Chapter 1.5
Sepasang manik delima itu menjauhkan pandangan kepada suasana pagi dari dalam kamar di sebuah hotel di Oakland, California, Amerika Serikat. Kamarnya menghadap kepada kolam renang hotel, sehingga Kirika tak mendapati banyak orang yang berlalu lalang selain para pelayan di sana. Kemudian ia menerawang jauh menuju kota.
Ketukan pintu kamar mengundangnya mengerling. Segera ia memerintahkan pelayan masuk untuk menyajikan sarapan untuknya di meja. Seusai pelayan pergi, Kirika menghampiri meja untuk memeriksa makanannya.
Hal yang pertama wanita itu lakukan adalah menuangkan teh ke cangkir, kemudian menghirup uap yang mengepul dari sana. Ketika hendak meneguk beberapa, ia mendapati ponselnya yang bergetar di atas nakas. Lantas ia mengibaskan tangan untuk mengangkat panggilan serta mengaktifkan speaker yang lebih keras.
"Bagaimana?"
"Profesor Radiovalenka sudah mendapatkan alamatnya. Kami akan segera berkunjung ke sana setelah makan siang."
"Baguslah. Kuharap hasilnya tidak mengecewakan," tanggap Kirika.
Kirika meletakkan cangkir teh yang sudah habis setengah isinya. Sementara ia baru menghampiri ponselnya setelah panggilan mati. Dia mendapatkan sebuah pesan. Seulas senyum samar terpatri seusai manik selesai membaca.
"Selagi aku di sini, sepertinya tidak ada salahnya mengunjungimu juga ...."
~*~*~*~*~
Di sebuah kompleks yang tenang dan damai, beberapa penghuninya tengah bersiap-siap untuk membereskan rumah seusai mengantarkan anaknya ke sekolah. Kadang-kadang terlihat satu atau dua orang yang memenuhi trotoar, sementara dalam rentang setengah jam ada kendaraan yang melintas. Entah akan keluar atau masuk ke dalam perumahan, bertegur sapa kepada siapa pun yang mereka lihat.
Beralih kepada sebuah rumah sederhana, di mana tampak dua orang pemuda di dalam garasi yang mereka jadikan bengkel kecil di sana. Salah seorang dari mereka baru saja menyapa seorang bibi tetangga yang lewat, kemudian kembali melanjutkan kegiatannya. Tak lama seorang bocah dengan sepeda roda tiga datang menghampirinya.
"Selamat pagi, Timmy," sapanya.
"Pagi, Daniel! Apa kalian sedang bekerja untuk membuat jet lagi?!" tanya bocah itu, tampak sangat antusias dengan manik keabuannya yang berbinar-binar.
"Err ... yah ... kupikir begitu?" balas Daniel seadanya. "Omong-omong, aku sudah membuatkan sayap untuk sepedamu. Mau coba sekarang?"
"Wow ... kau benar-benar membuatkannya?! Tunjukkan padaku, tunjukkan padaku!!"
Sementara Daniel menyibukkan diri dengan Tim, seorang pria muda berambut hitam dengan manik biru terang memutar kursinya kembali menghadap meja. Dia mulai mengambil obeng dan menyiapkan sarung tangan besi yang sedang ia rancang. Aliran listrik hampir saja menyambar rambutnya jika saja ia tidak refleks menghindar.
"Ah, sial."
Di dalam rumah, tepatnya di sebuah kamar seorang pemuda baru saja terbangun dari tidurnya karena jam alarm yang jatuh tepat ke kepalanya. Dia meletakkan alarm tersebut ke nakas, sambil menguap segera turun dari ranjang dan keluar kamar.
"Oh, Adam! Selamat pagi," sapa seorang wanita berambut pirang. Sembari berbicara, kakinya bergerak menuntunnya ke dapur. "Kelihatannya kau lelah begadang semalaman untuk program baru. Jadi aku tidak membangunkanmu untuk sarapan."
