9. CATCHED
" He is a trespasser, but I trust him. It's weird."
Dewa mengecek jam tangannya. Sudah hampir lima belas menit ia menunggu di halte bus di depan perumahan Nala, namun gadis itu tidak kunjung muncul. Apakah anak itu kabur darinya lagi? Dewa mengetatkan rahang. Tapi ia memutuskan untuk bertanya pada satpam, dan jawaban dari satpam semakin membuatnya tidak tenang.
Dewa memutuskan untuk menyambangi rumah Nala. Lampu rumah gadis itu masih menyala. Dewa menghembuskan nafas untuk menenangkan diri. Ia meraih ponselnya dan menelfon gadis itu untuk pertama kalinya.
" Kak Dewa..." Suara merintih langsung menyapa telinga Dewa. Tubuh Dewa menengang.
" Nala, kenapa? Kamu dimana?" Tanya Dewa. Ia bersumpah bisa mendengar gadis itu terisak.
" Nggak berangkat...Nala izin kak..." Jawab Nala lirih.
Panggilan diputus oleh Nala, membuat Dewa menatap benda pipih itu lama. Semua pikiran mengerikan berkecamuk di kepalanya. Dewa melangkah dan membuka pagar yang untungnya tidak terkunci. Sampai di beranda, Dewa mengetuk daun pintu putih itu.
" Nala?" Panggilnya.
Tidak ada respon. Dewa mengetuknya lagi. Kali ini lebih keras. " La? Kamu di dalam?"
Dewa mundur saat daun pintu tertarik ke belakang. Nala muncul dengan penampilan yang sama sekali kacau. Ia sudah memakai baju seragamnya, namun masih memakai celana piyama yang menutupi hingga mata kaki. Rambut gadis itu terlihat kusut. Namun hanya wajah Nala yang menjadi perhatian Dewa.
" Kan aku udah bilang, aku nggak berangkat..." Gadis itu berkata lirih. Ia meringis seakan menahan sakit. Wajahnya pias.
Nala bahkan tidak mempunyai tenaga untuk terkejut ketika Dewa menyisipkan tangan di belakang leher dan kaki Nala. Ia merasa tubuhnya melayang ketika Dewa membopongnya. Nala meremas lengan seragam Dewa kuat-kuat ketika merasakan sakit lagi di perutnya.
Dewa menidurkannya dengan lembut di sofa ruang tengah. Cowok itu mengusap dahi Nala yang berkeringat dingin.
" Kamu datang bulan?" Tanya Dewa.
Bagaimana laki-laki itu tahu jika ia datang bulan, Nala tidak menggubrisnya. Perutnya serasa diremas tanpa ampun. Nala memejamkan mata dan mengangguk.
Dewa mengangkat kepala Nala saat menyisipkan bantal di bawahnya. Ia mengusap wajah gadis itu lagi. Dilla juga sering mengalami hal ini, maka ia tidak terlalu terkejut.
" Udah minum obat?" Tanya Dewa. Nala mengangguk lagi tanpa membuka mata. Ia menghirup nafas dalam-dalam, kemudian mencoba bangkit.
" Mau kemana?" Tanya Dewa tajam. Ia menahan tubuh gadis itu. Nala berbaring kembali. Merasa tidak punya tenaga untuk adu mulut dengan Dewa.
" Kamar." Kata Nala yang hanya berupa bisikan, " Dingin."
Dewa membenahi baju seragam gadis itu. Tanpa kata, ia kembali membopong tubuh mungil Nala dan mengantarkannya ke ruangan yang ditunjuk gadis itu.
Dewa membaringkan Nala di kasur. Gadis itu masih tergolek lemas. Dewa meraih selimut bulu bercorak doraemon di kaki kasur dan membentangkannya di atas tubuh Nala. Nala membuka matanya dengan sayu, memperhatikan gerak-gerik laki-laki itu.
" Kak Dewa udah berangkat aja...nanti terlambat..."
Dewa tidak menjawab. Ia justru meraih minyak kayu putih di atas nakas. Dewa menarik kursi di depan meja rias Nala dan membawanya di samping tubuh gadis itu. " Aku izin. Kamu udah makan?"
Nala kembali memejamkan mata, kemudian menggeleng " Nggak napsu."
Dia tidak menyalahkan Nala. Seperti Dilla, adiknya itu juga akan malas makan ketika haid. Bulir-bulir keringat masih bermunculan. Dewa menuangkan sedikit minyak kayu putih di tangannya, kemudian menyusupkan tangan dengan hati-hati di bawah selimut. Ia terlalu terbiasa merawat Dilla.
Sementara itu, Nala membelalak ketika menyadari apa yang akan dilakukan Dewa. Ia berguling menghindari tangan Dewa yang penuh dengan minyak kayu putih.
