Fatbuloves - 2
Hai hai..
saya hadir di cerita kolaborasi saya dengan tante kece saya jeng @acariba yang diposting secara bergantian. acariba bab ganjil dan saya bab genap.
bab ini saya dedikasikan untuk @acariba *gak bisa dedicated lewat aplikasi* :"D
bab 1 sudah di posting di akun @acariba ya, dan giliran saya hari ini posting bab 2. jadi tanggal 11 nanti giliran bab 3 di posting di sana.
Yang belum baca bab 1 silakan meluncur ke akun @acariba ya..
saya tunggu vote dan komennya :D
love,
vy
--------------------------------------
Di kuncir?
Di urai?
Ah rasanya pilihan terakhir yang paling cocok untuk menutupi pipiku yang chubby, yang konon katanya sangat menggemaskan. Ya ampun, apa yang membuat orang merasa begitu gemas dengan lemak yang menumpuk di pipi? Aku menyisir rambut hitam sebahuku dan menjepitnya di bagian poni.
Sempurna!
Emm..Tidak sebenarnya.
Cermin di kamarku yang kebetulan hanya sebatas meja rias tidak bisa memperlihatkan keseluruhan tubuhku. Ya tubuh 155 cm dengan berat 55 kg. Ideal? Angka keramat? Ini lebih dari itu. Ini membuatku terlihat seperti galon berjalan. Tidak ada batas antara dada, pinggang dan pinggul. Okaylah, dadaku lebih besar sedikit.
Benar-benar mengenaskan.
Jadi, pakaian yang berani kupakai sehari-hari hanya kemeja flanel besar berwarna gelap dan skinny jeans hitam. Oh, jangan bayangkan wedges atau bahkan stiletto, aku bisa menderita sakit pinggang dan tidak bisa jalan selama dua hari. Pilihanku hanya sepatu converse atau flat shoes. Dan sekali lagi, HARUS berwarna gelap.
Beruntung sekali, aku bekerja di sebuah perusahaan advertising, jadi tidak perlu basa basi memakai blazer apalagi rok sepan yang pastinya sukses membuatku terlihat seperti lemper berjalan. Perusahaanku tidak akan peduli kau bekerja dengan pakaian apa, karena yang di butuhkan hanyalah hasil akhir, kreatifitasmu.
Jam 8.05, aku langsung memacu honda jazz-ku menuju kantor di bilangan Jakarta Pusat. Kemacetan sudah menjadi hal yang biasa ku alami. Mengeluh? Ah andai saja mengeluh bisa membuat kemacetan ini terurai, tapi kenyataannya hanya membuat aku semakin kesal dan harus berlomba dengan keinginan untuk menerobos jalur Trans Jakarta. Aku melirik kanan dan kiri, sekedar mencari pemandangan untuk mengeluarkan aku dari kebosanan yang mulai menjalar dipikiranku. Mataku berhenti pada keripik kentang yang dengan tidak sopannya duduk santai di kursi penumpang di sampingku.
Ya ampun kenapa keripik itu seperti melambai-lambai padaku. Padahal aku baru saja sarapan sepiring nasi goreng dan setangkup roti keju.
Lalu apa ini bunyi di perutku? Kenapa cacing di dalam sana sepertinya berubah menjadi naga yang tidak berhenti meraung-raung karena kelaparan.
Ah, masa bodohlah. Sedikit keripik kentang tidak mungkin membuat berat badanku naik sekilo kan? Atau mungkin?
Aku mulai mengunyah keripik kentang melambai itu, dan voila! Rasa kesalku hilang, berganti perasaan senang yang membuatku tanpa sadar sudah membuka bungkus keripik kedua.
Masa bodoh dengan kemacetan yang sepertinya masih akan menahanku beberapa menit lagi.
Pelajaran nomor satu, makanan selalu bisa memperbaiki moodmu. Jika kalian merasa kesal atau marah, kunyahlah sesuatu, secara perlahan..maka,
semua akan baik-baik saja.
