Chapter 2.5.5
Kantor kepolisian gencar. Riuh terdengar ketika mereka menerima panggilan darurat. Muasalnya dari hotel baru yang tak begitu jauh jaraknya.
Sementara Leona yang menerima laporan bersedekap. Kepala yang kembali tertekan kini mendorong dirinya untuk mendengkus penuh keluh. Dia segera meninggalkan kantor, diekori dengan beberapa rekannya yang ia tunjuk dalam penyelamatan darurat.
Di kala menginjakkan kaki di luar, udara dingin menyambut bersama dengan papasan khalayak yang tiada henti. Serupa dengan mereka, Leona sama sekali tak acuh terhadap sekitar. Justru maniknya segera tertuju pada salah satu gedung tinggi.
Manik biru itu mengerjap kala ia mendapati gedung yang tengah ia jadikan fokus mengalami mati listrik. Pertanda itu datang dari lampu-lampu kamar yang redup serentak. Maka dia menelengkan kepala, memberi sinyal kepada tiap anggotanya untuk segera masuk ke mobil yang tengah bersiap.
Tampaknya Tuan Silvis mengirimkan panggilan darurat dengan kecerdasan buatan, batin Leona sembari berjalan menuju salah satu mobil. Beruntung dia bergerak di waktu yang tepat. Mereka sudah memutuskan sinyal komunikasi di dalam gedung.
Barulah mobil melaju. Ada dua lainnya yang tersisa segera mengekor. Sirine mulai mereka nyalakan, pertanda menitah semua orang harus menyingkir dari jalan.
Alis Leona bertaut. Dia berpaling ke kaca di sampingnya, mengetuk-ngetuk pelipisnya tak tenang.
Kuharap Ayah sampai tepat pada waktunya.
~*~*~*~*~
Beberapa waktu sebelumnya, mobil mendarat persis di depan pintu masuk menuju hotel. Lantas Leon segera melangkah keluar, melewati karpet merah yang melintang menyambut kedatangannya. Seorang pelayan yang seharusnya membukakan pintu mobil agak terheran. Hendaknya ia mengambil alih mobil Leon, tetapi pula ia segera berkata kala melintas, "Aku tak akan lama. Biarkan mobilku tetap berada di sana."
Sejenak dia memandang para penjaga keamanan yang berdiri di kanan dan kiri pintu masuk yang terbuka lebar, tetapi dia tetap mempercepat laju langkahnya. Tepat Leon semakin dekat dengan pintu, kedua penjaga dengan sigap mencegat.
Segera Leon mengeluarkan lencana pinjaman dari Leona sembari memandangi kedua penjaga keamanan bergantian, tampak yakin mereka setidaknya melirik lencana tersebut.
"Kami dari pihak kepolisian menerima panggilan darurat." Sebentar Leon menjeda, memandang lekat-lekat dua pasang manik yang saling lirik kala ia memulai. "Kami mendapat laporan korban berasal dari dalam ballroom."
Salah satu di antara mereka tak lama berceletuk. "Barangkali Anda mendapat rekaman palsu?"
Leon menurunkan lencananya. "Mengapa Anda begitu yakin bahwa itu hanyalah rekaman palsu?"
"Ballroom sedang mengadakan acara pesta selebrasi dalam rangka memperingati ulang tahun Howard Corporation dan pembukaan hotel ini. Kecil kemungkinan adanya terjadi suatu kejahatan, sebab semua orang tengah bergembira ria di dalam pesta."
"Benar, Tuan. Beberapa pihak keamanan juga berjaga di dalam sana. Kami selalu memastikan keamanan demi kenyamanan para tamu. Tidak mungkin—"
Kalimat mereka kemudian terpotong di kala listrik memadamkan seluruh lampu bersamaan. Mereka menelan ludah selagi memandang dada Leon yang mengembang. Manik Leon menerawang kepada resepsionis yang telah kosong. Hanya sebentar, sebelum kembali kepada dua penjaga keamanan yang bergidik di depannya.
Sementara dari dalam mobil, pelayan yang tengah menunggu terlonjak di tempat kala mendapati tiga orang keluar dan segera berlari sambil membopong senjata api. Salah satunya segera menodongkan moncong senjatanya ke arah pelayan yang spontan mengangkat tangan karena ketakutan, yang tersisa segera memenuhi kanan-kiri Leon.