" Mau ngapain?!" Seru Nala serak seraya melotot pada Dewa. Sedangkan Dewa hanya menatapnya datar.
" Ini memperingan sakitnya." Kata Dewa. " Ck! Udah sini!"
" Enak aja! Ogah!" Tepis Nala galak, namun detik berikutnya ia meringis saat perutnya berdenyut menyiksa.
Dewa menghirup nafas banyak-banyak untuk menambah kapasitas kesabarannya. Ia meletakkan botol minyak kayu putih dan bangkit. Dicondongkan tubuhnya untuk meraih Nala yang berada di tengah kasur, kemudian dibopongnya tubuh mungil itu ke tepi kasur.
Dewa membenahi selimutnya dan menyibak rambut dari dahi berkeringat Nala. Kentara sekali gadis itu kesakitan. Melihat wajah pucat Nala yang mengeriut itu, secercah rasa khawatir menyusup.
Dewa menuangkan minyak kayu putih kembali di telapak tangannya. Namun lagi-lagi, tangan Nala menahan tangannya. Matanya menyipit penuh kecurigaan di wajah pucat itu. Dewa membalas tatapan Nala.
" Kamu pikir aku mau ngapain?" Tanyanya datar. Nala mengedip sekali, kemudian mengendurkan pegangannya. Dewa menurunkan cekalan Nala di pergelangan tangannya dengan tangannya yang lain tanpa melepas tatapan mereka.
Dewa mengusap pelan telapak tangan Nala yang masih berada di dalam genggamannya, berusaha memberinya ketenangan. Akhirnya Nala mendesah kalah. Perutnya yang sakit lebih mengambil alih otaknya hingga Nala akhirnya memejamkan mata erat-erat.
Nala merasa sedikit rileks ketika tangan Dewa mengusap perutnya dengan lembut. Aroma minyak kayu putih cukup menenangkannya. Ia membenahi letak tubuhnya, mencari posisi yang nyaman. Sekali lagi, tangan hangat Dewa menyusup ke perutnya.
" Punya kunyit asam nggak?"
Nala membuka matanya. Ia mengawasi Dewa yang dengan telaten mengusap perutnya.
" Kok kakak tahu?" Tanyanya lirih.
" Katakanlah kakak yang sayang adik. Udah diminum?"
" Belum." Jawab Nala.
Dewa menarik tangannya membuat Nala kehilangan kehangatan. Cowok itu merapikan rambut Nala. " Dimana?"
" Hmm...kulkas."
Dewa bangkit dan mencari-cari letak dapur di rumah ini. Rumah sebesar ini dan terasa sepi. Dewa menemukan dapur dan membuka kulkas. Ia mengambil sebotol kunyit asam. Saat itu, ia melihat sepotong cake coklat dan memutuskan untuk membawanya juga.
Mata Nala langsung menangkapnya saat Dewa masuk kembali ke kamarnya. Nala menatap bawaan Dewa dan menggeleng lemah. Dia masih belum ingin makan apa-apa. Dewa meletakkan kedua benda itu di atas nakas. Ia duduk dan meraba dahi Nala. Sudah tidak terlalu berkeringat seperti tadi.
"Baikan?" Tanya Dewa. Nala mengangguk. Rasa panas di perutnya meresap melemaskan otot-ototnya.
" Makasih." Ucapnya serak, " Kak Dewa berangkat sana gih. Nanti dicari-cari."
Dewa mengangkat alis, " Siapa yang mau cari? Kamu kan disini."
Nala mengerjap, kemudian nyengir lemah, " Astaga! Nggak cocok ngegombal deh."
Dewa tertawa pelan. Saat itu, ia menangkap sebuah foto di dinding.
" Siapa?" Tanya Dewa mengedikkan dagu ke arah foto yang menunjukkan dua orang di dalamnya. Nala dengan seorang pemuda laki-laki. Sang pemuda laki-laki yang tersenyum lebar dengan satu tangan merangkul bahu Nala. Tanpa sadar, Dewa menyipitkan mata.
" Radit." Jawab Nala mengikuti arah pandangan Dewa. " Kakak kembarku."
Dewa mengalihkan tatapannya pada Nala.
" Masa nggak paham? Wajah kita kan sama, gitu?" kekeh Nala menyadari kebingungan Dewa.
Dewa menatapnya lagi. Kalau dilihat-lihat, memang bentuk hidung mereka mirip. Dagu, bibir bahkan bentuk matanya pun mirip. Yang membuatnya berbeda hanyalah kenyataan bahwa mereka perempuan dan laki-laki.
" Sekolah dimana?" Tanya Dewa. Ia cukup yakin kembaran Nala tidak bersekolah di SMA Angkasa. Jika demikian, ia tidak mungkin melewatkannya.
