Enggan rasanya ia bangkit meski kedua manik obsidiannya sudah terbuka lebar. Pandangannya jatuh kepada tablet yang tergeletak di samping, menampilkan desain perancangan semalaman. Nina yang menemani Aoi tidur tadi malam pun sudah lenyap dari pandangan.
Tampaknya anak itu sudah cukup puas setelah mendengar banyak cerita mengenai masa lalunya.
Lantas Aoi mendesah berat. Belum juga mau bergerak dari posisi, si manik obsidian kini jatuh ke jam digital. Memang, masih terlalu pagi untuk beraktivitas. Kecuali, juga memang Adam yang terbangun saat ini mengingat ia harus menjalankan ibadah.
Hendaklah manik Aoi terpejam memikirkan segala hal singkat yang terjadi kemarin. Pun masih melekat pikirannya terhadap ucapan Nina. Memang, Aoi mengaku, kadang-kadang Nina bisa lebih dewasa sebab ia mampu berpetuah.
Lagipula, ucapan Nina kemarin malam mungkin saja ada benarnya.
Namun ... entah kenapa saat ini gengsi lebih mendominasi harga diri Aoi.
Ada baiknya ia mulai berpikir sekarang.
Aoi terkesiap kala ia mendapati suara benda yang terjatuh ke lantai. Spontan Aoi bangkit sembari menoleh ke sumber suara. Ponsel tergeletak di sana kontan membuatnya beranjak. Ketika ia berhasil mendapatkan ponselnya, segera ia dialihkan dengan pemandangan kafe.
Lantas Aoi langsung menemukan sosok Kirika di hadapannya.
"Lama tak berjumpa, ya."
Tepatnya saat ini mereka tengah duduk berhadapan. Sembari demikian, Aoi mendapati suara langkah kaki samar-samar bersahutan di samping. Namun pandangannya enggan mengindahkan mereka yang berlalu lalang bersama mobil yang berpapasan di jalan.
Masih saja Aoi tertegun, bungkam seribu bahasa. Aoi memang ingat. Kirika berinisiatif untuk menemuinya tepat seusai dia mengajar kala itu. Meski sama sekali ia tidak tahu pasti dari mana Kirika mendapatkan informasi, setidaknya ia bisa bernapas lega melihat si senior yang baik-baik saja.
Tapi ....
Tentu saja pertemuan ini hanya karena ia membutuhkannya, bukan?
Mengingatnya saja sudah cukup membuat bahu Aoi melemas. Pandangannya pula sukses jatuh ke es yang mencair, menyatu utuh bersama jus limun yang ia pesan beberapa menit lalu.
Meski demikian, banyak pertanyaan yang menyerang kepalanya. Sebisa mungkin mereka seolah tengah mendobrak keras-keras agar mulut itu berbicara. Sayang, sang empunya masih berpegang teguh untuk menahan diri.
Masih tenggelam ia di dalam pikirannya. Bahkan Aoi tak sadar Kirika sudah memangku dagu sembari mendengkus halus.
"Aoi," panggilnya kemudian, sukses mengundang lawan bicaranya mengangkat pandangan. "Tak perlu berpikir keras mengenai tawaran itu sekarang."
Napas Aoi lantas tertahan sebelum Kirika melanjutkan lebih jauh.
"Tugasku sudah selesai. Aku hanya datang untuk melihatmu."
Aoi mengerjap.
"Mari berbicara seperti dahulu kala."
Suara Kirika yang menggema, samar menghilang bersama dengan sosoknya yang memudar. Lalu ... ia mendapatkan pemandangan seisi bus yang nyaris penuh sesak.
Puas mengedarkan pandangan, ia menoleh ke luar kaca bus. Hari nyaris utuh berganti malam. Trotoar mulai lenggang penghuni. Kala pandangan kosong ia patri, lampu jalanan terlihat seperti kunang-kunang berbaris.
Tersadar ia akan earphone yang menyumbat kedua telinganya. Mereka melantunkan musik samar-samar membuat lamunannya buyar. Lantas ia mengalihkan pandangan kepada ponsel selagi bus berhenti di sebuah halte. Senyum tipis tersungging di wajah bulat itu, merasa beruntung Ballade no. 1 in G minor akan menjadi teman seperjalanan.
Bus kembali melaju. Sebentar sebuah truk pengangkut barang melintas di sebelah kanan, menghalangi sisa-sisa cahaya yang bermuasal dari lembayung senja. Demikian utuh truk melaju lebih cepat, tak seorang pun mengindahkan.
Jika diizinkan untuk jujur, pasalnya saat ini hati sang empunya gundah. Sangat serupa dengan apa yang tengah dirasa oleh kepala. Pun teramat lelah ia memikirkan segala hal yang terjadi.
