8. Secuil Rasa
" How do I call this feeling? It's strange, awkward, uneasy, yet make me happy."
Cepol gadis itu sedikit terurai ketika menghantam bola voli kuat-kuat dengan telapak tangannya. Siapa yang mengira telapak tangan mungil itu mampu melayangkan tenaga yang sedemikian besar hingga bola menukik cepat dan menghantam lantai tanpa sempat ditanggulangi lawan. Seringaian tersungging di bibirnya sebelum gadis itu mengusap peluh menggunakan lengan seragam olahraganya. Teman satu timnya menepuk bahunya, menyemangati. Nala tertawa dan berkata entah apa, kemudian membungkuk untuk bersiap menerima servis dari lawan.
" Dewa!!"
Dewa terkejut dan mengalihkan pandangan dari Nala.
" Hm?" Tanya Dewa pada gadis yang juga duduk di sebelahnya. Gadis itu meletakkan pensilnya dan meraih kedua bahu Dewa, memaksanya berputar menghadapnya.
" Lo beneran pacaran sama Nala?" Tanya Raya sangsi.
Meskipun Raya pernah melihat Dewa berangkat bersama Nala, tapi selain itu tidak ada tanda-tanda kedekatan mereka. Dewa mengangguk singkat.
" Lo berubah, tau nggak sih? Setelah ketemu si Nala itu!" Hujam Raya membuat Dewa mengerutkan dahi.
" Astaga anak ini! Lo pernah bolos, De! Untuk pertama kalinya, seorang Dewangga bolos sekolah! Lo nggak ngerti betapa syoknya para guru, ha? Kalau nggak inget prestasi lo, mungkin lo udah dapet peringatan."
Sepertinya, sudah lama Raya ingin mengatakan ini.
" Dan nggak cuma itu, De. Lo juga jadi sering ngilang pas istirahat. Tau-tau aja di kantin. Jarang ke perpus lagi." Sambung Raya lirih.
Tentu saja, Dewa terlalu sibuk memastikan Nala tidak kabur bersama Reno. Meskipun dia harus mengendap-endap seperti pencuri, dia tidak keberatan. Saat ini pun, dia tengah mengawasi anak itu lekat-lekat seolah bisa menghilang kapan saja.
" Kemarin lo bolos kemana, sih? Berdua sama Nala, kan?" Tebak Raya yang memang benar. Gadis itu berusaha keras menutupi kecemburuannya. Dia tidak mau Dewa tahu Raya menyukainya. Setidaknya, tidak sekarang.
Dewa mengamati Raya, berpikir. Kemudian terkekeh pelan. Ia memutar tubuh kembali ke arah lapangan outdoor yang sedang digunakan anak kelas satu untuk jam olahraga.
" Gue kasih dia pelajaran." Kata Dewa singkat.
" Nggak pantes, tahu nggak? Anak urakan kayak gitu." Gerutu Raya seraya menunduk pada soal-soal matematikanya. Ia malas sekali menatap ke depan.
" Yang lo omongin itu pacar gue, Ray." Ujar Dewa memperingatkan tanpa menoleh.
Raya melirik Dewa, cukup tahu jika cowok itu mulai terusik kata-katanya. Raya memilih diam meskipun masih menggerutu dalam hati.
" Jangan kebawa kenakalannya dia, De." Raya berkata pelan, " Lo terlalu berharga buat kehilangan diri lo yang sekarang."
Dewa tidak langsung menjawab. Nala sedang berusaha menerima hantaman bola dari tim lawan, yang berhasil ditepisnya. Bola melambung tinggi karena membentur kepalan tangannya yang menyatu. Mata gadis itu terkunci pada bola biru kuning itu sebelum kemudian ia melompat dan menghantarkan hantaman kuat pada badan bola. Membuat bola meluncur cepat melewati tangan-tangan lawan yang berusaha menge-block serangannya. Sekali lagi, euforia meledak di sana. Dewa tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum kecil.
Ia selalu suka melihat anak itu bersemangat.
" Gue nggak ada rencana ngerusak hidup gue." Kata Dewa akhirnya. " Kalaupun ada yang berubah, itu pasti bukan gue."