" Hmm..hmmm..." Nala menggeleng. Tangannya teracung ke langit-langit. " Sama mama, dua tahun lalu."
Dewa terpaku. Nala mengamati reaksi Dewa. Ia memiringkan tubuhnya menghadap Dewa, menatap wajah tampan itu. Dengan jarak sedekat ini, Nala bisa menghirup aroma menyegarkan laki-laki itu.
" Radit pasti marah gara-gara ada cowok yang ngaku jadi pacarku." Celetuk Nala menyadarkan Dewa. Dewa memajukan tubuhnya dan menyila rambut gadis itu ke belakang telinga.
" Kenapa begitu?" Tanyanya lembut.
Nala mengangkat bahu, " Dia posesif, kakakku itu. Nyebelin."
Dewa tersenyum samar. Ia melipat tangannya di kasur dan menumpukan kepalanya disana, sejajar dengan wajah Nala. " Hmm...gampang."
Nala mengerjap. " Dia galak, lho kak. Sabuk hitam taekwondo, pula! Dia itu gila."
Bagaimana bisa gadis itu mengolok orang yang sudah meninggal? Terlebih lagi saudaranya sendiri! Tapi bagi Dewa, itu lebih baik daripada melihatnya bersedih.
" Aku nggak lihat masalahnya dimana." Jawab Dewa menatap manik mata cantik di depannya.
Nala terkikik geli. " Percaya diri sekali, ck!"
Dewa menarik salah satu ujung bibirnya.
" Mau sampai kapan disini?" Tanya Nala meninggalkan kikikkannya. Ia menatap Dewa lekat-lekat.
Dewa membalas manik coklat itu, terdiam.
" Nanti." Dewa memberi jeda, " Atau sampai kamu nyuruh aku pulang."
Nala memberenggut, " Aku udah bilang dari tadi!"
" Kali ini beneran." Kata Dewa lagi, " Kamu nyuruh aku pulang, aku bakalan pulang."
Hening, tidak ada yang menjawab. Nala bungkam ketika merasa perkataan Dewa tidak main-main, dan dia kesal karena mendadak takut menyuruh laki-laki itu pulang.
" Jadi?" Tanya Dewa dengan suaranya yang dalam. Nala mengerucutkan bibirnya.
" Makan." Katanya sembari menunjuk irisan cake di atas nakas.
**
Dewa melongok ke dalam kamar Nala dan mendapati gadis itu masih tertidur. Wajahnya sudah terlihat berwarna. Dia juga tidak segelisah tadi. Dewa menuju sofa di ruang tengah dan duduk disana, membiarkan keheningan menyergapnya. Ia baru akan meneruskan membuka buku pelajarannya ketika nama Leon muncul di layar ponsel.
" Hmm..." Sapa Dewa.
" Gimana? Udah baikan?" Tanya Leon yang mengetahui alasan Dewa tidak masuk sekolah.
" Udah. Masih tidur dia." Jawab Dewa. Ia bisa mendengar Leon menghela nafas disana.
" Lo itu beneran deh De, ck!"
" Apaan?"
" Nggak!!" Sergah Leon emosi. " Cuma mau bilang besok ulangan fisika!"
Dewa mengerutkan kening, tidak mengerti mengapa sahabatnya marah.
" Yang haid itu Nala, bukan lo! Ada apa?" Tanya Dewa tajam.
" Tugas lo itu bikin Nala jadi bener, bukan lo malah ikut-ikutan jadi sesat." Celetuk Leon membuat Dewa mengalihkan perhatiannya dari buku. " Berhenti main-main, De. Lo udah terlalu jauh ngikuti dia!"
Dewa terdiam. Tidak. Ia tidak bisa berhenti disini. Tidak setelah ia merasa pintu untuk mendekati Nala mulai terbuka lebar.
" Gue tahu apa yang gue lakuin." Kata Dewa.
Ia mendengar Leon berdecak keras di seberang sana. " Gue cuma ingetin lo. Jangan bikin gue nyesel karena percaya sama lo."
Dewa tersenyum samar. " Iya, nggak."
" Awas jatoh!" Kekeh Dewa sebelum menutup sambungan. Dewa mendengus memahami kata-kata Leon. Ia hendak meneruskan latihan soal ketika sesuatu menarik perhatiannya.
Tepat di depannya, sebuah foto keluarga terpampang besar. Tadi ia terlalu fokus pada keadaan Nala hingga tidak memperhatikan foto yang sedemikian menarik perhatian. Disitu bukan hanya Nala dan kembarannya. Namun juga dua orang yang diduga Dewa sebagai ayah dan ibu Nala. Si kembar berdiri di belakang dengan tangan masing-masing di bahu orang tuanya. Ayah Nala, laki-laki tegap dengan garis wajah tegas dan tatapan tajam sedangkan sang ibu adalah wanita berwajah cantik, ramah dan bermata coklat madu. Sekarang Dewa tahu darimana asal warna iris Nala yang tidak biasa bagi orang Indonesia.
