Chapter 1.12

Tak peduli dengan sinar matahari, redup atau bersinar secerah apa pun ia, si manik delima tetap terpaku di depan layar hologram. Tangannya mulai bosan, oleh sebab terus berakhir menggurat tanda tangan di meja yang menampilkan lembar persetujuan proposal dan surat-surat yang bersangkutan dengan perusahaan.

Jarang ia diharuskan pergi untuk keluar negeri. Silvis selalu meminta orang-orang kepercayaannya untuk mewakili pemantauan kantor cabang lain. Kala mengingat betapa protektif sang paman selalu sukses membuat Kirika mengembuskan napas penuh keluh.

Kembali Kirika melemparkan pandangan ke salah satu dokumen digital yang menarik perhatiannya. Ah, benar. Dia harus membaca laporan dari laboratorium robotika. Kabarnya, android rancangan mereka akan didemonstrasikan di hadapannya hari ini.

Kirika mencampakkan dokumen yang tertampil di hologram menuju meja. Dia mulai berfokus membaca dan menikmati desain dan hasil dokumentasi. Namun tepat di saat ia mendapati desain wajah si android, tangannya berhenti menggeser.

Benar-benar membeku beberapa saat.

Kirika tak ingat kapan terakhir kali ia tidur minggu ini. Tapi sekali kedipan yang ia perbuat kala itu sukses membuai manik delima merasakan kantuk mulai menguasainya. Lantas Kirika memangku dagu.

Senyum samar mulai terukir. Dengkusan ia letuskan, bahkan terdengar begitu kasar. Sedangkan dirinya mulai menyandarkan punggung di sofa.

Sungguh, ia benar-benar butuh istirahat barang sejenak.

~*~*~*~*~

Kali pertama setelah sekian lama, Aoi merasa lebih bugar kala ia bangun. Dia sendiri tidak yakin kapan ia tertidur sepulas dan senyaman itu di dalam kamarnya.

Cahaya langit mengintip dari tirai plastik. Segera Aoi menarik tirai agar cepat-cepat mereka tertarik ke atas, memperlihatkan pemandangan yang tertangkap jendela. Si empunya manik obsidian segera memakai kacamatanya, mendapati langit yang memutih.

Teramat jarang Tokyo didatangi oleh salju walau musim dingin sudah dekat. Meski demikian, suhu udara langsung saja terasa turun drastis. Mengedarkan pandangan sekedar berharap akan datang salju di kala itu pula, agaknya percuma.

Puas melihat-lihat keadaan luar, Aoi melirik kalender digital di atas rak.

Natal akan datang satu bulan lagi.

Bibir Aoi mengerut. Pikirannya mulai diisi dengan pertanyaan yang bersangkutan mengenai kabar sang ibu. Cukup lama mereka tidak mengobrol dengan durasi yang lebih panjang. Kabarnya, ada keponakan tetangga yang sering berkunjung ke rumah. Hikari bahkan mengaku bahwa anak itu mirip seperti Tim kecil yang selalu mendatangi rumah mereka di Amerika.

Namun tetap saja ... anak dari Nyonya Tsukino sudah merindu sejak lama.

Dalam-dalam ia tarik napas sebelum sepenuhnya merenggangkan tubuh dan beranjak dari kamar kapsul. Sejenak ia mengendus bau badannya, menyempatkan diri merengut tak senang.

"Mandi pagi? Yang benar saja ...."

~*~*~*~*~

"Oh, astaga." Terdengar Nina nyaris menggumam penuh kekaguman di ruang tes. "Dia tampan sekali, eh ... maksudku ... kulitnya terlihat sangat realistis."

Kala menghampiri, Aoi justru terkekeh. Bersamaan mereka menengadah memandang android bertubuh pria. Terlihat persis seperti manusia yang tengah tertidur di tabung pengisi daya.

Baru saja si android menyelesaikan beberapa tes yang berhasil diciptakan.

Senjata rahasia yang terpasang di dalam tubuh android sudah lengkap. Bahkan dia melakukan improvisasi dalam gaya bertarung satu lawan satu selama tes. Tentu saja pergerakan android itu membuat Edward terus-terus terperangah seperti orang bodoh.

Daniel datang menghampiri, lengkap dengan kopi yang ia bawa dengan nampan. Segera ia tawarkan kopi kepada sesama anggota lalu kembali berbincang.

"Aku berharap Madam terkesan dengan hasil kerja kita," celetuk Daniel tepat sebelum menyesap kopi. "Omong-omong ... dia jarang tersenyum ikhlas, ya."

Nyaris Aoi tersedak dibuatnya. Tetap saja kalimat terakhir Daniel sukses membuat Aoi terbatuk.