Si pria segera bersedekap, menaikkan dagu sembari memandangi kedua penjaga keamanan yang untuk kesekian kalinya menelan ludah.
"Jelaskan perihal yang sedang terjadi saat ini, Tuan-tuan."
Tak lama terdapat sebuah mobil yang baru saja terparkir di depan hotel. Dari sana keluar beberapa orang dari pihak Alford Corp. yang juga membawa senjata. Tanpa ragu, mereka menodongkan kepada arah yang sama.
Di dalam derap langkah pula terdengar. Sebagian di antara mereka menjauh, selebihnya menyerbu pintu masuk sama sekali tanpa aba-aba. Suara letusan dari tembakan berulang menggema memekakkan telinga. Di seberang pula menyambung suara tembakan yang serupa, iramanya terdengar panik.
Korban berjatuhan, entah muasalnya dari kawan atau pun lawan. Tak ada lagi yang peduli dengan nyawa kedua penjaga keamanan yang sudah lebih dulu tewas. Beberapa dari mereka yang lolos dari tembakan segera menyergap masuk, menyerang beberapa lawan yang hendak mengganti magazen.
Leon segera melaungkan perintah untuk menerobos masuk. Demikian samar-samar ia mulai mendengar tembakan pula dari dalam sana, selagi ia menyibukkan diri dengan beberapa musuh dengan belati. Tak sedikit rekan-rekannya yang tersisa melindungi Leon dari musuh yang berani menyerang dari belakang.
Kembali dari luar, mereka yang bersembunyi dari semak-semak segera menerobos bersamaan dengan kedatangan mobil polisi yang telah mematikan sirine. Leona tersentak kala ia mendapati kaca yang pecah. Jantung yang berdetak panik sudah lagi mendorong dirinya untuk berkata kepada maniknya bahwa ia tak lagi sempat untuk mengedarkan pandangan. Maka tepat sebelum mobil terparkir, dia sudah melompat dan menyerbu masuk.
Mendapati Leon yang berdiri sambil menodongkan pistol ke arahnya, Leona lantas memperlambat langkah. Sementara si manik elang langsung menurunkan senjata kala memastikan yang tengah menghampirinya itu tak lain putrinya yang kontan protes, "Kau tidak bisa membuat keputusan mendadak, Ayah."
"Sudah terlanjur," balas Leon. "Kami tidak bisa berdiam diri saat musuh sudah langsung menembak, kau tahu?"
Sejenak Leona memandang ke lantai yang penuh dengan jasad. Dia bahkan tak lupa dengan suara tembakan yang saling menyahut dari balik pintu. Tampaknya, meski sebisanya menerawang pun dia tidak akan mampu mendapatkan pemandangan dalam gelap dari sana. Berakhir ia memutuskan memandang sang ayah.
"Kalian belum menemukannya?"
Leon menggeleng. "Kemungkinan jarak ballroom cukup jauh dari sini."
Mulailah rekan-rekan Leona berhambur masuk saat itu. Bersamaan ayah dan anak menoleh pada mereka yang mulai meminta rencana. Sebelum memulai, Leona menyerahkan senter pada sang ayah.
"Rencana darurat. Kita harus berpencar. Bagi dua tim untuk Komandan Leon dan aku. Biarkan Komandan Gilbert memimpin bagian tengah. Kita akan masuk lewat kanan dan kiri tempat ini," titah Leona kemudian. "Pastikan untuk memeriksa setiap kamar. Segera amankan mereka yang tengah melindungi diri di dalam sana. Mengerti?"
"Dimengerti." Rekan kepolisian menyahut serentak.
Begitu Leona mempersiapkan pistol, Leon menoleh dan membelai kepalanya. Setelahnya dia berujar, "Jaga dirimu."
Tak lama mereka segera berpencar melewati dua lorong yang berbeda.
Sementara di rumah kaca, baru saja Jason memerintahkan bawahannya untuk menghentikan tembakan. Pasalnya, itu terjadi ketika listrik padam.
Pena yang seharusnya menancap di mata kanan Jason telah tercabut, kini tergantikan dengan perban yang melilit menutupi luka. Pun, ia sudah melepas kacamata hitam yang telah pecah bagian ujung bingkainya. Namun, masih dapat ia rasakan denyut tak terkira. Selagi demikian tubuh Jason bersimbah oleh peluh dingin yang terus keluar akibat merasakan sakit.