"Yah ... pagi, Kak Nina ...," balas Adam sambil menggaruk pipi. "Aku semula membuat diagram alirnya mirip dengan program menampilkan hologram. Tapi ... ugh, aku benci dengan masukan sensornya."
"Tetapi kau sendiri yang setuju untuk membantu Edward—"
"Adam! Bagaimana dengan perkembangan programnya?"
Suara Edward dari bengkel membuat muka bantal Adam terlihat semakin kusut. Dia menyampatkan diri mengusap kasar wajahnya sembari beranjak menuju bengkel. Nina yang mengintip dari dapur hanya berkacak pinggang menertawakan Adam yang gontai.
"Aku pulang."
Nina menolehkan pandangan. Diambilnya langkah sedikit menuju ambang dapur agar bisa melihat siapa yang datang. Tampaklah seorang wanita muda dengan rambut pendek berbaju longgar melangkah masuk. Sambil membenarkan kacamata bundarnya, ia mengulas senyum pada Nina dan segera menghampiri wanita itu untuk memberikan pelukan hangat.
"Selamat datang," sambut Nina. "Bagaimana dengan keadaan Ibu?"
"Terlihat baik seperti biasa," balas si wanita sambil melepas pelukan. Kemudian ia merogoh tas yang sedari tadi ia jinjing. "Oh, ngomong-ngomong aku menyempatkan diri pergi ke supermarket. Aku membelikan sakuramochi. Harganya agak mahal, tetapi ... percayalah. Ini merek pembuat mochi yang paling enak di Amerika."
"Ah! Terima kasih, Kak Aoi!" balas Nina penuh kegirangan.
Aoi, si wanita berambut pendek segera melangkah masuk ke dapur disusul oleh Nina.
"Profesor Radiovalenka akan datang setelah jam makan siang. Apa kau sudah memberitahu mereka soal ini?"
Nina terperangah. Dia benar-benar melupakan pesan yang diberikan Aoi tadi malam. Lekaslah ia meletakkan sakuramochi ke dalam kulkas dan berhambur menuju bengkel. Aoi tersenyum kecil, tak lama melantunkan kekehan singkat. Keanggunan adiknya itu selalu sirna ketika ia melupakan sesuatu.
Aoi memasukkan bahan makanan ke dalam kulkas. Kemudian ia mengisi botol garam dan merica yang hampir habis. Setelahnya ia menoleh kepada piring-piring kotor di wastafel yang sukses membuat wanita muda itu mendengkus.
"Kebiasaan," keluhnya sambil merengut.
Sebelum menggiring piring-piring kotor ke mesin pencuci, ia memeriksa kembali ponselnya. Tak ada notifikasi apa pun. Ia hanya ingin membaca ulang pesan dari Eleonor. Manik obsidian yang bulat itu lantas berkedip. Aoi mengembuskan napas gusar.
"Apa dia akan datang?"
~*~*~*~*~
"Madam dan Profesor Tsukino pernah menjadi sahabat?!"
Tidak heran jika Eleonor terkejut dengan fakta yang baru saja Silvis lontarkan. Kalau harus mengaku, memang tak banyak yang tahu. Setelah mengatakan hal itu, manik biru itu segera mengerling ke samping.
"Dunia jadi terasa sempit, ya," lanjut Eleonor. "Yah, itu berlaku kepada yang memiliki uang dan otak."
Silvis terkekeh.
"Semua orang memiliki otak. Tergantung kepada bagaimana cara mereka menggunakannya," balas Silvis.
Eleonor tertawa membenarkan.
"Ah, omong-omong, apakah saya boleh tahu lebih lanjut mengenai kedekatan di antara keduanya? Saya sangat penasaran. Barangkali ada yang menarik?"
Silvis menolehkan pandangan kepada Eleonor. Ia bersandar ke jok mobil dan menarik napas.
"Aku tidak tahu pasti ...," ujar Silvis. "Tapi dulunya, hubungan mereka sangat baik."