Di kafe, semuanya justru baik-baik saja. Mereka benar-benar berjumpa. Mereka berbincang. Ya mereka berbicara. Mereka bernostalgia. Sangat disayangkan keduanya tak mampu mengembalikan waktu.
Dan satu hal penting yang semestinya Aoi mengerti.
Lantas Kirika akan pulang dengan tangan kosong.
Sementara Aoi sama sekali belum berunding dengan anggotanya. Sang empunya manik obsidian justru memilih terpejam sembari ia menyandarkan kepala di kaca.
Hati akhirnya mulai bertanya-tanya. Apakah ini hal yang benar-benar kuinginkan?
Keningnya mengernyit sakit. Desah berat ia hembuskan guna menahan cekat di dalam tenggorokan. Sang empunya hati tidak paham mengapa jantungnya berdebar tak mengenakkan.
Lantas mengalihkan perasaan yang hendak menguasainya, Aoi segera merogoh saku jaket dan mendapatkan secarik kartu nama Silvis dari sana.
Cukup lama ia termenung sebab mulai terekam ulang peristiwa kemarin. Dia benar-benar mengusir rombongan Alford dan menolak tawaran Silvis. Dalam hati, pula ia mengumpat. Merasa bodoh atas kelakukannya kala itu.
Perasaan bersalah kembali membuncah. Atas pelampiasannya, sekali lagi ia menghela napas seusai menggeleng pelan.
"Apa yang harus kulakukan?"
"Bagaimana jika mulai mendiskusikan hal itu bersama mereka?"
Sukses jawaban itu membuat Aoi terkesiap, kontan mengangkat pandangan. Dia mendapati sang Ibu yang tengah tersenyum teduh.
Sebentar Aoi tertegun. Indera penciumannya mulai peka terhadap bau obat-obatan yang perlahan menyeruak. Nyaris manik obsidiannya tak menghiraukan gorden yang melambai digoda angin.
Kali ini ia tak sempat mengedarkan pandangan seperti yang sudah-sudah. Maniknya segera tertuju kepada Hikari.
"Kadang-kadang diperlukan kepala yang dingin sebelum memutuskan sesuatu." Hikari melanjutkan petuah. "Pula jangan sering mendengarkan firasat dari hati. Mereka hanya mendukung perasaan, tahu."
Di luar sana, burung terbang pulang ke sarangnya, menyempatkan diri untuk bercicit seolah tengah berpamit. Sebentar pandangan Hikari teralih kepada mereka sebelum beralih kepada tangannya yang meraih tangan Aoi.
"Jika kamu meminta pendapat Ibu, Ibu percaya kalau Alford itu perusahaan yang baik." Kembali Hikari berceloteh kala ibu jarinya mulai mengusap tangan anak semata wayang. "Tapi Ibu lebih memercayakan apa pun pilihan kalian."
Lama ia berpaku tatap kepada tangan Aoi yang mempererat genggaman. Senyum yang Aoi rasa bijak darinya belum juga surut. Namun percayalah, manik obsidian mungilnya tampak sendu. Tak sanggup memerhatikan pandangan itu lebih lama, lantas Aoi menurunkan pandangan.
"Setelah ini ... kita pulang ke Nagano bagaimana?"
Singkatnya lengkap dengan kedua alis yang terangkat, Aoi mengembalikan pandangan.
"Jika aku berada dalam kondisi prima ... minggu depan aku sudah bisa operasi," ujar Hikari.
Tertegun Aoi mendengarnya. Entahlah, barangkali sang ibu memang senang berpikiran naif. Tapi ... dari mana ia bisa mendapatkan biaya operasi itu?
"Ada yang datang kemarin."
Napas Aoi tertahan.
"Dia bilang dia hanya datang untuk menuntaskan tugasnya."
Entah mengapa Aoi merasa seisi kamar mulai perlahan runtuh. Dia panik di kala tahu lantai pula bergemuruh.
Namun sang ibu masih berdiam diri dengan senyum yang masih saja tertempel. Selagi demikian, Aoi menurunkan pandangan, mengedarnya panik di kala lantai mulai jatuh.
"Katanya dia memiliki tugas untuk menyelamatkan Ibu dan memulangkan kita ... tidakkah itu lucu?" Ibunda kembali bersuara.
Demikian Aoi bersama dengan kursinya, ikut jatuh bersama lantai yang merosot.
Waktu terasa lambat. Menggapai apa pun di sekitarnya tampak percuma. Utuh seluruhnya menghilang. Lalu, cahaya menerangi ruang hampa.