Dia masih sempat menggeram. Maniknya yang tersisa terarah, menerawang kepada papan yang masih melindungi kedua targetnya di balik gelap. Segera ia perintahkan Hansel untuk memeriksa ke sana.
Hati-hati mereka melangkahkan kaki, mengendap-ngendap melewati pot-pot yang tak lagi berbentuk juga rak yang tumbang. Beberapa di antara mereka sekali lagi mempersiapkan amunisi, tetapi tiap-tiap mata mereka tetap awas.
Di salah satu lubang yang cukup, telah didapati si manik delima mengintip. Sukses ia membuat Hansel sedikit ragu melanjutkan langkah. Dari balik papan yang nyaris hancur, Kirika tersenyum miring sembari melangkah mundur.
Aba-aba tersampaikan kepada Akira. Lensanya tak sengaja menyala kala ia sedang menentukan target, kontan membuat salah satu musuh menggumamkan spekulasi bahwa dia bukan manusia. Si android hanya tersenyum samar mendengar hal itu.
Lengan Akira segera terjulur lurus ke depan. Satu kedipan pertanda si android mengunci target. Telapak tangannya terbuka, lensa biru Akira sama sekali tak berkedip lagi setelahnya. Kini, ia hanya tinggal menunggu.
"Sekarang, Akira."
Titah mutlak diterima.
Dari dalam lengan si android, rudal meluncur secepat kilat, merusak utuh papan. Rudal terus menerobos, menyibak seluruh rak bahkan tanaman yang menghalangi. Alih-alih meneruskan penyergapan terhadap target, musuh yang seharusnya bergerak maju segera mundur.
Sayangnya, mereka terlalu lambat. Rudal sukses membentur dinding besar, kemudian menciptakan ledakan yang cukup membuat beberapa musuh terkena serangan.
Di saat yang bersamaan ketika asap mulai mengepul, Kirika berlari menuju musuh. Tanpa ragu ia memanfaatkan pendengaran, mulailah ia menikam leher salah seorang dari mereka dengan belati. Kemudian dia segera merebut senjata api, menembak dengan liar ke segala arah. Mengetahui beberapa musuh dijatuhkan dengan cara tersebut, pula peluru yang telah habis digunakan, Kirika melempar senjata api dengan asal.
Dia melanjutkan pertarungan jarak dekat. Kirika melemparkan beberapa jarum beracun kepada beberapa musuh. Sedikit asal gerakannya, tetapi sebisa mungkin Kirika menghindari setiap serangan lewat suara dan gerak angin.
Satu jarum beracun menancap di dahi seorang musuh, dengan cepat racunnya melumpuhkan si musuh yang baru saja hendak bergerak menyerang Kirika.
Si wanita bermanik delima yang menemukan seorang musuh tepat di depan mata segera mundur, kemudian menepis tangan si musuh yang memegang pisau. Dia menendang wajah si musuh, sukses membuat si musuh terbanting. Kemudian dia menarik tangan di belakangnya, lalu ia tarik tubuh salah satu kawanan musuh hingga terhempas di atas tubuh temannya.
Belum juga cukup, seseorang kembali muncul dari samping. Sayang, Kirika terlalu lambat bereaksi. Segera ia dapatkan goresan lebar yang kontan membuat pertahanannya mengendur. Namun, hal itu tak berlangsung lama sebab ia langsung melemparkan pisau dari sepatu haknya.
Adrenalin yang kian menggebu, pula meningkatkan kewaspadaan Kirika. Tapi tubuh yang gemetar sama sekali tak membantu. Dia mulai panik, secepatnya membuat gerakan asal kepada mereka yang hendak mendekat untuk memberikan serangan.
Kegelapan sungguh menyusahkannya.
Dari sisi lain, Akira menembaki musuh menggunakan amunisi yang tersimpan di jari-jarinya. Dia terus memperkirakan segala tembakannya agar tepat sasaran, sebab amunisi di dalam dirinya amatlah terbatas.
Kala seseorang memeluknya hendak menahan pergerakan. Dia mengancam Akira dengan mengacungkan senjata tajam ke leher si android. Namun, dengan mudah ia mencengkeram tangan yang tertahan di perut. Tangan yang tersisa menebas tangan tersebut hingga membuat si musuh melepas pertahanannya. Pun, tanpa ragu Akira menggorok leher si musuh sebelum beralih menusuk dada salah seorang yang muncul dari sampingnya, menembus hingga punggung.
