Chapter 1.7

Awan kelabu sukses mendominasi langit biru. Suasana kompleks yang sepi tampak suram. Si kecil Tim dan teman-temannya baru saja hendak bermain ke taman terdekat, hanya saja masing-masing dari mereka sudah dijemput pulang oleh orang tua. Sementara manik bulat Tim terarah kepada sebuah mobil yang asing baginya.

Mobil itu akhirnya terparkir di depan garasi kediaman Tsukino yang sudah tertutup rapat. Aoi yang tengah menunggu segera menghampiri mobil tersebut untuk menyambut Eleonor yang lebih dulu keluar. Profesor itu justru segera menyambar Aoi dengan pelukan erat.

"Oh, senang bertemu denganmu lagi, Profesor muda kesayanganku," ujarnya sambil melepas pelukan. Tangannya masih menggantung pegangan pada siku Aoi selagi manik yang berlindung di balik kacamata bulatnya memandang lawan bicara. "Kamu pasti baik-baik saja. Bagaimana dengan adik-adikmu?"

Semula senyum mengembang di wajah Aoi. Ia menganggukkan kepala.

"Mereka baik-baik saja. Semuanya sudah menunggu di dalam sementara Edward dan Adam masih sibuk dengan proyek kecil mereka. Daniel sedang pergi kuliah, ada jadwal dadakan. Jadi ... maaf jika hanya saya dan Nina yang akan menjamu Anda, Profesor," terang Aoi. "Tapi sebenarnya mereka bisa dipanggil sebentar jika Anda mau."

"Tak masalah. Begitulah anak muda seharusnya, harus memanfaatkan waktu dengan baik dan menghasilkan hal-hal baru," balas Eleonor. "Oh, aku harap kamu tidak keberatan jika aku membawa tamu yang lain."

Manik obsidian Aoi mengerjap, ia tertegun sejenak. Serentak mereka menurunkan pelukan lengan. Lekaslah Aoi coba untuk memasang senyum.

"Oh ... tentu. Kenapa tidak?"

Eleonor setengah berbalik dan mengangguk kepada mobil. Sementara manik Aoi yang enggan berkedip tengah menunggu. Aoki Itou adalah orang pertama yang keluar, tak lama disusul oleh manajer COO yang mengurus divisi elektronika, Mark Chen.

Aoi masih menunggu orang terakhir di dalam mobil.

Namun orang yang ia harapkan tidak muncul dari sana.

Silvis segera melangkah menghampiri mereka setelah ia keluar dari mobil.

Rasa kecewa meledak di dalam dada. Alih-alih menghela napas, hidungnya lebih memilih memasok udara tanpa dirasa membuat dadanya naik.

"Baik, Profesor Tsukino. Perkenalkan Tuan Aoki Itou dan Tuan Mark Chen, CTO dan manajer COO Alford Corporation. Dan—"

"Tuan Silvis Alford."

Perkenalan yang dipotong itu membuat Eleonor berhenti. Dia mengerjap di kala memandangi Aoi yang belum luput pandangannya dari Silvis. Ada aura yang kurang mengenakkan di antara mereka. Baik Mark maupun Aoki pula saling bungkam karena juga ikut merasakan.

Sementara Silvis yang memandang Aoi menyunggingkan sedikit senyum kecilnya.

"Lama tak berjumpa, Nona Tsukino."

Sebisa mungkin wanita di hadapannya menyembunyikan alis yang nyaris bertaut. Silvis menyadarinya. Aoi juga menelan ludah di saat itu juga.

~*~*~*~*~

Singkatnya, karena terlalu lama menunggu, Nina segera keluar dan mempersilahkan mereka masuk. Menjamu para tamu dengan teh juga termasuk mengulur waktu, ditambah dengan sedikit perbincangan mengenai proyek kecil dari Cyclone Team selanjutnya untuk musim ini.

Aoi menyuruh Edward untuk mempresentasikan sedikit hal yang tengah ia kerjakan. Tanpa ragu pria muda itu justru dengan berbangga diri memperkenalkan Hologram in Glove, sebuah sarung tangan besi yang mampu menyimpan data-data atau sejumlah buku dan menampilkannya dalam bentuk hologram. Meski masih setengah matang, lantas Edward menerangkan cara kerjanya dengan penuh semangat.