***
Aku bekerja sebagai team kreatif di salah satu perusahaan advertising yang cukup terkenal. Tentu saja aku bangga dengan pencapaian ini, mengingat betapa sulitnya masuk perusahaan yang biasa menangani klien-klien kelas berat ini. Team-ku beranggotakan empat orang dan di pimpin oleh seorang wanita yang kurasa seumur denganku. Dia sebenarnya lebih cocok berjalan di catwalk menjadi supermodel daripada menjadi atasanku. Tapi, berhubung orang tuanya adalah pemilik perusahaan ini, jadilah dia -si supermodel itu- terdampar di sini bersama kami.
Dalam team, ada aku, Gina -si galon berjalan-. Lalu yang gondrong dan tampak tidak pernah mandi itu adalah Bimo, dia jago gambar dan hobi ngupil. Kemudian Bembi (okelah, nama asli sebenarnya adalah Bambang), yang terobsesi dengan seragam kantoran yang necis, sehingga di saat kami memakai baju seperti gembel, dia terlihat lebih rapih dari pemilik perusahaan ini.
Dan terakhir, ada Andre, si manusia paling normal di antara kami. Berwajah tampan hampir serupa Zayn Malik (sumpah, bukan aku yang bilang), bertubuh tinggi tegap, dan paling jenius.
Sayangnya, dia adalah soulmate-ku. Mengerti kata soulmate disini? Artinya dilarang masuk, karena kami adalah saudara sejiwa. Sahabat sejak SMA. Tetangga di apartemen. Satu-satunya manusia yang tahu berat badan dan ukuran bra-ku. Intinya, no room for love between us! Titik.
Brak!
Suara pintu terbuka mengejutkan kami berempat. Nah mari kuperkenalkan supermodel sekaligus atasanku. Elsa Marina Danusubrata. Ya, saat kubilang aku bangga masuk ke perusahaan ini, kata-kata itu langsung kutarik ketika melihat Nona berkacamata hitam dan bersepatu boot dalam ruangan inilah yang menjadi atasanku.
"Deadline-nya minggu ini lhooo!! Pada nggak bisa kerja lebih cepat apaaa?" Jeritnya histeris.
Dasar ratu drama.
Elsa melirik tajam padaku. "Gina, jangan ngemil terus gitu kenapa sih! Kapan selesainya kerjaan kamuuu!!"
Kampret dan bangke saja bahkan tidak cukup menggambarkan kekesalanku pada Elsa. Sementara Bimo terkekeh dan Bembi tampak sok serius di depan laptopnya yang entah sedang membuka situs apa.
"Bimooo..jorok banget sih ngupil terus!" Bimo yang terkejut langsung meleletkan upilnya di bawah meja.
Ingatkan aku untuk tidak menyentuh bawah meja sedarurat apapun keadaannya.
"Elsa, calm down. Gue yakin bisa selesai sebelum waktunya kok." Suara berat Andre akhirnya terdengar.
Elsa bertepuk tangan dan senyum di wajahnya terkembang. "Ah Andre, gue selalu bisa mengandalkan lo." Ujarnya kemudian berbalik dan kembali masuk ruangannya dengan suara bootnya yang menggema.
Andre tertawa kepada Bimo dan Bembi kemudian mengedipkan mata padaku yang langsung kubalas dengan lemparan kacang dua kelinci padanya. Semua aman di tangan Andre Rahardian. Aku meregangkan badan dan memeriksa ponselku. Ada satu pesan masuk dari ehem, pacarku, Hezel Darmawan.
From : HezeLove
Beib, pulang kantor nanti bisa ketemuan? Ada hal penting yang mau aku bicarakan..
Perasaanku mulai tidak enak. Biasanya jika ada kata-kata 'hal penting yang ingin aku bicarakan', hal tersebut bukanlah hal yang enak untuk di dengarkan. Aku membalas pesan singkatnya untuk setuju bertemu di coffeshop seberang kantorku sepulang kerja.
