Chapter 1.1 [1/2]
Salju sudah mulai mencair. Permulaan musim semi disambut baik oleh para penduduk setempat. Mereka memulai pagi dengan aktivitas seperti biasa. Matahari bersinar cerah untuk menyambut kedatangan bibit-bibit bunga yang akan bermekaran di pertengahan bulan. Nenek tetangga pasti sudah siap untuk berkebun di atap hari ini.
Setidaknya meski dengan kemajuan teknologi, masih ada yang ingin peduli untuk bercocok tanam secara tradisional dan mereka menyenangi kegiatan itu. Paling tidak mereka masih peduli dengan persediaan udara segar dari pepohonan, jadi tidak perlu heran mengapa masih banyak pepohonan di kiri-kanan jalanan.
Ada sebuah rumah yang benar-benar terlihat tidak ramah pemiliknya. Sang empunya membangun tembok yang tinggi, lengkap dengan pagar yang tak mengizinkan untuk sekedar melihat pemandangan halaman mereka. Bahkan tidak pula diizinkan untuk mengintip.
Seorang pria dengan rambut perak tengah berdiri menghadap jendela di ruang tengah. Setelah bertepuk tangan dua kali, tirai yang menutupi jendela perlahan tertarik ke atas. Jendela mengizinkan cahaya matahari masuk. Manik biru langitnya memandang lurus pemandangan di luar. Hidung yang mancung itu diam-diam menghirup udara. Lantas kemudian ia menghembuskan napas perlahan.
"Sayang, dasimu."
Sebuah suara membuat pria itu menoleh ke sumbernya. Wanita dengan rambut kemerahan dan manik keemasan tersenyum lebar sambil berjalan menghampirinya. Di tangan wanita itu terdapat dasi biru gelap.
Si wanita segera mengalungkan dasi dan mulai mengikatnya. Maniknya tak berhenti menatap manik biru laut milik suami dan senyum masih saja melekat di wajah manis itu.
"Terima kasih, Aleah," kata pria yang kemudian mengecup singkat kening sang istri.
Aleah kemudian menjepitkan dasi ke kemeja suaminya. Barulah ia merapikan sedikit poni si pria yang sedikit berantakan.
"Baiklah, sempurna!" ujarnya kemudian. "Kau tidak boleh berantakan untuk pelantikanmu, Tuan Silvis Alford."
"Tapi sebenarnya ini hari besar untuk anak itu."
Istrinya memiringkan kepala, beberapa kali sempat mengedipkan mata.
"Oh, benar juga ... tapi tetap saja bagimu ini juga hari besar. Ah, tidak. Maksudku ... bagi kita semua," kata Aleah. "Dia sudah bangun?"
Mengingat anak yang tengah dibicarakan belum juga muncul, Silvis menarik napas panjang seiring dengan kedua bahunya yang terangkat.
"Entahlah. Aku akan membangunkannya."
Aleah mengangguk. Tak lama, Silvis melangkah cepat meninggalkannya.
Sebuah suara dari robot penyedot debu mengundang Aleah untuk menoleh. Wanita itu selalu senang dengan keberadaannya. Maka ia mengembangkan senyum, hendak menyapa si robot berbentuk lingkaran tersebut.
"Halo, Jessie. Pagi yang indah, ya?"
Senyum Aleah mengembang semakin lebar ketika Jessie menampilkan kalimat singkat berupa sapaan sebelum ia kembali bekerja.
Sementara Silvis, si pria berambut perak, melangkah menaiki tangga sambil mengancingi jas. Ia menaiki tangga, maniknya tertuju kepada sebuah pintu putih polos tak berhiaskan apa pun selain kenop pintu.
"Kirika," panggilnya setelah sampai di depan pintu.
Di dalam sana sebuah kamar yang luas dengan nuansa putih yang mendominasi, lengkap dengan meja kerja, lemari yang memenuhi setengah salah satu sisi dinding dari sudut, dan juga ranjang berukuran besar. Di atas ranjang itu tampak seseorang yang masih bergelung selimut.
