Chapter 2.5
Si manik delima berpaku tatap kepada moncong pistol yang tengah tertodong tepat ke arah kepalanya. Namun, sama sekali ia tak gentar. Malah batinnya menganggap segala hal yang tengah terjadi ini hanyalah gertakan semata.
Ya, Jason mengiranya demikian. Urat-urat di pelipisnya mulai terlihat, merupakan pelampiasan tak langsung dari dalam yang menahan diri agar tidak meledak-ledak. Alih-alih membentak, ia terkekeh menertawakan Kirika yang masih enggan bergerak dari tempat. Tapi ia tetap mempertahankan todongannya.
Demikian Akira mempererat pegangannya pada pistol. Sementara lensa biru si android dengan awas memandang Hansel yang bertahan dengan senjata apinya yang ia tujukan pada Akira.
"Tengah bermain peran tenang, Nona Alford?"
Suara Jason serentak membuat setiap tatapan teralih.
Terlihat Kirika sedang mengulum sedikit bibirnya. Begitu singkat, pun usai setelah ia menaikkan alis. Sejenak ia mengembuskan napas, hendak memasok udara sembari merasakan jantung yang masih berdebar normal.
"Anda belum memunculkan penyusup lain, Tuan Jason," cetus Kirika sembari menerawang kepada manik yang bersembunyi di balik kacamata hitam. "Sebuah sentuhan terakhir sebelum kita saling setuju terhadap apa yang hendak kita tetapkan."
Hening menghinggapi rumah kaca. Tak lagi Jason mampu menahan dengkus geli, pula meledak menjadi tawa kemudian. Keras seperti kemarin, menggelegar dan hampir-hampir mengalahkan suara hujan yang diredam kaca. Dia bahkan terpingkal sampai harus menengadah.
"Aku tidak tahu apakah kau benar-benar bodoh atau cepat mengerti." Begitu kata Jason seusai ia mengembalikan pandangannya kepada Kirika. Tanpa ia tahu, perkataannya justru membuat alis Akira tertaut. Tapi Jason tampak tak hirau, konon melanjutkan, "Aku sedang memberikanmu sedikit keringanan, kau tahu? Tidakkah kau ingat? Kau sedang berperan sebagai seorang putri di sini."
Mendengarnya, Kirika justru mendengkus dalam diam sembari memalingkan pandangan sejenak.
"Senang Anda mau berbaik hati," ujarnya sarkastis. Sembari demikian Kirika mengernyit khawatir sebelum ia mengembalikan lirikannya pada Jason. "Saya akan melakukan semua yang Anda inginkan."
"Madam-"
"Hanya saja ... sebelum kita memulai, Tuan Jason ...." Kirika menyela Akira yang hendak angkat bicara. Telunjuknya diam-diam mulai bersambilan menulis di atas stokingnya kala itu, sedangkan manik delima Kirika tertuju kepada Hansel. "Saya ingin memastikan para tamu akan baik-baik saja saat ini."
Lensa biru Akira berkedip, pandangannya utuh teralih kepada Kirika yang baru ia sadari tengah bermimik cemas. Dia ingat, Aleah dan Silvis masih berada di dalam ballroom. Maka ia kontan paham mengapa Kirika secara terpaksa bertindak demikian.
Sedikit mengendur posisi waspada Akira setelahnya. Namun, tatapan penuh awas masih tertuju kepada Hansel yang berbalas pandang kala ia menghubungi seseorang lewat ponselnya.
Di saat yang bersamaan, Akira mendapatkan pesan tertulis dari Kirika. Pun ... mendapatkan sedikitnya mendapatkan sebuah peringatan yang seketika membangunkan kewaspadaannya dalam diam.
~*~*~*~*~
Beberapa waktu sebelumnya, masih saja ballroom menyuguhkan alunan lagu santai yang mengimbangi suara percakapan dari tiap-tiap kerumunan tamu. Kadang kala terlihat satu atau dua pasang tamu lansia yang bermesra di tempat berdansa, sedikitnya mengambil langkah dansa ringan sambil bercengkerama mengenai masa muda.
