7. Langkah Pertama
"You're out of universe, so I have to be a superman to catch you."
Dewa bersandar dari motornya seraya mengecek jam tangan. Ia sudah menunggu di depan rumah megah itu selama hampir lima belas menit. Namun pintunya masih tertutup rapat. Ck! Kalau mereka tidak segera berangkat, mereka bisa terlambat! Jangan-jangan anak itu ketiduran lagi. Dewa merutuki kebodohannya karena tidak mempunyai kontak apapun dengan Nala.
Akhirnya Dewa terpaksa berjalan mendekat dan membunyikan bel yang berada di pagar rumah Nala. Satu kali, dua kali, tiga kali...
Dewa mengerutkan dahi. Pintu itu masih bergeming.
" Lho mas? Ngapain disini?"
Dewa menoleh dan mendapati satpam perumahan sedang menatapnya dengan tatapan curiga. Tangannya sudah memegangi kepala senjatanya. Dewa buru-buru menjauh dari pagar.
" Saya teman Kanala pak." Jelas Dewa menepis kesalahpahaman. Dia sudah rapi dan wangi begini masa dikira maling?
" Oh..." Seru satpam itu melepaskan senjatanya. " Mbak Nala udah berangkat dari tadi, mas. Masnya nggak tahu?"
Mata Dewa terbelalak. Anak itu!!
Dewa segera menaiki motornya. Setelah ia berterima kasih pada pak satpam, Dewa keluar kompleks dengan kencang. Jadi Nala berniat kabur darinya, heh? Jelas-jelas kemarin Dewa berkata pada Nala akan menjemputnya!
Rahang Dewa mengeras saat dilihatnya sosok mungil Nala berjalan menyusuri trotoar jalan menuju halte bus. Anak itu mengikatkan rambutnya ke atas sembari berlari kecil-kecil. Sebuah headset terpasang di telinganya.
TIN TIN TIN...
Dewa menekan klakson saat ia sejajar dengan Nala. Gadis itu menoleh.
" Aaaaahhh!!" Seru Nala terkejut.
" Naik!" Kata Dewa tegas. Ia menahan berat motornya dengan kaki kiri menjejak tepi trotoar. Namun Nala menggeleng.
" Nggak mau! Wleeee!!" Tolak Nala menjulurkan lidahnya. Dewa menggeram.
Oke. Anak itu mau main-main dengannya! Dengan tergesa Dewa menstandarkan motornya dan turun. Nala yang melihatnya terpekik.
" Nala! Naik, nggak? Apa mau gue gendong?!" Ancam Dewa berusaha meraih Nala yang berkelit.
" Nggak mau! Nggak mau!" Nala menggeleng keras-keras. Gadis itu mulai berlari kencang. Dewa mengejarnya. Gila! Anak itu larinya cepat juga!
Saat itu, sebuah bus berhenti tepat di depan halte. Tanpa buang waktu Nala melompat ke pintu belakang bus. Sebelum masuk, ia tertawa menang dan menjulurkan lidahnya.
Dewa menghentikan larinya saat mengetahui hal itu sia-sia. Nafasnya terengah. Ia membungkukkan badan untuk mengatur hafas.
" Heh!" Dengusnya geli memelototi trotoar.
**
Nala membasuh wajah dan tangannya seraya menatap pantulan dirinya di cermin. Ia menyeringai saat mengingat kejadian beberapa menit lalu.
Kakak kelasnya itu pasti sudah gila. Bagaimana bisa ia sudah berada di depan rumah Nala sejak jam enam pagi? Saat itu bahkan Nala belum mandi! Nala memutuskan untuk berkelit dari Dewa dengan mengendap dari belakang rumahnya dan mengambil jalur tikus untuk sampai di depan kompleks.
Berangkat bersamanya? Yang benar saja!
Nala mencepol rambutnya tinggi-tinggi dan menepuk pelan wajahnya. Setelahnya, gadis itu melangkah keluar. Ia baru akan mengambil langkah berikutnya saat sudut matanya menangkap Dewa berjalan cepat ke arah Nala. Nala membelalakkan mata.