Dan dari sana ... suara Hikari masih menggema.
"Tapi percayalah. Dia bersungguh-sungguh."
Aoi tersentak.
Namun kali ini yang ia dapatkan hanyalah kegelapan. Sebuah suara kecil mulai ia lantunkan. Perlahan-lahan ia raba kursi lembut yang tengah ia duduki. Tetap saja ia tak mendapatkan apa-apa. Terus saja gelap. Lebih panik lagi ia tak mendapatkan secercah cahaya.
"Hei, Kak Aoi sudah bangun!"
Sukses suara Daniel membuatnya menoleh. Masih gelap. Ini mimpi yang terburuk!
"Eh? Anu ... aku tidak bisa melihat. Apa yang terjadi?"
Daniel tidak percaya. Dia terperangah menahan tawa, mengedarkan pandangan kepada anggota Cyclone Team yang lain. Edward yang duduk di hadapannya mencengkeram erat tangan Nina untuk tidak membantu.
"A ... Apa aku buta?!" pekik Aoi. "T-TOLONG, AKU BUTA!"
Meledaklah tawa Nina. Beberapa orang di dalam pesawat yang sempat mendengar pekikan Aoi menoleh dengan tatapan tajam, tak ingin ribut dan memilih protes dalam diam. Ada yang ikut menahan tawa, seperti pasangan lansia dan penumpang paruh baya persis seperti Hikari. Sementara Adam juga tertawa, berbalik dan berlutut di kursinya untuk melihat Aoi.
Puas tertawa, Edward segera menurunkan penutup mata Aoi.
"Hai, Tuan Putri~. Tampaknya kelelahan sekali, ya? Lihat, sampai lupa kalau pakai penutup mata."
Manik Aoi menyipit sempurna, berusaha menyesuaikan pandangan dan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Setelah menyeka air mata, Nina yang duduk di sebelah Aoi segera memakaikannya kacamata.
"Halo, Kak Aoi~! Selamat, Kakak tidak buta!" Kali ini Adam berceletuk. "Wajar saja Kakak kelelahan. Penundaan penerbangannya sangat lama. Aku juga capek."
Kala ia menengadah mendapati Adam yang masih berlutut di bangkunya, Aoi tersenyum lemah pada pemuda itu dan segera meraih kepala Adam, berniat mengusapnya singkat.
Namun senyumannya segera surut kala ia mengembalikan pandangan kepada dua adik laki-lakinya yang tersisa. Konon lagi yang satu masih belum puas tertawa.
"Awas, ya. Nanti jangan mengadu kalau kena batunya."
Edward mengusap mata. "Salah sendiri. Pasti waktu penyerahan takdir di langit, Tuhan membiarkanmu tercebur ke sisi manusia yang asyik untuk dikerjai."
Terang-terang Aoi mengumpat di balik geraman. Segeralah ia melepas penutup matanya dan melempar benda itu pada Edward. Sayang, lemparannya jelas meleset sebab target sukses mengelak. Tak ingin panas hati karena diledek, Aoi melemparkan pandangan kembali ke kaca jendela.
Tampak jelas awan-awan yang berkumpul di langit biru.
Kala Aoi berkedip, ia menangkap benak yang kembali bertanya-tanya. Apa ini masih mimpi?
Tak begitu jelas suara pramugari yang datang membawakan sarapan. Suara Edward dan Daniel pula ikut meluap dari telinga Aoi. Jika saja Nina tidak menepuk bahunya, pastilah ia akan kembali tenggelam dalam lamunan.
"Sedang memikirkan apa, Kak?"
Dia yang ditanya masih bungkam meski ia sudah menoleh. Sungguh, Nina begitu gemas melihat sang kakak yang jelas terlihat seperti orang linglung. Segeralah ia mencubit Aoi agar ia mampu mengaduh saat itu juga.
"Sudah bangun," kata Nina. "Kakak tidak bermimpi lagi."
Kontan mimik yang merasa kesakitan di hadapannya segera mengukir senyum sembari terkekeh. Berakhirlah Nina menyandarkan punggung ke kursi sembari menghela napas lega.
"Masih tidak percaya segala kenyataan yang terjadi, huh?"
Manik obsidian Aoi mengerjap. Dalam diam, ia membenarkan.
Mimpi barusan sungguh membuatnya lelah. Terasa begitu nyata, persis seperti kejadian yang mereka alami tiga minggu silam.
Pasalnya, mereka memang bertengkar. Seisi rumah begitu bising oleh sebab Aoi dan Edward sering bertengkar di dalam perkara yang sama. Namun pada akhirnya, kedatangan Kirika di universitas tempat ia mengajar sebagai dosen tidak tetap membuat mereka kembali berdiskusi.