Terdengar denting gelas anggur dan sampanye yang bersahutan. Mereka pula mulai berbasa-basi selayak orang-orang dewasa pada umumnya. Tawa kadang-kadang menggelegar dari pria paruh baya.
Silvis dan Aleah juga ikut larut dalam suasana. Bedanya, kali ini mereka hanya berdua. Tepat di sudut, jauh lebih dekat dengan panggung, mereka saling bergandengan tangan. Baru saja mereka menghabiskan anggur bersama.
Seusai menyerahkan gelas masing-masing ke nampan pelayan yang lewat. Aleah lalu mengajak Silvis berdansa.
Memang bersamaan, Aleah begitu familiar dengan lagu pengiring yang sedang dilantunkan oleh orkestra. Barangkali hal itulah yang membuatnya tak segan-segan menarik Silvis mendekat ke panggung.
"Kuharap kau melakukan ini bukan karena tengah mabuk, Aleah," tanggap Silvis, sekaligus melempar tolakan tersirat.
"Mabuk karena ketampananmu?" tukas sang istri segera. Bahkan ia menyempatkan diri tersenyum lebar, bersikap semanis mungkin sambil menahan pegangan tangannya pada Silvis. "Begitulah."
Tampaknya ia benar-benar sukses menciptakan semburat kemerahan di pipi suaminya. Bahkan Silvis menyempatkan diri berpaling sembari mendengkus. Sayang, dia tak mampu menyembunyikan telinga yang duluan memerah.
Akhirnya Silvis menyerah. Ya, mau tak mau mengikuti alur Aleah yang sedang terbuai dalam suasana.
Memang, sengaja mereka berdua sepakat untuk tidak mengenakan jam tangan. Mereka hanya ingin menikmati waktu berdua-yang mana memang merupakan suatu momen langkah bagi keduanya.
Tiada data atau beberapa penelitian maupun referensi. Tak lebih hanya mereka berdua menciptakan langkah-langkah ringan menyesuaikan diri dengan nada yang terus mengiring. Saling pandang, melupakan sekitar barang sejenak. Kemudian membicarakan pernikahan yang sudah lampau.
"Kau tahu, kita sekarang lebih mirip dengan dua pasutri lansia di sebelah sana," ujar Silvis selagi manik biru lautnya menikmati keindahan kelereng keemasan Aleah.
Aleah tertawa kecil. Dia melirik sekilas pasutri lansia yang Silvis maksud, segera beralih dan membalas, "Kupikir tidak ada salahnya melakukan hal serupa sesekali. Kau tahu, kita sering terpisah dan jarang mendapatkan waktu luang untuk dihabiskan bersama."
Senyum kontan terukir jelas di wajah Silvis, sukses membuat Aleah mengernyit.
"Kenapa kau tampan sekali?" keluhnya kemudian.
"Lantas mengapa wanita di hadapanku ini semakin cantik kelihatannya?"
Serangan balik dari Silvis justru membuat Aleah bungkam sebab tersipu. Dia menutup wajahnya, bahkan berpaling sejenak. Namun, langkah mereka berdua tak berhenti mengikuti alunan lagu yang berujar santai.
Mereka menyelesaikan dansa kecil kala lagu benar-benar selesai. Silvis terkekeh singkat sembari mempererat genggaman tangannya pada Aleah. Barulah Silvis menuntun istrinya menyingkir dari tempat, lantas mereka seolah kembali tersadar tengah berpijak di tengah kerumunan meski lenggang.
Sekedarnya Aleah mengedarkan pandangan. Kala mendapati Whitney yang tak sengaja menatapnya, ia tersenyum menyapa dari jauh. Demikian ia kembali menoleh pada Silvis dan berceletuk, "Suasana menjadi kurang meriah karena ketiadaan Tuan Jason, ya."
Sebelum menanggapi, sempat Silvis menghirup udara dari pendingin udara, membiarkan hidungnya merasakan sejuknya suhu dalam ruangan. "Kupikir kita tidak perlu khawatir sebab James akan menggantikan keberadaannya untuk sementara. Lagi, dia pasti akan datang. Tunggulah."
Hendaknya Aleah merespon, tetapi ia membeku di tempat kala mendengarkan dengung dari gangguan mikrofon. Suara yang semakin nyaring lantas membuat kedua di antara mereka serentak menoleh ke arah panggung.