" Mampus!!"
Nala langsung mengambil langkah seribu untuk menghindari Dewa. Ia bahkan berkelit di antara siswa agar terhindar dari langkah panjang Dewa yang menyusulnya dengan segera. Ia menggertakkan gigi. Apa sih maunya dia? Astaga!
"Gue dikejar cowok psikopat yang ngebet pingin jadi cowok gue!!" Dengus Nala menuju area belakang sekolah. Ia tidak punya pilihan lain selain kabur demi menghindari Dewa. Nala menoleh ke belakang dan mendapati Dewa masih jauh di belakangnya, berkelit dengan susah payah. Nala menyeringai dan kembali menatap ke depan. Ia berbelok menuju kursi tua itu. Tanpa jeda, Nala menjejaknya dan melompati pagar dengan sempurna.
" Hap!" Serunya saat mendarat. Dirinya lega luar biasa. Ia menoleh ke tempat Reno cs biasa nongkrong, lantas terkekeh saat tidak mendapati mereka. Lagipula ini masih pagi. Nala berdecak. Ia mengecek jam tangannya.
" Masih pagi gini mau kemana?" Gerutunya menyalahkan Dewa. " Heran ah, sebegitu ngebet..."
BUGHHH
Demi mendengar itu, bulu kuduk Nala berdiri tegak. Ia menghentikan langkahnya dan menelan ludah.
Nggak mungkin...
Takut-takut, Nala menoleh ke belakang. Disana, Dewa menatapnya dengan posisi mendarat yang sempurna. Nala melotot hingga tanpa sadar berjalan ke belakang.
" Ka...ngap...ini, t-tapi..." Nala tergagap sembari menunjuk tembok dan Dewa bergantian.
TEET...TEET...TEET
Bunyi bel masuk yang bergema membuat Nala terlonjak. Dewa tersadar. Laki-laki itu bangkit seraya membetulkan letak ranselnya. Ia melangkah cepat ke arah Nala yang masih kebingungan dan mencengkram erat-erat lengannya.
" Lo udah bikin gue terlambat!" Geram Dewa menatap Nala dengan tajam. Nala mengerjap saat manik hitam itu hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.
" Kan lo yang ngikutin gue, gimana sih?" Ketus Nala tidak terima.
Dewa mendengus. Ia melepaskan siku Nala untuk kemudian meraih jemari gadis itu.
" Eh! Nggak balik?" Tanya Nala saat Dewa justru menyeretnya menjauh dari sekolah. " Mau kemana sih? Ck!"
" Kencan. Mau?" Ujar Dewa tanpa menoleh.
" HAAAAA??"
Sebelum mencapai trotoar jalan raya, Dewa berbalik dan menghadap Nala. Ia menaikkan restleting sweater dan memasangkan hoodie-nya. Dewa sendiri melepas baju seragamnya. Hanya meninggalkan kaus putih polos yang menempel sempurna di tubuhnya. Untung hari ini SMA Angkasa memakai seragam batik sehingga bawahan mereka tidak terlalu mencolok. Nala menolehkan kepala, tiba-tiba merasa panas tanpa tahu sebabnya.
" Ayo." Dewa meraih jemari Nala kembali dan menariknya.
" Kak Dewa, nggak takut nih main bolos gini? Nanti reputasi anak baiknya tercoreng, lho..." Celetuk Nala coba-coba.
Dewa hanya terkekeh geli, " Sekali kali nakal juga kayaknya asik."
Nala semakin mengerutkan kening. Benar-benar! Cowok di sampingnya ini sangat sulit ditebak. Satu waktu ia bisa jadi menyebalkan, waktu yang lain ia bisa membuat Nala tidak berkutik seperti sekarang.
Nala mengerjap. Sebentar!
Nala menatap tautan tangan mereka dan melotot. Tanpa aba, gadis itu langsung menyentakkan tangannya.