Dewa mengatakannya dengan kesadaran penuh. Dua kepribadian yang berbeda bertemu, pasti akan berbenturan. Seperti dua besi yang mustahil untuk disatukan. Dewa merasakannya ketika ia berusaha mencari jalan untuk terlibat dalam hidup Nala. Dia mengizinkan dirinya melangkah ke area tabu untuk bisa melebur dan mengenali Nala. Sedikit, hanya sedikit. Dia tidak akan terlebur menjadi lelehan lava. Dia harus tahu kapan waktunya berhenti. Dia yang memegang kendali disini.
**
Leon mengatakan kepala sekolah ingin bertemu dengannya, maka disinilah Dewa sekarang. Berhadapan dengan pria berumur setengah abad dengan kerutan abadi di keningnya. Meskipun demikian, ia tersenyum lembut saat bertemu dengan Dewa.
" Jadi, sudah sampai mana?" Tanya beliau setelah berbasa-basi beberapa kalimat.
Tubuh Dewa menegang. Ia tahu pertanyaan ini akan datang, cepat atau lambat.
Melihat Dewa yang sepertinya tidak akan menjawab, beliau berbicara.
" Penelitianmu untuk beasiswa, sudah sampai mana?" Tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Dewa membuka mulutnya dan membuang nafasnya perlahan, seolah melepas tali tak kasat mata dari dadanya.
" Tinggal menyusun proposalnya saja." Jawab Dewa.
Pak Amir mengangguk. Ia menatap Dewa dengan bangga. Pemuda bertubuh gagah, berotak encer dan berperilaku sopan. Tidak salah ia membanggakan nama Dewa di depan anak cucunya.
"Minggu depan deadline pengumpulan proposal. Kerjakan dengan baik. Bilang jika ada kesulitan." Katanya tulus. Dewa menatapnya penuh rasa hormat.
" Tentang Kanala, saya masih percaya kamu bisa." Ucap beliau menatap Dewa lurus-lurus, dan Dewa tahu beban itu tidak akan begitu saja menghilang dari pundaknya.
Bel tanda istirahat berbunyi tepat ketika Dewa keluar dari ruangan kepala sekolah. Kepalanya masih dipenuhi target beasiswa meskipun langkahnya menuju ke kantin secara otomatis. Dewa duduk di samping Leon dan mendesah lelah.
" Masalah Kanala?" Tanya Leon lirih.
" Beasiswa." Ucap Dewa singkat. Leon mengangkat alis paham.
" Take it easy. Lo kan bukan manusia bumi." Kekeh Leon menepuk pelan pundaknya.
Dewa mendengus. Matanya menyapu kantin dengan jeli, mencari kepala bercepol yang pasti akan terlihat mencolok dari arah manapun.
Ketika tidak menemukan Nala di kantin saat sepuluh menit pertama, Dewa langsung melesat ke parkiran tanpa memperdulikan teriakan Leon.
Ia melajukan motornya ke ujung jalan setapak di belakang sekolah.
Benar saja, beberapa menit kemudian terdengar suara tawa Reno cs dan Nala. Sepertinya sedang bercengkrama seru. Mereka berenam langsung bungkam saat menemukan Dewa berdiri tegap dengan kedua tangan di dalam saku, menatap Nala sedatar papan talenan.
" Gue antar." Kata Dewa dingin.
Nala meneguk ludah. Tanpa diberi tahu pun ia tahu sosok di depannya ini sedang marah. Ia beringsut mundur dan bersembunyi di belakang tubuh besar Reno. Reno mengulurkan tangan ke belakang dengan sikap protektif.
" Nggak perlu." Balas Nala. Ia tidak mengerti mengapa ia bisa segugup ini, tapi melihat ekspresi Dewa membuat Nala gamang juga.
" Berhenti ganggu anggota geng gue." Desis Reno membuat Dewa menatapnya. Gantar, Ethan, Jefri dan Vero menelan ludah. Mereka berterima kasih bukan mereka yang menjadi obyek tatapan membara Dewa.
