Chapter 2.6 [1/2]

Ditemani langkah yang sengaja terseok-seok, pula terdengar napas terengah keluar dari bawah tanah. Lantas mendengar suara langkah yang mengusik telinga, salah seorang polisi mengarahkan lampu senter padanya. Tampaklah Akira segera berpaling gugup, menutup mata dari sinar yang memancar memperlihatkan sosoknya. Barulah mendapati seseorang yang lolos dari sana, buru-buru sejumlah polisi berhambur mendekat.

Sementara si empunya lensa kemudian berpaling kepada Leon yang berdiri cukup jauh dari kerumunan polisi. Yang merasa ditatap segera menoleh. Hampir saja pria itu tak mampu menyembunyikan delik dari manik kehijauannya. Maka ia memilih berpaling dan sengaja menggeser posisi agar ia bisa mendengar sedikit percakapan dari mereka.

"Kau tidak apa-apa?" Lalu sebuah suara membuat Akira menoleh kepada sumbernya.

"Mohon ikuti kami. Anda akan aman bersama kami."

Segera Akira mengernyit. Tampak ia menelan ludah, menggeleng kencang.

"Orang-orang di ballroom dalam bahaya. Tolong mereka, lekas!" ujar Akira dengan suara serak. Leon bahkan menahan napas ketika sadar dia sudah mengatur suaranya sedemikian rupa. Sementara si android melanjutkan seusai ia berdehem, "Saya dipaksa mereka untuk keluar, lalu diperintahkan untuk mencari ruang kendali listrik.

"Saya ... saya terlalu takut untuk kembali ke sana. Mereka ... mereka juga menghajar saya sampai seperti ini. Tolong bantu mereka!"

Langkah sepatu bot yang sengaja agak dihentakkan perlahan mendekat, mengundang semua orang menoleh ke sumber suara. Leon mengindahkan tiap-tiap manik yang tertuju padanya, lantas menakkan dagu sembari memandang lurus ke arah Akira.

"Kau melihat pelaku dari segala rencana yang terjadi sini?"

Lensa android itu kemudian berpaling, tampak tengah mengingat-ngingat. Agaknya kurang meyakinkan melacak tiap-tiap pengguna ponsel di dalam kawasan yang sedang mengalami malfungsi sinyalnya. Maka segera Akira bergerak cepat meretas identitas yang tertampung dari laptop resepsionis yang tertinggal dalam keadaan menyala.

"Saya tidak tahu pasti," gumam Akira. "Saya tidak memerhatikan siapa pun, semuanya langsung gelap sebab saat itu saya baru saja masuk ke ballroom."

Akira berkedip. Berganti pandangannya kepada Leon, terlihat agak nanar. Akhirnya, ia meneruskan, "Tapi saya yakin, James Howard juga berada di sana."

Gemuruh menyambar. Kemudian salah seorang polisi beralih menghubungi rekannya dengan walkie-talkie. Beberapa orang mulai menoleh keluar, mendapati rintik-rintik air yang perlahan mulai datang beramai-ramai.

Lagi, salah seorang menanyai Akira, "Mengenai taman ... apa kau sudah ke sana?"

"Tidak ada orang sama sekali. Tampaknya orang-orang sengaja dialihkan ke ballroom," jawab Akira segera. "Saya juga tak menemukan majikan saya setelah penyergapan. Kami terpisah begitu saja, Pak."

Setelah mendengar jawaban Akira, tak lama polisi ikut melaporkan kejadian.

~*~*~*~*~

Silvis menahan napas. Di ballroom temaram yang nyaris tertutup penuh oleh gelap, maniknya menyalang kepada James yang tengah mengelilingi mereka yang terkepung di tengah ballroom. Langkah pria muda itu seolah mengetuk-ngetuk lantai dengan angkuh.

Manik biru laut kemudian jatuh kepada Witney yang menjatuhkan pandangan nanar. Kernyitan di kening wanita itu terlihat jelas meski berada di dalam remang. Dia terisak, tetapi tampaknya tak lagi kuasa untuk bersuara. Sementara anak bungsunya hanya memandang dalam diam, berharap agar sang ibu mau tenang.

Tentu ... seorang ibu tidak akan pernah menginginkan anak-anak mereka menjadi seorang penjahat.

Para tamu dipaksa duduk di lantai. Tangan mereka sudah diikat di belakang punggung masing-masing. Berbagai mimik terpampang di antara temaram, kebanyakan tampak mengeluh gerah dalam ketakutan.