" Ini apaan sih, ck!" Sergah Nala karena Dewa justru mempererat cengkramannya. Laki-laki itu bahkan tidak menghentikan langkahnya. Nala menghembuskan nafas keras dan mencoba melepaskan tangannya kembali, tapi Dewa menahannya. Cowok itu terus melangkah santai sembari menuntun Nala seakan Nala tidak pernah melawannya sama sekali.
" Issss!!" Desis Nala kesal mencubiti lengan Dewa yang menggenggam tangannya. Tapi sekali lagi, laki-laki itu tidak merespon.
" Eh lah?" Nala mengerjap begitu menyadari dimana mereka berhenti. " Kenapa kesini pagi-pagi? Kan lebih bagus kalau malam!"
Dewa mengedik, " Ada bazar." Celetuknya singkat. Dewa berjalan mendekati penjual takoyaki, meninggalkan Nala yang menatap keramaian di pinggir alun-alun. Sepertinya hari ini hari istimewa. Bahkan, ia melihat beberapa rombongan anak sekolah di antara pengunjung.
" Ini!"
Naya menoleh dan mendapati Dewa menyodorkan dua bungkus takoyaki dalam wadah mika. Senyum Nala merekah. Nala celingukan dan berlari ke sebuah bangku kosong. Dewa menyusulnya. Nala mulai melahap takoyaki yang disodorkan Dewa.
Untuk sesaat, mereka hanya terdiam memandang fotografer-fotografer amatir yang menjajakan kostum karakter kartun atau sulap jalanan yang dikerumuni banyak orang.
" Sejak kapan lo ngajar anak-anak pinggir sungai?" Celetuk Dewa memulai.
Nala mengerjap. Ia memotong takoyakinya menjadi dua sebelum berkata, " Sejak kelas dua SMP."
" Dulu juga hobi bolos?"
" Hmm..." Nala berpikir-pikir sambil melahap takoyakinya, kemudian menggeleng, " Kayaknya nggak separah sekarang."
Entah mengapa, mendengar itu Dewa justru mengulas senyum. Gadis itu meneruskan makanannya dengan santai. Kakinya yang bertaut mengayun ke depan belakang seperti anak kecil. Seleret rambut yang lolos dari cepolannya terjuntai manis di sisi wajah gadis itu. Dewa mengalihkan tatapan begitu menyadari apa yang dipikirkannya.
" Besok lagi jangan kabur." Kata Dewa menatap pedagang di depan mereka.
" Gue nggak mau digosipin yang nggak-nggak." Tanya Nala. " Lagian ya kak Dewa, ngapain sih pakai ngaku-ngaku pacaran segala? Gue nggak mau pacaran sama kak Dewa!"
" Alasan gue makin kuat, kalau gitu." Jawab Dewa enteng. Ia menusuk dua buah takoyaki sekaligus dan meletakkannya di wadah milik Nala. Gadis itu meliriknya sekilas.
" Kalau cari pelarian, sana sama kak Raya aja! Di dahi dia udah kecetak paten nama kak Dewa, tuh!" Celetuk Nala. Dewa makin tertawa geli.
" Kan gue bilang, gue nggak terima penolakan." Tukas Dewa mengangkat alis. " Kenapa? Lo takut dicakar sama fans-fans gue?"
" Yang ada mereka gue telen semua! Takut? Hmph!" Cibir Nala.
Tidak ada sahutan dari cowok itu membuat Nala menoleh. Namun ia justru mendapati Dewa tengah memperhatikannya dengan dagu bersandar di tangannya, mengamati Nala lekat-lekat.
Dewa mengurai posisinya dan mengulurkan tangan ke arah Nala, mengusir saus di ujung bibir gadis itu. " Cewek itu makannya harus anggun, ck!"
Nala menyentuh kembali bekas sentuhan Dewa, memeriksanya. Kemudian kembali makan. Ketika ia menoleh ke arah Dewa kembali, Dewa sudah menunduk serius dengan catatan kecil di tangannya. Catatan yang sama ketika Nala menjalani hukuman dengan Dewa.