Ia menerawang ke luar kaca mobil. Silvis menyipit tak senang.
Dan barangkali akan tetap baik jika saja kejadian enam tahun yang lalu tidak muncul.
~*~*~*~*~
Tujuh tahun yang lalu, sekolah internasional di Shinjuku begitu ramai dengan murid baru. Bunga sakura bermekaran, bahkan menjatuhkan kelopak-kelopaknya seolah menyambut kedatangan mereka yang menyusuri trotoar. Yang merasa asing berdiam diri di tiap langkah, menikmati pemandangan selagi mengingat tiap-tiap tempat yang sudah dijelajahi. Sementara yang telah melewatkan satu hingga dua tahun melangkah bersama kawanannya.
Pagi yang singkat itu dimulai dengan upacara penyambutan. Seusai upacara selesai, mereka akan masuk ke kelas yang sudah dibagikan. Guru wali kelas akan memperkenalkan diri, mereka juga diminta untuk melakukan hal yang sama dari meja masing-masing.
Hari pertama tentu murid-murid tidak langsung diperintahkan untuk memikul proses belajar dan mengajar. Sekolah ini menciptakan peraturan di mana hari pertama akan diisi promosi ekstrakurikuler yang berlangsung selama tiga hari. Tidak lupa dilengkapi dengan perkenalan guru.
Para murid baru diwajibkan untuk menghadiri kegiatan di dalam gedung olahraga dan mengunjungi stan klub yang mereka minati. Aoi merupakan salah satu murid baru di tahun ajaran ini.
Sebuah keberuntungan baginya, ia mendapatkan beasiswa untuk masuk sekolah internasional. Ketika SMP, dia mati-matian mempelajari bahasa Inggris agar mampu mengimbangi para murid lainnya nanti.
Kini dia berjalan sendirian di antara kerumunan para murid. Aoi sudah cukup puas menghibur diri dengan melihat pameran panggung dari klub bela diri dan juga pertunjukan seperti teater serta musik. Sudah saatnya ia beralih kepada stan-stan di halaman belakang sekolah.
Semua senior yang merupakan anggota, atau mungkin juga merupakan ketuanya sendiri, menjajakan kode QR* yang akan mengantarkan ke web klub mereka masing-masing. Setidaknya itu merupakan cara yang lebih efisien ketimbang harus membuang-buang kertas.
Aoi berhenti di sebuah stan yang memamerkan robot-robot kecil, berikut dengan medali dan piala yang pernah mereka raih. Sudah lama ia ingin masuk ke klub robotika. Namun, ketika tinggal di Nagoya, SMP Aoi bahkan tidak menyediakan klub tersebut.
Hendak menghampiri stan tersebut, Aoi segera menghentikan langkah tepat ketika orang-orang juga ikut mendatangi stan. Mengingat tubuhnya yang kecil, memang memungkinkan baginya untuk menyelipkan tubuh agar bisa melewati kerumunan dan mendapatkan posisi paling depan.
Tapi dia memilih untuk mengalah dan berjalan ke stan lain.
Manik obsidian itu kemudian mendapati sebuah gelanggang yang sudah dibuat untuk klub sepatu roda. Ada yang menarik perhatiannya di sana. Seorang gadis dengan rambut merah muda keemasan sedang bersiap dengan sepatu roda di salah satu tempat duduk di sana.
"Kirika ... Alford?"
Rasa penasaran mengundangnya untuk mengunjungi stan untuk melihat Kirika lebih dekat. Setidaknya kali ini Aoi berhasil mendapatkan posisi terdepan, tepat ketika semua orang juga ikut berkerumun karena masing-masing dari mereka juga terundang dengan suara pengumuman dari salah satu anggota klub sepatu roda.
"Mari, kunjungi stan kami! Sebentar lagi Kirika Alford akan mempersembahkan pertunjukan menakjubkan untuk figure roller skating!"
Sepatu roda ...? Bukankah dia atlet figure skating? Hati Aoi bertanya-tanya.