Silvis mengerling kepada Aleah yang melamun. Sebisanya ia bergeser mendekat, sembari demikian berusaha menyentuh tangan Aleah dengan kelingkingnya. Sukses ia menggelitik telapak tangan sang istri yang tersentak, mereka lantas saling berpandangan.

"Kau tak apa?"

Sebuah bisik tanya kontan membuat Aleah berpaling kepada lantai. Dia mendesah dengan hati-hati, pun manik keemasan Aleah kemudian memandang awas pada kumpulan penyandera yang masih tahan berkeliling sambil menenteng senjata api.

"Aku hanya khawatir mengenai keponakan kita," bisik Aleah yang belum menoleh sedikit pun. Tanpa sengaja ia membiarkan Silvis mendengar ia terisak kala menghirup napas. "Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang."

Demikian Silvis bergeser lebih dekat untuk menautkan kelingkingnya pada telunjuk Aleah. Sang istri menoleh, berusaha memandang apa yang tengah ia lakukan. Manik keemasannya tertuju pada Silvis setelah itu. Dia tersenyum samar.

Sementara di posisi yang cukup jauh, Sergei melakukan kontak mata kepada seseorang di hadapannya. Orang tersebut mengenakan topeng, cukup sulit bagi Sergei menerka ekspresi macam apa yang ada di balik sana. Namun, tampaknya itu bukan merupakan perihal yang mesti ia hiraukan.

Sergei memilih berpaling kepada para tamu, menerawang segala hal yang mampu ditangkap oleh mata sayunya. Tak lebih yang ia temukan dari mereka terlanjur memasang tampang pasrah. Kadangkala Sergei mendapatkan beberapa di antara mereka yang menarik napas dalam-dalam. Kala ia menganggukkan kepala, orang bertopeng di hadapannya tadi segera angkat kaki dari tempat.

Sejenak Sergei memandang kepada James yang menghentikan langkah, memandang Elizabeth sembari membungkukkan tubuh. Pun, Sergei segera mendapat pergerakan dari George Stanford; tampak murka mendapati James memandang anak semata wayangnya dipandangi demikian.

Buru-buru Sergei menyergah dengan berseru, "Sebaiknya Anda tidak menyentuhnya, Tuan Muda Howard."

Sungguh, perkataan Sergei yang memecah hening di antara tiap-tiap ketukan langkah sepatu bot sukses mencuri pandangan siapa saja yang berada di sana. Termasuk James yang tengah ia peringati.

Ya, pria muda itu segera menegakkan tubuh kembali dengan kedua tangan yang bersembunyi di balik punggung. Senyum samar yang menempel di wajah James kontan melebar kala mendapati seorang anak buahnya yang berdiri membelakangi Sergei. Maka James memberikan isyarat kepada anak buahnya di sana. Dia langsung bergerak, mengerti soal apa yang tengah dititahkan.

Punggung Sergei diinjak sampai ia terpaksa mencium lantai. Benturan keras teredam oleh karpet menciptakan rasa sakit yang sukses membuat pria paruh baya tersebut meringis. Orang-orang di sekitar menahan diri untuk tidak memekik. Konon lagi anak buah James segera menodongkan moncong senjata apinya kepada kepala Sergei.

Silvis menelan ludah. Bahkan ia sampai berusaha memeriksa keadaan Sergei dari kejauhan, tetapi tetap saja awas. Dia cukup takut untuk sekadar bersuara.

Agaknya para penyandera ini begitu mengenal mereka, pula mengetahui tiap-tiap relasi para tamu. Moncong senjata api yang didekatkan ke kepala Silvis di kala ia memutar kepala adalah bukti. Ditambah sekarang ia belum mampu berbuat apa-apa mengingat dia sama sekali tak mengantongi satu pun senjata. Silvis hanya bisa mengembalikan pandangan, tepatnya ke lantai.

"Sebaiknya Anda mengerti posisi Anda saat ini, Tuan Abramov." Sebuah tutur dari James mengundang beberapa tamu menoleh, termasuk Silvis. "Anda juga tidak diizinkan untuk berpendapat, ingat?"

James berpaling sembari mengambil beberapa langkah. Dia menghirup udara dari ballroom yang kini terasa lebih pengap sebab pendingin ruangan ikut mati. Dia mengembuskan napas dengan kasar, tampak sengaja agar semua orang mendengar.

"Tunggulah sebentar lagi," ujar James lagi. Dia lalu menoleh pada Silvis dan melanjutkan, "Tuan Putri yang akan menyelamatkan kalian akan datang setelah berunding."

Manik biru laut di seberangnya utuh terbelalak. Silvis menggeram, saat itu pula ia bangkit dari posisi. Namun, cepat-cepat anak buah James menahan bahunya, menahan ia untuk tidak memberontak.

