mulailah Kirika melangkah ke belakang dan meneruskan, "Tenanglah. Aku tidak akan membuat permainan murahan seperti yang kau suguhkan untukku."
Suara hak sepatu yang teredam berhenti. Empunya dari sepatu tersebut konon mencondongkan tubuhnya, kembali mendekatkan bibir di depan telinga si Jason Palsu. "Kau akan kubebaskan jika kau mengatakan segalanya, Tuan."
Lalu ujung pena stylus terpampang jelas di depan matanya. Hanya sebentar. Seusainya Kirika melepas tutupnya, mengeluarkan isi pulpen biasa dari sana.
Kirika melontarkan ultimatum, "Aku berani taruhan. Kau tidak ingin kehilangan matamu yang tersisa, bukan? Jadi berhati-hati dengan jawaban dari mulutmu."
Satu tarikan napas dari Kirika ia embuskan kasar. Kontan itu mengundang pandangan Jason Palsu meliar, memandang ke sembarang arah. Nahas, tiada satu pun pertama pertolongan akan datang untuknya. Saat mengetahui Kirika yang mulai bergerak, maniknya segera berfokus pada wanita tersebut.
"Pertanyaan pertama." Kirika melantang, sukses membuat adrenalin Jason Palsu di sana meloncat. "Siapa kau sebenarnya?"
Manik delima sengaja berhenti di hadapannya, hendak mempertemukan diri dengan si manik kelabu. Tangannya mengarahkan ujung pulpen tepat di punggung tangan Jason Palsu yang terbelenggu di atas lengan kursi.
"Aku akan mulai dengan tangan kananmu," katanya. "Aku menunggu."
Pandangan Jason Palsu beralih kepada pena yang ditujukan di atas punggung tangannya. Gemetar terus menguasai tubuh. Dia mulai hilang kendali, bahkan kepala pria itu sama sekali tak mau berhenti berguncang. Sementara mulutnya terbuka, tetapi sama sekali tak bersuara.
Kirika mulai menghitung mundur. Suara empunya manik delima seolah menggema. Pandangan si Jason Palsu seperti berputar. Semakin dekat dengan angka nol, ujung pena kian mendekat ke punggung tangan. Kontan memberikan sensasi yang kunjung menciptakan bulir keringat atas dorongan adrenalin yang berujar tak tenang.
Si wanita tersenyum samar. Mengetahui yang tengah ia sandera tidak akan bersuara, maniknya jatuh kepada punggung tangan pria di hadapannya. Kekehan singkat bahkan ia lantunkan.
Perlahan-lahan ujung pena mulai menyentuh kulit dari punggung tangan. Kemudian Kirika mendorongnya agar menusuk, mengusahakan ia masuk menembus daging. Jason Palsu meringis, pula tak lama memekik pedih. Namun, Kirika tak berhenti. Senyum samar masih menempel di wajahnya.
Seolah pekikan itu merupakan lagu yang menyenangkan bagi telinganya.
Kirika tetap melanjutkan meski kini Jason Palsu menjerit. Manik delima hanya memandang kosong. Luka yang berusaha ia toreh telah meneteskan cairan merah kental. Terus menetes, pula menciptakan banyak jalur kala Kirika menggerakkan pena.
Merasa puas dengan permainannya, ia langsung mencabut pena. Kirika utuh menyisakan nyeri di punggung tangan itu, bersama darah yang keluar semakin banyak, menetes menciptakan genangan kecil di atas tanah. Dia lalu memandang Jason Palsu yang mulai menangis. Namun maniknya tak lebih tengah menyorot datar.
"Selanjutnya, Tuan Palsu," ujar Kirika. "Tanpa seizinmu aku akan melakukan hal yang serupa dengan bahumu."
Demikian Kirika berkata, dia segera menyibak jas Jason Palsu berikut dengan kemejanya. Serupa kala ia menyiksa punggung tangan, sekarang ia mengarahkan ujung penanya pada bahu.
"Siapa yang memberimu perintah?"
Yang ditanya mulai tersedu-sedu. Manik kelabunya tak lagi berani membalas tatapan Kirika. Lagi, dia tampaknya tak ingin menjawab.