Tidak hanya mereka, nyaris kumpulan suara lebah dari percakapan para tamu juga terhenti. Di antara mereka juga langsung melontarkan tatapan protes ke sumber masalah.
Jauh di atas panggung, tepat berdiri seorang pria di sana. Dia mengantongi ponselnya, tampak baru saja selesai menghubung seseorang lewat benda itu. Sempat senyum canggung ia lontarkan kepada para tamu, sembari demikian ia menyisir rambut pirangnya dengan jemari.
Ya, dialah James Howard yang tak lama dibicarakan Silvis dan Aleah.
"Mohon maaf atas gangguan yang terjadi, tuan dan nyonya sekalian," tuturnya sopan. Kembali ia tersenyum ramah, seolah sukses memesona tamu wanita muda. "Baru saja saya mendapatkan pesan bahwa ... tampaknya Ayah akan datang terlambat.
"Tapi mohon untuk tidak khawatir, sebab saya akan mewakili beliau untuk sementara."
Manik biru laut Silvis kontan berkedip. Dia mendengkus singkat kala memandang James di sana.
Seenaknya seperti biasa, batinnya sembari menoleh kepada pembawa acara di belakang panggung yang tengah menggaruk-garuk kepala.
"Nah, para hadirin yang terhormat." Begitu James memulai, kontan dengan suara sengaja ia lantangkan. "Sayang sekali, pesta kita sudah selesai."
Pengumuman itu tentu saja sukses membuat Aleah melontarkan tatapan penuh tanya pada suaminya. Sementara Silvis sekedar menggeleng ringan tepat sebelum mereka kembali menoleh kepada James-sekali lagi-secara serentak.
Dari tiap-tiap sudut ruangan, tanpa seorang tamu pun menyadari terlihat orang-orang mengenaikan jas mulai memakai topeng. Mereka beranjak dari tempat, tampak tak peduli para tamu akan menganggap mereka aneh sama sekali.
"Tapi kami telah mempersiapkan pesta kejutan untuk kalian." Sekali lagi James menarik atensi.
Pintu terdobrak seolah menggema. Dari balik panggung, beberapa orang berderap rapi menuju bawah panggung. Serentak, terdengar suara senjata api terangkat. Moncongnya mengarah kepada tamu.
Beberapa jeritan melaung, puluhan gumam panik mendengung. Langkah takut tercipta menuju pintu keluar. Sayang, orang-orang bertopeng sudah lebih dulu menghadang pintu kontan menghentikan langkah-langkah itu.
Silvis seketika menoleh kepada James. Ya, pria muda itu masih ada di sana. Tersenyum santai, pun memberanikan diri menujukan maniknya kepada Silvis. Sukses pula ia menautkan alis si pria berambut perak.
"Sekarang duduklah yang manis. Kita akan bermain di dalam pesta kostum," kata James dengan lantang sekali pun ia masih menggunakan mikrofon. Tanpa ragu, sekali lagi tatapannya tertuju pada Silvis dan mulai berujar, "Mari kita lihat, apakah ada seorang putri akan menyelamatkan kalian."
Perkataan itu sukses membuat Silvis terbelalak sempurna. Demikian pula Aleah yang mengerti, sesegera mungkin menoleh pada suaminya dengan pandangan nanar. Pandangan Aleah kemudian turun kepada tangan Silvis yang semakin erat menggenggam tangannya.
~*~*~*~*~
Manik delima kini mendapati Hansel yang menurunkan ponselnya perlahan. Kala ia melakukannya, sempat manik karamelnya tertuju pada Kirika yang memiringkan kepala. Maka, tanpa ragu ia beralih dan berbisik kepada Jason.
Senyum cerah kemudian terukir jelas di wajah bulat pria itu. Agaknya sukses membuat Kirika berkedip. Sementara Akira yang sudah menurunkan senjata seusai melirik tangan Kirika hendak meminta pena stylus.
"Padahal aku belum mengatakan apapun. Tapi tampaknya kau sudah memutuskan, benar begitu?"