" Ck! Udah jauh-jauh masa iya mau belajar juga?" Ejek Nala yang hanya ditanggapi kedikan bahu oleh Dewa. Nala beringsut mendekati Dewa.
" Enaknya apa sih jadi orang pinter? Besok kalau kerja juga nilai rapot nggak pengaruh! Nggak akan ada yang tanya dulu kamu juara berapa? Ulangan dapet berapa? Iya kan? Kita masuk perguruan tinggi juga lewat tes lagi!"
Pertanyaan Nala membuat Dewa berhasil mengalihkan perhatian pada gadis itu.
" Gue nggak mau menyia-nyiakan sedikitpun waktu gue buat hal-hal yang nggak berguna."
Nala melirik Dewa sebelum mencibir, " Lo nyindir gue, kan?"
Dewa menatap Nala sejenak, kemudian memutuskan menutup buku sakunya. " Setengah ya, setengah nggak."
" Isss...nggak usah ngeles! Lo nyebelin kayak yang lain ternyata." Jawab Nala enteng, dan entah mengapa membuat Dewa tidak terima.
" Ngajar anak-anak kampung itu bukan hal yang nggak berguna." Ujar Dewa tenang membuat Nala menoleh padanya, " Nggak serius sama pendidikan kamu sendiri itu yang sia-sia."
Nala memutar bola mata, " Ya kan gue nggak punya otak super kayak kak Dewa! Otak gue mentok udah segitu. Daripada sia-sia di sekolah, mending gue kabur ngajar anak-anak."
Dewa mengulum senyum meskipun disembunyikannya, " Nggak bisa dan nggak mau itu beda. Mesin yang nggak pernah digunakan itu pada akhirnya karatan, jadi sampah, bener-bener terbuang."
Dewa memperhatikan bagaimana Nala tertegun sejenak, kemudian mendegus dan meninju bahunya, " Lo ngomong apa sih? Gue nggak ngerti!"
Dewa terkekeh, " Gue udah bilang kan? Yang terpenting itu proses. Nggak peduli mau jadi pengusaha atau pegawai, memang bukan peringkat yang terpenting. Tapi perilaku kamu untuk mencapai yang terbaik itu yang penting. Dan buat gue, mendorong sejauh mana kemampuan gue itu udah termasuk latihan. Pada akhirnya, yang namanya usaha nggak pernah mengkhianati hasil."
Dewa merubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. " Sekarang coba lo pikirin ini. Lo bisa jadi lebih berguna kalau lo kasih mereka beasiswa, misalnya. Atau bikin sekolah buat mereka. Atau bikin foundation khusus untuk menolong anak-anak seperti mereka. Itu semua dimulai dari lo sendiri. Lo bisa lebih berguna buat mereka kalau lo sendiri sukses."
Nala mengerjap, " Kak?"
" Hmm?"
" Mau jadi filsuf?"
Dewa mengerutkan kening.
" Bahasa lo ketinggian. Kebakar gue, ishhh!!" Nala mengipasi dirinya seolah kepanasan. Kemudian matanya berbinar, " Kak, naik sepeda yuk?"
**
Nala benar-benar mati kutu kala dilihatnya Dewa duduk di atas motornya, bersedekap sembari memandang dirinya yang berjalan ke arah halte bus. Rupanya cowok itu sudah mengantisipasi jika nanti Nala kabur lagi. Dan sialnya, antisipasi cowok itu berhasil.
Jelas saja sekolah dilanda gempa bumi skala 12richter ketika siswa-siswi melihat Nala dan Dewa berboncengan kala memasuki gerbang sekolah. Dewa bukannya tidak menyadari tatapan benci anak-anak pada Nala ketika gadis itu berjalan di sampingnya. Namun ketenangan Nala membuatnya tenang juga, seolah segala kebencian yang membumbung ini tidak mengganggunya. Tiba di koridor ketika mereka harus berpisah, Dewa menahan lengan Nala. Nala berbalik sembari menaikkan alisnya.