Setelahnya, Akira melakukan beberapa pertarungan jarak dekat. Di kala menemukan musuh terakhir, dia menarik lengan kemudian membekuk lutut. Tanpa ragu dia mematahkan leher si musuh.
Lensa Akira kemudian terarah kepada Hansel yang menembakinya. Dia tersenyum polos, sembari demikian segera mengaktifkan roket dan melesat begitu cepat kepada pria muda itu. Tampaknya, dia sama sekali tak peduli banyak peluru yang menancap di tubuhnya, yang juga sukses mengeluarkan cukup banyak darah.
Lalu Akira mendorong Hansel sampai terbanting membentur lantai. Si pria muda memberontak, meronta meminta bantuan kepada Jason yang membeku di tempat.
"Mohon maaf, Tuan Hansel. Sesuai perintah, Anda juga harus dibunuh," kata Akira sambil mengangkat bilah pedangnya. Sama sekali ia tak memberikan kesempatan kedua. Akira segera menikam leher Hansel, membuat darah muncrat dari sana.
Si android terus menekan ujung pedang hingga menembus lantai. Lensa birunya terpaku pada Hansel yang telah melemah, perlahan-lahan mula merenggangkan cengkeraman yang semula berusaha menahan Akira.
Demikian darah mulai membentuk genangan di kala manik Hansel sudah memandang kosong. Setelah merasa yakin Hansel tidak akan berulah, Akira mencabut bilahnya dan bangkit sembari meraih sebuah pecahan keramik pot di dekatnya.
Senyum masih menempel di wajahnya meski paras itu sedang berhias bercak darah. Kali ini ia mengerling kepada Kirika yang menembak jidat seorang musuh. Senyumnya kontan memudar, tergantikan oleh kernyitan telah sebelum ia memandang Jason yang telah jatuh setelah membeku cukup lama.
"Sayang sekali, saya tidak diizinkan untuk membunuh dalang dari semua ini," celetuk Akira yang sukses membuat Jason menelan ludah. Lensa biru Akira jatuh kepada pecahan keramik di tangannya. Kembalinya pandangan si android mengukir senyum kecil pada Jason, pula melanjutkan, "Anda beruntung."
Tak lama suara keramik terbentur terdengar samar, sukses membuat Kirika menoleh ke belakang. Ya, Kirika telah menyelesaikan urusannya dengan anak buah musuh. Sementara Akira tengah mengikat Jason yang pingsan tepat di kursi. Maka Kirika memutuskan untuk menjatuhkan diri ke tanah.
Tapi tentu asistennya tidak mengizinkan hal itu terjadi.
Sesegera mungkin Akira mengaktifkan roket demi meluncur untuk menangkap Kirika. Lensa biru Akira lantas mempertemukan diri kepada empunya manik dalam keadaan babak belur.
"Madam ...."
"Kau benar-benar mengawasi punggungku, huh?" celetuk Kirika kemudian.
"Tapi saya gagal melindungi Anda dari depan."
Kontan si manik delima mengerjap. Mereka berpandangan cukup lama sebelum akhirnya Kirika meledakkan tawa.
"Kaleng Bodoh."
Alih-alih marah, Akira memilih untuk membopong Kirika ke tempat agar ia bisa bersandar. Lensa biru yang masih mengaktifkan penglihatan malam mulai meneliti beberapa luka yang tertoreh di tubuh sang Madam.
Sesungguhnya Kirika juga melakukan hal yang serupa pada Akira. Bahkan ia hampir meraba bagian kulit Akira yang tertancap peluru. Namun gerakannya tertahan ketika Akira menggenggam tangannya.
"Saya tidak akan mati karena kehabisan darah, Madam. Jadi Anda tak perlu khawatir mengenai luka-lukanya," terang Akira. Maka dia beralih melepas jas, kemudian merobek lengan kemejanya. "Kita harus cepat menutup luka Anda untuk sementara."
Atas izin Kirika, Akira segera melilit sobekan lengan kemeja untuk menyeka darah yang terus merembes dari bagian perut Kirika. Pun, hening mulai menyangga di antara keduanya. Bersama-sama mereka berfokus kepada luka Kirika.
"Padahal aku bisa sembuh dengan cepat, kau tahu?" kata Kirika kemudian, sebisanya memecah hening. "Aku malah khawatir mengenai gaunnya."