Jika saja mereka tahu, senyumnya yang itu memang sangat mahal sekarang.

Terdengar Adam menguap dengan suara kuat-kuat. Dalam bahasa Indonesia, ia menyempatkan diri melatah seusai puas menguap. Barulah ia menyahut sembari mengucek mata, "Menurutku sudah cukup jika android ini diterima."

"Ah, tentu saja," timpal Edward selagi menggosok telinga. "Aku bahkan masih bertanya-tanya apa kekurangan yang ada di dalam android kita."

Nina yang sedari tadi menikmati keindahan wajah android, lekas berputar sembari menyahut, "Mungkin sebenarnya ... dia meminta kita untuk menciptakan android yang sama persis seperti manusia?"

Anggota Cyclone Team membatu. Mulailah Adam mengerang panik, hampir terdengar seperti menangis. Ucapan Nina seolah bagaikan sihir, benar-benar sukses membuat Edward pusing tujuh keliling.

"M-maksudku ... maksudku, kita sudah berhasil, bukan?"

Tawa kecil terdengar dari Aoi yang memijat pelipis. Dalam hati ia membenarkan ucapan Nina. Sampai-sampai ia juga ikut memikirkan kekurangan apa yang menempel pada android mereka saat ini.

Aoi menoleh kepada tabung yang berisikan android dalam keadaan nonaktif. Dia mendongak kepada wajah yang tampak tertidur pulas, lagi begitu polos.

Tampang yang sama persis seperti manusia itu ... apa yang membuatnya kurang?

Sekali lagi, ia memastikan. Entah apa yang mengundangnya terkesiap. Pun, perlahan ia mulai mendekat kembali kepada tabung.

Aku ... seperti mengenalmu, batin Aoi. Hanya saja ....

"Aoi."

Panggilan Eleonor membuyarkan monolog Aoi. Kontan ia menoleh ke sumber suara, yang mana sosok itu tengah melangkah kepadanya, menyodorkan sebuah dokumen.

"Kita harus mempersiapkan semuanya sekarang. Kita akan membicarakan kekurangan anak ini setelah demonstrasi. Yah, jika memang ada," ujar Eleonor. "Ayo, bersiap di bagian masing-masing."

Waktu bergerak seolah bergerak singkat, hampir tak dirasa. Maka seluruh pekerja dan ilmuwan yang bersangkutan dengan proyek segera bersiap. Eleonor sibuk mengkoordinasi bagian kontrol untuk mulai mengecek satu per satu monitor untuk pemantauan. Belum lagi ruang tes mulai berisi dengung-dengung dari gumaman diskusi terdengar samar, ditemani dengan derap langkah yang bersahutan.

Tidak memerlukan waktu lama, Kirika akhirnya menginjakkan kaki di laboratorium. Dia mengizinkan seluruh penghuni laboratorium robotika agar bekerja lebih tenang dan teratur, benar-benar sudi menunggu.

Jika harus mengaku, Adam tidak bisa berbohong kalau ia juga sedikit penasaran bagaimana Kirika tersenyum lebar. Padahal dalam bayangannya, wanita yang merupakan pimpinan perusahaan ini cukup manis jika tersenyum.

Tak perlu berekspektasi besar-besar, Adam. Begitu Adam berujar dalam hati. Fokus! Fokus!

Tepat. Akan lebih baik jika memilih berfokus kepada demonstrasi android sekarang.

Ketika mendengarkan suara dari mikrofon, Adam mengangkat kepala. Aoi menyampaikan beberapa prosedur dan menuturkan kata sambutan kepada Kirika yang sudah datang. Setelahnya, mereka benar-benar memulai demonstrasi android.

Manik delima itu memandang antusias setiap pergerakan dan interaksi yang dilakukan oleh android. Sambil memangku dagu, kini Kirika memerhatikan android yang kini tengah mendemonstrasikan mode bertarung.

Eleonor sudah memanggil beberapa atlet dari komunitas bela diri yang kepalanya sudah sejak lama ia kenal. Meskipun pada dua hari lampau Aoi tidak menyetujui hal ini, beruntung Eleonor memenangkan keyakinannya. Barangkali akan sangat berguna membuat Kirika terkesan.

Tabung mulai disimpan, membuat ruang lebih lapang untuk percobaan mode bertarung. Saat mode bertarung diaktifkan, semula android masih dalam keadaan tegak, tetapi bersamaan dia sedang dalam keadaan awas. Ada tiga penyerang yang mengelilinginya, dua orang membawa bokken*, satunya akan menyerang dengan tangan kosong.