Sebuah tinju kecil mendarat di punggung Reno, membuat cowok itu mengaduh.
" Gue bukan anggota geng lo, ya!"Sergah Nala tidak terima. Reno memutar mata, ia menoyor pelan kepala gadis itu.
" Lo itu gue belain!" Bisik Reno melotot. Nala mencebik.
" Ya tapi kan nggak perlu ngaku-ngaku gitu." Sungut Nala tidak berani menatap Dewa. Reno berdehem mengembalikan wajah sangarnya.
" Lo nggak punya urusan sama Nala, De. Jangan ganggu dia lagi." Katanya dengan serius kali ini.
" Dia pacar gue, ngerti?" Balas Dewa semakin mendekat. Reno mengangkat alis dan menoleh ke belakang.
" Pacar lo, La?" Tanya Reno sengaja.
" Bukan lah!" Seru Nala lantang.
Langkah Dewa berhenti. Matanya menghujam dalam-dalam pada manik coklat yang kali ini membalasnya dengan berani.
Reno mendengus. " Seingat gue lo nggak hobi ngigau. Sana balik! Nggak pantes cowok terhormat kayak lo ada disini sama kita."
Dewa dan Nala masih beradu pandang. Nala mengira Dewa akan meraihnya seperti biasa, kemudian memaksa Nala untuk diantar ke kampung. Maka ketika Dewa justru membuang nafas kasar dan berbalik, Perasaan bersalah langsung menerpa Nala.
" Ayo. Bisnya udah datang!" Seru Ethan menyadarkan Nala. Reno meraih siku Nala, menyuruhnya untuk masuk ke dalam bis lebih dulu. Nala menatap punggung tegap milik Dewa yang berjalan menuju motornya seakan tidak peduli lagi. Nala mendengus dan masuk ke bis.
Itu bagus, kan? Nala harusnya senang Dewa tidak terus-terusan memaksanya. Namun ia tidak bisa mencegah dirinya untuk berbalik dan menatap ke belakang bus melalui kaca belakang bus yang tembus pandang.
Dan ketika ia menemukan sosok Dewa di antara puluhan pengendara motor lainnya, Nala menggigit bibir untuk menahan cengiran.
" Masih aja keras kepala dia." Celetuk Reno di sampingnya dan ikut menatap Dewa. Nala mengangguk.
Reno melirik ke arah Nala dan menyeringai. " Awas sobek tuh bibir!"
" Apa sih?!" Balas Nala meninju bahu Reno. Reno hanya tertawa.
Tidak sedetik pun Nala mengalihkan pandangan dari cowok berjaket biru yang menyembunyikan wajahnya di balik helm full face itu. Entah mengapa, melalui kaca belakang bus itu Nala baru merasa berani menatap lekat-lekat sosok yang selama ini mengganggunya.
Apa? Mengapa?
Dia tahu reputasi baik Dewa. Apa yang membuat laki-laki itu mendadak tertarik pada dirinya? Padahal Nala sudah menendangnya jauh-jauh. Tapi Dewa terus saja menempel bandel seperti kutil. Menyebalkan!
" Eh..." Mata Nala membulat ketika melihat motor Dewa sedikit oleng. Cowok itu memperlambat lajunya dan menepi.
" Pak! Pak berhenti!! Saya turun disini!"
" Ha? Ngapain turun disini? Woi?!" Teriak Reno melihat Nala keluar dari bis dengan tergesa.
Reno hampir ikut turun jika saja matanya tidak menangkap ke arah mana gadis itu pergi. Reno mendengus dan menarik kembali kakinya yang hampir menapak trotoar.
Nala mendekati Dewa yang sedang berjongkok memeriksa kondisi bannya yang bocor. Dewa sepertinya tidak mengetahui kedatangan gadis itu. Nala berdehem.
" Makanya, jadi orang itu jangan keras kepala! Susah sendiri kan jadinya?" Cetus Nala ikut mengamati roda belakang motor hitam itu.
Merasa tidak mendapat tanggapan, Nala menoleh hanya untuk mendapati wajah Dewa berjarak sepuluh senti darinya. Cowok itu masih terkejut dengan kedatangan Nala yang tidak terduga. Nala bangkit.