Seberapa besar usaha yang dilakukan Silvis tak membuahkan hasil. Sergei mendapatinya berakhir menyerah seusai Aleah mendekat dan menenangkan si pria berambut perak itu. Kemudian ia segera beralih kepada penyandera yang masih menginjaknya. Begitu terang-terangan, lawan tatap segera menghadapkan wajah pada Sergei pertanda ia membalas pandangan manik biru pudar tersebut.

"Sungguh ...." Sergei mendesis hendak memberikan ultimatum, "Kalian benar-benar melakukan kesalahan fatal."

Meski diam mendengarkan, Sergei bisa merasakan tekanan di punggungnya kian bertambah. Dia bahkan mati-matian menahan kekehan. James yang melihat perihal ini—dengan tangan yang terangkat sebagai isyarat—segera menitahkan anak buahnya untuk berhenti. Lantas si anak buah langsung mengangkat kaki dari punggung Sergei, tetapi dia malah menjambak pria itu agar cepat bangkit dari posisi.

Manik Sergei dipaksa menghadap pada James yang kembali tersenyum samar sembari menurunkan tangan. Tampak dirinya mengangkat bahu begitu enteng kala sengaja mempertemukan maniknya dengan milik Sergei.

"Kelihatannya Anda terlalu bosan menunggu penyelamat Anda, benar begitu, Tuan Abramov?" tanya James, sukses membuat Sergei memutar bola matanya. "Mungkin kita membutuhkan seekor burung untuk mendapatkan kabar di mana ia berada?"

Kembali tangan James terangkat. Maka salah seorang yang berada di dekat pintu lekas bergegas. Kala mendapati perihal tersebut, Sergei memilih diam memandangi setiap langkah anak buah James.

Tak ada yang peduli dengan kekehan singkat dari Sergei. Namun, utuh seluruh senyum lebar berganti samar saat ia merasakan cincin di jemarinya berputar. Demikian Sergei mengepal tangannya rapat-rapat.

Maka pintu terbuka. Anak buah yang dititahkan James terlonjak. Pula mengundang beberapa di antara teman-temannya memandang ke sumber suara. Seolah serentak, mereka kontan menahan napas.

Sebab tepat di hadapannya, Leona berdiri bersama dengan rekan-rekannya.

"Good evening, ladies and gentlemen."

Entah mengapa kala Leona melantunkan patah kata sapaan, baru mereka menyadari ... betapa ramai malam ini ditemani hujan di luar sana.

Beberapa orang-orang yang bertopeng menodongkan senjata pada polisi, begitu pula James yang segera merogoh pistol dari saku bagian dalam jasnya. Namun, tak sedikit di antara mereka yang bertopeng berpihak pada polisi.

Sergei tersenyum simpul. Kali ini ia lebih berani untuk bangkit dan berdiri. Seorang yang berada di belakangnya segera melepas ikatan yang membelenggu tangannya. Kontan James menyalang kepada Sergei bersamaan di kala beberapa anak buahnya mulai menurunkan senjata.

Sergei akhirnya memulai, "Kau terlalu berfokus kepada target." Kemudian dia mengeluarkan pistolnya, menodongkan pistol tersebut sembari melangkah mendekat. "Kau melupakan bala bantuan kami ... yang barangkali lebih dekat dari balik matamu.

"Kami tak pernah lupa menyiapkan pion untuk setiap permanan catur yang tak terduga, kau tahu?"

Tanpa ragu, polisi bergerak maju seusai Sergei memberikan isyarat pada Leona. Si kepala polisi wanita sekedar tersenyum lebar selagi teman-temannya masuk. Lantas ia segera mengaktifkan earphone-nya kala menurunkan senjata.

"Kami mendapatkannya," ujar Leona melaporkan. Lantas seusai mengabarkan ia ikut melangkah masuk, memerintah dengan lantang tepat di hadapan James yang mengernyit jengkel, "Lepaskan senjata kalian, sayangku. Maka kami akan memperlakukan kalian selembut pemadam kebakaran merengkuh kucing menggigil yang sukses dievakuasi."

Di sisi lain, setelah berdebat cukup lama dengan salah seorang rekan Leona, Leon akhirnya diberikan kesempatan untuk menggiring Akira yang sudah hafal sela-sela hotel. Mereka tengah melangkah menuju bawah tanah guna mencari ruang kendali listrik. Ya, mereka hanya berdua. Lengkap dengan senjata masing-masing.

Sementara baru saja mendapatkan kabar dari Leona, Leon tersenyum miring sembari terkekeh singkat di setiap langkahnya. Tentu saja hal itu sukses mengundang Akira menoleh padanya. Maka si android bertanya, "Ada kabar baik, Komandan Phoenix?"