Kirika juga menemui Hikari, berjanji ia menanggung biaya operasi kanker payudaranya. Risiko yang dipikul Hikari pula sama besarnya. Kepada Aoi pun ia mengaku, ia berusaha menolak pertolongan finansial operasi. Namun Kirika tetap bersikeras.
Di sini, bersama dengan Cyclone Team, Hikari seutuhnya pulih. Ya, dia masih bisa diselamatkan sebab dokter menjelaskan kanker yang diidapnya masih di stadium dua.
Terdengar seperti akhir yang bahagia, bukan?
Namun justru ... pilihan yang mereka pilih sekarang ini menciptakan jalan takdir yang lebih panjang.
~*~*~*~*~
Tak perlu repot-repot mendatangi perempatan terbesar Shibuya, dari kejauhan tepat di kantornya, Kirika bahkan sudah hafal betul betapa sibuknya perempatan itu. Khalayak begitu ramai di sana, selalu lengkap dengan turis dan para budak waktu yang berlomba-lomba.
Pandangan si manik delima jatuh kepada sekian pohon sakura yang masih terpelihara di halaman depan. Namun itu tak berlangsung lama oleh sebab ia kedatangan tamu.
Tak lain dan tak bukan adalah Silvis.
"Kudengar kau menghamburkan banyak uang, Madam," celetuk Silvis selagi empunya ruangan kembali duduk ke sofa. Langkahnya terhenti tepat menghadap meja. Lekaslah manik biru langit itu melempar tatapan kepada si manik delima. "Puas berfoya-foya, huh?"
Kirika tersenyum samar, terlihat begitu santai kala ia menyandarkan punggung ke badan sofa.
"Yah ...." Dia memulai. "Aku tidak menggunakan tabunganku selama lima tahun. Kupikir sekarang merupakan waktu yang tepat untuk menghamburkannya."
Silvis tersenyum miring mendapati Kirika menyibukkan diri dengan dokumen-dokumen yang baru ia kirimkan.
Ucapan Kirika ada benarnya. Di samping insiden enam tahun silam, ketika masih seorang atlet, keponakannya memang tak pernah minggat dari peringkat tiga besar. Pun, teramat jarang Silvis melihat Kirika menghamburkan uang untuk hal-hal yang dirasa tidak penting.
Berakhir Silvis menghela napas. Dia menyempatkan diri menggeleng ringan.
"Tampaknya bukan merupakan tugasku sebagai asisten sementara untuk menasihati Nona Dermawan, ya," kata Silvis. "Kuharap kau tidak sampai merugi."
"Ah, kupikir kadangkala aku harus merugi." Segera Kirika berkilah. Namun manik delimanya belum juga tertarik untuk memerhatikan sang paman. "Jika sasaran dan prakiranya benar, aku bisa mendapatkan ikan yang banyak, benar begitu?"
Silvis mengerjap. Dengkusan ia luncurkan tepat sebelum ia berbalik dan berlalu. "Beritahu aku jika kau memerlukan sesuatu."
Lantas pintu tertutup, melenyapkan Silvis dari pandangan.
Sementara sang Madam akhirnya mengangkat kepala di kala ia memangku dagu. Senyum puas mulai terpatri.
"Aku lupa menyuruhnya untuk bersiap-siap menyambut kedatangan ikannya."
Senang berjelajah di alam mimpi Aoi? Saya sangat menikmati setiap saya menuliskan ini, diiringi dengan lagu Ballade No. 1 in G minor oleh Chopin yang dimainkan oleh salah satu pianis youtuber favorite saya, Rousseau, yang mana memiliki setiap emosi di tiap bagiannya. Saya pikir ini sangat cocok dengan Aoi.
Saya percaya setiap lagu instrumental memiliki kisah di tiap nadanya. Mereka selalu menemani saya di kala menulis. Jika boleh mengaku, kebanyakan chapter atau kisah yang saya ciptakan asal muasalnya dari lagu. Ya, mereka juga salah satu inspirasi dari karya-karya saya selain game, buku, atau film (bahkan film hanya sekian persen).
Sebenarnya saya menyukai Martha Argerich atau Arthur Rubinstein jika ditanyai soal pianis favorit. Tapi untuk Ballade no. 1, saya kurang menyukai tempo mereka.
Percayalah. Saya sangat awam mengenai musik. Sampai sekarang berharap bisa memainkan salah satu dari mereka.
Ah, sepertinya saya terlalu banyak berbicara.
Semoga kalian menyukai chapter ini. Sampai jumpa di chapter berikutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top