Segera Kirika lakukan hal serupa pada punggung tangan si Jason Palsu. Namun, kali ini dia segera menghujam penanya dengan keras, spontan melaungkan jeritan dari pria yang tengah ia siksa. Dia terus meronta dan memberontak, tetapi tak sedikit pun dari usahanya membuahkan hasil.
Kali ini darah mengucur lebih deras, merembes ke kain kemeja. Empunya hanya bisa menangis di sela ia meringis. Sulit bagi Kirika untuk menusuk ujung pena lebih dalam. Berakhir ia memutuskan mencabut pena, dengan sengaja menggoyang-goyangkan sebelum utuh mengeluarkannya dari luka yang telah ia ciptakan. Dia bisa mendengar ringisan tertahan yang kesekian kali keluar lewat telinga kirinya.
Jason Palsu terengah-engah. Jika saja pencahayaan cukup memperlihatkan wujudnya, senyum samar Kirika pasti berangsur melebar mendapati dirinya yang pucat pasi. Mungkin juga tertawa.
Seluruh perihal yang terbayang di kepalanya lekas memudar kala mendapati langkah mulai berarah ke belakang kursi. Helaan napas panjang pula terdengar berat, menggelitik telinga. Tak berlangsung lama, sebab kekehan datang menggidik empunya telinga.
"Agaknya terlalu sulit untuk merobek dadamu," ujar Kirika sembari meletakkan telapak tangan tepat di dada Jason Palsu. Dia dapat merasakan detak jantung yang berdebar semakin kencang dari sana. Seringai terpatri selagi pandangannya mulai menggelap. Sementara jemari lentik Kirika mulai meraba sekitar mata Jason Palsu. "Kau memiliki mata yang cantik, kau tahu? Andai kau bisa melihatnya saat ini.
"Dia menggelap, Tuan. Tertelan oleh ketakutan. Sayang sekali ... hanya tersisa satu."
Pun, tiada ampun Kirika lagi-lagi sukses menghentikan detak jantung Jason Palsu barang sejenak dengan melanjutkan, "Jadi ... kita akan beralih ke matamu."
Sejenak terdengar jeda, hal itu mengundang yang tengah diajak bicara mengangkat pandangan. Dia terhenti kala mendapati ujung pena telah terarah tepat di depan biji matanya.
"Bagaimana menurutmu, Timothy Si Seribu Wajah?" tanya Kirika. Dia bisa mendengar deru napas yang tak beraturan dari empunya nama yang ia sebutkan. Bahkan ia tak berani berkedip, takut jika ujung pena mengenai bola matanya lebih dulu.
Cukup lama Kirika masih mempertahankan pena itu di sana. Maniknya berujar dingin kala ia memiringkan kepala.
"Kenji Oohara." Sebuah nama sekali lagi membuat napas pria itu tertahan. "Kau mengenalnya, bukan?"
Seketika terbayang manik merah dari pria muda yang baru disebutkan namanya. Di dalam kepala Timothy—si Jason Palsu—terekam jelas segala hal yang menyangkut mengenainya. Suara, penampilan, perilaku, hingga segala titah yang ia tumpahkan pada Timothy.
Ya, termasuk berperan sebagai Jason.
Manik kelabu itu masih mendelik. Dia kembali meneteskan cairan bening. Konon Kirika mulai menghitung, mulutnya perlahan-lahan terbuka. Dari sana napas keluar masuk seperti tersengal-sengal. Mendengarnya, Kirika segera menjauhkan ujung pulpen dari si manik kelabu.
"A-aku mengenalnya ...."
"Senang mendengar tenggorokanmu masih memelihara pita suaranya." Kirika menyela. "Tampaknya kau dijanjikan ikan yang sangat besar dari anak itu. Benar begitu, Tuan Timothy?"
Kirika terkekeh. "Sayang sekali ... kau terlalu lambat untuk mengaku."