" Bocor." Kata Nala mengedarkan pandangan di sekitar mereka. " Nggak ada bengkel yang deket, ya?"
Dewa masih menatap gadis yang saat ini menghalau sinar matahari dengan telapak tangan di atas alisnya, celingukan kesana kemari. Menyembunyikan senyum, Dewa bangkit.
" Ada. Tapi perlu jalan sedikit." Jawab Dewa bersiap mencengkram handle motornya dan mulai mendorong.
" Oh! Untung, deh!" Seru Nala ceria. Ia mencengkram pantat motor dan mengerahkan tenaganya, " Yuk kesana!"
Dewa menoleh ke depan untuk melepaskan senyumnya. Dari spion, ia bisa melihat wajah santai gadis itu menoleh kesana kemari meskipun dengan tangan masih di belakang motor Dewa. Tentu saja, Dewa yang menanggung beban motornya sendirian. Ia tidak akan mengizinkan Nala mendorong motornya meskipun cewek itu tidak menyadarinya.
Dewa melirik spion sekilas, kemudian berhenti. Ia melepaskan jaketnya dan memberikannya pada Nala.
" Pakai."
Nala mengerutkan kening. " Buat apa? Panas-panas gini lho, kak."
Dewa menatap sweater gadis itu sebelum kembali pada Nala, " Justru itu. Tudungnya juga."
Nala hendak membantah, namun Dewa hanya menatapnya tanpa ekspresi. Akhirnya Nala menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Bagaimana Dewa tahu sedari tadi ia tersiksa oleh sengatan matahari? Sweaternya tidak banyak membantu karena terlalu tipis. Nala memakai jaket Dewa, membiarkan dirinya tenggelam pada jaket yang mencapai lutut itu.
Dewa mendekatinya dan meraih lengan Nala. Ia menggulung lengan jaketnya hingga pergelangan tangan Nala.
" Gue nggak ngerti kapan selesai motornya." Kata Dewa saat melakukan hal yang sama pada lengan Nala yang satunya.
Nala mendongak, menatap cowok yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya itu. " Nggak papa. Nanti aku kasih kabar sama mas Qatar. Ada Reno dan yang lain juga. Aku bisa datang di kelas sore nanti."
Dewa mengalihkan tatapannya pada Nala, mengangkat alis. Sedangkan Nala salah tingkah menyadari mulutnya yang kelepasan.
" K...kan kak Dewa kakak kelasku, ya...jadi..."
Kalimatnya terpotong saat Dewa mengulurkan kedua tangannya melewati leher Nala. Cowok itu memakaikan hoodie jaketnya di kepala Nala, menghalangi sinar matahari yang menyengat pipinya. Seketika, aroma maskulin yang menyegarkan melingkupi Nala. Membuat Nala tersadar bahwa betapa sering dirinya mendapati aroma ini akhir-akhir ini.
" Jangan di belakang. Nanti kalau kamu diculik aku nggak ngerti." Kata Dewa saat menyambangi motornya lagi.
" Eh?"
Dewa menoleh ke arahnya yang masih bergeming, kemudian mengedik ke samping kirinya. Nala menggigit bibirnya sebentar, kemudian melompat ke samping Dewa. Ia meraih helm fullface Dewa. Dewa mulai melangkah.
" Besok lagi nggak perlu jemput, apalagi antar-antar segala. Kalau gini kan susah." Celetuk Nala memajukan hoodie untuk menepis sinar matahari yang masih membuatnya silau dari samping.
" Hmm..." Gumam Dewa. Ia bergeser sedikit, memposisikan badan sehingga Nala sepenuhnya berada dalam bayang-bayangnya.
Nala melirik ke arah Dewa dengan kesal. " Kak Dewa! Ngeyel banget, sih!"
Dewa akhirnya menoleh ke arah Nala, " Ini resiko. Nggak perlu merasa bersalah." Ucapnya santai.
" Ya tapi kan ngapain coba?" Gerutu Nala. " Kurang kerjaan amat ngikutin ke kampung segala!"
