Extra 3. Are you Happy?
" I do walking, sleeping, talking, doing everything. But actually I'm just a dead man from years ago."
Seorang mahasiswa berjalan melewati lorong dengan mengapit beberapa buku di tangan kanannya. Sebuah jam hitam melingkar disana, menghias lengannya yang kokoh. Ia membetulkan letak kacamatanya sesekali, mengecek catatan kecil yang ia pegang menggunakan tangan kiri.
Langkahnya tenang tanpa memperdulikan lirikan menggoda mahasiswi yang kebetulan dilewatinya. Telinganya tuli terhadap semua bisik-bisik yang seolah selalu mengikutinya.
Dia Dewa Abirama. Mahasiswa Kedokteran yang brilian dan pemegang rekor terbanyak menolak semua perempuan yang menyatakan cinta padanya.
" Selesai bertapa? Seneng amat sendirian bareng cadaver!" Dengusan di sampingnya membuat Dewa menoleh. Berbeda dengan dirinya, pemuda di sampingnya ini menenteng laptop kemana-mana. Ia menyerahkan secarik kertas itu padanya.
" Ini. Katanya suruh kesini." Kata Dewa.
" Oh...ya udah ntar kesana aja. Gue tahu café ini. Sering kesana soalnya free wifi. Gue perlu update GTA buat presentasi besok." Celetuk Reno menyerahkan kembali kertas itu pada Dewa.
**
Dewa membuka restleting jaketnya sembari menuju sebuah meja yang sudah diisi oleh satu orang.
" Mana oleh-oleh dari Inggris?" Tanya Reno seenaknya menarik kursi dan duduk di sampingnya. Leon mengangkat alis.
" Gue disana belajar, kunyuk!" Tukas Leon membalas sapaan Dewa. Dewa mengambil kursi di samping Reno.
" Ada apa? Tumben banget lo nyempatin pulang." Tanya Dewa. Itu benar. Seorang Leon Aditama, pewaris tunggal perusahaan Aditama sekarang berstatus sebagai mahasiswa jurusan bisnis di Oxford dan bertanggung jawab pada beberapa perusahaan di sana. Ia bisa tidak pulang selama tiga tahun. Maka kepulangannya yang mendadak pasti membawa sesuatu yang tidak biasa.
Leon menatap Dewa lekat-lekat.
" Lo masih ngejar Nala, De?" tanya Leon serius. Bahkan Reno melepaskan sedotan yang sedari tadi ia gigiti. Tahu bahwa ini adalah topik serius.
Tubuh Dewa menegang.
Ya. Ia melakukan hal konyol itu dengan masih mengikuti berita apapun tentang Nala. Lebih tepatnya, tentang Halid yang beritanya selalu bergaung dimana-mana.
" Lo masih ngarepin dia?" tanya Leon lagi. Dewa terdiam menatapnya datar.
" Kenapa memangnya?" Tanyanya balik.
Leon menghela nafas berat.
" Udah berapa kali gue bilang, berhenti ngelakuin hal-hal konyol dan fokus sama hidup lo sendiri." Kata Leon sembari meletakkan sebuah benda pipih berplastik tepat di hadapan Dewa.
" Itu undangan pertunangan resmi buat keluarga gue." Kata Leon menegaskan apa yang Dewa lihat. " Media masih belum denger."
Sesuatu seperti menonjok perut Dewa keras-keras saat membaca nama dalam undangan itu. Ia membacanya berkali-kali, berharap bahwa matanya salah. Namun berapa kalipun, tulisannya tetap sama.
Kanala Radhinnabil & Samuel Maximillien
" Gue kenal Maximillien. Mereka memang salah satu partner terkuat Halid." Kata Leon mengawasi ekspresi Dewa.
Dewa meletakkan undangan itu di meja dan berdiri.
" Kemana lo?" Tanya Reno tajam. Namun Dewa hanya menatapnya dingin sebelum melangkah pergi. Dewa keluar, berusaha mempertahankan keseimbangan tubuhnya yang limbung.
" Astaga!" Seru Leon dan Reno bersamaan. Keduanya sepakat bahwa Dewa tidak bisa dibiarkan sendiri. Dengan bergegas, keduanya mengikuti Dewa yang sudah melesat dengan motornya tepat di depan hidung mereka.
" Kemana?! Kemana?" Seru Leon panik.
" Mobil lo mana? Cepetan!" Tanya Reno yang juga tergesa. Leon menatap Reno tidak mengerti. Reno berdecak frustasi.
" RUMAH NALA, KEMANA LAGI??"
**
Dewa hampir tidak menyadari jalanan sekitarnya. Pikirannya penuh dengan undangan pertunangan itu.
Selama ini, ia tidak benar-benar melepaskan Nala. Gadis itu selalu menjadi pikirannya setiap hari, sampai akhirnya hadir dalam mimpi-mimpinya setiap Dewa memejamkan mata. Dia masih berharap suatu keajaiban datang dan mempertemukan mereka kembali. Saat itu terjadi, dia tidak akan pernah melepaskan Nala lagi.
Selama ini, dia hidup dengan pemikiran bahwa Nala juga berpijak di bumi yang sama dengannya. Seberapa jauhnya gadis itu, memikirkan Nala berjalan di planet yang sama selalu berhasil membuatnya menjalani hari-hari. Namun kali ini berbeda. Setelah ini, dia tidak pantas lagi berpikir seperti itu. Setelah ini, bahkan mengingatnya pun akan terdengar salah.
Dewa menghentikan motornya di depan rumah bercat putih yang masih terpelihara meskipun sudah lima tahun tidak dihuni. Dewa masih sering kemari, tentu saja. Hanya untuk meredam rindu yang kadang membuatnya kewalahan.
Bukankah seharusnya ia tidak menyesali keputusan yang ia buat sendiri? Ia tentu tahu sekali bahwa keputusannya adalah yang terbaik. Tapi setelahnya, tidak ada satu haripun yang dilalui Dewa tanpa penyesalan karena melepas Nala.
Semuanya terasa salah.
Dewa memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Matanya menatap ke rumah kosong itu. Lima tahun lalu, tangisan teredam gadis itu menyiksanya tanpa ampun. Jiwanya seakan dicincang dengan silet, sesenti demi sesenti. Ia masih ingat betapa dirinya nyaris berbalik dan menjelaskan yang sebenarnya. Betapa dirinya ingin sekali merengkuh tubuh rapuh itu dalam pelukannya.
Tapi toh akhirnya dia memilih pergi. Dan sekarang ini semua terjadi.
" Kamu bahagia, La?" Tanyanya pada hantu-hantu disana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top