Setelahnya, Eleonor membujuk Aoi untuk memperlihatkan hasil proyek Cyclone Team yang lain. Segera Aoi membimbing Eleonor dan rekannya menuju loteng yang sudah mereka bersihkan dan dijadikan tempat pameran kecil-kecilan dari karya Cyclone Team.

Loteng yang dijadikan ruang pameran kecil ini terbilang luas dan sangat rapi. Mereka juga menyusun hasil dari proyek tim yang memenangkan medali atau pun piala di sebuah kompetisi.

Nina memperkenalkan proyek mereka yang berhasil memperoleh perunggu di kompetisi pertama mereka, yaitu sebuah tangan robot yang dipasang ke bak sampah untuk mendeteksi ke mana sampah itu harus dibuang. Bahkan Nina juga mendemonstrasikan cara penggunaannya.

Pertama-tama ia mengambil kertas dan meletakkannya ke tangan robot. Maka, robot akan menampilkan jenis sampah apa yang dibuang oleh Nina lewat monitor. Kemudian tangan robot membuang kertas ke bak sampah anorganik. Sebagai tanda terima kasih, robot memainkan lagu singkat kepada pembuang sampah.

"Kami sudah mencoba menjualnya ke beberapa taman kanak-kanak. Sebab menurut kami ini merupakan cara yang bagus untuk mengajarkan anak-anak mengenai sampah," jelas Nina. "Recycle Hand cukup laku di Asia Tenggara."

"Aku ingat tangan ini ... sudah cukup lama aku tidak mendengarkan dia bernyanyi," celetuk Eleonor. Dia mendapati medali emas yang dibingkai di samping Recycle Hand yang juga memiliki kode nama RH-012.

Meskipun awam mengenai robotika, Aoki tertarik dengan beberapa robot yang ada. Tak henti-henti ia berkeliling untuk membaca deskripsi robot. Segera ia menoleh kepada Nina seusai Eleonor berbincang.

"Saya sudah melihat kalian dari media sosial," celetuk Aoki. "Di tahun selanjutnya kalian membuat robot penyeduh kopi yang lucu, 'kan? Saya melihat videonya. Desain kucingnya sangat lucu. Boleh saya melihatnya?"

"Ah, tentu saja! Hanya saja waktu itu Ming-Ming Si Kucing Pembuat Kopi tidak lolos babak kualifikasi. Tapi kami tetap memajangnya di sini. Mari."

Kemudian mereka melangkah menuju sebuah meja. Di sana tersusun tiga benda. Yang paling tengah adalah sebuah robot kucing dengan perut buncit yang akan menyeduh kopi. Nina hanya menjelaskan cara kerjanya karena mereka tidak memiliki kopi di sini.

Sebenarnya masih banyak lagi robot-robot yang unik di dalam loteng ini. Eleonor mengenal mereka, seperti penyusun konstruksi bangunan dalam bentuk tiga dimensi, jari-jari robot yang mampu mengetik sepuluh jari, dan lain-lain. Karena waktu yang terbatas, mereka harus kembali ke ruang tamu.

Lagipula, tampaknya Mark dan Aoki sudah cukup puas untuk melihat-lihat. Mereka pasti sudah menyiapkan sejumlah topik pembicaraan penghilang bosan di perjalanan nanti.

"Anda tahu banyak tentang mereka, ya, Profesor Radiovalenka," bisik Silvis kepada Eleonor ketika menuruni tangga.

"Mereka punya potensi yang sangat besar," balas Eleonor. "Jika diizinkan, saya bahkan akan memberikan Adam beasiswa untuk melanjutkan studinya ketika ia tamat sarjana."

Silvis mengerjap. Dia memandangi punggung Aoi yang berjalan paling depan. Sementara Nina sudah berbelok ke dapur untuk menyiapkan teh lagi, sesuai dengan apa yang kakaknya suruh.

"Sebenarnya itu juga salah satu tujuan Nona Tsukino, menyekolahkan teman-teman satu timnya agar setara dengannya ... atau bahkan memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi," sambung Eleonor. "Dia benar-benar ketua yang peduli, ya, Tuan Silvis?"