" Karena aku punya kewajiban memastikan kamu baik-baik aja, Kanala." Jawab Dewa. Nala mengerjap, kemudian mengeratkan pelukannya.
" Aku kok pingin lempar kak Dewa ke tengah jalan, ya?" Celetuk Nala. Dewa hanya terkekeh membuat Nala semakin jengkel.
Ia merasa terganggu dengan gelayar aneh yang baru saja datang. Dia tidak suka jika Dewa mengatakan hal-hal yang membuatnya salah tingkah, seperti sekarang. Ia semakin merasa tidak bisa menepis keberadaan Dewa, dan itu membuatnya jengkel.
**
Nala membaca pesan dari Qatar beberapa kali. Mulutnya cemberut.
" Kenapa?"
Dewa yang sudah selesai membayar menyambangi Nala dan mendapati wajah gadis itu tertekuk.
Nala menghembuskan nafas panjang, " Kelas sore ditiadakan. Kampung ada acara, katanya."
Dewa mengangguk tanda mengerti. Ia merogoh saku untuk mengambil ponselnya yang bergetar. Balasan pesan dari Leon. Tadi Dewa mengiriminya pesan bahwa ia tidak bisa mengikuti pelajaran terakhir dengan alasan ia perlu ke bengkel.
" Cih, gue keburu bilang sama guru lo mencret akut, bego!"
Dewa terkekeh. Ia membuka pesan kedua yang juga dari Leon.
" Gimana si embah? Parah nggak? Perlu gue jemput?"
Si embah adalah panggilan Leon untuk motor Dewa. Motornya masih gagah karena Dewa merawatnya dengan baik. Hanya saja delapan tahun sudah tergolong tua untuk motor peninggalan ayah Dewa itu. Dewa memasukkan ponselnya setelah selesai membalas Leon, kemudian menatap Nala.
" Ya udah, aku antar pulang." Kata Dewa bersiap. Dewa menoleh saat dirasa gadis itu diam saja.
Nala masih memasang wajah kecewa. Dewa tertawa geli. " Sekecewa itu, ya?"
Nala menatapnya, kemudian menjejak pijakan kaki motor kuat-kuat. " Masih sore. Aku belum pingin pulang."
Mendengar itu, Dewa terdiam. Kemudian ia mengambil keputusan.
" Mau kemana?"
Nala menatap belakang kepala Dewa tidak mengerti, " Eh?"
Dewa menolehkan kepalanya, " Katanya nggak mau pulang. Kamu maunya kemana?"
Senyum gadis itu terbit. Ia memiringkan tubuhnya untuk membalas tatapan Dewa dengan cerah. " Kita ke taman aja, yuk? Takoyakinya enak!"
Mendengar itu, Dewa memakai helmnya. Ia baru saja akan meraih kopling ketika sadar satu hal.
" Pegangan." Perintah Dewa. Ia merasakan genggaman jemari gadis itu di seragamnya.
" Ck! Pegangan, Nala!" Sahut Dewa tidak sabar. Ia menarik tangan Nala dan melingkarkannya di perut seperti yang biasa Dilla lakukan.
Dewa dan Nala sama-sama terdiam. Dewa dengan kesadarannya bahwa cewek itu bukan Dilla, dan Nala dengan keterkejutannya.
" I...ini udah!" Kata Nala menyadarkan Dewa. Wajahnya merah padam saat tanpa sengaja merasakan tekstur perut Dewa yang kaku bagai papan. Ia meregangkan rangkulannya dengan canggung, tidak ingin bersinggungan lagi dengan sesuatu itu.
Dewa berusaha menetralkan debaran jantungnya. Bagaimana bisa rangkulan Nala berbeda dengan adiknya? Dan apa pula jantung tidak tahu diri ini?
Sepanjang perjalanan, Dewa tidak bisa menepis kenyataan tangan Nala yang melingkari perutnya. Ia bahkan sepenuhnya menyadari gerakan sekecil apapun yang dibuat oleh tangan mungil berlapis jaket itu.
*TBC*
😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top