Dari belakang, seorang atlet pemegang bokken mulai bergerak. Dia menyabet punggung android yang dengan cepat berbalik seraya mengelak. Salah satu tangannya meraih si atlet muda dan menahannya di sana. Segera ia memukul tangan si atlet dengan punggung tangan, sukses membuat lawan terdorong menyamping.

Merasa mendapatkan kesempatan emas, pemegang bokken kedua langsung menyerang. Namun, langkahnya terhenti ketika android mengayunkan tendangan yang membuat tubuhnya ikut memutar. Hanya saja tendangan itu tak utuh sukses mendarat di tubuh lawannya. Tendangan menyamping yang tertahan melambungkan kaki sangat tinggi.

Android segera menurunkan kaki tepat penyerang bertangan kosong berlari ke bagian samping untuk melambungkan tinju. Segera ia membuat pertahanan dengan lengan atas, lengkap bersama kuda-kuda.

Belum selesai, si android segera diserbu dengan serangan tanpa henti. Demikian para penyerang mulai kehabisan napas, tetapi sama sekali di antara mereka tak hilang semangat. Tendangan, pukulan, kemudian sabetan dari bokken. Meski berulang, tetap saja serangan yang datang itu bervariasi. Lagi, menggebu-gebu. Sampai pada akhirnya, seorang atlet berhasil memukul punggungnya. Maka android berbalik, menarik bokken-nya dan mengeluarkan bilah pedang dari pergelangan tangan.

Tanpa ragu, si android mengarahkan bilah pedang itu ke leher atlet.

"BERHENTI!"

Jika saja teriakan Aoi tidak melaung, barangkali kepala atlet sudah terputus dari tempatnya. Mendengar perintah, android yang semula membeku segera melonggarkan cengkeramannya pada pergelangan tangan atlet.

Didapatinya atlet yang berkeringat dingin selagi ia mengangkat bilah pedangnya. Sungguh, bahkan para pemantau sempat terhenti detak jantungnya. Pun tertegun dengan tatapan tegang. Secepat kilat bilah pedang kembali masuk ke dalam pergelangan tangan si android.

Setidaknya gerakan androidnya sudah cukup membuat Aoi kembali bernapas lega.

"Saya pikir percobaannya cukup," kata Eleonor. Meski manik biru si profesor tak menghadap atasannya, yang diajak bicara mengerti bahwa kalimat itu ditujukan secara tidak langsung padanya. Namun, kali ini Eleonor memberanikan diri untuk berbalik. Lantas ia bertanya, "Apakah Anda memiliki keluhan selama demonstrasi, Madam?"

Sang Madam belum berkata apa-apa. Maniknya hanya berkedip perlahan kala ia memandangi para atlet yang tengah berbenah diri. Dia singkirkan pangkuan dagunya dan beranjak dari tempat duduk.

Dia berujar dengan sopan sembari melangkah mendekat kepada Eleonor, "Jika diizinkan, Profesor Radiovalenka ... saya ingin melihatnya lebih dekat untuk memastikan sesuatu."

Sebentar Eleonor meminta persetujuan kepada Cyclone Team dan tim bagian kontrol. Atas izin mereka, Kirika memasuki ruang percobaan. Tentunya dengan pengawasan Eleonor dan Aoi.

Ada yang membuat kekhawatiran Aoi memuncak. Buktinya, Nina mendapati Aoi terus-terusan mengulum bibir. Jika saja Nina tidak memerhatikan Adam di saat bersamaan pun, Adam pasti sudah dia dapati tengah menggigit jari oleh sebab tak mampu mengendalikan debar jantung yang tak karuan.

Sampailah Kirika menghadap android. Meski tubuh Kirika terbilang tinggi, untuk menatap si empunya lensa biru Kirika diharuskan sedikit menengadah.

Sementara android yang masih tertegun di tempat, berkedip sembari memiringkan kepala. Pendeteksi wajahnya membuat ia langsung tahu informasi singkat dari Kirika.

"Salam jumpa, Madam."

Cukup lama si android menerima respon lawan bicaranya. Meski hanya anggukan singkat, agaknya sudah cukup bagi android.

"Aku akan melukaimu," ujar Kirika terang-terangan. "Bagaimana?"

Android hanya menegakkan kepala. Kelopaknya berkedip sekilas.

Aoi melirik punggung Kirika tajam. Tetap ia isyaratkan agar android mau mengizinkan perbuatan Madam. Maka, sesuai dengan perintah yang dititahkan diam-diam, android mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Kirika.

Kirika tak ambil ragu. Dengan jempolnya, ia mengeluarkan bilah pisau pendek dan kecil dari cincin yang tertaut di telunjuk. Android hanya diam di kala Kirika menarik lengannya. Lantas Kirika menggoreskan luka di punggung tangan si android.