Aoi tak lama berhenti. "Saya pikir sudah cukup mengulur waktunya."

Selagi napas Eleonor tertahan, kali ini Aoi kembali memandang Silvis yang tak lama sukses membuat senyum pria itu surut.

"Kali ini, boleh saya berbincang dengan Tuan Silvis?"

~*~*~*~*~

Eleonor dan rekannya memberi ruang untuk Silvis dan Aoi sementara mereka bercakap-cakap dengan Adam dan Edward di garasi. Daniel yang baru saja pulang setelah menyelesaikan kelasnya juga ikut menemani mereka berbincang. Tanpa terasa, mereka semakin akrab karena saling mengerti mengenai apa yang tengah mereka bicarakan.

Setelah menyeduhkan teh, Nina diminta untuk pergi menyibukkan diri. Sengaja ia biarkan Silvis dan Aoi benar-benar berdua di ruang tamu.

Aoi memulai, "Saya tahu Anda tidak sekedar datang untuk berkunjung."

Manik obsidian yang memandang bayang-bayang yang terpantul di dalam teh berkedip. "Apa dia baik-baik saja?"

Paham akan siapa yang ia maksud, Silvis mengerling sejenak.

"Tentu saja dia baik-baik saja," balas Silvis segera. "Dia yang memerintahkan kami untuk berkunjung dan merekrut kalian. Kemudian membentuk divisi robotika di Alford Corporation."

Aoi melempar pandangan ke lantai marmer yang kosong selagi ia paksakan sepasang telinga lebih peka terhadap pembicaraan.

"Profesor Radiovalenka membutuhkan orang-orang seperti kalian untuk membentuk divisi tersebut. Sebab kalian memiliki tujuan yang sama. Bukankah kalian juga ingin mewujudkan cita-cita kalian menciptakan android untuk menolong manusia?"

Selagi Silvis meneruskan, Aoi tertegun.

"Sudah menjadi tugas saya memenuhi apa yang dibutuhkan salah satu kepala bagan dari perusahaan," terangnya. Dia mulai mempertahankan bahasa formalnya sekarang. "Kalian benar-benar berpotensi besar dalam bidang ini. Anda menunjukkan buktinya dengan mengizinkan kami untuk melihat-lihat hasil proyek Cyclone Team.

"Saya yakin Anda tidak ingin membuang kesempatan ini. Kami juga akan memberikan segala fasilitas yang kalian butuhkan untuk tujuan terbesar kalian. Setelah tujuan kalian tercapai, kami juga akan memberikan apa pun yang kalian inginkan."

Alis Aoi bertaut resah. Dia menyatukan jari-jarinya, kemudian menggenggam mereka erat-erat. Rasa senang nyaris membuncah di dalam dada, tetapi tampaknya terhambat oleh sesuatu yang mengganjal di hati paling dalam.

Manik obsidian itu memandang lurus manik biru laut milik Silvis. Sebelum memulai, ia menelan ludah berusaha menetralkan cekat yang menggantung di tenggorokan.

"Saya meragukan tawaran yang Anda berikan," jawab Aoi kemudian. "Saya tidak akan mengelak bahwa kami kekurangan fasilitas untuk menciptakan android. Namun saya yakin kita memiliki tujuan yang berbeda dalam menciptakan mereka. Saya benar-benar ingat hal yang menimpa kita tepat enam tahun yang lalu.

"Saya tidak ingin menuturkan praduga ini ... tetapi jika android kami kelak berhasil tercipta, Alford Corporation pasti akan menggunakannya demi membantu divisi kemiliteran, benar begitu? Itu sama sekali bukan salah satu dari tujuan Cyclone Team yang sebenarnya.

"Profesor Radiovalenka mungkin akan kecewa dengan keputusan ini ... tetapi saya menolak tawaran Anda untuk bergabung dengan Alford Corporation."

Sekilas, alis Silvis naik.

"Saya hanya melindungi apa yang saya ciptakan agar tidak menghancurkan umat manusia nantinya."

"Bukankah Anda tahu—"

"Maaf, Tuan Silvis Alford," tukas Aoi. "Keputusan saya sudah bulat. Anda boleh pergi sekarang."