Spontan, sepenuhnya pandangan Timothy mulai menghilang. Dia menjerit kencang, menyaingi petir yang menyambar di luar sana. Nyeri datang di kala bola matanya pecah. Air mata bercampur dengan cairan merah. Begitu kental, mengalir begitu deras, hendak bercampur bersama bulir-bulir keringat. Mereka terus menjalar hingga merembes ke kemeja, berikut jas yang kemudian memoles warna jas menjadi lebih gelap.
Sementara Kirika terus mendorong pena masuk ke lubang mata, tak peduli berapa banyak darah mengotori tangannya. Dia bahkan memutar pena di dalam sana, kemudian menggoyangkannya ke kiri dan ke kanan. Kirika hanya tersenyum samar di antara manik yang masih memandang datar.
Kirika mencabut pena, menyisakan Timothy yang meringis sembari bercelingukan panik. Dia bergidik kala mendapati suara pena yang terjatuh. Sama sekali ia tak tahu apakah Kirika sengaja, atau memang membuang mainannya seusai ia menghapus sidik jari dari sana.
Timothy tersentak kala merasakan sentuhan lembut di bahunya. Sebuah pijitan tampak sengaja membuat sakit di bahu kirinya kembali terasa. Kirika melakukan hal itu berulang.
"Tenanglah." Suara Kirika berujar, menggema di telinga yang sedang kesulitan menyakinkan diri bahwa ia masih berada di dalam kenyataan. "Aku ingin bermain-main denganmu sedikit lagi. Setelah itu aku akan mencarikan sesuatu untuk dimainkan bersama."
Tangan Kirika masih memijat bahu Timothy, empunya hanya mampu meringis. Tidak peduli dia menangis.
Kirika mengedarkan pandangan. Terdapat lampu yang telah menyala, ada pula yang rusak karena penyerangan. Mayat-mayat berserakan, genangan darah ikut menghiasi. Rumah kaca tak seindah seperti beberapa jam yang telah lewat.
Hujan telah mereda, hanya saja masih berkeinginan mengantarkan sisa-sisa awan yang keruh. Setidaknya suara mereka tidak seramai tadi. Pun, berhasil membuat Kirika berhasil memasang telinga lebih baik dari sebelumnya.
Nun jauh dari hadapannya, sebuah suara pistol dengan peredam baru saja meletuskan peluru. Hal itu membuat Timothy tersentak. Kirika sekedar memandanginya.
Sedikit pun ia tak acuh pada timah panas yang telah menancap utuh di dada sanderanya.
Konon tembakan samar-samar kembali terdengar. Hingga tiga peluru menancap di dada Timothy.
Lantas Kirika melirik enggan kepada sumber peluru-peluru tersebut. Alisnya naik, melontarkan tatapan sinis ke wanita bertopeng rubah tersebut. Dia bahkan tampak tak lagi peduli pada Timothy yang akhirnya meregang nyawa seusai ia menerima tembakan tepat di dahi.
Maka Kirika menegakkan tubuhnya. Dalam gelap ia menerawang kepada lubang mata topeng rubah milik wanita yang masih menodongkan pistol di tempat. Sementara Kirika menyingkir, manik karamel darinya konstan tertuju pada empunya manik delima.
"Akhirnya tikus yang lain tiba," ujar Kirika memecah hening di antara keduanya. "Selamat datang."
Trivia :
Timothy si Seribu Wajah tidak ada di revisi atau versi awal mana pun. Timothy muncul pertama kali di sini revisi terbaru, revisi saat ini.
Ya, halo. Hai. Kembali lagi setelah tidak melakukan pembaruan selama dua bulan wwwww. (Atau mungkin tiga?)
Setelah ini mungkin saya akan melanjutkan drafting terlebih dahulu. Ya, saya perlu waktu untuk menamatkan Act 2, kemudian pasti akan pembaruan rutin.
Omong-omong, belakangan ini entah kenapa chapter-nya menjadi panjang-panjang. Padahal saya tidak mengharapkannya, tetapi memang banyak hal yang harus diceritakan. Saya pikir ini merupakan bab paling panjang yang pernah saya tuliskan untuk Fate. Jumlah keseluruhannya bahkan mencapai lebih dari 3800 kata.
Tapi saya harap kamu menyukainya. *senyum*
Jadi sampa jumpa di chapter selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top