Tepatnya seorang wanita dengan rambut merah muda keemasan yang masih berantakan, lengkap dengan sepasang manik yang masih tertutup sempurna. Padahal telinganya benar-benar peka dengan suara Silvis di luar sana. Dia memang sengaja, bahkan nyaris saja membalikkan tubuh sebelum suara alarm juga ikut menyusul untuk merusuh kegiatan tidurnya yang berlangsung damai.
Segera tangan berjemari lentik itu menyambar alarm dan melemparkannya tepat ke arah pintu.
Setidaknya dentuman keras yang dihasilkan sukses membuat Silvis terlonjak kaget dan mengernyit.
Memang ketika berbalik, Kirika, si wanita muda dengan rambut merah muda keemasan itu merasa kurang nyaman karena siraman matahari tanggung menerpa nyaris menembus tirai yang tipis. Meski harus merasakan sesak nantinya, ia memutuskan untuk membenamkan seluruh kepalanya ikut masuk ke dalam selimut.
Dia hendak melayang ke alam mimpi. Pandangannya segera beralih ke ruang putih yang kosong, lengkap dengan suara sorakan yang meriah menyambut kedatangannya ketika ia memasuki gelanggang es. Tetapi tentu saja pandangan segera buyar ketika ia mendengarkan langkah kaki yang mendekat.
Sejak kapan pamannya berhasil membuka kenop pintu tanpa sedikit pun bunyi dari sana?
"Bangun!"
Silvis kemudian menepuk tangan dua kali sehingga tirai mulai naik dan seutuhnya mengizinkan matahari untuk menyiram Kirika di dalam selimut. Wanita itu menyibak sebal selimutnya, lantas mengerling sinis kepada Silvis yang berkacak pinggang di belakangnya.
Kirika kembali memejamkan mata. Kali ini ia mulai membuka suara yang terdengar berat dan malas.
"Tidak bisakah aku sedikit lebih tenang dengan kegiatan tidurku, Paman?" protesnya, "Setidaknya izinkan aku memecahkan rekor tidur terlama sehingga kau bisa memanggilku Putri Tidur ketimbang ... Ratu Insomnia ... atau apalah namanya."
Silvis tersenyum miring dan mendengkus selagi ia berpaling seraya menarik lengan kemejanya.
"Sayang sekali, Nona. Hari ini kau tidak diizinkan untuk melakukan itu," balas Silvis sambil menarik selimut Kirika. "Cepatlah. Hari ini pelantikanmu."
Kirika mengerang pelan sambil mempertahankan selimutnya. Silvis akhirnya menyerah. Ia menghela napas.
"Lima belas menit," kata Kirika kemudian.
"Menunggumu bangun?"
"Ditambah lima belas menit untuk persiapanku."
Silvis mendesah keras. Memang cukup sulit menaklukkan keponakannya. Tetapi ia mengalah dan membiarkan Kirika menikmati lima belas menitnya.
Lebih tepatnya ... tiga puluh menit.
Ketika telinga Kirika mendapati suara pintu yang tertutup, ia menoleh sejenak. Pamannya benar-benar sudah pergi. Seharusnya saat ini ia bisa tertidur dengan tenang sekali lagi. Tetapi sejak memutar kembali kepalanya, ia malah menoleh kepada pemandangan dari jendela.
Kirika mendengkus pelan. Lantas manik delima itu bergerak tertuju pada tangan yang tergeletak di samping kepalanya. Benar-benar lenyap sudah keinginannya untuk tidur lebih lama.
Dia harus bangun sekarang.
Tubuh tegap itu segera bangkit dengan malas. Kakinya mulai menapak ke lantai. Saat ini sepertinya ia terlalu malas untuk mengenakan sandal rumah, maka ia membiarkan kakinya yang telanjang melangkah menuju kamar mandi.
Pagi ini masih terlalu dingin. Agaknya salju belum sepenuhnya mencair di wilayah ini.