Manik biru laut itu lantas berkedip enggan tatkala mendapati Aoi yang menunduk. Ia mengerling ke jendela kemudian mengalihkan pandangan kepada Eleonor yang baru keluar dari garasi. Tak lama, Silvis mendesah panjang sebelum berdiri dari sofa. Kemudian ia merogoh saku jasnya, mendapatkan sepotong kertas mungil.

"Saya yakin Anda belum membuat keputusan bersama dengan anggota. Ada baiknya jika Anda memikirkan hal ini lagi dan menyampingkan asumsi personal." Begitu ia berujar sembari beranjak dari tempat. "Hubungi saya jika Anda berubah pikiran."

Senyum getir tersungging, seolah mencibir si pria yang tengah menyerahkan secarik kertas kecil. Lagi, yang masih duduk di sofa, belum mau menoleh.

Langkah senyap disusul dengan suara pintu yang akhirnya tertutup rapat. Aoi melempar pandangan kepada dua gelas teh yang masih penuh dengan kartu nama yang tergeletak di antaranya. Profesor muda itu lantas menoleh ke arah pintu, lengkap dengan alis yang tertaut.

~*~*~*~*~

Makan malam tiba. Mereka akhirnya berkumpul ke restoran hotel yang sepi malam ini, tepat setelah selesai dengan urusan masing-masing.

Setelah makan malam, Silvis segera memberitahu Kirika bahwa Aoi menolak penawaran yang ia berikan selagi Eleonor dan rekan lain sudah kembali ke kamar masing-masing. Kirika mengunyah potongan terakhir bistiknya perlahan selagi ia mendengarkan. Tak lama ia meletakkan garpu dan pisaunya ke atas piring, hendak merespon.

Hal yang pertama yang Silvis dapatkan adalah dengkusan kecewa dari keponakannya. Dia masih menunggu selagi wanita itu meraih gelasnya setelah pelayan selesai menuangkan anggur. Manik delima itu menatap isi gelas dalam diam, tak lama menyunggingkan senyum samar.

"Sayang sekali, ya?" ujarnya. "Sejujurnya ... aku agak sedikit terkesan dengan perkembangan gadis kecil ini."

Kirika terdiam cukup lama. Sebelum melanjutkan, ia lebih tertarik memandangi anggur di dalam gelas selagi ia memangku dagu. "Tidakkah kau menyadarinya, Paman? Dia bahkan sudah berani untuk mengangkat kepala dan menolak tawaranmu mentah-mentah."

Begitu ia berhenti, Kirika memandangi bayangan samar dari sisi gelas.

"Untung saja tidak sampai menyirammu dengan teh," tambah Kirika. Tak lama ia menyesap anggurnya.

Kala itu, Silvis baru saja berselera untuk meraih gelasnya. Selagi menunggu, ia menghirup bau anggur sebelum menyesap anggur. Sementara Kirika memandangi sang paman sambil memangku dagu dengan punggung tangan.

"Tampaknya aku harus turun tangan," lanjutnya sebelum melirik gelas yang menyisakan sedikit anggur di dalam.

~*~*~*~*~

"Aku tak menyangka Profesor Radiovalenka si jenius mau datang jauh-jauh ke sini sekedar untuk melihat-lihat," celetuk Adam sambil mengelap kacamatanya yang berembun karena uap sup. "Aku bahkan berbicara sedekat itu dengannya, keren sekali!"

Selama makan malam berlangsung, Aoi lebih banyak diam dan melahap makanan lebih banyak dari biasanya. Nina menyadari hal ini, masih berjaga-jaga untuk melontarkan kata.

Ya, jika diganggu di saat yang tidak tepat, wanita yang merupakan kakak angkatnya itu bisa saja meledak.

"Aku juga merasa beruntung karena aku pulang tepat waktu," sahut Daniel. Dia menusuk sayur yang tersisa di atas piringnya, melanjutkan, "Kadang-kadang aku berandai-andai jika aku bisa bekerja bersamanya ... barangkali menjadi asisten Profesor Radiovalenka saja sudah cukup."

"Oh, jika saja aku bisa mengambil gelar magister setelah tamat nanti," sambung Adam.

Alis Aoi bertaut dongkol. Sungguh ia tak lagi mampu menahan telinga yang memanas bersama dengan kepalanya.