Namun tidak ada salahnya menonton Kirika menari di gelanggang yang berbeda.
Selain perbedaan gelanggang, figure roller skating dan figure skating hanya memiliki sejumlah perbedaan. Selain kecepatan dalam meluncur yang berbeda, elemen yang dimiliki sebenarnya cukup mirip.
Apa pun itu, siapa yang ingin melewatkan pertunjukan dari Kirika Alford yang disuguhkan secara gratis?
Semua orang menunggu. Tak lama lagu dimainkan dari Kirika mulai menari dengan sepatu rodanya. Sementara itu murid-murid dari stan lain segera berlari menuju gelanggang untuk melihat pertunjukannya. Gadis itu menciptakan jejak yang meliuk-liuk dengan gaya yang elegan, benar-benar mengikuti irama musik.
Si manik obsidian berbinar-binar. Dia benar-benar menikmati pertunjukan Kirika. Tanpa sadar ia sendiri tersenyum dan bertepuk tangan di kala Kirika mendarat sempurna dari lompatan kombinasinya semudah ia meluncur di atas es. Aoi akui, tinggi lompatan Kirika jauh lebih rendah di sini. Tetap saja ia terpukau dibuatnya.
Sebagai langkah akhir, Kirika menari lagi dengan sepatu rodanya. Sungguh, pandangan Aoi tidak bisa luput darinya. Namun ada yang membuatnya tersentak.
Kala itu tiba, manik bulat Aoi mengerjap ketika ia tak sengaja bertubrukan sekilas dengan si manik delima.
Apa dia benar-benar melihatku?
Kirika selesai. Semua orang bertepuk tangan dengan meriah. Kemudian salah satu anggota klub sepatu roda kembali maju dengan mikrofon bluetooth-nya.
"Baiklah, para hadirin sekalian, jika kalian berminat untuk bergabung silahkan potret kode QR web kami! Tetapi sebelumnya, kami akan memberikan pertunjukan tambahan!"
Beberapa penonton berkedip heran, termasuk Aoi.
"Nona Alford akan memilih salah satu dari kalian—oh ... tampaknya dia sudah memilih seseorang untuk dijadikan teman untuk pertunjukan selanjutnya!"
Pasalnya, Kirika sudah meluncur lebih dulu ... tepat menghadap Aoi. Manik obsidian itu membulat sempurna ketika Kirika menggenggam pergelangan tangannya.
Jelas terlihat si manik delima ini tidak ingin dia segera kabur.
Kirika bisa merasakan denyut nadi Aoi yang berdetak cepat. Si junior tampak seperti seekor kelinci yang gugup untuk mengambil langkah kabur dari serigala. Menyadari mimik yang terpatri dari wajah si gadis berambut pendek di hadapannya, Kirika tersenyum simpul.
Tampaknya ia mendapatkan pasangan yang bagus kali ini.
"Siapa namamu?" tanya Kirika.
"Aoi ... Tsukino ...."
"Ukuran sepatu?"
"Umm ... 22.5*?"
Kirika kemudian menoleh kepada salah satu anggota klub. "Hana, 22.5!"
Singkatnya, Aoi telah ditarik ke kursi dan tengah dipakaikan sepatu roda oleh Kirika. Berada sedekat ini dengan gadis yang dijuluki Mawar Jepang merupakan peristiwa yang tak terduga dalam hidupnya. Konon lagi dipakaikan sepatu. Mereka juga sempat berbincang sejenak sebelum masuk ke gelanggang.
Tampaknya Kirika tidak perlu repot-repot menjelaskan prosedurnya sebab ketika ditanya, Aoi pernah mengikuti kelas ballet ketika SD. Lagipula sepatu roda yang mereka kenakan cukup mudah dikendalikan.
Mereka akan membawakan Waltz of The Flowers dari Tchaikovsky. Kirika benar-benar menyesuaikan kecepatan meluncurnya dengan Aoi. Beruntungnya, Aoi mengetahui lagu ini sehingga ia dengan mudah mengikuti irama dan mampu menutupi gerakannya yang kaku.