Setelah mengikat rambutnya ke bawah, Kirika memutar kran dan membiarkan air hangat mengalir menuju saluran pembuangan. Secepat mungkin ia menyikat gigi seraya menampung setengah gelas air untuk berkumur. Lalu ia membasuh muka dan mengelapnya dengan handuk kecil.
Selesai melakukannya, lantas manik kemerahannya tertuju pada bayangan yang dipantulkan oleh cermin. Bibir ranum, hidung mungil, kulit yang putih serta tatapan yang seolah senantiasa memberikan tatapan tajam. Tetap saja semua itu tidak mampu mengalihkan perhatiannya kepada bekas luka bakar yang berbentuk persis seperti sekuntum mawar.
Kirika berpaling dengan malas. Tangannya pun bergerak menarik ikat rambut sehingga rambutnya yang halus tersibak menutup utuh bekas luka bakar di lehernya.
~*~*~*~*~
Tidak mengherankan jika pagi ini masih sepi dan hanya terlihat beberapa orang saja berlalu lalang di kompleks perumahan. Liburan musim dingin memang hampir habis, barangkali anak-anak sekolah masih saja membenamkan diri di dalam selimut seperti yang dilakukan Kirika tadi pagi. Ya, mereka harus benar-benar memanfaatkan waktu yang tersisa ini setelah menyelesaikan tugas-tugas liburan.
Mobil melintas dengan cepat. Sebisa mungkin mengejar sebelum lampu lalu lintas menyalakan lampu merah. Silvis sempat berhenti ketika seseorang hendak menyeberang. Orang itu membungkuk sebagai tanda terima kasih ketika hendak sampai. Wajahnya yang bahkan sempat terlihat tertegun kian berseri-seri ketika mendapati Kirika dengan jelas duduk di jok belakang. Sementara yang dipandangi tentu saja segera membuang pandangan, merasa tak nyaman.
"Aku harap kau segera mengganti kaca mobilnya dengan kaca hitam," celetuk Kirika kemudian.
Silvis tersenyum jahil.
"Tampaknya sulit sekali menjadi orang terkenal, ya, huh?"
Kirika berpaling, enggan untuk menanggapi. Sementara ia mendapati pemandangan, mobil berbelok ke kanan. Tampaknya mereka akan sampai dalam sepuluh menit.
Di kala mereka hampir sampai menghadap gedung, Silvis menurunkan kecepatan ketika mendapati para wartawan yang sudah berkerumun di depan gerbang. Dia menggeleng malas, bahkan sempat memejamkan mata.
Kirika melirik sekilas melalui spion tengah, memandangi Silvis.
"Aku sedang tidak berada dalam mood-ku. Kita masuk lewat basement saja," sahut Kirika kemudian.
Dari kejauhan, Kirika bisa melihat seorang juru kamera memergoki kedatangan mereka dan segera mengarahkan lensanya. Tetapi Silvis segera memutar setir untuk berbelok ke kiri.
"Aku sedikit penasaran ... mereka akan membuat judul beritanya bagaimana, ya? 'Mawar Jepang yang Mulai Tertutup'?"
Kirika berpangku dagu dengan malas. Sambil menerawang kaca mobil, ia mengembuskan poninya dengan kasar.
Silvis tertawa kecil. Setelah berbelok ke kanan, ia mendapati jalan menuju wilayah parkir bawah tanah. Semula mereka mendapati lorong gelap, maka segera Silvis menyalakan lampu. Manik biru laut itu berkedip sekali.
Seketika senyumnya memudar sejenak sebelum ia mendengkus bersamaan dengan senyum getir yang perlahan mengembang.
Sepertinya tidak mengherankan jika keponakannya ini sangat membenci para pers yang benar-benar mengekspos nyaris secara penuh masa kelam Kirika yang terjadi beberapa tahun lalu.
Kejadian itu benar-benar tidak bisa dilupakan.