"Anda—"
"Kau yang memilihkannya untukku, ingat?"
Kalimat yang memotong Akira lantas membuat lensa biru laut tersebut mengerjap. Maniknya segera jatuh kepada si manik delima yang memandangnya. Sama sekali nyaris tak ditemukan ekspresi dari paras tersebut. Namun, Akira tahu bahwa sang Madam sedang tidak main-main.
Dengkusan samar meletus di kala Akira menurunkan pandangannya kembali. Maka ia berbisik, "Anda tak perlu memikirkannya."
"Anda harus berfokus mengenai penyembuhan Anda, Madam." Akira meneruskan. "Barangkali setelah ini, kita bisa kembali ke butik untuk membelikan Anda gaun baru?"
Kirika terkekeh lemah.
Hendaknya sang Madam membalas, sinar dari lampu senter mengundang keduanya menoleh ke sumber yang tak memperlihatkan diri. Sorotan dari lampu yang jaraknya sangat jauh tersebut kemudian kabur seusai memastikan tidak ada seseorang di sekitar sana.
"Komandan Leon sudah datang," ujar Akira.
Sebuah anggukan ringan Akira dapatkan. "Kalau begitu, pergilah lebih dulu."
"Bagaimana dengan Anda?"
Utuh Kirika pula menyandarkan kepalanya. Empunya dari manik delima kontan melirik sosok Jason yang masih dikerumuni gelap. Cukup lama ia terpaku pada pria itu.
Pada akhirnya Kirika kembali memadang Akira yang masih setia menunggu keputusannya. Dia tersenyum tipis, lantas menjawab, "Kemungkinan mereka datang dengan polisi. Aku takut jika mereka juga mendengar ledakan dari rudalmu.
"Alihkan mereka menuju ballroom. Ada beberapa hal yang harus kuurus."
Patah kata yang terlontar dari Kirika mengundang Akira menoleh kepada Jason. Tampak di sana, si pria masih jadi tak sadarkan diri. Demikian si android sedikit menimbang-nimbang di dalam kepalanya.
"Jangan khawatir." Kirika kembali berucap, mengembalikan atensi Akira yang sempat tercuri. "Kau bisa bisa datang menjemputku kembali jika kau sudah menyelesaikan urusanmu dengan mereka nanti."
Masih saja membutuhkan waktu bagi Kirika menunggu si android menimbang. Namun, pada akhirnya ia menurut.
Meski jasnya sudah ikut tersobek karena beberapa serangan dan roket yang ia aktifkan beberapa waktu lalu, Akira mengenakan jas tersebut guna menutupi kemeja yang sudah compang-camping. Barulah seusai ia merapikan diri, ia bangkit.
Kirika sejenak memandanginya. Wanita itu menganggukkan kepala, seolah memberikan sinyal bahwa ia mengizinkan Akira pergi secepat mungkin. Si android langsung saja berlalu. Tapi, setengah jalan menuju pintu keluar, ia menyempatkan diri untuk menoleh kepada Kirika.
Si manik delima terpaku cukup lama memandangi punggung Akira sampai seutuhnya menghilang dari pandangan. Maka berakhir ia beralih menyentuh kemeja yang melilit perutnya. Semula senyum tipis terukir, tetapi tak berlangsung lama kala manik delima itu kembali melirik Jason.
Kirika sebisanya menyembunyikan rintihan kala ia bangkit. Dia berjalan dengan hati-hati melangkahi tiap mayat yang tergeletak, berserakan di atas tanah.
Langkah Kirika terhenti tepat di hadapan Jason. Dia bahkan mendengkus memandangi darah yang sedikit mengucur dari kepala. Setidaknya beruntung Akira tidak melemparkan keramik sampai kepalanya bocor.
Tak lama manik delima bersirat melontarkan tatapan dingin. Sedikit Kirika telengkan kepalanya, samar-samar seringai pula mulai terlukis di parasnya.
"Nah, sekarang apa yang harus kulakukan padamu, Tuan Jason?"
Astaghfirullah, Shana. Kamu muncul sebulan kemudian di sini hanya dengan satu chapter yang pendek ini? *deep gasp kepada bayangan sendiri*
Ah, terima kasih sudah menunggu. Ternyata memang sangat melelahkan menulis ini wwwwww. Saya harap kalian tetap menyukainya.
Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top