" Jangan pergi sama Reno lagi." Pinta Dewa tegas.
" Kan kak Dewa mulai lagi!" Nala berusaha melepaskan cekalan Dewa. Namun Dewa justru menarik gadis itu mendekat hingga dirinya bisa menghirup aroma shampo dari gadis itu.
" Kalau mau ngajar, kasih tau gue. Gue antar." Ucap Dewa membuat Nala bungkam, " Jangan sendirian sama Reno."
Gadis itu terus bungkam.
" Nala?" Tanya Dewa menuntut.
" Ck! Lepas ah! Diliatin anak-anak itu!" Sergah Nala menghindari tatapan mematikan Dewa.
" Nggak! Bilang dulu lo ngasih tau gue!" tegas Dewa.
Nala menghembuskan nafas keras-keras. Gadis itu akhirnya menghadapi Dewa dengan wajah galak. " Mau sampai kapan ngaku-ngakunya? Hm? Udah dibilang gue nggak mau! Nggak perlu ngatur-ngatur gue lagi!"
Ekspresi Dewa mengeras, " Gue nggak masalah lo kabur, La. Tapi gue nggak mau lo sampai bergaul sama Reno!"
" Kenapa? Karena dia nakal? Ngerokok? Iya?" Nala menghentakkan tangannya hingga terlepas, kemudian mendengus, " Gue akuin lo pinter, kak. Tapi sayangnya nggak bijak. Jangan pernah menilai orang lain kalau lo nggak ngerti apa-apa!"
Nggak ngerti? Nggak ngerti??
Dewa mengeraskan rahangnya. Ia menatap iris coklat itu lekat-lekat, " Gue lebih kenal Reno ketimbang lo."
" Kalau gitu lo nggak mungkin ngomong ngawur!" Desis Nala, " Jangan ganggu gue lagi! Nggak perlu jemput-jemput gue lagi! Gue masih bisa berangkat sendiri!"
Gadis itu berbalik dan langsung berlari menjauhi Dewa. Dewa mengawasi cepolan rambut Nala yang memantul seirama langkah gadis itu dengan mata menyipit.
" Weitzz, slow aja tangannya! Udah kayak mau ninju kuda aja lo!"
Celetukan Leon menyadarkan Dewa. Ia melepaskan jemarinya yang terkepal tanpa sadar.
" Kenapa sih? Pagi-pagi udah nahan beol aja?" Leon merangkul leher cowok itu, memaksanya berjalan. Dewa menghembuskan nafas kasar.
" Gimana caranya biar Nala jauh dari Reno? Itu anak bandel banget dibilang!" Dewa mengeluarkan kekesalannya.
" Siapa bilang ngadepin cewek kayak Nala itu gampang? Lo nyegah dia yang ada malah kebalikannya. Lo juga ikutan edan, pake ngaku-ngaku pacaran segala!" Dengus Leon. " Awas, jatoh beneran lo!"
Dewa menoleh tidak mengerti, " Jatuh?"
" Cinta." Sambar Leon tanpa basa-basi. " Lo memutuskan main-main. Awas kena karma."
Dewa terdiam. Tentu saja, motivasi ia menganggap Nala pacarnya adalah karena perjanjian setan itu.
" Gue cuma pengen yang terbaik buat adek gue." Gumam Dewa lirih.
Leon menatap Dewa sekilas. Cowok berjambul itu menghirup nafas panjang." Lo sih ya nggak pernah jatuh cinta. Jatuh cinta itu sakitnya beneran Wa. Menyiksa. Lo kudu ati-ati. Jangan masuk perangkap sendiri."
Perangkap?
Dia tidak sepicik itu. Dia tidak sejahat itu. Dia tidak sedang menjebak Nala. Namun jika ditanya apa permainan yang dimainkannya saat ini, Dewa pun tidak mempunyai jawaban yang pasti.
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top