Sebuah suara mengalihkan perhatian Dewa. Dewa segera menuju dapur.
" Ngapain disini?" Sergahnya setengah lega, setengah memarahi Nala yang ternyata sedang menuang susu. Ia mengenakan sweater tipis berwarna pink untuk menutupi seragam yang masih melekat di tubuhnya.
" Haus." Jawab gadis itu. Suara Nala terdengar lebih kuat. Ia menatap Dewa dengan tatapannya yang biasa.
Dewa menghembuskan nafas. Ia beringsut mendekati Nala dan menempelkan tangannya ke dahi, kemudian ke leher gadis itu.
" Ck! Ntar aja! Tumpah ini susunya!" Protes gadis itu.
Oke. Nala sudah sembuh. Dewa menyahut serbet dan menghapus ceceran susu di meja kaca itu. Nala menyodorkan satu gelas pada Dewa.
" Ayah kamu pulang kapan?" Tanya Dewa menerima gelas itu.
Nala tidak menjawab. Gadis itu justru duduk dan menarik sebungkus roti tawar putih. Ia menyobeknya dan mencelupkannya ke dalam susu coklat. Nala menyorongkannya pada Dewa.
" Dua." Jawab gadis itu sebelum menyantap makanannnya. Dewa mengerutkan kening. Ia cukup yakin jam dua sudah terlewat.
" Jam dua malam?"
Nala meneguk sedikit, " Dua tahun lalu waktu pemakaman Radit sama mama."
Bersyukurlah karena Dewa tidak menyemburkan isi mulutnya saat mendengar itu. Sebagai gantinya, ia mencengkram erat-erat gelasnya. Melihat keterkejutan Dewa, Nala justru terkekeh.
" Papa tinggal di Perancis." Celetuk Nala begitu santai hingga Dewa merasa ada yang salah di sini.
" Kamu di sini sama siapa?" tanya Dewa setelah beberapa saat kesulitan bersuara.
" Bi Inah." Jawab Nala dengan nada yang sama, " Tapi bi Inah kesini jam tujuh malem sampai jam sembilan. Aku kan sekolah, jadi nggak sempat belanja. Papa juga yang maksa." Katanya sembari mengangkat bahu.
Dewa terdiam. Cowok itu mengamati Nala yang meneguk gelasnya sampai habis.
" Jadi, kak Dewa harus pulang sebelum jam tujuh. Bi Inah itu cerewetnya mirip Radit!" Bisik Nala memperingatkan seakan ada seseorang yang bisa menguping mereka.
Nala menceritakan tentang keluarganya tanpa beban. Gadis itu bahkan masih berkelakar ketika tidak ada seorang pun yang berada di dekatnya. Tanpa peringatan, rasa ingin melindungi gadis itu begitu kuat.
Nala ingin meraih gelas Dewa, namun laki-laki itu menjauhkannya. Dewa melihat gadis itu bersungut kesal. Dewa mengabaikannya dan meraih gelas Nala, membawa keduanya ke wastafel dan mencucinya.
" Kak Dewa pulang gih, udah sore." Kata Nala melirik jam dinding. Dewa yang menangkupkan gelas di rak langsung menoleh. Ia ikut menatap jam dinding. Masih satu jam lagi sebelum shift kerjanya dimulai.
" Kamu udah pingin aku pulang?" Tanyanya berjalan mendekat. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
Nala menelan ludah dan memalingkan wajah. Tidak, sebenarnya. Tapi ia tidak bisa menahan laki-laki itu lebih lama lagi. Rasanya salah.
" Kan udah sore. Aku juga udah sembuh." Kata Nala menunduk. Ia melihat kaki polos Dewa tepat di depannya dan mengangkat kepalanya. Dewa menghembuskan nafas pelan.
" Sebentar lagi." Kata Dewa melarikan tangannya ke belakang dan meloloskan rambut Nala dari dalam sweater. Leher Nala meremang. Ia menjauhkan diri dari Dewa.
" Memangnya disini masih mau ngapain?" Tanya Nala curiga.
Dewa mengangkat bahu, kemudian melangkah ke ruang tengah, " Memastikan."
Gadis itu mengerutkan kening tidak mengerti. Namun ia mengikuti langkah Dewa menuju ruang tengah dan duduk di samping Dewa. Seketika, aroma menyenangkan dari Dewa menyeruak hidungnya. Nala meraih remote dan menyalakan televisi berukuran 42 inchi itu.
Di sana di samping televisi, terdapat foto Nala dan Radit. Kapan terakhir kali ia merasa setenang ini?
Radit, jangan marah ya...
*TBC*
Selamat hari jumat semuanyaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top