"Ya. Kau tidak perlu mengkhawatirkan keadaan Silvis. Leona sudah membekuk para penyandera," jawab Leon. "Tampaknya Howard sudah merencanakan hal ini sejak awal. Sebab anak sulungnya juga ada di sana."

"Jadi mereka benar-benar berkomplot, ya ...."

Akira memandu jalan dengan mengendap-ngendap. Dia mendeteksi lima pasang kaki yang tengah melangkah santai. Lekas si android menghentikan langkah, pula menghadang Leon untuk melanjutkan gerak. Bersamaan, Leon pun menyiapkan senjatanya.

Mereka mendapati sebuah tangga. Demikian Akira perlahan-lahan menuruni anak tangga, tetap memandang awas ke depan. Terus mereka turun hingga mendapatkan pintu yang tertutup. Lensa Akira yang menangkap dua orang yang berjaga di sebelah kanan dan kiri pintu langsung menodongkan telunjuknya ke salah satu di antara mereka. Sementara Akira menembak yang satu, Leon langsung melakukan hal serupa pada musuh yang tersisa.

"Tiga orang berada di dalam, Komandan," lapor Akira yang tak lama melesat dengan roket, lantas mendobrak pintu.

Saat itu, barulah Leon mengerti mengapa bagian punggung baju Akira terkoyak-koyak. Tapi dia hanya memilih diam dan menonton dirinya yang telah meluncur menuju satu-satunya ruangan yang disinari cahaya terang.

Tak perlu menunggu para musuh siap sedia, Akira langsung meluncur dengan bilah pedangnya. Dia menggorok salah seorang tepat di hadapan. Kala ia melumpuhkan orang tersebut, seorang lagi yang berada di dekatnya berhambur menghampiri. Maka Akira bergerak menusuk jantung si musuh tanpa sedikit pun menoleh.

Lensa biru itu menyala. Hanya sekilas, tetapi Leon dapat melihatnya sebelum si android menghabisi satu orang yang masih memegang nyawa. Usai yakin tiada seorang pun lagi berada di sana, Leon mulai melangkah masuk.

"Padahal baru saja bertingkah seperti pria yang tak berdosa. Tapi setelahnya menggila dan membunuh musuh tanpa ragu." komentar Leon sembari mendekat. Dirinya mulai mengantongi pistol ke saku yang diikat di pinggang. Selanjutnya manik elang kehijauan Leon bertemu pandang dengan si lensa biru. "Bukan berarti aku protes. Itu merupakan akting yang bagus."

Sekadarnya yang diajak berbicara mendengkus selagi berpaling mengulas senyum. Benar-benar sebuah mimik polos yang sama sekali tak cocok dengan darah yang menempel di pipinya. "Saya hanya melakukan apa yang Madam perintahkan."

Barulah si lensa biru mengedarkan pandangan, melangkah ke bagian kontrol. Sementara Leon ikut memeriksa di sisi berlawanan.

"Aku hendak menanyakan keberadaannya," tutur Leon. "Dia juga sempat bersamamu?"

"Tampaknya tak masalah jika saya mengaku," balas Akira seraya mendesah kala membersihkan senjatanya. "Madam selalu bersama saya. Tapi setelah kami mengalahkan para penyandera, dia menyuruh saya untuk pergi membantu pihak polisi. Barangkali beliau tengah melakukan sesuatu pada Tuan Howard."

Leon menghentikan kegiatannya, langsung saja menoleh kepada Akira. "Jason juga berada di sana?"

Akira hanya mengangguk. Jari telunjuknya kemudian sibuk menekan beberapa tombol di hadapannya, utuh mengabaikan Leon yang menahan napas selagi ia berpaling.

Sejenak mantan Letnan Jenderal tersebut melamunkan sesuatu. Tapi tak ingin ia berlama-lama mengingat perihal yang menghantui kepalanya, maka Leon memejamkan mata erat-erat. Bersamaan ia memproses permintaan Akira untuk menarik tuas didekatnya.

"Lalu ... kau menemukan sesuatu mengenai perihal ini? Mungkin ada persoalan yang menyangkut perihal Jason?"

"Memang benar seutuhnya kejadian ini merupakan rencana Tuan Howard ...," balas Akira sembari menoleh keluar. Senyum sebentar merekah di saat ia mendapati cahaya yang terpancar dari lampu. Namun, ketika ia hendak melanjutkan, senyum itu surut. "Tapi ada hal yang sedikit saya ragukan."

~*~*~*~*~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top