Bantingan mangkok dan sumpit membuat adik-adiknya terlonjak.

Pembicaraan terhenti. Masing-masing mengernyit penuh tanya menatap Aoi yang bersikap tidak biasa.

"Hei, ada apa, Kak—"

"Tidak ada yang akan bekerja atau bahkan menjadi asisten Profesor Radiovalenka! Dan aku tidak akan pernah mengizinkan satu pun dari kalian untuk melakukannya!" Aoi memotong pertanyaan Edward dengan bentakan keras.

Wanita itu spontan berdiri hingga bangkunya terhempas kencang menjauh dari meja. Aoi meninggalkan meja makan, sementara yang tersisa di sana saling melempar pandangan terheran-heran.

Nina mendengkus. Dia akhirnya memutuskan untuk menyusul Aoi.

"Aku akan mengatasinya. Jika sudah selesai makan, tolong bersihkan meja makannya, ya, Daniel?"

Daniel mengangguk selagi takut Nina menyusul Aoi. Tak lama, mereka kembali bertanya-tanya sambil melanjutkan makan.

"M-mungkin sedang datang bulan?" celetuk Edward.

Dua laki-laki yang diajak berbicara menggeleng, takut meledakkan tertawa barang sebentar.

Sementara Nina menemukan kamar Aoi yang tertutup rapat. Diam-diam, Nina mendengar sesenggukan dari sang kakak. Lantas ia mengetuk pintu, yakin di kala itu Aoi segera menghapus air matanya.

"Boleh aku masuk?" tanya Nina.

Tidak ada respon.

Pada akhirnya Nina berinisiatif membuka pintu. Manik biru segera mendapati Aoi yang tengah duduk menghadap jendela. Maka ia melangkah masuk menghampiri Aoi.

"Maafkan aku telah mengacaukan makan malamnya," celetuk Aoi.

"Tak apa." Nina membalas dengan merangkul pundak Aoi. "Pasti pembicaraanmu dengan Tuan Alford membuatmu cukup gusar."

Aoi spontan menoleh kepada Nina selagi ia mengeluarkan burung robot mungil dari kardigan yang ia kenakan.

"Maafkan aku. Sebenarnya aku memasang Birdie di balik vas bunga dan telah mendengar semuanya." Begitu Nina berujar sembari mengelus kepala Birdie Si Burung Robot. "Aku hanya ... sedikit mengkhawatirkanmu, kau tahu?"

Aoi mendesah menghilangkan senggukan. Dia menunduk sebelum melempar pandangan ke luar jendela.

"Entahlah. Mungkin Tuan Alford benar. Aku membuang kesempatan ini untuk mewujudkan impian Cyclone Team," cetus Aoi. "Tapi akan lebih menyakitkan jika aku ... menyesal di kemudian hari setelah menciptakan android itu di bawah naungan Alford."

Nina mengulum bibir, berpikir. Dia menghirup udara sebanyak yang ia bisa untuk memenuhi paru-parunya sebelum merespon. Tak lama seusai mengembuskan napas, Nina merangkul Aoi erat-erat.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Tapi, kadang-kadang kau tidak boleh lupa bahwa kami juga anggotamu yang harus dimintai pendapat. Terutama ... mereka, tentu saja," ujar Nina.

"Maafkan aku."

"Sudahlah. Kita pikirkan itu lagi nanti," balas Nina. "Mungkin aku akan senang jika kau tidak keberatan untuk bercerita tentang CEO Alford Corporation ketika dia masih muda?"

Aoi menoleh kepada Nina. Segera senyum lembut mengembang di wajah bulat itu. Dia kemudian meraih bongkahan lempengan dengan bola permata, memperlihatkan foto yang akan ditampil bola tersebut.

Nina memandangi foto lekat-lekat. Tampak takjub ia mendapati Kirika yang mengangkat Aoi tengah meluncur di depan banyak orang. Kontan ia mengangkat pandangan tak percaya kepada Aoi.

"Nina ... kaulah orang pertama yang tahu."

Hehe. Tidak tahu ingin membicarakan apa kali ini. Masih berdoa semoga para pembaca masih mengikuti karya ini. Semoga saja ... tidak bosan. *tertawa canggung*

Sampai jumpa di chapter selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top