Kali ini senyum samar tampak di wajah Kirika kala maniknya tertuju pada mata Jason. Tepat pena stylus ada di tangannya, Kirika langsung menumpu siku di atas meja. Dengkusan panjang menggerakkan sedikit kepalanya.
Sementara surat persetujuan telah muncul di depan mata. Kirika menurunkan pandangan, bersamaan kala senyumannya surut. Lantas Kirika bertutur, "Akan lebih baik jika semua ini cepat selesai. Jadi saya mulai memilih untuk mengambil keputusan sesegera mungkin."
Sejenak maniknya membaca isi surat. Selagi demikian dia memainkan pena stylus dengan gerakan ringan. Cepat-cepat ia menghentikan permainan kecilnya. Maka saat itu, manik delima Kirika melirik kepada kacamata hitam yang mulai kendur perlindungannya terhadap manik kelabu.
Dia tersenyum miring kala akhirnya mendapati kelopak empunya manik yang sama sekali asing.
Perihal yang dirasa janggal dalam batin Hansel mendorong dirinya untuk mengeratkan genggaman pada pistol yang ini berada di kantong celananya. Konon Kirika terkekeh, dia mulai menelan ludah sembari melirik Jason.
Kening Kirika mengkerut prihatin tepat ia menghentikan kekehan. Sejenak ia berpaling, barangkali paham bahwa lawan bicara di seberang meja saat ini mengira ia terserang penyakit jiwa. Kirika bahkan menghela napas, seolah berada di situasi ringan tanpa beban.
"Maafkan saya, Tuan Jason," kata Kirika yang kemudian menutup mulut yang hampir terkekeh dengan punggung tangan. "Tapi, jika diizinkan berpendapat, Anda agaknya mulai salah langkah."
Tatapan tenang terpaku kepada Jason yang menggertakkan gigi. Sedikit ia miringkan kepala sebelum melontarkan tanya, "Apa maksudmu?"
Di lain sisi, Akira kontan mengerling awas. Dia mendengar pergerakan yang samar. Namun, suara tersebut berangsur berani. Meski tipis, Akira tetap mengawasi setiap pergerakan yang terdeteksi.
Mulailah Kirika mengangkat tangan yang masih menahan pena stylus di hadapannya, kembali menarik atensi. Perbuatan itu justru memperdalam kernyit di kening Jason, termasuk Hansel.
"Izinkan saya memperjelas."
Tepat Jason menoleh kepada paras wanita di hadapannya, dia tersentak terhadap sesuatu yang melayang menghalangi pandangannya.
Bukan.
Namun, sesuatu yang spontan menancap ke mata kanannya. Rasa kebas menjalar, kedutan memperjelas nyeri tak terkira. Pun, disusul oleh cairan merah. Jason berteriak sembari tertunduk melepas kacamata lalu menutupi bagian mata yang tertancap pena. Dia merasakan matanya yang tersisa mulai meneteskan air mata.
"Anda menciptakan liang lahat untuk diri Anda sendiri."
Suara Kirika seolah menggema dalam kepala. Sementara Jason meringis di kala terengah, gemetar bertemankan peluh dingin yang membasahi sekujur tubuh. Dengan mata yang tersisa memandangi darah yang menetes-netes menuju tepi meja. Tatapannya kian meliar, bola mata itu hampir-hampir lepas dari tempat sebab empunya terus melototi wanita yang baru saja berbicara.
Hansel memandang ngeri sang tuan. Lagi-lagi di saat manik karamelnya tertuju pada Kirika, ia meneguk ludah. Wanita yang masih duduk menunggu reaksi lanjutan dari Jason, kini mengarahkan pandangan sejenak sembari tersenyum samar.
Tanpa ragu, Hansel mengeluarkan pistol dari kantongnya. Sangat disayangkan, dia kurang gesit dari Akira. Timah panas lebih dulu menancap di pergelangan tangannya, sukses membuat ia menjatuhkan pistol. Ringisan tertahan ditemani tatapan nanar ke arah Akira segera tertuju sebagai balasan.
Namun Hansel tidak menyerah begitu saja. Dia segera menekan earphone yang tanpa siapa pun menyadari menyumbat telinganya sejak lama. Meski sekali lagi Akira menembak bagian tangannya, kali ini Hansel berhasil mengundang beberapa orang muncul dari tempat persembunyian.