Semuanya berjalan dengan lancar. Aoi tidak minta untuk melompat, maka Kirika juga melakukan hal yang sama. Ketika Kirika melakukan spin, Aoi hanya akan meluncur mengitarinya. Jika diperlukan komunikasi, biasanya Kirika akan meluncur mendekat sambil menautkan atau menempelkan telapak tangan.
"Aku akan mengangkatmu."
EH?! Maksudmu kau akan melakukan lift* denganku?!
"Ya." Kirika membalas isi hati Aoi yang tersirat lewat mimiknya. "Meluncurlah lebih dulu dan kan buat tubuhmu lebih rileks jika tidak ingin tersungkur."
Aoi tidak bisa menolak. Ia segera meluncur. Di saat alunan kejutan dimulai, Kirika menyambar pinggang Aoi dan mengangkatnya. Untuk kesekian kalinya manik obsidian itu membulat sempurna. Kirika menempatkan kedua kaki Aoi di atas paha dari kaki kanannya yang tertekuk.
"Rentangkan tanganmu," bisik Kirika.
Aoi segera menurut. Habis sudah wajahnya memanas tepat mendengar dengan jelas riuh dari para murid semakin meriah. Kemudian Kirika menurunkan Aoi setelah musik hampir habis. Tepuk tangan meriah mereka terima di saat mereka mengakhiri gerakan.
~*~*~*~*~
Sore hari, semua anggota dari masing-masing klub langsung membereskan stan mereka sebelum pulang. Saat itu Aoi menyempatkan diri untuk kembali ke stan klub sepatu roda. Beruntung, dia masih mendapati Kirika yang duduk di meja dengan ponselnya.
Ya, tampaknya kejadian siang tadi sudah cukup populer di media sosial mengingat tidak ada larangan bagi murid untuk membawa ponsel ke sekolah.
Kirika menyadari kehadiran Aoi ketika bayangan gadis itu menghalangi cahaya. Manik delimanya melirik pemilik bayangan. Setelah mendapati sosok Aoi yang memberanikan diri untuk kembali, ia menyunggingkan senyum dan mengangkat kepala. Kirika memperhatikan Aoi yang tertunduk dalam-dalam, lengkap dengan kedua tangan yang saling menggenggam.
"Halo. Senang melihatmu datang lagi," sambut Kirika. "Sayang sekali. Kami sudah mau tutup."
Yang diajak bicara mengulum bibir sebentar.
"Umm ... sebenarnya, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada Senior Alford ... sebab sudah mengizinkan saya untuk mencoba sepatu ... rodanya."
Manik obsidian itu beralih kepada Kirika yang kini berpangku rahang. Ia mendapati tangan seniornya melepas pangkuan dagu seiring dengan kekehan singkat.
"Seharusnya aku yang berterima kasih kepadamu, Nona Tsukino," ujar Kirika. "Pada gerakan pertama, kau terlihat sedikit kaku karena gugup. Yah, hal yang wajar. Sebab kau sudah cukup lama tidak tampil untuk menari. Dan ... kau ragu ketika melangkah sebab puluhan pasang mata—atau mungkin lebih—tertuju padamu. Mana lengkap dengan lensa kamera ponsel pula.
"Tapi ... pada akhirnya kau yang mencoba untuk mengerti gerakanku. Kau mengikuti arus yang kuciptakan. Aku seperti tengah menari bersama peri bunga, kau tahu? Meskipun sebenarnya dia kembali kaku ketika aku mengangkatnya."
Aoi tertawa canggung. Lagi, ia kembali tertunduk ketika mendengar komentar dari Kirika.
"Aku yakin kau tidak datang ke klub ini," celetuk Kirika. "Apa kau mengincar klub sains atau semacamnya? Robotika mungkin? Aku tahu, kau gadis yang benar-benar pintar."