Bisa dibilang Silvis menjadi merasa terus bersalah. Barangkali kala itu dia memang terlalu kasar. Kirika benar-benar kehilangan semuanya, tepatnya begitu. Semua yang ia inginkan dan seharusnya berjalan lancar.
Semua harapan itu benar-benar menghilang seperti debur ombak.
Tepat ketika enam tahun yang lalu ... bahkan orang-orang sanggup menjadi saksinya.
Gelanggang es kala itu terlihat normal-normal saja.
"Nomor empat puluh empat, Kirika Alford!"
Ketika seorang gadis belia meluncur masuk, para penonton mulai bersorak-sorai memberikan semangat. Semua orang memang menunggu pertunjukannya. Ini merupakan kompetisi tingkat senior ketiga bagi si gadis.
Seorang pemuda duduk di sebuah bangku yang jaraknya cukup jauh dari gelanggang, tersenyum lebar. Dia cukup lama menunggu Kirika memulai pertunjukannya.
Hingga hal yang tak biasa terjadi.
Pemuda yang semula terduduk spontan nyaris berdiri sebab Kirika terjatuh di lompatan pertama. Padahal itu merupakan poin tertinggi dari rekapnya. Para penonton menganggap itu merupakan hal yang biasa, jadi sebagai gantinya mereka bertepuk tangan menyemangati Kirika.
Manik biru gelap si pemuda menyipit, ia memandangi wajah Kirika yang tengah meringis. Gadis itu tetap memutuskan untuk meluncur dan mulai mengambil lompatan kombinasi kedua. Nyaris saja ia terpeleset di kala itu. Benar-benar tak wajar. Namun, agaknya si gadis masih ingin menahan diri.
Dia benar-benar menyelesaikan tariannya di atas es sampai detik terakhir. Pada akhirnya gadis itu tersungkur. Napasnya tersengal. Keringat dingin bercampur air mata. Melihat kejanggalan ini, para juru kamera segera menyoroti gadis itu.
Tak lama tapak sepatunya terlepas menyisakan genangan darah di atas es. Beberapa penonton memekik, di antaranya masih ada yang penasaran. Nyaris utuh kaus kaki Kirika terkoyak-koyak karena jarum tajam. Karenanya, nyaris seluruh stasiun televisi yang menyiarkan kompetisi secara langsung segera menjeda acara dan mengalihkan perhatian penonton di rumah dengan iklan.
Kirika terbatuk selagi medis dan pelatihnya berhambur menghampiri. Tak lama suara ledakan disusul dengan teriakan membuat Kirika terbelalak. Sebisa mungkin gadis itu justru mengembalikan utuh kesadarannya yang nyaris hilang.
"Aki ... ra ...," gumamnya lirih.
Sayangnya ia tak memiliki energi yang cukup untuk sekedar menengadah dan mencari sumber suara.
Suara-suara gumaman memenuhi gelanggang, mendengung mendominasi telinga membantu meningkatkan rasa pusing di kepala Kirika. Kedua manik delima si gadis bergerak liar, hilang fokusnya di antara pandangan para medis yang hendak membantu. Napas sesak seolah dadanya diikat dengan tambang. Dia terengah.
Keringat dingin mengucur deras, menetes ke permukaan es, bergabung bersama dengan darah yang mengalir dari telapak kaki. Genangan dari cairan merah nyaris utuh memenuhi tengah gelanggang.
Pandangan kian menggelap, semakin gelap. Napas seolah tak bersisa lagi di dalam paru-paru gadis itu. Dia terengah. Sementara kedua tangan yang bertumpu perlahan mati rasa selagi suara dari salah satu anggota tim medis samar-samar ikut menghilang bersama dengan suara para penonton. Kirika seolah mendadak tuli.
Kedua tangan itu terpeleset. Tubuhnya yang hampir jatuh segera ditopang oleh ketua tim medis.
Dia memandangi salah satu cahaya lampu yang menyorotinya. Kepala Kirika berakhir terkulai lemas, berikut dengan sepasang manik delimanya yang tertutup rapat.
~*~*~*~*~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top