Sementara Hansel menyibukkan diri dengan lengan dan punggung tangan yang telah bersimbah darah, akhirnya Jason bangkit sembari menahan nyeri yang masih belum hilang dari matanya. Sempat-sempatnya pria bertubuh gempal itu seringai di antara ringisan tertahan.
Masih ia tutupi bagian mata yang terluka. Namun, mata kirinya tertuju jelas menyiratkan amarah.
"Terkutuk kau, Alford," geramnya. "Kau akan membayar semua ini."
Ditemani ketenangan, Kirika bangkit dari kursi. Senyum samar tetap bertahan di wajah Kirika, meski dia tahu orang-orang yang tengah mengepungnya saat ini tengah menodongkan senjata api.
"Seharusnya Anda tidak melimpahkan kesalahan skenarionya kepada saya, Tuan Jason," tutur Kirika. "Lagi, sandera yang Anda pilih ini seorang ratu, bukan putri."
Agaknya ucapan Kirika sukses memantik emosi Jason. Dadanya mula naik turun. Wajah pria itu semakin memerah menahan ledakan dari dalam kepala. Lantas ia mengulurkan tangan, seolah menitah agar anak buahnya meledakkan tembakan.
Benar saja. Suara tembakan melaung meramaikan suasana, puluhan hingga ratusan peluru tertuju pada Kirika dan Akira. Masing-masing senjata telah diberi peredam, nyaris di antara mereka kesulitan mengambil aba-aba. Namun, tembakan dari senjata api mulai berhenti kala kedua sosok itu menghilang dari pandangan.
Beberapa di antara mereka yang sadar mulai mendongak, mendapati Akira melayang dengan roket di punggungnya, lengkap menggendong Kirika.
Sebentar, manik delima itu tertuju kepada si lensa biru. Ya, ia hendak protes meski lengannya memang sudah mengalungkan diri kepada leher Akira.
"Lihat perbuatanmu. Kalau begini, kau harus benar-benar membunuh mereka."
Terdengar suara gaduh dari bawah, mengundang mereka berdua menoleh ke sumber suara. Tak lama para pengguna senjata mengarahkan moncong kepada mereka. Maka segera Akira melesat cepat. Dia bahkan sempat berputar sembari memeluk Kirika menghindari serangan. Seusai ia merasa cukup kewalahan, ia pun memutuskan meluncur ke papan bunga, menjadikan bagian belakang benda itu sebagai tempat persembunyian sementara.
Namun, tentu itu sama sekali belum menghentikan mereka yang terus menembak. Beberapa di antara musuh menjeda, begitu lihai dalam mengganti magazen kala yang tengah mereka pakai sudah kosong. Mereka lagi dan lagi membiarkan senjata api mereka memuntahkan peluru menuju target.
Akira menurunkan Kirika. Bagian punggung jasnya terlihat kacau kala ia mulai menyimpan roketnya kembali. Si android tampak bermimik siap untuk diceramahi, lantas menunduk dalam-dalam seolah tak berani memandang manik delima Kirika.
"Papan bunga ini tidak akan bertahan lama," kata Kirika. Lalu ia berusaha mengintip lewat tepi papan bunga. Namun, dia menarik kembali kepalanya kala peluru nyaris meluncur melukai batang hidungnya. Maka Kirika menoleh pada Akira, "Dan aku tahu kau tidak akan bisa bertahan lama jika terus-terusan menggunakan roket.
"Kau kuizinkan untuk mengaktifkan mode bertarung." Kirika menoleh pada Akira yang tak lama mengangkat pandangan. "Mereka meminta kita untuk memulai pertunjukan. Maka jadilah punggungku."
Long live my Queen.
Sebenarnya saya mengantuk kala melakukan pengecekan naskah. Saya harap tidak ada kesalahan dalam tanda baca atau pun penulisan.
Terima kasih sudah menunggu. Saya berpikir mereka harus cepat-cepat dipublikasi karena mereka ini terakhir kali diurus bulan lalu. *merasa bersalah* *sedih*
Semoga kalian menyukai ini. Sampai jumpa di chapter selanjutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top