Bagaimana orang ini bisa tahu?
Kirika menunjuk ke tas Aoi. Sekali lagi, ia bereaksi seolah tahu isi hati lawan bicara. "Tidak ada yang mau membawa tas dengan isi seberat itu di hari pertama. Konon lagi di hari pertama."
Aoi tertegun. Seulas senyum tak lama terukir di wajahnya. Dia benar-benar memperhatikan setiap orang.
Sementara Kirika berdiri sambil berkacak pinggang.
"Aku tetap menunggumu kapan pun kau mau bergabung. Atau mungkin sekedar berkunjung," ujar Kirika. "Aku menantikan kedatangan orang dengan bakat alaminya."
Aoi mengangguk.
"Terima kasih."
~*~*~*~*~
Aoi memandang bola permata imitasi di atas meja. Tangannya kemudian meraih bola permata tersebut dan ia segera memutarnya di atas lempengan persegi sehingga bola permata itu berputar di atasnya. Bola permata tersebut kemudian menampilkan sebuah foto dalam bentuk hologram.
Wanita itu tersenyum sendu tepat ketika menatap foto tersebut. Seseorang sukses mengabadikan ketika Kirika melakukan lift dengan Aoi.
Suara gemuruh mengundang Aoi menoleh spontan ke luar jendela. Ia mendapati beberapa awan yang berkumpul, di antaranya sudah kelabu. Kemudian wanita itu segera menerawang kepada pandangan kompleks yang sepi.
Empunya manik yang setengah melamun tanpa sadar menggumamkan pertanyaan dari dalam benaknya, "Waktu itu ... kita sudah berjanji. Apa kau ingat?"
22.5* adalah salah satu ukuran sepatu dengan standar Jepang. (Indonesia menggunakan standar Eropa)
Lift* : Salah satu teknik figure skating kategori ice dance rhythm dan pairs skating yang mana atlet lelaki mengangkat atlet wanita—beberapa melakukan sebaliknya—dengan gaya sesuai dengan koreografi.
Kode QR : Kode QR adalah sebuah kode matriks (atau dua-dimensi bar code ) yang dibuat oleh perusahaan Jepang Denso-Wave pada tahun 1994. The "QR" berasal dari "Quick Response", sebagai pencipta kode yang dimaksudkan agar isinya dapat diuraikan pada kecepatan tinggi.
Berikut contoh lift yang dilakukan Elena Ilinikh dan Nikita Katsalapov.
Sebenarnya agar sedikit pusing mengingat semua elemen kategori berpasangan. Saya sendiri lebih menikmati kompetisi kategori tunggal baik putra maupun putri, hahahahah.
Trivia :
- Aoi mengalami perombakan nama dan penampilan satu kali.
* Pada peluncuran upload pertama pada tahun 2015, nama belakang Aoi adalah Kurihara. Menyadari kecocokan terhadap Tsukino untuk Aoi, maka sekitar akhir tahun 2017 di revisi pertama, nama belakang Aoi segera diganti.
* Tahun 2015, Aoi memiliki rambut panjang sewarna biru laut. Dalam revisi kedua, penampilan dirombak habis-habisan dengan wajah bulat bermanik obsidian dan rambut pendek dengan warna rambut yang lebih gelap (navy).
- Setelah memilihkan nama untuk Kirika yang memiliki arti Bunga Berkabut, Aoi Tsukino juga mendapatkan arti nama, yaitu Bulan Biru.
- Aoi Tsukino secara kebetulan memiliki nama yang sama dengan nama OC dari teman saya di sosial media yaitu Aoi Tsukiko yang juga memiliki arti nama yang sama.
- Figure roller skating populer baru-baru ini, di zaman kita. Olahraga ini masih belum dimasukkan ke dalam kategori Olimpiade.
~*~*~*~
Saya harap kalian menyukai chapter ini. Jangan lupa memberikan komentar seperti biasa.
Sampai jumpa di chapter selanjutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top