Setelah menanggapi obrolan ngalor ngidul di group WhatsApp, aku mengecek notifikasi email, dan ah..ini dia, email dari Laura. Gadis ini adalah adik kelasku saat sekolah, kami bertemu di social media saat dia memberi comment pada salah satu foto yang ku upload. Kami berlanjut mengobrol di personal message dan bertukar email. Sejak itu kami sering menceritakan hal-hal tidak penting yang menurut kami penting di email itu, biasanya tak jauh dari rencana dietnya yang baru berjalan beberapa hari dan aku yang meracun menceritakan soal lezatnya makanan di resto A atau kafe B.
Dia bekerja sebagai arsitek, keren sekali bukan? Kapan-kapan jika aku ingin membangun rumah, Laura yang harus membuat desainnya.
Aku tersenyum dan terkekeh membaca email darinya. Tentang gym yang mulai rutin dilakukan olehnya, juga diet ketat demi bisa mendapatkan cintanya dan tentu saja dia tergiur dengan wedges Dorothy Perkins yang ku share padanya. Tanganku mulai mengetik kata-kata balasan untuk emailnya.
To : [email protected]
From : [email protected]
Subject : Are you sure??
Hai Lala..
Aku tertawa geli membaca email darimu, dan aku tidak pernah bosan dengan semua ceritamu. Omong-omong, bagaimana tampang mas-mas berotot di tempat gym disana? Apakah ada yang serupa dengan Jeremy Renner? Atau apakah ada om-om seksi seperti Gerald Butler? *gagal fokus*
Sebenarnya yang terbersit di pikiranku saat membaca emailmu adalah...apa yang salah memiliki tubuh seperti Jennifer Lawrence? Berisi, seksi dan tidak kurus kering. Bandingkan denganku yang bahkan tidak bisa membedakan mana dada, pinggang dan pinggul. Kamu sempurna, La.
Ya okaylah, si Sakti gila itu mungkin lebih senang memegang papan gilesan daripada tubuh empuk milikmu.
Tapi aku mendukungmu, dear. Dan berharap suatu saat bisa memiliki keinginan merubah tubuh galonku menjadi serupa gitar spanyol. Hanya saja motivasi ke arah sana belum ada. Hezel -pacarku- tidak mempermasalahkan tubuhku, dan astaga Lala, pernahkan aku bilang bahwa makanan adalah solusi terbaik dalam setiap masalahku? Jadi bagaimana aku bisa pergi menjauh dari itu?
By the way, kemarin aku wisata kuliner ke pasar ah poong di Sentul City, dan itu surga makanan, La. Kalau kau mengunjungiku kemari, bisa di pastikan aku akan menyeretmu kesana untuk menikmati cakwe yang luar biasa enaknya.
PS : dear Lala, jika kau bisa berhasil membentuk tubuhmu serupa sahabatmu itu, wedges Dorothy Perkins koleksi terbaru jadi milikmu...cuma-cuma. I'll buy it for you ;)
Aku mengirim email tersebut kemudian kembali berkonsentrasi pada pembuatan konsep iklan untuk klien kami.
***
"Langsung pulang? Bareng gue aja.." Aku terkejut saat bahuku ditepuk Andre. Dia memutar-mutar kunci mobil di tangannya.
"Gue bawa mobil juga, Ndre. Lagian mau ketemuan dulu ama Hezel. Lo nge-gym lagi sore ini?" Tanyaku. Di apartemen kami memang ada fasilitas fitness dan kolam renang, yang sayangnya tidak pernah kugunakan.
"Iya..gue mau ikut kelas yoga, Gin. Gilee, instruktur yoganya mirip nadya hutagalung." Ujarnya bersemangat. Matanya berkilat nakal. Dasar player..