Sama sekali tidak ada reaksi dari si android. Lensa birunya hanya diam memandangi kulit telapak tangan yang perlahan menutup.

Kirika mengagumi regenerasi kulit yang luar biasa. Namun, ada hal yang membuat rasa tak puas membumbung di dalam dadanya.

Lantas ia mengangkat bilah pisau yang masih tertaut di telunjuknya. Si android masih memandangnya dalam diam. Kegiatan Kirika juga mengundang Eleonor dan Aoi untuk menunggu. Pun terlihat, sembari melakukan hal demikian, terlihat tangan kiri Kirika yang menaik.

Kirika mengayunkan bilah pisau ke arah pergelangan tangan kiri, sukses membuat Aoi memekik di belakangnya. Buru-buru Eleonor menghampiri Kirika, memandang nanar si atasan. Namun tak Kirika indahkan apa pun dari Eleonor.

"Lihat ...?" Manik delima itu berujar kepada si android. "Kau memiliki kekurangan."

Android berkedip, seolah tak paham. Sementara lensa birunya memerhatikan darah yang mengucur menuju pergelangan tangan, menetes-netes menciptakan noda kecil di atas lantai putih. Lekaslah Eleonor mengeluarkan sapu tangan. Namun, pula dengan cepat Kirika menoleh dan menolak untuk diobati.

"Aku tak butuh boneka yang tidak berjiwa seperti ini," cetus Kirika kemudian. Kali ini ia putuskan untuk beranjak dari tempat, tak peduli dengan darah yang juga ikut menciptakan jejak seiring ia melangkah. Kemudian ia melanjutkan, "Kalian masih punya waktu tiga bulan untuk memperbaikinya."

Manik biru gelap Edward memandang kepergian punggung pimpinan menyalang. Dia menahan diri untuk tidak membentak. Tapi pada akhirnya ia melontarkan patahan kata, "Android itu butuh nama, Yang Mulia."

Sukses langkah Kirika terhenti di ambang pintu. Sedikit manik delima itu mengerling kepada Edward, menunggu si pemuda melanjutkan kalimatnya.

"Anda pasti tidak lupa, bukan?"

Yang ditanya cukup lama terdiam. Dengan manik terpejam, ia menghela napas malas.

"Ah ... tentu saja," balas Kirika, tak kalah tajam nadanya. Hal itu tentu sukses menusuk Edward. Konon lagi disambung dengan pandangan si manik delima persis tertuju padanya.

Di belakang Edward, Daniel juga ikut menunggu sembari menelan ludah.

"Kode android, AK-25." Jeda lama sempat tercipta bersamaan kala ia membuang pandangan. "Nama manusia ... Akira Kurihara."

Jawaban itu sukses membuat Nina berbalik. Namun, tak lagi ia dapatkan sosok Kirika selain hening menyambut pintu yang kemudian tertutup sebagai sahutan atas tolehannya.

~*~*~*~*~

"Menurutmu ... tidakkah sedikit gila menamai android itu dengan seorang figure skating perwakilan Australia yang sudah tinggal nama?"

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Nina, Aoi menoleh lesu. Diam-diam ia mendengkus, lebih memilih untuk memeluk lutut ketimbang menjawab.

Ternyata android itu memang mirip dengannya.

Hidungnya mulai menghirup udara hangat dari pengatur suhu ruangan, begitu dalam hingga paru-parunya terasa penuh.

"Kupikir ...." Sebentar Aoi menjeda menunggu napas yang bersamaan menguap dengan kata. "Aku memang menciptakan satu kesalahan yang tidak bisa ditoleransi Kirika."

Segera Nina bertanya, "Kenapa?"

Manik obsidian melirik sendu. Sebisa mungkin senyum ia sunggingkan, tetapi sayang ujung bibir itu seolah tak berdaya meski si empunya sudah berkuasa menariknya.

Di bagian laboratorium, Adam masih tak habis pikir, apa yang menjadi kekurangan AK-25. Pula Edward dan Daniel berdiskusi panjang di ruang komputer, sempat berselisih karena debat yang tercipta. Sementara AK-25 hanya duduk diam mendengarkan.

Eleonor belum berhenti memutar otak, sampai-sampai pikirannya buntu. Masih saja ia terpaku di dalam ruangannya, ditemani dengan alisnya yang bertaut memandangi monitor. Sulit dipercaya semua semangat yang bangkit selama kerja sama runtuh begitu saja.

Suasana tiba-tiba menjadi runyam.

Namun ....

Secepatnya, mereka harus mencari kesalahan dari tantangan ini.

Bokken* : Katana kayu yang biasa digunakan untuk latihan bela diri kenjutsu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top