Aku meninju lengannya. "Woo..kerjaan lo, Ndre. Tobat kenapa sih!" Baiklah, katakan padaku wanita mana yang tidak terhipnotis tatapan mata milik sahabatku ini. Dan kelebihannya itu sering di salah gunakan oleh Andre untuk sekedar bermain-main dengan wanita yang tergila-gila padanya. Oh, jangan tanya sejauh apa hubungannya dengan harem-haremnya, aku tidak pernah mau tahu meskipun kami bersahabat sejak SMA.
Andre terkekeh. "Gue tobat kalo lo putus dari Hezel." ujarnya sambil merangkulku.
Aku mencibir. "Jangan mimpi, Ndre. Yang ada gue bakal di lamar bentar lagi."
Ini bukannya aku kegeeran, tapi setelah tiga tahun hubunganku dengan Hezel, dia sering menyatakan keinginannya untuk melamarku.
Andre hanya tersenyum tipis kemudian menepuk bahuku dan berjalan menuju parkiran. Aku sendiri langsung beranjak ke coffeeshop di seberang kantorku. Coffeshop kecil yang juga menjual cupcake varian rasa yang luar biasa enaknya. Mungkin aku bisa membungkusnya setengah lusin untuk menemaniku nonton tv nanti malam.
"Selamat datang!" Seorang waitress menyambutku dengan semangat. Mataku berkeliling dan menemukan sosok pria tampan memakai setelan kemeja biru dengan garis-garis vertikal yang tipis dan celana pantalon hitam duduk di meja dekat jendela. Sambil tersenyum aku mendekat ke arahnya.
"Udah lama?" Aku mencium pipinya kemudian duduk di sofa kosong di hadapannya. Meja bulat berukuran kecil di antara kami, sudah tersaji dua Greentea Frappuccino kesukaanku dan Hezel juga cupcake dengan cream moka yang terasa lezat.
"Belum, baru sepuluh menit." Ujar Hezel sambil tersenyum. Tanganku bersiap-siap mengambil cupcake moka yang lezat itu ketika Hezel bergerak dengan gelisah, berdehem, kemudian menautkan jari-jarinya di atas meja.
"Everything's okay?" Tanyaku hati-hati. Aku menatap ke matanya dan menemukan bahwa semuanya tidak baik-baik saja.
"Emm..okay." Jawabnya dengan senyum yang dipaksakan.
Aku mengerutkan kening. "Hezel..aku nggak akan nanya dua kali ya."
Hezel menarik nafas dalam. "Gina..kamu merasa ada sesuatu yang hilang nggak di hubungan kita?" Hezel bertanya dengan suara gugup. Mendadak aku merasa seperti di hantam kereta berkecepatan tinggi, aku tersadar bahwa kami tidak sedang baik-baik saja.
Dan kata-kata yang bisa keluar dari mulutku hanya, "maksud kamu?" Aku meletakkan kembali cupcake yang sudah berhasil kupegang.
"Ya..aku merasa kita nggak kayak dulu lagi." Ujarnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang aku yakin tidak gatal.
"Dulu kita gimana? Sekarang kita gimana?" Tegasku.
"...."
"Gimana kamu bisa menyimpulkan ada yang hilang kalau kamu nggak bisa jawab pertanyaanku barusan!" Aku setengah mati menahan suaraku agar tidak berteriak padanya.
"Ini bukan tentang kamu kok, Gin. Ini tentang aku. Aku yang nggak cukup baik buat kamu." ujarnya mencoba meyakinkanku.
Bleh! Seratus juta cowok selalu bicara begini. 'Ini bukan tentang kamu tapi aku'. Bener-bener omong kosong.
Aku menahan tanganku yang sudah siap melemparkan pot bunga ke kepalanya.
"Nggak usah berbelit-belit, Hez. Point pembicaraan kamu ini apa?" ujarku sambil menatap tajam padanya.
Hezel menunduk, kemudian menatap mataku. Dan tanpa belas kasihan dia mulai menjatuhkan bom itu. "Aku mau kita putus, Gin.."
*To be Continue..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top